Share

Bab 6

“Mbak yang perwakilan dari pelatihan pengajar bahasa Jepang PT Naruyama?” Aku yang tengah berada di kantor subag akademik menoleh, seorang pria paruh baya menghampiriku.

“Iya Pak, ada apa?”

“Ini tadi kata Pak Dekan suruh ambilin meja di gudang buat depan kelas. Saya kira yang ke sini laki-laki, tahu-tahu perempuan. Sebentar ya Mbak.”

Aku hanya mengangguk dan membiarkan bapak tersebut pergi. Beberapa menit kemudian aku menganga melihat meja yang diangkut.

Meja mahasiswa yang cukup untuk meja dua orang.

Aku buru-buru membantu bapak tersebut dan seorang janitor yang agak kesulitan membawa meja tersebut.

“Udah mbak, gak usah.”

Aku awalnya bingung untuk apa meja tersebut, kemudian aku menemukan jawabannya.

=========

Aku ingin menghela napas menghadapi tumpukan berkas. Hari ini adalah hari pertama pelatihan dengan agenda tes penempatan kemampuan mengajar dan bahasa Jepang. Tentu saja ada berkas yang harus dikumpulkan.

Aku menatap seorang ibu yang kutaksir usianya sekitar 30-an. Aku sebenarnya salah fokus melihat dandanannya yang cukup tebal. 

“Ibu, ini surat tugas dari Sekolahnya mana?”

“Aduh Teh, belum jadi dari TU nya Teh.”

Aku menghela napas, “Ya sudah, besok ya Bu jangan lupa.”

Tidak lama seorang bapak-bapak muncul. Entah kenapa perasaanku menjadi tidak enak melihat bapak ini.

Seperti … Aku tidak berpikir bahwa orang ini adalah orang baik. Aku menepis pikiran buruk tersebut.

“Pak, silabusnya kok belum ada?”

Aku menyadari bahwa bapak ini tidak menjawab pertanyaanku.

“Pak? Pak Agil?”

Guru di depanku menoleh dengan ogah-ogahan, “Belum selesai Teh. Paling nanti habis istirahat.”

Rasanya aku ingin menggeleng – geleng kepala. Bukankah dari pihak penyelenggara sudah meminta sekolah sejak seminggu yang lalu ya?

Di sisi lain aku nyaris ingin menganga melihat berkas-berkas yang aku terima. Orang ini selain punya sertifikat tes JLPT N2, isi silabusnya juga sangat rapi. Hal itu tanpa sadar membuatku mengangkat kepala. 

Seorang bapak-bapak guru muda yang terlihat sangat santun, membuatku merasa agak canggung. 

Aku memijat dahiku. Aku sendiri tidak begitu telaten dalam masalah administrasi. 

“Teh Faihah.” 

Aku menoleh, seorang perempuan yang menggunakan blazer dan pashmina menghampiriku. Dia adalah Yuanita, yang akan menjadi asisten pengajar.

“Nanti ambil makan siang untuk pengajar pukul 11 ya. Pukul 12 sudah harus ada di kampus.”

Aku hanya mengangguk, “Oke.” 

“Jangan sampai telat loh, Teh.”

Aku mengerutkan dahi saat gadis itu berbalik meninggalkanku begitu saja. Tapi tumpukan berkas menyadarkanku dari dunia lamunan. Berganti dengan dumelan.

Bisa-bisanya pemerintah masih menggunakan berkas hardcopy. Hadeh.

===

Aku buru-buru berjalan menuju mobil perusahaan yang terparkir di kampus. Jendela samping mobil turun, dan muncul wajah Kang Ujang. 

“Kang, aku duduk di depan atau tengah? Tengah aja yak?” 

“Depan aja, Teh.” 

“Oh, oke.” Aku lalu membuka pintu dan naik di sebelah supir. 

“Ambil makan siang di pabrik 'kan?” 

“Iya Kang.” 

Kang Ujang lalu mulai menjalankan mobilnya keluar dengan perlahan keluar dari kampus tersebut. 

