Memandang pohon yang ada di hadapanku, yang lingkar batangnya sudah besar jauh melebihi lingkar pinggang.
Bibir ini pun entah mengapa tersenyum kecil ke arahnya. Ku pikir, hanya dialah saksi bisu yang sangat mengerti sejak ia dibiarkan tumbuh di atas tanah itu.
Setelah membuang napas yang lelah, aku segera menegak. Dan mencoba berjalan penuh santai ke arah pagar garasi rumah, kemudian membuka bagiannya yang sudah ayah buka lebih dulu.
“Assalamualaikum,” salam dari bibir ini ketika melangkahkan kaki kanan lebih dulu.
Aku benar-benar menyadari apa yang dilakukan barusan. Itu adalah salah satu buah pengajaran ibu yang disampaikan berulang-ulang, bahkan sejak aku masih tinggal di rumah yang dulu.
“Ah, rumah itu, bagaimana keadaannya ya?” gumamku tiba-tiba.
Aku kadang memikirkan nasibnya. Apakah masih menyimpan semua kenangannya?
“Ahh!” tepisku saat satu kenangan buruk muncul di dalam kepala.
Cepat-cepat aku kaburkan sosok yang terlihat mengamuk dan akan menamparkan telapak tangannya itu. Dengan cepat pula, aku lerai ikatan tali sepatu yang terlihat agak kotor sisi bawah karetnya.
“Wa’alaikumsalam,” sahut satu suara yang begitu merdunya terdengar. Ibu.
Aku lalu melewati gawangan pintu ruang tamu yang sudah dibuka lebar oleh orang yang sebelumnya, entah oleh ayah, atau mungkin oleh ibu.
“Man, gimana sekolahmu, nak?” tanya sosok yang sudah duduk di kursi panjang ruang tamu. “Sini, ibu mau bicara,” ajaknya.
Aku menatapnya sejenak. Lalu, dengan langkah terpaksa dan dengan malasnya, ku hampiri sosok itu.
“Tadi kenapa?”
Aku diam, namun melempar kedua bola matanya ke wajah itu. Ibu terlihat begitu sabar dalam raut-raut letihnya.
“Kenapa?” tanyanya lagi.
Aku menarik dua bola mata itu untuk ditujukan ke sisi rumah yang lain.
“Man? ibu lagi bicara sama kamu. Tadi kenapa?”
“Ibu nanya, apa mencari pengakuan?”
“Loh???” kaget ibu sambil menarik dagunya hingga wajahnya pun menegak.
“Sudah ah, Lukman capek,” ketusku sambil segera bangkit dan melengos ke kamar.
“Man?”
Aku tahu, pasti barusan ibu berdiri, dan memanggil dengan raut yang kesal. Tapi sudahlah, aku tidak memedulikan semua.
Ku buka pintu kamar, lalu ku tutup pintu itu dengan melemparkan tuas penguncinya hingga pintu itu terdengar terbanting. Kemudian tas sekolah itu, ku buang ke arah yang setidaknya di situ ada kursi belajar.
Aku tidak memikirkan kemana dia terbang dan mendarat. Entah di kursi, di sandaran kursi, di meja belajar, atau di lantai. Biarlah. Peduli amat.
Lalu, dengan napas yang ditarik panjang, aku hempaskan tubuh yang lelah hingga tumpuan kasur itu bergerak-gerak naik dan turun.
Kepala ini akhirnya diganjal oleh lengan-lengan yang kulipat, lalu lama kelamaan kedua kelopak matanya memejam pelan-pelan.
Ku atur napas lagi hingga iramanya lebih terpola dan mengalun nyaman.
Dalam rebahan itu, telinga ini mendengar, kalau barusan, ibu memanggil-manggil namaku berkali-kali dari balik daun pintu. Sesekali panggilan itu dijeda dengan suara ketukan yang terdengar cepat dan agak keras.
Tapi tetap saja, aku tidak memedulikannya.
“Biarkan!!” pinta batinku.
Lalu, ku turuti suara hati itu. Aku pun melanjutkan diri ini agar terbenam dalam naik dan turunnya gerak dada yang mendayu-dayu. Hingga tak lama, tanpa disadari dan ditahui, semua pemikiran ini kian mengalir tanpa aku kendalikan sama sekali.
