Aku mengehela napas di atas motor. Ini sudah rumah ketiga yang aku dan Haruka datangi. Tidak ada lagi rumah yang akan dikontrakan di dalam lingkungan rumah. Haruka lalu menghampiriku. Haruka menghampiriku dan mengerutkan dahi, “Kamu kenapa?” “Sekarang kamu mau ke mana lagi?” Haruka terdiam sejenak, “Kamu lelah?” Aku hanya mengangguk, “Aku ingin rebahan dan istirahat. Sudah malam juga." Haruka tiba-tiba tertawa, “Jangan terlalu sering rebahan, punggungmu bisa keropos nanti.” Suasana hening sejenak. “Kamu mau makan dulu sebelum antar aku pulang?” Aku mengerutkan dahi, “Tadi belum cukup?” “Kamu pikir itu makan sore? Kita hanya makan buah.” Aku hanya bisa mengangguk, “Benar sih.” “Ayo kamu makan di mana? Aku yang traktir.” Aku tersenyum lebar mendengar perkataan Haruka. === Tek! Dua piring nasi dengan lauk makanan laut tersaji di atas meja. "Kamu yakin bisa menghabiskannya?" "Aku yakin kamu bisa membantuku menghabiskannya, Fay." "Ish!" aku melotot sedangkan Haruka terkeke
“Faihah sensei.”Aku sontak menoleh ke arah suara dan mengangguk, “Eh iya Bu.”Aku lalu menoleh dengan canggung ke sekeliling akibat disapa secara tidak terduga oleh beberapa peserta pelatihan. Aku lalu menghampiri tukang minuman untuk membeli segelas teh hangat.“Bu saya duluan ya.”“Iya sensei.”Sebenarnya orang-orang yang aku panggil ibu kebanyakan dari mereka usianya sepantar atau hanya berbeda beberapa tahun saja. Bedanya mereka semua sudah menikah, dan aku rasa kebanyakan dari sudah punya anak, karena aku sering tanpa sengaja mendengar percakapan mereka.Cuma entah kenapa aku jadi merasa canggung ketika mengobrol dengan mereka walaupun hanya sekedar percakapan ringan. Rasanya seperti berinteraksi dengan orang dari berbeda dunia. Mungkin karena aku adalah orang yang aneh.“Sensei?”Kawata sensei yang sepertinya baru sampai dikelas menoleh, “Oh Fay, masuk!”Aku mengambil kursi meja dan duduk di depan Kawata sensei.“Kamu sendirian? Kemana yang lain?”“Mungkin belum sampai, sensei.”
“Sensei, di sini kosong?” Aku yang tengah makan siang yang terlambat sontak menoleh, dua perempuan yang aku kenali sebagai peserta kelas pengajar bahasa Jepang berdiri di depan meja yang aku tempati. “Eh … silahkan Teh!” keduanya lalu duduk di depanku. "Kok jam segini udah datang, Teh?" Jadwal kelas memang akan dimulai satu jam lagi alias pukul 3 sore. "Iya sensei, kebetulan saya sama Sarah gak ada jadwal ngajar habis zuhur, jadi mending nunggu di sini aja." Aku hanya mengangguk mendengar jawaban salah satu dari mereka. “Sensei namanya siapa?” tanya perempuan yang menggunakan hijab panjang sepertiku. “Faihah, teteh? Eh ngomong-ngomong aku panitia loh, bukan pengajar!” “Oh iya-iya Teh, hehe. Aku Siti.” “Aku Nurul.” “Oh iya Teh Siti, Teh Nurul. Salam kenal. Ngajar di sekolah mana?” Tanpa diduga percakapan kami mengalir cukup lancar, sampai sebuah suara menginterupsi kami. “Di sini kosong?” Kedua orang di depanku menoleh ke belakang punggungku, “Gak kang, akang gak boleh ja
“Fay, kamu lagi ada di rumah kosan?” “Iya, kenapa?” “Aku berada di depan rumah kosan. Tolong ke depan.” Aku buru-buru keluar sembari memegang mukena. Benar saja, Haruka tengah berdiri di depan pagar. “Kenapa?” Haruka menoleh, “Sini.” Aku berjalan menghampirinya hingga kami hanya terpisahkan oleh pagar. “Aku butuh bantuanmu, temani aku belanja.” Aku mengerutkan dahi, “Kamu mau masak?” Haruka mengangguk, “Aku ingin mengundang kalian dan para peserta pelatihan untuk makan di rumahku.” Aku mengerutkan dahi, “Kamu serius?” Haruka tidak langsung menjawab, “Aku belum begitu yakin, menurutmu bagaimana?” “Tujuh belas orang, belum termasuk aku dan kamu. Itu jumlah yang lumayan banyak. Kamu sanggup masak sendirian? Kalau pesan makanan jadi juga mengeluarkan biaya yang lumayan. Lagipula kenapa kamu ingin mengundang orang-orang makan di rumahmu? Ini tidak seperti dirimu yang biasanya.” Haruka menghela napas, “Hiroki hyung yang kerap memberiku saran seperti itu.” “Kamu tidak harus mengi
