Share

Bab 6

Auteur: Fay
last update Dernière mise à jour: 2023-03-01 14:54:49

“Mbak yang perwakilan dari pelatihan pengajar bahasa Jepang PT Naruyama?” Aku yang tengah berada di kantor subag akademik menoleh, seorang pria paruh baya menghampiriku.

“Iya Pak, ada apa?”

“Ini tadi kata Pak Dekan suruh ambilin meja di gudang buat depan kelas. Saya kira yang ke sini laki-laki, tahu-tahu perempuan. Sebentar ya Mbak.”

Aku hanya mengangguk dan membiarkan bapak tersebut pergi. Beberapa menit kemudian aku menganga melihat meja yang diangkut.

Meja mahasiswa yang cukup untuk meja dua orang.

Aku buru-buru membantu bapak tersebut dan seorang janitor yang agak kesulitan membawa meja tersebut.

“Udah mbak, gak usah.”

Aku awalnya bingung untuk apa meja tersebut, kemudian aku menemukan jawabannya.

=========

Aku ingin menghela napas menghadapi tumpukan berkas. Hari ini adalah hari pertama pelatihan dengan agenda tes penempatan kemampuan mengajar dan bahasa Jepang. Tentu saja ada berkas yang harus dikumpulkan.

Aku menatap seorang ibu yang kutaksir usianya sekitar 30-an. Aku sebenarnya salah fokus melihat dandanannya yang cukup tebal. 

“Ibu, ini surat tugas dari Sekolahnya mana?”

“Aduh Teh, belum jadi dari TU nya Teh.”

Aku menghela napas, “Ya sudah, besok ya Bu jangan lupa.”

Tidak lama seorang bapak-bapak muncul. Entah kenapa perasaanku menjadi tidak enak melihat bapak ini.

Seperti … Aku tidak berpikir bahwa orang ini adalah orang baik. Aku menepis pikiran buruk tersebut.

“Pak, silabusnya kok belum ada?”

Aku menyadari bahwa bapak ini tidak menjawab pertanyaanku.

“Pak? Pak Agil?”

Guru di depanku menoleh dengan ogah-ogahan, “Belum selesai Teh. Paling nanti habis istirahat.”

Rasanya aku ingin menggeleng – geleng kepala. Bukankah dari pihak penyelenggara sudah meminta sekolah sejak seminggu yang lalu ya?

Di sisi lain aku nyaris ingin menganga melihat berkas-berkas yang aku terima. Orang ini selain punya sertifikat tes JLPT N2, isi silabusnya juga sangat rapi. Hal itu tanpa sadar membuatku mengangkat kepala. 

Seorang bapak-bapak guru muda yang terlihat sangat santun, membuatku merasa agak canggung. 

Aku memijat dahiku. Aku sendiri tidak begitu telaten dalam masalah administrasi. 

“Teh Faihah.” 

Aku menoleh, seorang perempuan yang menggunakan blazer dan pashmina menghampiriku. Dia adalah Yuanita, yang akan menjadi asisten pengajar.

“Nanti ambil makan siang untuk pengajar pukul 11 ya. Pukul 12 sudah harus ada di kampus.”

Aku hanya mengangguk, “Oke.” 

“Jangan sampai telat loh, Teh.”

Aku mengerutkan dahi saat gadis itu berbalik meninggalkanku begitu saja. Tapi tumpukan berkas menyadarkanku dari dunia lamunan. Berganti dengan dumelan.

Bisa-bisanya pemerintah masih menggunakan berkas hardcopy. Hadeh.

===

Aku buru-buru berjalan menuju mobil perusahaan yang terparkir di kampus. Jendela samping mobil turun, dan muncul wajah Kang Ujang. 

“Kang, aku duduk di depan atau tengah? Tengah aja yak?” 

“Depan aja, Teh.” 

“Oh, oke.” Aku lalu membuka pintu dan naik di sebelah supir. 

“Ambil makan siang di pabrik 'kan?” 

“Iya Kang.” 

Kang Ujang lalu mulai menjalankan mobilnya keluar dengan perlahan keluar dari kampus tersebut. 