Sampai akhirnya, dengan tiba-tiba kedua mataku mencelik.
“Hhhhhh!!!”
Ternyata jendela kamar sudah terlihat gelap dan hening.
Aku segera bangun.
Dengan kepala yang masih terasa sedikit pening, aku langkahkan kaki-kaki hingga tiba di dapur.
“Asharmu kelewat lagi,” ucap ibu datar.
Aku melirik ke arahnya, tetapi aku abaikan teguran itu. Segera ku ambil handuk, dan lekas ku segarkan tubuh yang sangat terasa lengket ini.
“Ibu masak ayam. Solat magrib dulu sana,” katanya saat aku membuka pintu kamar mandi sembari mengusap-usap rambut yang masih basah.
“Ya.”
Kemudian, aku melihat ayah yang sedang membuka satu halaman baru koran paginya. Tak lama, dia menatap dengan amarah yang masih tersisa. Ibu juga menangkapnya. Tapi aku abaikan tatapan itu. Handuk basah ini lebih penting untuk diuraikan di besi jemuran.
Sesudahnya, ku segera mengikuti perintah ibu tanpa suara tanggapan apapun. Dan setelah selesai menunaikan salat Maghrib, aku pun keluar kamar dengan mengenakan kaos abu-abu, jaket jeans dan celana gunung yang lebih wangi.
“Mau kemana?” Ayah memotong gerakku barusan.
“Sini!” tambahnya.
Aku mendongak sedikit ke arah ibu yang sedang duduk di hadapannya. Mereka berdua sedang mencoba menikmati hidangan makan malam yang gerakannya seperti sengaja diperlambat agar aku bisa ikut bersama mereka.
Dengan terpaksa, aku melangkah mendekati mereka.
“Duduk, Man!” ibu memanggil setelah sendoknya ia letakkan, lalu ia melempar pandangannya ke ayah sebentar.
Aku melihat kalau ayah barusan menangkap tatapan ibu itu. Dalam gerak meliriknya, aku seraya membaca kalau ayah barusan mengucapkan, "anak kita, bantu aku."
"Hhhhh," jengkelnya dalam hati.
Ku tarik kursi yang ada di antara mereka. Sepertinya mereka sudah mengaturnya dengan cermat agar aku bisa dengan terpaksa duduk di kursi itu.
"Coba ceritakan kejadian di sekolah tadi siang. Ibumu ingin dengar!” ucap ayah tegas.
Bibirku diam. Ku tatap pintu kulkas yang ada tepat di ujung pandangan yang lurus.
"Lukman…" Telapak tangan ibu menyentuh lembut punggung tangan kanan. Kemudian, semua jemarinya meremas jari-jari itu dengan kehangatan.
"Kenapa?" tanya ibu sambil memajukan wajahnya.
Aku masih diam.
"Lukm--"
"AAHH!!" tukasku cepat sembari berdiri.
Ku hempas jari-jari tangan ibu yang menggenggam tadi.
"Sok ngatur!!"
Cepat-cepat ku berbalik dan bergerak ke pintu ruang tamu.
Dalam jalan yang dibuat lebih seperti berlari, aku mengetahui kalau ayah, barusan ikut berdiri dengan kesalnya, lalu ibu menahan kemarahannya itu.
"Lukman!!!" panggil ibu lantang saat aku sudah menghilang di balik jendela teras.
Lekas-lekas ku percepat langkah dan keluar dari gerbang rumah. Lalu aku berlari ke ujung jalan.
"WOI!! Lama bener. Gue udah tungguin dari dari. Elo kemana sih? Gue telepon kagak nyambung-nyambung?" tegur satu pemuda yang tak lain adalah teman nongkrong dan teman berbagi kesusahan.
"Sorry bray. Ketiduran gue, hp gue lowbat… Nih liat, tepar kan," dalihku sambil mengeluarkan gawai yang layarnya hitam tanpa mau dinyalakan dari tombolnya.
"Hayolah buruan. Udah ditunggu temen-temen geng di basecamp," ajaknya dari kursi pengendara motornya.
