Share

Bab 7

“Nasi padaangg … yash … “ aku dengan antusias membuka bungkusan tersebut. 

Aku membeli nasi padang dengan menu rendang. Aku sudah lama ingin makan nasi padang, tapi karena alasan umur aku sudah mengurangi konsumsinya sejak lama. 

“Halo, boleh bergabung?” 

Aku dan Kang Ujang serentak menoleh, “Silahkan sensei!” Kawata sensei lalu duduk di sebelahku. 

“Faihah, kenapa menumu berbeda?” 

“Aku hanya diberi uang makan sensei, karena aku hanya bagian dari proyek ini,” jawabku.

“Oh, tapi aku ingin makanan seperti milikmu. Aku rindu makanan Indonesia.” 

Kawata sensei pernah tingal di Indonesia selama lima tahun untuk belajar bahasa Indonesia, dan sering mendapat murid bahasa Jepang dari Indonesia. 

“Yuichi sensei sedang bersama Yuanita, Sensei?” 

“Iya, Yuanita bilang ada beberapa hal yang ingin ditanyakan mengenai materi dan jadwal pengajaran, karena kedepannya kelas akan diadakan di sore hari. Aku tidak mau pusing-pusing karena sudah tua, jadi biarkan saja Haru yang masih muda untuk mengaturnya.” 

Suasana hening sejenak. 

“Aku juga sekalian ingin menguji apakah Haruka akan masih setia dengan Faihah ketika berhadapan dengan gadis cantik.” 

Mendadak nasi yang ku pegang dan nyaris mendarat ke dalam mulut berguguran begitu saja dari tanganku. Aku buru-buru merapihkan kembali makanan yang bercecer di atas bajuku dengan panik. 

Aduh, mana tanganku masih kotor pula. 

“Teh Faihah gak papa?” 

Aku menatap Kang Ujang dan bajuku yang terkena serpihan nasi padang bergantian. Tatapanku bercampur aduk antara nestapa, mau menangis, dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. 

Oh tidak, nasi padangku yang berharga ...

Bajuku yang malang … 

“Pakai tisu basah ini!” Kawata sensei tiba-tiba mengulurkan tisu basah.

Aku menerimanya dengan canggung, “Terimakasih sensei,” dan membersihkan baju itu. Nodanya lumayan menghilang. 

Tetap saja rasanya aku ingin menangis di pojokan. 

Woylah sensei, kenapa ujug-ujug jadi aing (kenapa tiba-tiba jadi aku).

Setelah membersihkan kekacauan yang tidak cukup bersih, aku kembali duduk dan memandangi nasi padang di depanku. Aku tidak tahu harus melakukan atau berkata apa. 

“Faihah, kamu tidak apa-apa?” 

Aku hanya menoleh dan menggeleng, “Tidak apa-apa sensei.” 

Tidaaaak! My nasi padang!!! 

Kawata sensei terdiam sebentar, “Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu kaget.” 

Aku buru-buru menggelengkan kepala, “Tidak apa-apa sensei.” 

“Tapi Faihah, apakah kamu berpacaran dengan Haruka?”

Aku buru-buru menggeleng, “Aku dan Yuichi sensei tidak berpacaran sensei.”

“Ah begitu.” Kawata sensei mengangguk. “Tapi kamu sudah pernah bertemu sebelumnya?”

“Sudah sensei, dia adalah kakak temanku waktu aku bekerja di Korea.”

Kawata sensei mengangguk, “Ah Sungkyu bukan?”

Mataku melebar, “Sensei kenal?”

“Aku sudah mengenal Haruka cukup lama. Dia dan Hiroki adalah muridku ketika mengambil pelatihan mengajar bahasa Jepang. Aku pernah bertemu dengan adiknya beberapa kali ketika sedang berlibur ke Jepang.”

“Jadi dia orang Korea atau Jepang sensei?”

“Ayahnya orang Jepang, ibunya orang Korea.”

Kang Ujang mengangguk, “Oh begitu sensei. Pantas, kata Teh Faihah dia ketemunya di Korea, iya bukan Teh?” Aku mengangguk.

“Haruka memang sering bulak-balik Jepang-Korea karena dia sendiri punya pekerjaan di sana” lanjut Kawata sensei.

Aku akhirnya selesai membersihkan nasi padang yang berceceran di baju.

“Jadi kamu juga bisa bahasa Korea Faihah?”

Aku nyengir, “Saya lebih lancar bahasa Korea dibanding Jepang, sensei. Makanya saya juga heran kenapa bisa diterima di proyek ini.”

Kawata sensei tertawa, “Tidak apa-apa. Berarti memang ini kesempatanmu.”

Lalu kami bertiga menghabiskan makanan masing-masing. Aku lalu bangkit untuk membuang sampah bungkus nasi padang. 

“Kamu sudah makan?”

Aku menoleh dan terlonjak kaget. Nyaris saja mulutku mengeluarkan ‘kata-kata mutiara’. 

“Bisa tidak kamu tidak berdiri di situ?”

Haruka tidak menjawab, “Bajumu kenapa?”

“Ketumpahan nasi padang.”

Aku tidak melihat ekspresi Haruka dan berjalan menghampiri meja.

Tiba-tiba aku melihat Yuanita yang berjalan menghampiri kami, “Kawata Sensei!”

Kawata sensei tersenyum ke arah Yuanita, “Oh, kenapa kamu lama sekali bicaranya dengan Haru. Kami sudah selesai makan.”

Yuanita terlihat kecewa tapi dengan ekspresi yang agak aneh, “Yah, padahal aku ingin makan bareng Kawata sensei, maaf ya sensei menunggu lama. Tadi Yuichi sensei lama sekali.”

“Tidak masalah. Kamu masih bisa makan bersama Haru.” Kawata sensei lalu menatapku, “Mau kembali ke kelas sekarang?”

Aku menghampiri Kawata sensei dan menghadap ke arah Haru dan Yuanita, “Sensei, Teh Yuanita, Kang Ujang, aku dan Kawata sensei ke kelas duluan.”

Aku dan Kawata sensei tengah berjalan menuju gedung, sedangkan Kang Ujang akan kembali ke pabrik karena ada bos yang harus dia antar.

“Kamu tidak apa – apa membiarkan Haru makan bersama dengan Yuanita?”

Aku terdiam sejenak dan menggeleng pelan, “Memangnya kenapa sensei? Yuichi sensei bisa duduk dengan siapa saja yang dia mau.”

Kawata sensei mengangguk, “Tapi Faihah, kamu tidak berencana untuk mencari pasangan dalam waktu dekat?”

Aku kembali menggeleng, “Belum sensei. Sepertinya tidak masalah juga kalau misalnya aku tidak menikah.”

Kami berdua akhirnya tiba di kelas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status