“Kang, Seo sensei tuh semalam beneran mabuk?”

“Iya Teh, udah malah Seo sensei meracau terus. Kesel kali hari minggu mestinya bisa senang-senang tapi malah harus rapat.”

Aku hanya terkekeh karena sedikit paham apa yang dimaksud Kang Ujang.

“Terus pas besoknya kelihatannya seger banget Teh. Sampai saya heran, bisa-bisanya orang mabuk berat malamnya paginya masuk kerja. Gak kesiangan lagi!” 

“Hahahah, iya kang benar juga. Kayaknya orang-orang yang mengkonsumsi alkohol bisa gitu ya Kang?” 

“Mungkin karena tuntutan kerja Teh. Di Jepang sendiri kan etos kerjanya gila-gilaan.” 

“Aku gak tahu Kang kalau ada bar di dalamnya.”

“Pasti ada sih Teh.”

Suasana kembali hening. 

“Teteh kok bisa dekat sama Yuichi sensei? Lagi pendekatan Teh?”

“Pendekatan?” Aku menoleh ke arah Kang Ujang.

“Iya Teh, PDKT. Kemarin kok pas saya jemput, Teh Faihah bisa sama Yuichi sensei?”

“Yuichi sensei nelpon saya sore-sore. Baru banget pas saya bangun tidur. Minta dianterin buat belanja. Eh, tapi kenapa gak Kang Ujang yang anter aja ya?”

“Saya sudah nawarin Teh, Yuichi senseinya nolak. Oh iya, sebenarnya Teh Yuanita ngajak Yuichi sensei juga buat belanja. Tapi ditolak juga. Teh Yuanita sepertinya naksir sama Yuichi sensei kali ya. Yuichi sensei kan tinggi, ganteng.”

“Preman galak gitu dibilang ganteng!”

“Tetep ganteng Teh, cowok-cowok Jepang kan banyak yang kelihatan kawai (imut) gitu kan, Teh. Yuichi sensei tuh mirip-mirip anggota Exile Generation gitu. Cowok banget lah Teh. Saya bukan homo Teh, saya sudah punya istri sama anak soalnya.”

“Oh iya? Berapa tahun Kang? Anaknya?”

“Hampir 10 tahun Teh.”

Otakku berusaha mencerna perkataan Kang Ujang, “Hah? Kang Ujang nikah di umur 15 tahun??”

“Anak tiri itu Teh. Istri lebih tua tiga tahun. Saya sih aslinya baru nikah tahun kemarin, istri sekarang lagi hamil anak kedua.”

Aku melongo mendengar jawaban Kang Ujang, “Bisa gitu yah Kang.”

“Bisa Teh kalau udah sayang mah.” Kang Ujang tertawa kecil, “Padahal kata Mamah sama Bapak mendingan cari gadis dulu aja. Tapi kalau udah cocok mah yah mending lanjut aja.”

“Teh Faihah kalau misalnya cocok sama Yuichi sensei langsung nikah aja Teh.”

Aku nyaris tersedak mendengarnya, “Ya ampun kang, gampang banget bilangnya.”

“Tapi serius Teh, pengalaman saya, nikah tuh pasti ada rejekinya.” Kang Ujang mulai nyerocos, “Saya kan pas baru nikah sama istri pusing banget gara-gara sempat nganggur lama, uang hasil magang di Jepang habis buat obatin bapak, sama buat sehari-hari. Alhamdulillah, ada aja rejeki sampai saya bisa kerja di sini Teh.”

Aku memandangi pemandangan kawasan pabrik dari balik jendela. Entah kenapa, aku tidak merasa apa yang Kang Ujang alami adalah hal yang sama untukku.

“Lagipula saya sama Yuichi sensei bukan pendekatan juga, Kang.” Aku akhirnya mencoba mengembalikan topik.

“Terus Teh?”

Aku menyenderkan leherku ke jok, "Adiknya Yuichi sensei adalah sahabat saya ketika bekerja di Korea dulu."