Aku segera melompat ke kursi di belakangnya. Kemudian, tanpa ada aba-aba satu pun, Brian segera memutar tuas gasnya hingga tubuhku sedikit terpelanting ke belakang.
"Bangsat lo!" hardik bibir ini sambil segera menangkap pinggangnya.
Brian tertawa lepas di dalam perjalanan yang mulai aku dan dia tempuh.
Sejenak, kira-kira tiga puluh menit lebih, ku biarkan tubuh ini dibawa oleh kenikmatan duniawi yang sahabatku hadirkan itu.
"Yan, gue bakal pindah sekolah."
"Lagi?"
"Yoi," ucapku saat turun dari tempat duduk.
"Gila lo!, Sekolah pindah-pindah mulu, udah kayak sensus."
"Haha, Biasalah, anak pinterkan begini, ikut program Moving Class. Sekolahnya nggak monoton kayak elo."
"Njirrr… Moving Class. DO mah DO aja, bray."
"Hahahahahaha.. Bego lo," tawaku lepas.
"Lah...dia yang DO, gue yang dikatain bego."
Aku terkekeh lagi sambil terus berjalan meninggalkan Brian yang masih sibuk memarkirkan motornya.
"Halo my man," sapaku ke dua orang yang sudah hadir di belakang gedung pusat perbelanjaan. Mereka,
Simak terus kelanjutannya ya. Jangan lupa subscribe, beri komentar, star dan gift terbaik kamu juga.
Adalah Agus dan Toha, anggota The Freak Doors yang lain. Mereka sudah menunggu kami di atas dipan panjang yang berhimpit dengan tembok belakang pertokoan itu.Aku melihat dengan bangga grafiti yang dibuat tepat di dinding yang dihimpit oleh dipan yang sedang mereka tumpu. Sebuah lambang tulisan yang tegas dan berani dengan sepasang sayap yang sedang membawanya terbang.“Brader!!! Kemana aja lo?” tanya Agus sambil berdiri mendekat dengan telapak tangan kanan yang diangkat.Tak lama, aku sambut telapak itu dan kami mulai memainkan gerakan-gerakan unik yang menjadi identitas kami, yang ditutup dengan gerakan saling meninju.“Aseeemm!!... Sabar Bray, jaga emosinya dong,” keluh Agus yang merasakan kalau tonjokanku terlalu keras dari biasanya.
Dalam keheningan yang kami isi dengan canda gurau yang khas sebagai obrolan anak jalanan, dan sesekali sambil menyanyikan beberapa lagu usang secara acapela, dimana aku, beberapa kali berdecak kagum ke sisi Brian, sosok teman yang memiliki suara yang lebih normal dikala bernyanyi dibandingkan kami semua, aku merasakan, kalau diri ini, adalah aku yang sebenarnya.Tak ada gundah, terlebih bayang-bayang dari bekas sekolah.“Ah, lupakan!” pinta batinku sambil mendendang lagu lawas andalan kami."Eh, gue baru inget,” ucap Agus sambil segera bangkit dari duduk malasnya.Kami semua melirik ke arahnya.“Apaan?”“Ada tempat nongkrong yang baru buka. Tadi
Srrrrrrrrrrtt….Satu suara seret tiba-tiba muncul di samping kiri. Sontak langsung aku melirik ke arah itu melalui kaca spion yang ternyata,“Gila lo!!!” ucapku segera dengan agak terkekeh.Disana, Brian baru saja membuat satu baretan panjang di satu mobil yang terparkir di sisi jalur kami.Aku pun memainkan ekor mata hingga melirik ke semua sisi untuk memastikan kalau ulah sintingnya tidak diketahui oleh siapapun.“Turun!” tukasku cepat sambil memutar anak kuncinya.Brian pun lekas melompat dari duduknya dengan satu dorongan yang dia berikan ke punggung sampai,“BANGSAAAT!! Sakiit,” rintihku
Terlihat begitu senang ke arah mereka. Dan tak lama, Toha mengangkat tangannya ke meja kami..Aku baru mengetahui, kalau ternyata, untuk menghampiri mejaku ini, terpaksa Agus dan Toha harus melewati meja mereka.Semoga saja nanti semua berjalan dengan aman sentosa.Namun aku masih terus merasa cemas, kalau-kalau Agus dan Toha, atau bahkan mereka yang masih mencuri-curi tatap dengan kami, membuat kekacauan baru."Lihat saja kalau berani," gumamku.Aku menoleh ke sisi Brian yang ada di samping. Dia ternyata masih mengamati kemana dan bagaimana Agus dan Toha akan datang."Itu dua kunyuk udah tau belum ya?" tanyaku dengan wajah yang ditujukan ke dua sabahat yang lain.
