Adalah Agus dan Toha, anggota The Freak Doors yang lain. Mereka sudah menunggu kami di atas dipan panjang yang berhimpit dengan tembok belakang pertokoan itu.
Aku melihat dengan bangga grafiti yang dibuat tepat di dinding yang dihimpit oleh dipan yang sedang mereka tumpu. Sebuah lambang tulisan yang tegas dan berani dengan sepasang sayap yang sedang membawanya terbang.
“Brader!!! Kemana aja lo?” tanya Agus sambil berdiri mendekat dengan telapak tangan kanan yang diangkat.
Tak lama, aku sambut telapak itu dan kami mulai memainkan gerakan-gerakan unik yang menjadi identitas kami, yang ditutup dengan gerakan saling meninju.
“Aseeemm!!... Sabar Bray, jaga emosinya dong,” keluh Agus yang merasakan kalau tonjokanku terlalu keras dari biasanya.
Aku lupa, kalau barusan masih membawa energi kekesalan dari bekas sekolah dan dari rumah ke dalam pukulan tadi.
“Sori kawan,” tutupku sambil menepuk pundaknya. Kemudian,
“Yooo my man!!” sapa sahabat yang tersisa. Dia juga mengangkat telapak tangan kanannya lalu mengajak mengulang gerakan tadi bersamanya.
“Yuppp!!” ucapku ketika melihat Toha menyengir lebar setelah menerima tinju yang,
“Kagak sakit kan?”
“Kagak lah. Agus aja tuh yang cemen.”
Aku dan Toha tertawa lepas.
“Woi!! Rame bener, kagak ngajak-ngajak gue lo ya!” potong Brian sambil melempar-lempar kunci motornya.
“Bray. Ini kunyuk udah pindah sekolah lagi!” imbuhnya.
“HAH??? Serius? Anjir… Banyak duit lo?” Agus menyambung kalimat Brian dengan melontarkan satu tinjunya ke pundak.
“Kampret!!” balasku sambil menggeram. Ku pukul-pukul orang yang baru saja menanyakan pertanyaan konyol itu.
“Wadaaaaw!!! Jiwa premannya keluar….”
“Maap..maap,” timpalku.
“Mau pindah kemana lagi lo? Emangnya, masih ada sekolah yang sanggup nampung elo, Man?” potong Toha sambil mengupil. Wajahnya terlihat begitu nyaman, hingga kedua matanya mengerjap-ngerjap menahan nikmat.
“Najis!! Jorok tau,” Brian menepuk punggul Toha hingga tubuhnya hampir tersungkur dalam duduknya.
“Anjiiirr….”
“Tau dah, liat nanti aja gue mah. Terserah bapak tiri gue mau nganterin gue kemana.”
“Bapak tiri… ayah!!” hardik Agus.
“Eh, emang kenyataannya begitu, kan?”
“Kualat entar lo!!” ancamnya.
“Man, Man… Sekolah udah enak, ceweknya cakep-cakep, malah keluar. Mau jadi apaan lo?”
“Mau jadi presiden!!” timpalku cepat.
Sontak semuanya terbahak-bahak mendengar lelucon itu.
“Bakal rusak ini bangsa kalo presidennya kayak elo.”
“Ya kali aja. Namanya nasib kan, kagak ada yang tau.”
“Yang namanya umur juga,” potong Agus yang tetiba membuat percakapan menjadi hening. Semua mata sontak saling berpandangan penuh ragu.
“Goblok!!” Satu kalimat diucap Brian sambil menjitak keras kepala sahabatnya itu hingga Agus menjerit kesakitan.
“Bikin horor aja lo. Bangsat!” tambahnya.
“Gamparin aja ni anak,” Toha mencoba mengambil bagian.
“HAJAAAR!!!!”
Aku tertawa santai melihat kekonyolan itu, dimana satu adegan reka ulang pengeroyokan terjadi di depan mata. Lalu, tanpa aku sadari sebelumnya, kedua bola mata ini tiba-tiba mencermati bungkusan plastik hitam yang ada di sudut dipan.
