Home / Romansa / Mercusuar / Kebahagiaan Semu

Share

Kebahagiaan Semu

Author: Andrea Lee
last update Last Updated: 2021-04-23 13:00:59

Adalah Agus dan Toha, anggota The Freak Doors yang lain. Mereka sudah menunggu kami di atas dipan panjang yang berhimpit dengan tembok belakang pertokoan itu.

Aku melihat dengan bangga grafiti yang dibuat tepat di dinding yang dihimpit oleh dipan yang sedang mereka tumpu. Sebuah lambang tulisan yang tegas dan berani dengan sepasang sayap yang sedang membawanya terbang.

“Brader!!! Kemana aja lo?” tanya Agus sambil berdiri mendekat dengan telapak tangan kanan yang diangkat.

Tak lama, aku sambut telapak itu dan kami mulai memainkan gerakan-gerakan unik yang menjadi identitas kami, yang ditutup dengan gerakan saling meninju.

“Aseeemm!!... Sabar Bray, jaga emosinya dong,” keluh Agus yang merasakan kalau tonjokanku terlalu keras dari biasanya.

Aku lupa, kalau barusan masih membawa energi kekesalan dari bekas sekolah dan dari rumah ke dalam pukulan tadi.

“Sori kawan,” tutupku sambil menepuk pundaknya. Kemudian,

“Yooo my man!!” sapa sahabat yang tersisa. Dia juga mengangkat telapak tangan kanannya lalu mengajak mengulang gerakan tadi bersamanya.

“Yuppp!!” ucapku ketika melihat Toha menyengir lebar setelah menerima tinju yang,

“Kagak sakit kan?”

“Kagak lah. Agus aja tuh yang cemen.”

Aku dan Toha tertawa lepas.

“Woi!! Rame bener, kagak ngajak-ngajak gue lo ya!” potong Brian sambil melempar-lempar kunci motornya.

“Bray. Ini kunyuk udah pindah sekolah lagi!” imbuhnya.

“HAH??? Serius? Anjir… Banyak duit lo?” Agus menyambung kalimat Brian dengan melontarkan satu tinjunya ke pundak.

“Kampret!!” balasku sambil menggeram. Ku pukul-pukul orang yang baru saja menanyakan pertanyaan konyol itu.

“Wadaaaaw!!! Jiwa premannya keluar….”

“Maap..maap,” timpalku.

“Mau pindah kemana lagi lo? Emangnya, masih ada sekolah yang sanggup nampung elo, Man?” potong Toha sambil mengupil. Wajahnya terlihat begitu nyaman, hingga kedua matanya mengerjap-ngerjap menahan nikmat.

“Najis!! Jorok tau,” Brian menepuk punggul Toha hingga tubuhnya hampir tersungkur dalam duduknya.

“Anjiiirr….”

“Tau dah, liat nanti aja gue mah. Terserah bapak tiri gue mau nganterin gue kemana.”

“Bapak tiri… ayah!!” hardik Agus.

“Eh, emang kenyataannya begitu, kan?”

“Kualat entar lo!!” ancamnya.

“Man, Man… Sekolah udah enak, ceweknya cakep-cakep, malah keluar. Mau jadi apaan lo?”

“Mau jadi presiden!!” timpalku cepat.

Sontak semuanya terbahak-bahak mendengar lelucon itu.

“Bakal rusak ini bangsa kalo presidennya kayak elo.”

“Ya kali aja. Namanya nasib kan, kagak ada yang tau.”

“Yang namanya umur juga,” potong Agus yang tetiba membuat percakapan menjadi hening. Semua mata sontak saling berpandangan penuh ragu.

“Goblok!!” Satu kalimat diucap Brian sambil menjitak keras kepala sahabatnya itu hingga Agus menjerit kesakitan.

“Bikin horor aja lo. Bangsat!” tambahnya.

“Gamparin aja ni anak,” Toha mencoba mengambil bagian.

“HAJAAAR!!!!”

Aku tertawa santai melihat kekonyolan itu, dimana satu adegan reka ulang pengeroyokan terjadi di depan mata. Lalu, tanpa aku sadari sebelumnya, kedua bola mata ini tiba-tiba mencermati bungkusan plastik hitam yang ada di sudut dipan.

“Apaan tuh?” tanyaku sambil bergerak meraihnya.

Semua mata pun mendadak ikutan melirik.

“Barang gue,” jawab Toha.