Menjalar bersama derai angin yang menderu-deru di samping.Laju motor itu terus ku buat berlalu sejalan dengan garis putus-putus putih yang menghiasi bagian tengah aspal jalanan raya. Dan kubiarkan pula tubuh ini tersinari oleh lampu-lampu jalan yang seolah berlari mendekat lalu meninggalkan ke belakang.“Ah… Nikmatnya malam ini.” Bibirku mengukir senyum saat mengucapkan kalimat itu di dalam pikiran.“Bray… Pada mampus nggak tuh?” tanya bibir yang mendekati telinga.Aku tak menjawabnya, aku terus fokuskan dua bola mata ini untuk menatap rute yang sudah dimantapkan,“Pulang!” tegas batinku kemudian.Brian masih melekat di bahu kanan
Dengan sigap, ibu menangkap ayunan tangannya itu. “Sabar mas.” “Lama-lama aku lelah dengan dia bu. Ini adalah kesekian kalinya dia berurusan dengan pihak yang berwajib. Mungkin yang sebelum-sebelumnya hanya sebatas hansip atau penjaga sekolah, tapi kali ini…. Hebat benar kamu ya Man, sekarang sudah betul-betul naik level,” sindir ayah dalam keheningan. Ibu tidak menimpali kalimatnya kali ini. Termasuk dua sosok polisi yang mematung di hadapanku. "Bawa segera dia pak. Biar dia lekas belajar, bahwa menjadi manusia itu harus punya hati dan nurani. Harus bisa berguna. Minimal buat hidupnya sendiri." "Masss…." lirih ibu yang suaranya hampir terdengar menghilang. Wajahku terus terdiam sambil menunduk. Dan saat kertas panggilan itu ditarik oleh satu dari mereka, aku langsung mendongak. Ku perhatikan lagi dua wajah yang hadir dengan tegasnya itu. Sebenarnya aku ingin sekali melirik ke paras ibu yang terus menahan kesedihannya, tetapi h
Sebuah tangan menahan dan menarik pundakku hingga tersentak. “Mau kemana?” ucapnya dengan suara yang amat berat. Dan aku amat sangat mengenalinya. “Dia mau ke ruang tahanan sendiri, Bos. Sudah hapal kan?” tanya petugas yang telah selesai meletakkan laporannya di dalam rak berkas. Aku memasang wajah yang datar ke kedua muka itu. Kemudian, seperti biasa, seseorang yang dia panggil dengan sebutan bos tadi merangkulku dengan santainya. “Biar gua yang anter. Sekalian ada yang mau gua obrolin sedikit.” “Oh… Siap Bos,” responnya dengan wajah yang tetiba semringah. Petugas itu lalu melengos seperti tidak terjadi apa-apa, dan aku amat me
“Huuus… Jangan gaduh brader. Gua paling sebel kalo otak polos lu tau-tau muncul kayak barusan,” kesalnya ke arah lain, seolah dia tidak mendengar atau menangkap kesimpulanku tadi. “Mau pesan apa mas?” sapa ramah satu pelayan pria dengan kemeja putih lengan panjang bercelana hitam. Jari-jarinya yang halus sudah menggenggam erat pulpen yang ujungnya menekan di atas sebuah kertas nota kecil. Batang tinta itu pun sepertinya sudah siap untuk bergerak secepat kilat jika nanti bibir Brian atau bibirku mengucapkan kata atau kalimat pesanannya. Wajahnya nampak benar-benar terawat dengan baik. Tidak hanya bulu-bulu kumis dan jenggot tipisnya yang rapi, atau sapuan rambutnya yang benar-benar klimis manis. tetapi juga kulitnya yang begitu terlihat amat remaja. Bola matanya yang hitam mengkilap juga sesekali bermain ke arahku