Aku reflek berjalan ke dapur untuk mengambil beberapa alat makan. Benar saja, Haruka berada di dapur. “Di mana alat makannya?” Aku meletakkan barang-barang yang aku dan Seo sensei beli di atas meja dapur.“Kamu membeli apa?” Tanpa diduga Haruka berdiri di sebelahku dan membuka bungkus yang aku beli. “Bungkusan dari Seo sensei untukmu.”Haruka tiba-tiba tertawa, “Ini kamu yang memilihnya?”Aku tidak langsung menjawab dan menatap Haruka.Wajah Haruka seketika mendadak kembali datar, “Kamu kenapa?” Aku kembali memandangi plastik lalu menggeleng, “Tidak apa-apa. Aku membantu Seo sensei memilih barangnya. Dimana alat makannya?”“Sensei!” Reflek aku menoleh, rupanya Yuanita muncul di balik tembok.“Ayo makan, semuanya sudah siap.”Haru reflek menghampiri Yuanita, “Nasinya sudah? Alat makan?”Aku berjalan mengikuti Haruka, rupanya semuanya sudah siap di atas meja makan. Lengkap termasuk dengan buah-buahan yang sepertinya dibeli oleh Kawata sensei. Aku duduk di antara Kawata sensei dan Uja
Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaan Kawata sensei lalu menggeleng, “Tidak sensei.”Mendadak aku merasa gugup ketika menyadari semua pandangan tertuju kepadaku, “Dari pengamatanku belum menunjukkan perilaku yang aneh.”“Semoga saja tidak.” Aku hanya menggangguk dan mengiyakan perkataan Kawata sensei.Sepanjang pembicaraan mereka aku terhanyut dengan pikiranku sendiri. Sebenarnya aku merasa aneh, kelas Haruka bisa dibilang ditujukan untuk para guru yang kemampuan bahasa Jepangnya sudah sangat baik. “Fay?”Sontak aku menoleh, “Kenapa sensei?”“Aku ingin pulang, kamu mau ikut? Atau tetap di sini?”Aku reflek membereskan perlengkapanku, “Saya ikut sensei.”Kawata sensei dan aku lalu bangkit dan pamit kepada orang-orang di ruangan.“Kamu tidak pulang Hiroki?” Kawata sensei bertanya.Seo sensei menggeleng, “Saya sepertinya ingin di sini lebih lama, sensei.”“Baiklah, aku dan Faihah pamit duluan ya.”“Baik sensei.”===== Aku membuka pagar ketika melihat sesosok tinggi yang berdiri di
“Mbak mau kemana?”Aku menoleh, seorang petugas keamanan hotel mendadak berdiri di belakangku.Tanganku teracung begitu saja ke pusat perbelanjaan yang tepat berada di samping hotel, “Ke sana gak bisa ya, Pak?”“Ya gak bisa Mbak, Kan ini buat parkir hotel.”Aku mengangguk dengan canggung, “Oh begitu ya Pak. Saya mau ke lobi hotel Pak, harus jemput bos saya.”Aku merasa kikuk ketika petugas itu memandangiku dengan tatapan menyelidik, “Benar nih, Mbak?”Aku buru-buru menunjukkan chat Seo sensei kepada petugas itu. Aku tidak tahu harus bereaksi apa ketika petugas itu kebingungan membaca chat Seo sensei yang seluruhnya menggunakan bahasa Jepang. “Ya sudah Mbak. Tapi bener ya?”“Iya Pak.” Saya lalu buru-buru berjalan seribu langkah sebelum urusan menjadi rumit. Seo sensei pagi ini mendadak menghubungiku karena Kang Ujang mendadak sakit. Jadi mau tidak mau aku harus menjemputnya di hotel. Aku tidak tahu kenapa harus menjemputnya di hotel, alih-alih di apartemennya.Aku celingak-celinguk me
Aku memandangi empat orang yang duduk membentuk formasi lingkaran. Selepas dari kantor dinas, kami kembali ke kampus. Seo sensei mengumpulkan semua pengajar dan panitia setelah kegiatan belajar selesai. “Tadi aku rapat bersama dengan pihak kampus, tadi ada juga pihak dari dinas.” Seo sensei mulai berbicara, “Untuk penilaian bulanan, aku memutuskan satu pengajar akan bertugas menilai di satu sekolah didampingi oleh satu asisten.” Aku kaget ketika Seo sensei mendadak memandangku, “Kawata sensei akan didampingi oleh Faihah, sedangkan Yuichi sensei akan didampingi oleh Yuanita. Kontak masing-masing penanggung jawab sekolah sudah ku serahkan kepada Faihah, sudah kamu kontak, Fay?” “Beberapa sensei, tapi kebanyakan dari mereka belum mengirim jadwal mengajar guru.” “Baik, tidak apa-apa.” Seo sensei melanjutkan, “Yuichi sensei dan Yuanita akan menilai murid-murid kelas Kawata sensei, Kawata sensei dan Faihah akan menilai murid kelas Yuichi sensei.” “Sesuai pengaturan, Faihah akan menjadi