Share

Bab 6

Penulis: Lalaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-21 13:58:41

Cahaya malam masuk dari jendela kaca sempit di bagian atas ruang latihan bawah tanah. Sisa-sisa latihan hari itu masih terasa di udara, keringat, logam, dan jejak adrenalin yang menggantung.

Valen berdiri membelakangi Kayra, membersihkan salah satu pistol kesayangannya dengan tangan tanpa sarung. Kaosnya menempel basah di punggung, memperlihatkan garis-garis otot yang seperti diukir dari batu. Kayra berdiri di seberang ruangan, memutar pisau kecil di tangannya, senjata lipat ringan yang tadi ia ambil hanya untuk main-main.

“Malam ini sepi sekali,” ucap Kayra sambil melangkah pelan ke arahnya. “Aku pikir markas mafia biasanya sibuk. Penuh suara teriakan, langkah kaki tergesa, atau orang berdarah yang menyeret diri ke ruangan ini.”

Valen tak menoleh. “Malam ini aku matikan semuanya.”

“Kenapa?”

“Karena aku tahu kamu akan datang.”

Kayra berhenti hanya beberapa langkah di belakangnya. “Jadi kamu menungguku?”

“Aku tidak pernah menunggu siapa pun. Tapi kamu… membuatku mau melakukannya.”

Valen meletakkan pistol di atas meja baja, lalu membalikkan tubuh.

Dan tatapan mereka bertemu.

Kayra menjatuhkan pisau kecil ke meja, lalu menyandarkan pinggulnya ke pinggiran meja besi. “Kamu ingin aku datang untuk latihan? Atau sesuatu yang lebih kotor?”

Valen mendekat, perlahan. “Kamu yang memutuskan. Tapi kalau kamu datang ke ruang senjataku, pakai celana ketat dan tatapan seperti itu…”

Kayra tersenyum miring. “Aku tahu efekku. Tapi aku juga ingin tahu… apa yang terjadi kalau aku benar-benar menyentuhmu.”

Mereka sekarang hanya berjarak satu helaan napas. Suasana mendidih. Tidak ada musik, tidak ada suara. Hanya suara napas yang mulai meninggi dan detak jantung yang menggila.

Valen mengangkat tangan untuk menyentuh pipinya. Tapi Kayra menggenggam pergelangan tangan pria itu, keras.

“Kalau kamu masih hidup setelah ini,” bisik Kayra, suaranya dalam, lembut, dan menggoda, “baru kamu boleh menyentuhku.”

Valen menatap matanya. “Itu ancaman?”

“Itu undangan.”

Dan saat itu, pertarungan dimulai lagi. Tapi kali ini bukan dengan senjata.

***

Kayra mendorong Valen ke dinding, mencengkeram kaosnya dan menariknya hingga robek di bagian dada. Tangannya menelusuri kulit hangat di bawahnya, menyentuh luka lama, dan merasakan tubuh pria itu menegang di bawah sentuhannya.

Valen membalas, menarik Kayra ke pelukannya, membalikkan posisi hingga punggung Kayra menabrak dinding. Mereka mencium dengan liar, lidah bertemu dalam tarikan kasar dan penuh rasa lapar. Kayra menggigit bibir Valen. Valen membalas dengan mengangkat tubuh Kayra dan meletakkannya ke atas meja baja, membuat senjata dan alat-alat latihan berjatuhan ke lantai.

“Liar sekali kamu,” desah Valen, napasnya memburu di leher Kayra.

“Kamu suka itu, kan?” Balas Kayra, tangannya merobek kaus Valen sepenuhnya, lalu menarik dirinya ke depan dan membungkus pinggang Valen dengan kakinya.

Valen menjatuhkan tubuhnya ke tubuh Kayra, menciumi tulang selangkanya, tangannya menelusup ke bawah sport bra, menemukan lekuk lembut yang selama ini hanya bisa dia bayangkan saat mereka latihan.

“Say something,” bisik Valen.

Kayra menatapnya, matanya gelap dan liar. “Masih hidup?”

Valen terkekeh rendah. “Kehidupan macam ini belum pernah kurasakan.”

Ia mencium Kayra lagi, dan kali ini mereka tidak saling melawan.

Mereka menyatu. Di atas meja baja. Di antara senjata. Dengan tubuh yang saling menghajar dalam dentuman kulit dan napas dan gerakan liar. Goresan kukunya meluncur di punggung Valen. Tangan Valen mencengkeram pangkal paha Kayra, menariknya lebih dalam.

Mereka bercinta seperti dua binatang yang tahu: ini bukan tentang cinta. Tapi tentang kebutuhan. Tentang pengakuan kekuasaan. Tentang rasa ingin memiliki tanpa batas.

Dan ketika mereka mencapai puncaknya, tubuh mereka seperti terbakar bersama. Keringat, desah, nama yang keluar dari bibir dalam erangan yang menggetarkan.

***

Beberapa menit setelah itu, mereka terbaring di lantai, napas masih belum stabil.

Valen memutar wajah ke samping, menatap Kayra. “Aku tidak tahu bercinta bisa terasa seperti bertarung.”

Kayra tersenyum, rambutnya berantakan, pipinya merah, tubuhnya basah oleh peluh dan cinta liar.