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Meragukan Cinta karena Takut Terluka    Bab 22

    "Teteh, ada yang ingin ibu bicarakan ke kamu."Badanku mendadak merinding mendengar perkataan ibuku. Sore ini aku memang mampir ke rumah ibuku sebelum kembali ke rumah kosan. Aku menyebutnya rumah kosan karena itu adalah rumah keluargaku yang dijadikan kosan.Aku yang duduk di kursi meja makan hanya memandang ibu, "Kenapa Bu?"Ibu yang baru saja pulang dari sekolah menghempaskan badan di kursi depanku. "Tadi pengacara keluarga Shireen ke kelas ibu."Deg! Kini aku tahu kemana pembicaraan ini mengarah. "Sebelumnya maafin ibu Teh, ibu gak tahu kalau kamu juga korban di kampus itu ... maafin ibu Teh."Aku paling benci momen seperti ini, karena otomatis ada air mata yang akan keluar. Mendadak aku bangkit dan membawa tas ku keluar dari rumah. "Teteh, mau kemana??"Aku tidak menjawab, hanya memundurkan motor dengan kasar. Tiba-tiba aku kehilangan kendali. Brak!Motor ku terjatuh begitu saja. Aku hanya memandangi motorku dengan tatapan kosong. Aku lalu jongkok dan meletakkan kepala di ba

  • Meragukan Cinta karena Takut Terluka    Bab 21

    “Teteh, kata Yuanita kamu lagi dekat dengan yang dulu mengajar Mumtaz di sekolah?” Aku yang tengah menggulir sosial media dalam ponsel menoleh, “Gurunya Mumtaz peserta pelatihan, Bu.” “Kang Rian lebih muda dibanding Teteh tahu bu.” Mumtaz tiba-tiba menyela. “Ya teruuus,” alih-alih malah aku yang menyahut. “Teteh pacaran sama Pak Rian?” “Teteh hanya kenal biasa. Gak usah ngadi-ngadi (mengada-ada) deh.” Malam itu aku sedang menginap di rumah ibuku. Mumtaz sedang memijat pundak ibu. “Tapi Kang Rian orangnya baik kan Taz? Ibadahnya bagus?” “Baik sih Bu, salatnya gak pernah ketinggalan sih … kayaknya mah …” “Kalau kamu sama dia, ibu dukung aja sih Teh ...” Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di balik perkataan ibuku. “Ibu sudah pasrahkan segalanya kepada Allah, kamu juga sudah dewasa hampir 30 tahun, ibu juga serahkan apapun pilihan jodohmu. Tapi ibu harap setidaknya jodohmu harus yang satu iman.” Aku lagi-lagi tidak menjawab. “Apa kamu masih belum bisa memaafka

  • Meragukan Cinta karena Takut Terluka    Bab 20

    Pagi ini aku mengantar adikku yang sedang pulang kampung dari kampusnya ke pameran kampus yang diadakan di SMA tempat aku belajar dulu. “Teh Faihah?”Aku seketika menoleh dan menyipit melihat seseorang yang rasanya tidak asing.“Oh A Rian?”A Rian menghampiriku dengan motornya, “Habis antar Mumtaz Teh?”Aku mengangguk, “Iya, A Rian?”“Habis antar ponakan Teh, dia katanya mau lihat-lihat kampus.”Aku mengangguk-angguk. Tiba-tiba sesuatu melintas dalam benakku, tapi aku ragu untuk mengatakannya.“Teh Faihah mau langsung balik?”Aku menggeleng, “A, mau lihat-lihat dalam juga gak? Saya penasaran soalnya mau lihat sekarang pamerannya seperti apa.”“Oh boleh. Parkir di luar aja Teh, di dalam sekolah biasanya susah buat keluar.”“Oke A.”Suasana sekolah ramai dengan anak-anak menggunakan baju bebas dan membawa tas. Di bagian lapangan terdapat beberapa kedai makanan sementara yang padat oleh pengunjung. Aku memandangi kelas-kelas yang ditempel oleh label kampus. “Teh Faihah pernah ke sini

