Restoran itu berdiri di atas bukit kecil di sisi timur Melbourne, tersembunyi di balik pagar tanaman yang dirawat rapi dan dinding batu kapur putih bergaya Mediterania. Tempat itu hanya buka untuk tamu pilihan, dan hanya menerima reservasi dari orang-orang dengan nama belakang yang bisa membuat pintu terbuka tanpa diketuk.
Kayra tidak menyangka dia akan kembali bertemu pria itu begitu cepat. Tapi pesan singkat datang tadi pagi: “Makan malam. Tempat yang tidak ada kamera. Aku ingin kamu duduk di depanku tanpa rasa curiga.” – V.” Tak ada permintaan. Hanya pernyataan. Seolah dia tahu Kayra akan datang. Dan anehnya… ia memang datang. Mobil hitam yang mengantarnya berhenti tepat di depan pintu masuk. Seorang pelayan berseragam abu-abu dengan sarung tangan putih membungkuk saat membuka pintu. “Selamat datang, Nona Leone. Tuan Moretti telah menunggu.” Kayra berjalan masuk melewati lorong marmer, diiringi nyala lilin gantung dan aroma anggur tua. Di ujung ruangan, Valen sudah duduk. Kali ini tanpa jas. Hanya kemeja hitam yang digulung di lengan, memperlihatkan otot-otot bisepnya yang kuat dan tato samar di salah satu pergelangan tangan. Ia menatap langsung. Tegak. Intens. Dan diam. Kayra tidak bicara saat menarik kursi dan duduk. Hanya memberi senyum tipis. “Dua kali makan malam hanya untuk tahu siapa aku?” sindirnya. Valen menyilangkan tangannya di depan dada. “Tidak. Kali ini, aku ingin tahu apa yang membuatmu begitu… berbahaya.” “Lagi-lagi soal itu?” Kayra mengangkat alis. “Lihat, aku bukan bagian dari kartel. Bukan agen rahasia. Aku tidak punya rekam jejak membunuh. Kalau kamu masih penasaran, mungkin karena kamu yang takut tak bisa mengendalikan aku.” Valen tersenyum kecil, senyum yang tidak pernah mencapai mata. “Kamu tidak perlu berada dalam sistem untuk menjadi ancaman, Kayra. Kamu berbahaya karena kamu… tak bisa ditebak.” Valen mendekat sedikit, tubuhnya bersandar ke kursi. “Dan aku terbiasa mengendalikan segalanya. Termasuk orang.” Kayra meneguk air putih pelan. “Lalu bagaimana kalau ada satu orang yang tidak bisa kamu kontrol?” Valen membalas cepat. “Aku akan mendekatinya. Bukan untuk menaklukkan. Tapi untuk tahu, apakah aku bisa bertahan… jika dia tetap bebas di sampingku.” Keduanya saling tatap. Lalu diam. Tapi bukan diam yang canggung. Ini adalah diam yang mendidih. Seperti dua binatang buas yang saling ukur kekuatan sebelum menerkam. Pelayan datang membawa menu. Tapi Valen hanya berkata, “Buatkan hidangan yang tidak akan ia lupa malam ini.” Lalu menatap Kayra lagi. “Aku ingin malam ini jadi sesuatu yang akan terus kamu ingat. Bukan karena makanannya. Tapi karena kita.” Kayra mendengus. “Kau terlalu percaya diri.” “Kamu belum lihat saat aku benar-benar serius.” Makan malam dimulai dengan hidangan laut segar, tiramis dengan saus lemon rosemary, diikuti daging panggang yang dimasak sempurna. Tapi tak satu pun dari mereka benar-benar memedulikan apa yang mereka makan. Percakapan mereka adalah hidangan utamanya. “Kamu pernah membunuh?” tanya Valen tiba-tiba. Kayra tak langsung menjawab. Ia meletakkan garpunya pelan, lalu menghapus sudut bibirnya dengan tisu. “Aku hampir. Tapi kubatalkan. Karena satu hal.” “Apa?” “Karena setelah itu aku tak akan bisa tidur tanpa bayangan wajahnya menghantui.” Valen menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. “Aku punya lebih dari seratus wajah yang menghantuiku tiap malam. Tapi tak satu pun membuatku menyesal.” “Berarti kamu kehilangan sisi manusia.” Valen menggeleng pelan. “Atau mungkin… aku hanya terlalu lama hidup di tempat di mana jadi manusia artinya jadi lemah.” Kayra menatapnya dalam. Ada luka di balik setiap kalimatnya. Luka yang tidak diperlihatkan dengan darah, tapi dengan dinginnya logika. “Dan sekarang kamu lelah?” tanyanya perlahan. Valen mengangguk nyaris tak terlihat. “Sampai kamu datang. Kamu mematahkan sesuatu dalam diriku. Dan anehnya… aku ingin kamu lanjutkan.” Kayra menghela napas. Suasana berubah. Dari permainan