“Aseeek… topi miring bukan?” tanya Brian sambil mendekat di samping.

Cepat-cepat ku buka simpul pengikatnya yang tidak terlalu rapat diikatkan.

Dan benar saja!!

Di dalamnya ada dua botol bir yang warnanya hitam legam, dengan satu kertas merknya yang tak asing, yang menempel di masing-masing perut botolnya.

“Bagi gue!!” sergap Brian yang tetiba meraih satu botol di depan, aku sampai terkejut.

“Awas pecah, Woy!!”

Satu botol yang tersisa segera ku raih. Dan dengan bibir yang tetiba melengkung gembira, ku acungkan botol itu tinggi-tinggi.

“Mantap nih!!, Tompel, elo sama gue!” perintahku ke sang empunya.

Toha tidak bisa berkutik apa-apa. Wajahnya langsung lesu.

Harapannya yang ingin menghabiskan satu botol saja minuman keras itu di markas bersama kami, lalu satu lagi dia nikmati sendiri di kamarnya, sekarang sudah raib.

“Salah sendiri, kenapa dibawa ke sini dua-duanya. Goblok dipelihara,” ketus batinku.

Segera ku hajar sisi tutup botolnya di tepi dipan hingga penutup sengnya terlepas. Sama halnya dengan Brian, yang melakukan hal yang sama. Lalu, saat Agus dan Toha masih menunggu-nunggu gilirannya, Aku dan Brian pun meneguk isi botol itu lebih dulu.

“Aaaaahh….. Enaknya,” ucap batinku.

Aku dan Toha kemudian saling berbagi isi botol yang sudah menjadi jatah kami, juga Brian dan Agus yang menikmatinya berdua.

Teguk demi teguk aku rasakan terus. Aliran cairannya di tenggorokan terasa begitu lezat.

“Ahhhh…..”

“Jangan diabisin sendirian, bray!!” tepuk Toha di samping. Dia lalu merampas botol yang masih menyisakan isinya yang tinggal seperlima itu dari tanganku.

“Jatah gue nih!!” umpatnya.

Aku pun harus merelakan sisa minuman itu untuk dihabiskan olehnya. Dan dalam rasa ringan yang semakin menjalar di sekujur tubuh, aku merasa kalau barusan, tanpa direncanakan, bibir ini mengumbar senyum yang riang sambil memanggil-manggil Brian yang masih berebutan minuman penghangat tubuhnya bersama Agus di sisi lain dipan.

“Jiaaahhh… Mabok lo?”

“Kagaakk,” kataku sambil tertawa kecil.

“Elo kali yang mabok,” kataku berbalik.

“Asem nih… Rokok ada nggak?” Tanya Agus yang menggerak-gerakan jari telunjuk dan tengahnya di depan mulutnya.

“Nih!!” Brian melempar satu bungkus rokok filter berwarna putih ke arahnya. Cepat-cepat Agus menangkapnya dengan tubuh yang bergoyang-goyang.

“Gue minta, Yan!”

“Ambil!!” sahutnya ke wajah Toha yang sudah lebih dulu menghampiri Agus. Mereka menarik batang rokok itu satu-satu.

Brian kemudian mengambil bungkusan itu, dan menarik satu isinya.

“Rokok?”

“Entar dulu, gue mau rebahan,” tolakku.

“Ok.”

Brian meraih korek gas yang diberikan Toha. Lalu dia menyalakan ujung rokoknya yang padat dengan daun-daun tembakau, kemudian mulai memainkan caranya untuk menikmati batang berlinting kertas putih itu.

Aku menghayatinya melalui kedua bola mata. Asap rokok yang dia keluarkan dari bibirnya yang dibentuk seperti kerucut, kemudian menyembul ke udara dengan bentuk yang bergerak-gerak seperti sebuah donat. Lalu bulatan asap itu seolah membesar dan akhirnya, memudar larut bersama udara.

Kulihat lagi dua sahabat yang lain. Mereka saling menumpu bahu lalu melakukan hal yang sama.

“Ah… indahnya persahabatan ini,” gumamku sambil melengkungkan senyuman kecil.

“Napa lo? ketawa-tawa sendirian?” hardik Brian yang ada di sebelah.

“Kagak…”

Tak lama, aku mulai merebahkan tubuh sambil menumpukan kepala di kedua lengan yang dilipat.

Ku lihat lagi bulatan-bulatan asap putih yang bergantian menyembul-nyembul ke angkasa. Bentuknya bulat dengan lubang ditengahnya.