“Kang, Seo sensei tuh semalam beneran mabuk?”

“Iya Teh, udah malah Seo sensei meracau terus. Kesel kali hari minggu mestinya bisa senang-senang tapi malah harus rapat.”

Aku hanya terkekeh karena sedikit paham apa yang dimaksud Kang Ujang.

“Terus pas besoknya kelihatannya seger banget Teh. Sampai saya heran, bisa-bisanya orang mabuk berat malamnya paginya masuk kerja. Gak kesiangan lagi!” 

“Hahahah, iya kang benar juga. Kayaknya orang-orang yang mengkonsumsi alkohol bisa gitu ya Kang?” 

“Mungkin karena tuntutan kerja Teh. Di Jepang sendiri kan etos kerjanya gila-gilaan.” 

“Aku gak tahu Kang kalau ada bar di dalamnya.”

“Pasti ada sih Teh.”

Suasana kembali hening. 

“Teteh kok bisa dekat sama Yuichi sensei? Lagi pendekatan Teh?”

“Pendekatan?” Aku menoleh ke arah Kang Ujang.

“Iya Teh, PDKT. Kemarin kok pas saya jemput, Teh Faihah bisa sama Yuichi sensei?”

“Yuichi sensei nelpon saya sore-sore. Baru banget pas saya bangun tidur. Minta dianterin buat belanja. Eh, tapi kenapa gak Kang Ujang yang anter aja ya?”

“Saya sudah nawarin Teh, Yuichi senseinya nolak. Oh iya, sebenarnya Teh Yuanita ngajak Yuichi sensei juga buat belanja. Tapi ditolak juga. Teh Yuanita sepertinya naksir sama Yuichi sensei kali ya. Yuichi sensei kan tinggi, ganteng.”

“Preman galak gitu dibilang ganteng!”

“Tetep ganteng Teh, cowok-cowok Jepang kan banyak yang kelihatan kawai (imut) gitu kan, Teh. Yuichi sensei tuh mirip-mirip anggota Exile Generation gitu. Cowok banget lah Teh. Saya bukan homo Teh, saya sudah punya istri sama anak soalnya.”

“Oh iya? Berapa tahun Kang? Anaknya?”

“Hampir 10 tahun Teh.”

Otakku berusaha mencerna perkataan Kang Ujang, “Hah? Kang Ujang nikah di umur 15 tahun??”

“Anak tiri itu Teh. Istri lebih tua tiga tahun. Saya sih aslinya baru nikah tahun kemarin, istri sekarang lagi hamil anak kedua.”

Aku melongo mendengar jawaban Kang Ujang, “Bisa gitu yah Kang.”

“Bisa Teh kalau udah sayang mah.” Kang Ujang tertawa kecil, “Padahal kata Mamah sama Bapak mendingan cari gadis dulu aja. Tapi kalau udah cocok mah yah mending lanjut aja.”

“Teh Faihah kalau misalnya cocok sama Yuichi sensei langsung nikah aja Teh.”

Aku nyaris tersedak mendengarnya, “Ya ampun kang, gampang banget bilangnya.”

“Tapi serius Teh, pengalaman saya, nikah tuh pasti ada rejekinya.” Kang Ujang mulai nyerocos, “Saya kan pas baru nikah sama istri pusing banget gara-gara sempat nganggur lama, uang hasil magang di Jepang habis buat obatin bapak, sama buat sehari-hari. Alhamdulillah, ada aja rejeki sampai saya bisa kerja di sini Teh.”

Aku memandangi pemandangan kawasan pabrik dari balik jendela. Entah kenapa, aku tidak merasa apa yang Kang Ujang alami adalah hal yang sama untukku.

“Lagipula saya sama Yuichi sensei bukan pendekatan juga, Kang.” Aku akhirnya mencoba mengembalikan topik.

“Terus Teh?”

Aku menyenderkan leherku ke jok, "Adiknya Yuichi sensei adalah sahabat saya ketika bekerja di Korea dulu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status