kekuasaan menjadi sesuatu yang lebih sunyi. Lebih telanjang. Valen menyentuh gelasnya, lalu menatap Kayra lurus-lurus. “Kamu kerja untuk siapa?” “Tidak ada. Aku bekerja untuk siapa pun yang membayarku tidak pakai darah.” “Kamu tahu aku siapa?” “Bukan nama. Tapi dari caramu bicara, caramu duduk, dan cara orang-orang di sekitarmu memperlakukanmu… kamu bukan orang biasa.” Valen tersenyum. “Jadi kamu datang ke sini tahu bahwa aku berbahaya?” Kayra menjawab lirih, tapi tajam. “Justru karena itu aku datang.” Sunyi lagi. Tapi bukan kehampaan. Ini seperti dua api yang nyaris bersentuhan. Uapnya naik ke udara. Keduanya masih duduk. Tapi atmosfer terasa seperti mereka sedang bertarung dalam pikiran. Hingga Valen berkata, “Berlatih denganku. Besok. Sparring. Aku ingin tahu bagaimana rasanya berada di bawah kekuatanmu.” Kayra mendongak. “Dan kalau aku menang?” Valen menatapnya, bibirnya membentuk senyum penuh arti. “Maka kamu boleh lakukan apa pun padaku.” Kayra tertawa tipis. “Berani sekali. Tapi aku peringatkan, aku tak pernah main lembut.” Valen berdiri perlahan. “Justru itu yang membuatmu… menarik.” Ia meraih tangan Kayra dan mencium punggung tangannya perlahan. Bibirnya nyaris tak menyentuh kulit. Tapi napasnya, hangat, berat, meninggalkan kesan seperti bara di ujung jari Kayra. Tanpa berkata lagi, ia pergi lebih dulu. Meninggalkan Kayra duduk di kursi, jantungnya berdetak tak beraturan. Dia tidak tahu siapa yang sedang memainkan permainan ini. Tapi satu hal jelas: pria itu tidak main-main. Dan Kayra tahu… dirinya juga tidak pernah tahu caranya bermain setengah hati. Malam itu, saat Kayra membuka pintu apartemennya, di lantai depan pintunya ada kotak kayu kecil dengan pita hitam. Ia menunduk, membukanya perlahan. Isinya: sarung tangan MMA kulit hitam premium dan secarik kertas. “Untuk tangan yang memukul seindah gerakan angin. Sampai besok. – V.” Kayra menggenggam sarung tangan itu pelan. Matanya membakar. Permainan baru saja dimulai. ***Malam turun perlahan di vila tepi pantai milik Valen Moretti. Angin laut membawa bau asin dan suara ombak yang menghantam lembut bibir pasir. Di dalam, cahaya lampu kuning menggantung hangat di ruang tamu berlangit tinggi, memantulkan siluet tubuh dua manusia yang tak lagi saling menyembunyikan ketertarikan mereka.Kayra duduk di lantai, bersandar di kaki sofa, mengenakan oversized shirt milik Valen yang kebesaran di bahunya. Rambutnya masih basah karena mandi, dan matanya sibuk menelusuri berkas-berkas tua yang tergeletak di meja rendah: peta, catatan tangan, dan beberapa foto yang lusuh.Valen berdiri tak jauh, memandangi perempuan itu. Bukan dengan nafsu, kali ini. Tapi sesuatu yang lebih dalam. Seperti menatap mata pedang setelah bertahun-tahun terjebak dalam perang.“Semua orang ingin jadi kuat,” kata Valen pelan, akhirnya bicara.Kayra menoleh. “Tapi tidak semua orang tahu caranya.”Valen mengangguk, melangkah pelan, lalu duduk di belakang Kayra, membiarkan punggung perempuan it
Cahaya malam masuk dari jendela kaca sempit di bagian atas ruang latihan bawah tanah. Sisa-sisa latihan hari itu masih terasa di udara, keringat, logam, dan jejak adrenalin yang menggantung.Valen berdiri membelakangi Kayra, membersihkan salah satu pistol kesayangannya dengan tangan tanpa sarung. Kaosnya menempel basah di punggung, memperlihatkan garis-garis otot yang seperti diukir dari batu. Kayra berdiri di seberang ruangan, memutar pisau kecil di tangannya, senjata lipat ringan yang tadi ia ambil hanya untuk main-main.“Malam ini sepi sekali,” ucap Kayra sambil melangkah pelan ke arahnya. “Aku pikir markas mafia biasanya sibuk. Penuh suara teriakan, langkah kaki tergesa, atau orang berdarah yang menyeret diri ke ruangan ini.”Valen tak menoleh. “Malam ini aku matikan semuanya.”“Kenapa?”“Karena aku tahu kamu akan datang.”Kayra berhenti hanya beberapa langkah di belakangnya. “Jadi kamu menungguku?”“Aku tidak pernah menunggu siapa pun. Tapi kamu… membuatku mau melakukannya.”Vale