Kadang ia bulat-bulat sempurna, kadang menonjol di satu sisinya, kadang sudah pecah terlebih dulu sebelum terbang di bawah langit-langit.

Pikiranku tetiba melayang bersama asap-asap yang terbang di atas pandangan itu.

Tak terasa, ternyata gumpalan-gumpalan putih itu, sudah menemani sejak tiga tahun yang lalu. Rasanya begitu tenang, ringan, dan juga begitu nyaman. Namun kusadari, semuanya terasa amat hampar, semua begitu semu.

“Ah… aku rindu rasa itu. Masihkah ada sisa untukku, Tuhan?” lenguh batin ini tiba-tiba.

Simak terus kelanjutannya ya. Jangan lupa subscribe, beri komentar, star dan gift terbaik kamu juga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mercusuar   Pelayan Bodoh

    “HAHAHAHAHA,” tawa Denise yang terbahak-bahak sempurna."NGGAK BECUS LO!" timpalku.Diana menunduk malu. Di kelamnya suasana kolong meja, aku tahu dia barusan melepas isaknya. Tapi kesedihan itu malah membuat rasa bahagiaku makin bergejolak.Di antara tawa-tawa kami, ia terus merapikan wadah-wadah kotor, juga membersihkan ceceran minuman dan remah-remah yang ditumpahkan Denise ke lantai.PRAANG!"Uppps! Sorry."Piring kue yang Denise pesan tetiba ikutan jatuh. Isinya tumpah ke punggung Diana dan mengotori pakaian putihnya.Aku tahu kalau barusan adalah ulahnya yang betul-betul disengaja, dan kegaduhan itu pun menambah bumbu keceriaan canda kami.Kami kian tertawa lepas.Beberapa orang pengunjung pun sampai memerhatikan ulah kami yang begitu seru. Tapi tak ada yang menghiraukannya.Gadis pelayan itu makin merunduk dalam kikuk. Lalu tanpa banyak bicara, semua kotoran yang bertambah banyak itu dia ambil satu-persatu dan diletakkan ke atas nampan.Saat Diana berjongkok untuk mengambil pec

  • Mercusuar   Gadis Pelayan

    Jo tertawa lepas di depanku. Begitu pula dengan Frans. Aku pun demikian.Entah seperti apa rasanya. Tonggak yang sedang tegang-tegangnya di grasah-grusuh tanpa arah. Rasanya pasti seperti ingin patah."Aduh, aduh.. udah, Sayang. Sakit!""Ngaku! Kamu sudah main sama Anisa kan?""NGGAAAK! Ya Tuhan.""Nggak usah bawa-bawa Tuhan!"Tetiba Brian memeluk Denise dengan erat. Lalu kepalanya dibenamkan ke dalam belahan dada Denise yang montok."AAAAUUW!" jerit Denise keras-keras. Sampai-sampai suaranya itu memanggil perhatian orang lain yang ada di cafe itu. Tapi mereka kemudian tidak menghiraukannya.Dengan sekuat tenaga Denise mendorong kepala Brian agar bisa menjauh darinya. Tapi usahanya itu hanya membuahkan hasil yang sia-sia.Semakin dia mendorongnya, Brian kian mendekap lebih erat."LEPASIN!.. .AUUWCH… LEPAS! BRIANH… BRIAAAN!!""Mmmm.. Akuh mau dekap kamu terus, Sayang.""LEPASSSH!" dorong gadis itu lebih kuat sampai akhirnya Brian pun menyerah."Mmmuu–""Jaga nih mulut! Nyosor mulu!" k

  • Mercusuar   Anisa

    Makan malam di meja makan tetap hening seperti biasanya. Semua yang hadir pun sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.Ayah dengan lembaran korannya, yang sesekali diganggu oleh ibu dengan bujukan lauk juga gosip sepanjang hari ini. Sedang aku, sibuk mengurusi butiran nasi yang sepertinya tidak ada habis-habis."Tadi Ayah ke sekolah," ujar ayah memulai topik yang lain.Seketika perhatian Ibu berpindah. Ia pun kemudian memerhatikanku sesaat, terlebih-lebih Ayah."Kamu tahu, kenapa Ayah harus ke sekolahmu?""Apa apa lagi, Man? Apa ada, Yah?" bingung Ibu."Coba jelaskan!"Aku diam dalam kesantaian dan kesibukanku sendiri."Maan…"Perlahan telapak tangan ibu bergerak dan menyentuh punggung tangan kiriku. Aku terhenyak saat menikmati kehangatannya.Tapi kasih sayang itu segera aku tepis. Kutarik tanganku untuk menjauh darinya."Kamu punya urusan apa lagi? Kamu nggak kasihan sama Ayahmu? Sama Ibu?" ucap Ibu penuh iba.Tak lama Ayah menarik napasnya dalam-dalam. Lalu dia banting dengan begi