“Apaan tuh?” tanyaku sambil bergerak meraihnya.
Semua mata pun mendadak ikutan melirik.
“Barang gue,” jawab Toha.
“Aseeek… topi miring bukan?” tanya Brian sambil mendekat di samping.
Cepat-cepat ku buka simpul pengikatnya yang tidak terlalu rapat diikatkan.
Dan benar saja!!
Di dalamnya ada dua botol bir yang warnanya hitam legam, dengan satu kertas merknya yang tak asing, yang menempel di masing-masing perut botolnya.
“Bagi gue!!” sergap Brian yang tetiba meraih satu botol di depan, aku sampai terkejut.
“Awas pecah, Woy!!”
Satu botol yang tersisa segera ku raih. Dan dengan bibir yang tetiba melengkung gembira, ku acungkan botol itu tinggi-tinggi.
“Mantap nih!!, Tompel, elo sama gue!” perintahku ke sang empunya.
Toha tidak bisa berkutik apa-apa. Wajahnya langsung lesu.
Harapannya yang ingin menghabiskan satu botol saja minuman keras itu di markas bersama kami, lalu satu lagi dia nikmati sendiri di kamarnya, sekarang sudah raib.
“Salah sendiri, kenapa dibawa ke sini dua-duanya. Goblok dipelihara,” ketus batinku.
Segera ku hajar sisi tutup botolnya di tepi dipan hingga penutup sengnya terlepas. Sama halnya dengan Brian, yang melakukan hal yang sama. Lalu, saat Agus dan Toha masih menunggu-nunggu gilirannya, Aku dan Brian pun meneguk isi botol itu lebih dulu.
“Aaaaahh….. Enaknya,” ucap batinku.
Aku dan Toha kemudian saling berbagi isi botol yang sudah menjadi jatah kami, juga Brian dan Agus yang menikmatinya berdua.
Teguk demi teguk aku rasakan terus. Aliran cairannya di tenggorokan terasa begitu lezat.
“Ahhhh…..”
“Jangan diabisin sendirian, bray!!” tepuk Toha di samping. Dia lalu merampas botol yang masih menyisakan isinya yang tinggal seperlima itu dari tanganku.
“Jatah gue nih!!” umpatnya.
Aku pun harus merelakan sisa minuman itu untuk dihabiskan olehnya. Dan dalam rasa ringan yang semakin menjalar di sekujur tubuh, aku merasa kalau barusan, tanpa direncanakan, bibir ini mengumbar senyum yang riang sambil memanggil-manggil Brian yang masih berebutan minuman penghangat tubuhnya bersama Agus di sisi lain dipan.
“Jiaaahhh… Mabok lo?”
“Kagaakk,” kataku sambil tertawa kecil.
“Elo kali yang mabok,” kataku berbalik.
“Asem nih… Rokok ada nggak?” Tanya Agus yang menggerak-gerakan jari telunjuk dan tengahnya di depan mulutnya.
“Nih!!” Brian melempar satu bungkus rokok filter berwarna putih ke arahnya. Cepat-cepat Agus menangkapnya dengan tubuh yang bergoyang-goyang.
“Gue minta, Yan!”
“Ambil!!” sahutnya ke wajah Toha yang sudah lebih dulu menghampiri Agus. Mereka menarik batang rokok itu satu-satu.
Brian kemudian mengambil bungkusan itu, dan menarik satu isinya.
“Rokok?”
“Entar dulu, gue mau rebahan,” tolakku.
“Ok.”
Brian meraih korek gas yang diberikan Toha. Lalu dia menyalakan ujung rokoknya yang padat dengan daun-daun tembakau, kemudian mulai memainkan caranya untuk menikmati batang berlinting kertas putih itu.
Aku menghayatinya melalui kedua bola mata. Asap rokok yang dia keluarkan dari bibirnya yang dibentuk seperti kerucut, kemudian menyembul ke udara dengan bentuk yang bergerak-gerak seperti sebuah donat. Lalu bulatan asap itu seolah membesar dan akhirnya, memudar larut bersama udara.