  • Meragukan Cinta karena Takut Terluka    Bab 19

    “Miss Ningsih!” Aku sontak menoleh mendengar suara yang tidak asing.Hari ini sekolah tempat ibuku mengajar mengadakan sebuah open house untuk semua unit sekolah dari TK sampai SMA. Aku sedang membantu temanku semasa SMA menjaga stand makanan di open house tersebut. “Ooh, Kak Yuanita. Gak bareng sama Kak Sherin?”Aku nyaris saja mengumpat dan buru-buru duduk di belakang Tari, temanku sekaligus pemilik stand makanan, agar tidak terlihat. Padahal jelas-jelas dia lebih pendek dariku.Tari seketika menoleh, “Lu ngapain deh?” Aku tidak langsung menjawab. “Teteh? Faihah?”“Tuh, Mak lu manggil!”“Ini gue berkata kasar bisa gak sih.”Mau tidak mau aku bangkit dan keluar dari stand lalu menghampiri kedua orang itu.“Teh Faihah?”Aku tidak tahu harus menyapa seperti apa, syukurlah ibuku menyelanya.“Kamu kenal sama Yuanita, Teh?”“Iya Miss, aku sama Teh Faihah lagi bareng satu proyek.”“Oh, yang program pengajar bahasa Jepang itu?”“Iya Miss.”“Ya sudah kak, Miss tinggal dulu ya. Nanti kalau k

  • Meragukan Cinta karena Takut Terluka    Bab 18

    “Menurutmu bagaimana performa mengajar Pak Nandang?”Tanganku memegang kemudi dengan erat karena berpapasan dengan truk yang lumayan besar, membuatku tidak bisa langsung menjawab pertanyaan Kawata sensei. “Jika saya berada di posisi sebagai murid, penyampaiannya sudah cukup baik, sensei.”"Ah begitu." Suasana hening sejenak. "Aku dengar Nandang-san termasuk populer. Semua orang membicarakan tentangnya.""Saya tidak begitu tahu, Sensei. Namun, dari berkasnya saya rasa bukan orang yang main-main. Hanya beliau yang punya sertifikat JLPT N2, Sensei.""Benarkah? Tidak heran dia bisa masuk kelas Haruka. Dia awalnya akan dimasukkan ke dalam kelasku, tapi karena kemampuan bahasa Jepang dia sudah tinggi, kami putuskan dia akan masuk ke kelas Haruka."Aku berusaha keras mendengarkan perkataan Kawata sensei sembari menyetir. Ini bukan jalanan yang biasa aku lewati, dan banyak sawah di pinggir jalan kanan dan kiri. "Tapi sensei akan mempertimbangkan hasil wawancara dia tadi?""Hmmm ... aku belu

  • Meragukan Cinta karena Takut Terluka    Bab 17

    “Bu Faihah?”Lamunanku buyar. Padahal aku berharap yang memanggilku janitor, rupanya tidak sesuai harapan. Aku kembali menatap para guru di depanku.“Untuk apa yang terjadi di masa lalu itu adalah urusan Yuichi sensei.” Akhirnya aku mulai angkat bicara, “Yuichi sensei tidak akan menjadi pengajar jika tidak berkompeten, baik itu dari kinerja atau dari cara dia dalam mengelola emosi. Perusahaan cukup ketat dalam menyeleksi, apalagi ini menyangkut nama baik perusahaan juga.”Aku terdiam, bingung ingin melanjutkan dengan apa. “Mengenai keterangan Kang Ujang, memang benar saya mengenal Yuichi sensei sebelum proyek ini berlangsung. Yuichi sensei sebenarnya tidak semenakutkan yang ibu atau bapak pikirkan.” Tiba-tiba aku menatap Pak Peter, “Seperti Pak Peter lah, kelihatannya garang padahal hatinya hello kitty.”Pak Peter tiba-tiba tersipu dan menatap ke arah Pak Salim, “Pak Haji! Benarkan kata Teh Faihah, Saya itu badannya saja yang sangar, aslinya saya nih …” tangan Pak Peter mendadak berge

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status