  • Mercusuar   Gadis Itu, Diana

    Pagi itu adalah hari keempat sejak kuberikan peringatan ke gadis Bazar Sosial. Gadis yang tanpa disangka-sangka bisa kubuat ingin menangis kencang di kantin namun tertahan oleh rasa malunya. Sejak hardikan itu, dia tidak berani muncul mencariku. Terlebih-lebih aku. Untuk apa mencarinya? Siapa yang peduli?Namun tanpa kuduga, panggilan dari Pak Kepala Sekolah terjadi lagi.Saat pelajaran Sejarah tengah berlangsung dalam keheningan, satu penjaga sekolah memanggil namaku dari sisi pintu kelas."Lukman! Cepat pergi! Jangan kamu buang-buang waktu pelajaran saya!" ketus ibu guru.Perlahan kubangkit dan berjalan santai ke depan kelas.Sang Guru Cantik itu menatap dengan penuh lekat. Aku pun sesekali menangkap sorotan matanya itu. Tapi aku biarkan saja. Sepertinya dia sudah tahu apa telah terjadi kemarin, dan mungkin, apa yang akan terjadi di ruang Kepala Sekolah nanti, juga yang nanti setelahnya.Apa karena dia memiliki jaringan di sekolah ini sehingga semua informasinya pasti dia ikuti? A

  • Mercusuar   Jebakan Batman

    Carlitta tersenyum dengan bibir tipisnya yang begitu seksi.Aku sampai terhenyak ke dalam pesonanya itu. Bibir yang begitu mengkilap dengan warna merah muda yang membuat birahiku beriak-riak.Ditambah lagi liuk pinggulnya yang begitu elok membentuk."Alamak. Kenapa ini tante sekarang jadi enak dipandang ya?" decak batinku.“Tidak perlu,” jawabnya.“Jangan gitu. Gua harus bisa berterima kasih.”Wanita itu pun terkekeh kecil.“Jangan sok gaya. Mana ada sih cowok begundal yang benar-benar romantis dan tulus?”“Hahahahaha.”“Atau, karena kamu baru menang taruhan?” lanjutnya yang sedikit nakal. Satu kelopak matanya berkedip genit di hadapanku.“Mungkin. Gimana? Mau kan?"“Hmmm…” Carlitta berpikir sejenak seolah itu adalah pilihan yang amat sulit. Lalu bibirnya berucap kembali.“Ok. Rejeki tidak boleh ditolak. Pamali.”“Kamu mau apa?” tanyaku sambil meremas-remas jemarinya yang begitu halus.“Duitnya kan cuma sepuluh juta. Jangan sok kaya deh.”“Segitu juga duit. Kalo buat beli lontong–”“H

  • Mercusuar   Permainan Biliar

    Segera kutarik resleting tas dan kutinggalkan buku tulis, buku paket Sosiologi dan pulpen di atas meja. Toh besok aku masih bertemu dengan mereka lagi, jadi untuk apa harus repot-repot dibawa pulang?“Mas, bukunya!”“Biarin, Pak!” jawabku sambil meninggalkannya sendirian di kelas.Sore itu aku ingin mampir ke basecamp, namun setelah mendapat kabar kalau dua dari tiga temanku sedang pergi keluar kota, terpaksa aku harus mencari agenda yang lain.Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala. Mataku pun sampai berbinar-binar dibuatnya."Cafe!" Lirihku kemudian.Tanpa banyak pertimbangan, segera kumainkan tuas gas motor ke cafe tempat anak-anak biasa bermain biliar."Kopi satu, Mbak!" pintaku ke pelayannya, lalu aku berjalan menyusuri meja-meja biliar yang hening.Kulihat ada satu meja yang sedang seru dikerubungi pengunjung. Aku pun langsung ke sana."Ikutan main dong?" ucapku memotong permainan mereka. Kulihat semua wajah gembiranya berubah segan untuk menyambut. "Oke, Bro?" sambungku lagi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status