Gudang senjata Valen tidak seperti tempat penyimpanan ilegal biasa. Ini lebih seperti museum kekuasaan, tertata rapi, simetris, penuh dengan koleksi senjata dari berbagai benua, dari pisau belati hingga sniper buatan tangan. Lampu sorot lembut memantulkan kilau baja dan krom. Semua tertutup kaca pelindung, terkunci dengan sistem biometrik.Tapi pagi ini, untuk pertama kalinya, kunci itu dibuka untuk seseorang selain Valen.Untuk Kayra.“Ini tempat yang menarik untuk ajakan kencan,” gumam Kayra, melangkah masuk dengan tangan di saku jaket kulitnya.Valen, berdiri di tengah ruangan, menyerahkan pistol ke tangan perempuan itu. “Ini bukan kencan. Ini tes kepercayaan.”Kayra menerima pistol itu tanpa ragu, memeriksanya secepat tentara.“Glock 19 Gen 5. Modifikasi custom. Kamu tahu aku lebih suka tangan kosong, ‘kan?” Ucap Kayra. Valen mendekat. “Kalau kamu harus pilih antara menyentuh kulitku atau memegang senjata, kamu pilih yang mana?”Kayra memutar bola mata. “Pertanyaan konyol.”Tapi
Gudang itu sunyi pagi-pagi buta. Cahaya matahari masih tertahan oleh jendela-jendela kaca besar yang tertutup tirai hitam. Di tengahnya, lantai kayu mengilap menghampar luas, dikelilingi oleh rak senjata, punching bag, dan dinding cermin panjang. Tempat ini bukan sekadar ruang latihan.Tempat ini adalah arena. Dan Valen Moretti telah mempersiapkan medan tempurnya dengan sangat pribadi.Pintu besi bergeser otomatis. Kayra masuk mengenakan setelan training hitam-hitam, legging dan sport bra yang memperlihatkan perut kotaknya yang sempurna. Rambutnya dikepang ke belakang. Tatapannya dingin, fokus. Tapi napasnya… sudah mulai panas bahkan sebelum mereka bertarung.Valen berdiri di tengah arena. Tanpa jas, hanya celana latihan dan kaus tipis yang membentuk lekuk otot punggung dan dadanya dengan jelas. Ia terlihat seperti petarung sejati, meskipun tubuhnya lebih sering memerintah daripada bertempur.“Mengira aku akan terlambat?” tanya Kayra, menyibak rambutnya ke bahu.Valen menyeringai keci
Restoran itu berdiri di atas bukit kecil di sisi timur Melbourne, tersembunyi di balik pagar tanaman yang dirawat rapi dan dinding batu kapur putih bergaya Mediterania. Tempat itu hanya buka untuk tamu pilihan, dan hanya menerima reservasi dari orang-orang dengan nama belakang yang bisa membuat pintu terbuka tanpa diketuk.Kayra tidak menyangka dia akan kembali bertemu pria itu begitu cepat. Tapi pesan singkat datang tadi pagi:“Makan malam. Tempat yang tidak ada kamera. Aku ingin kamu duduk di depanku tanpa rasa curiga.” – V.”Tak ada permintaan. Hanya pernyataan. Seolah dia tahu Kayra akan datang.Dan anehnya… ia memang datang.Mobil hitam yang mengantarnya berhenti tepat di depan pintu masuk. Seorang pelayan berseragam abu-abu dengan sarung tangan putih membungkuk saat membuka pintu.“Selamat datang, Nona Leone. Tuan Moretti telah menunggu.”Kayra berjalan masuk melewati lorong marmer, diiringi nyala lilin gantung dan aroma anggur tua. Di ujung ruangan, Valen sudah duduk. Kali ini
Matahari Melbourne naik lambat ke balik kaca jendela apartemen Kayra, memantulkan siluet tubuhnya yang berdiri di depan cermin. Kaus hitam tanpa lengan menempel di tubuhnya yang berkeringat. Gerakan pukulannya cepat, teratur. Ia sedang latihan shadow boxing, sebuah rutinitas pagi yang tak pernah ia tinggalkan. Tangannya berhenti ketika suara notifikasi ponsel bergetar di meja. [Pesan Masuk: Nomor Tidak Dikenal] “Kau yang memukul seperti petarung. Dinner malam ini, pukul 8. Jangan tolak. Aku tidak suka mengulang undangan dua kali.” – V. [Location] Alis Kayra terangkat. Ponselnya langsung ia kunci kembali. Ah, ini orangnya. Jadi dia mencariku, pikirnya. Dan dia berhasil. Kayra tidak bertanya bagaimana pria itu mendapatkan nomornya. Orang seperti dia… pasti punya jalan. Tapi yang membuat Kayra lebih terusik bukan pada fakta bahwa pria itu mengundangnya makan malam. Melainkan pada kenyataan bahwa ia tidak langsung menolak. Sore harinya, langit mulai gelap saat Kayra berdiri di de