Kulihat lagi dua sahabat yang lain. Mereka saling menumpu bahu lalu melakukan hal yang sama.
“Ah… indahnya persahabatan ini,” gumamku sambil melengkungkan senyuman kecil.
“Napa lo? ketawa-tawa sendirian?” hardik Brian yang ada di sebelah.
“Kagak…”
Tak lama, aku mulai merebahkan tubuh sambil menumpukan kepala di kedua lengan yang dilipat.
Ku lihat lagi bulatan-bulatan asap putih yang bergantian menyembul-nyembul ke angkasa. Bentuknya bulat dengan lubang ditengahnya.
Kadang ia bulat-bulat sempurna, kadang menonjol di satu sisinya, kadang sudah pecah terlebih dulu sebelum terbang di bawah langit-langit.
Pikiranku tetiba melayang bersama asap-asap yang terbang di atas pandangan itu.
Tak terasa, ternyata gumpalan-gumpalan putih itu, sudah menemani sejak tiga tahun yang lalu. Rasanya begitu tenang, ringan, dan juga begitu nyaman. Namun kusadari, semuanya terasa amat hampar, semua begitu semu.
“Ah… aku rindu rasa itu. Masihkah ada sisa untukku, Tuhan?” lenguh batin ini tiba-tiba.
Simak terus kelanjutannya ya. Jangan lupa subscribe, beri komentar, star dan gift terbaik kamu juga.
Dalam keheningan yang kami isi dengan canda gurau yang khas sebagai obrolan anak jalanan, dan sesekali sambil menyanyikan beberapa lagu usang secara acapela, dimana aku, beberapa kali berdecak kagum ke sisi Brian, sosok teman yang memiliki suara yang lebih normal dikala bernyanyi dibandingkan kami semua, aku merasakan, kalau diri ini, adalah aku yang sebenarnya.Tak ada gundah, terlebih bayang-bayang dari bekas sekolah.“Ah, lupakan!” pinta batinku sambil mendendang lagu lawas andalan kami."Eh, gue baru inget,” ucap Agus sambil segera bangkit dari duduk malasnya.Kami semua melirik ke arahnya.“Apaan?”“Ada tempat nongkrong yang baru buka. Tadi
Srrrrrrrrrrtt….Satu suara seret tiba-tiba muncul di samping kiri. Sontak langsung aku melirik ke arah itu melalui kaca spion yang ternyata,“Gila lo!!!” ucapku segera dengan agak terkekeh.Disana, Brian baru saja membuat satu baretan panjang di satu mobil yang terparkir di sisi jalur kami.Aku pun memainkan ekor mata hingga melirik ke semua sisi untuk memastikan kalau ulah sintingnya tidak diketahui oleh siapapun.“Turun!” tukasku cepat sambil memutar anak kuncinya.Brian pun lekas melompat dari duduknya dengan satu dorongan yang dia berikan ke punggung sampai,“BANGSAAAT!! Sakiit,” rintihku
Terlihat begitu senang ke arah mereka. Dan tak lama, Toha mengangkat tangannya ke meja kami..Aku baru mengetahui, kalau ternyata, untuk menghampiri mejaku ini, terpaksa Agus dan Toha harus melewati meja mereka.Semoga saja nanti semua berjalan dengan aman sentosa.Namun aku masih terus merasa cemas, kalau-kalau Agus dan Toha, atau bahkan mereka yang masih mencuri-curi tatap dengan kami, membuat kekacauan baru."Lihat saja kalau berani," gumamku.Aku menoleh ke sisi Brian yang ada di samping. Dia ternyata masih mengamati kemana dan bagaimana Agus dan Toha akan datang."Itu dua kunyuk udah tau belum ya?" tanyaku dengan wajah yang ditujukan ke dua sabahat yang lain.
Menjalar bersama derai angin yang menderu-deru di samping.Laju motor itu terus ku buat berlalu sejalan dengan garis putus-putus putih yang menghiasi bagian tengah aspal jalanan raya. Dan kubiarkan pula tubuh ini tersinari oleh lampu-lampu jalan yang seolah berlari mendekat lalu meninggalkan ke belakang.“Ah… Nikmatnya malam ini.” Bibirku mengukir senyum saat mengucapkan kalimat itu di dalam pikiran.“Bray… Pada mampus nggak tuh?” tanya bibir yang mendekati telinga.Aku tak menjawabnya, aku terus fokuskan dua bola mata ini untuk menatap rute yang sudah dimantapkan,“Pulang!” tegas batinku kemudian.Brian masih melekat di bahu kanan
Dengan sigap, ibu menangkap ayunan tangannya itu. “Sabar mas.” “Lama-lama aku lelah dengan dia bu. Ini adalah kesekian kalinya dia berurusan dengan pihak yang berwajib. Mungkin yang sebelum-sebelumnya hanya sebatas hansip atau penjaga sekolah, tapi kali ini…. Hebat benar kamu ya Man, sekarang sudah betul-betul naik level,” sindir ayah dalam keheningan. Ibu tidak menimpali kalimatnya kali ini. Termasuk dua sosok polisi yang mematung di hadapanku. "Bawa segera dia pak. Biar dia lekas belajar, bahwa menjadi manusia itu harus punya hati dan nurani. Harus bisa berguna. Minimal buat hidupnya sendiri." "Masss…." lirih ibu yang suaranya hampir terdengar menghilang. Wajahku terus terdiam sambil menunduk. Dan saat kertas panggilan itu ditarik oleh satu dari mereka, aku langsung mendongak. Ku perhatikan lagi dua wajah yang hadir dengan tegasnya itu. Sebenarnya aku ingin sekali melirik ke paras ibu yang terus menahan kesedihannya, tetapi h
Sebuah tangan menahan dan menarik pundakku hingga tersentak. “Mau kemana?” ucapnya dengan suara yang amat berat. Dan aku amat sangat mengenalinya. “Dia mau ke ruang tahanan sendiri, Bos. Sudah hapal kan?” tanya petugas yang telah selesai meletakkan laporannya di dalam rak berkas. Aku memasang wajah yang datar ke kedua muka itu. Kemudian, seperti biasa, seseorang yang dia panggil dengan sebutan bos tadi merangkulku dengan santainya. “Biar gua yang anter. Sekalian ada yang mau gua obrolin sedikit.” “Oh… Siap Bos,” responnya dengan wajah yang tetiba semringah. Petugas itu lalu melengos seperti tidak terjadi apa-apa, dan aku amat me
“Huuus… Jangan gaduh brader. Gua paling sebel kalo otak polos lu tau-tau muncul kayak barusan,” kesalnya ke arah lain, seolah dia tidak mendengar atau menangkap kesimpulanku tadi. “Mau pesan apa mas?” sapa ramah satu pelayan pria dengan kemeja putih lengan panjang bercelana hitam. Jari-jarinya yang halus sudah menggenggam erat pulpen yang ujungnya menekan di atas sebuah kertas nota kecil. Batang tinta itu pun sepertinya sudah siap untuk bergerak secepat kilat jika nanti bibir Brian atau bibirku mengucapkan kata atau kalimat pesanannya. Wajahnya nampak benar-benar terawat dengan baik. Tidak hanya bulu-bulu kumis dan jenggot tipisnya yang rapi, atau sapuan rambutnya yang benar-benar klimis manis. tetapi juga kulitnya yang begitu terlihat amat remaja. Bola matanya yang hitam mengkilap juga sesekali bermain ke arahku
“Yup!” jawabku dengan penuh kemantapan sambil menghisap lagi batang rokok itu, sampai-sampai baranya menyala terang dan berlari mendekati jepitan dua jariku.“Mau lu kasih peran kayak apa mereka?”“Bukan mereka. Tapi dia.”“Dia?” bingung Brian di samping. Aku yakin, kalau barusan, keningnya pasti mengernyit karena perkataanku tadi.“Iya, dia, Atau tepatnya, Agus.”“Agus?”Aku mengangguk dalam keremangan jalanan.“Iya. Gua udah punya peran yang tepat buat dia. Juga buat teman kita yang satu lagi.”Brian tak b