“Dan aku tidak tahu… bertarung bisa terasa seperti jatuh.”

Valen mengangkat tangan, menyentuh pipi Kayra lembut kali ini. “Kalau kamu menyakitiku lagi, aku tidak akan menolak.”

Kayra membalas sentuhan itu dengan mencium pergelangan tangan Valen.

“Tapi kalau aku mulai menyayangimu… kamu harus bersiap untuk lebih dari sekadar luka.”

Valen menatap matanya, lama. Dan untuk pertama kalinya, tatapan lelaki itu, yang biasanya dingin, tajam, kejam, terlihat bergetar.

Dan ia tahu.

Dia sudah mulai jatuh.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Milik Sang Bayangan   Bab 7

    Malam turun perlahan di vila tepi pantai milik Valen Moretti. Angin laut membawa bau asin dan suara ombak yang menghantam lembut bibir pasir. Di dalam, cahaya lampu kuning menggantung hangat di ruang tamu berlangit tinggi, memantulkan siluet tubuh dua manusia yang tak lagi saling menyembunyikan ketertarikan mereka.Kayra duduk di lantai, bersandar di kaki sofa, mengenakan oversized shirt milik Valen yang kebesaran di bahunya. Rambutnya masih basah karena mandi, dan matanya sibuk menelusuri berkas-berkas tua yang tergeletak di meja rendah: peta, catatan tangan, dan beberapa foto yang lusuh.Valen berdiri tak jauh, memandangi perempuan itu. Bukan dengan nafsu, kali ini. Tapi sesuatu yang lebih dalam. Seperti menatap mata pedang setelah bertahun-tahun terjebak dalam perang.“Semua orang ingin jadi kuat,” kata Valen pelan, akhirnya bicara.Kayra menoleh. “Tapi tidak semua orang tahu caranya.”Valen mengangguk, melangkah pelan, lalu duduk di belakang Kayra, membiarkan punggung perempuan it

  • Milik Sang Bayangan   Bab 6

    Cahaya malam masuk dari jendela kaca sempit di bagian atas ruang latihan bawah tanah. Sisa-sisa latihan hari itu masih terasa di udara, keringat, logam, dan jejak adrenalin yang menggantung.Valen berdiri membelakangi Kayra, membersihkan salah satu pistol kesayangannya dengan tangan tanpa sarung. Kaosnya menempel basah di punggung, memperlihatkan garis-garis otot yang seperti diukir dari batu. Kayra berdiri di seberang ruangan, memutar pisau kecil di tangannya, senjata lipat ringan yang tadi ia ambil hanya untuk main-main.“Malam ini sepi sekali,” ucap Kayra sambil melangkah pelan ke arahnya. “Aku pikir markas mafia biasanya sibuk. Penuh suara teriakan, langkah kaki tergesa, atau orang berdarah yang menyeret diri ke ruangan ini.”Valen tak menoleh. “Malam ini aku matikan semuanya.”“Kenapa?”“Karena aku tahu kamu akan datang.”Kayra berhenti hanya beberapa langkah di belakangnya. “Jadi kamu menungguku?”“Aku tidak pernah menunggu siapa pun. Tapi kamu… membuatku mau melakukannya.”Vale

  • Milik Sang Bayangan   Bab 5

    Gudang senjata Valen tidak seperti tempat penyimpanan ilegal biasa. Ini lebih seperti museum kekuasaan, tertata rapi, simetris, penuh dengan koleksi senjata dari berbagai benua, dari pisau belati hingga sniper buatan tangan. Lampu sorot lembut memantulkan kilau baja dan krom. Semua tertutup kaca pelindung, terkunci dengan sistem biometrik.Tapi pagi ini, untuk pertama kalinya, kunci itu dibuka untuk seseorang selain Valen.Untuk Kayra.“Ini tempat yang menarik untuk ajakan kencan,” gumam Kayra, melangkah masuk dengan tangan di saku jaket kulitnya.Valen, berdiri di tengah ruangan, menyerahkan pistol ke tangan perempuan itu. “Ini bukan kencan. Ini tes kepercayaan.”Kayra menerima pistol itu tanpa ragu, memeriksanya secepat tentara.“Glock 19 Gen 5. Modifikasi custom. Kamu tahu aku lebih suka tangan kosong, ‘kan?” Ucap Kayra. Valen mendekat. “Kalau kamu harus pilih antara menyentuh kulitku atau memegang senjata, kamu pilih yang mana?”Kayra memutar bola mata. “Pertanyaan konyol.”Tapi

  • Milik Sang Bayangan   Bab 4

    Gudang itu sunyi pagi-pagi buta. Cahaya matahari masih tertahan oleh jendela-jendela kaca besar yang tertutup tirai hitam. Di tengahnya, lantai kayu mengilap menghampar luas, dikelilingi oleh rak senjata, punching bag, dan dinding cermin panjang. Tempat ini bukan sekadar ruang latihan.Tempat ini adalah arena. Dan Valen Moretti telah mempersiapkan medan tempurnya dengan sangat pribadi.Pintu besi bergeser otomatis. Kayra masuk mengenakan setelan training hitam-hitam, legging dan sport bra yang memperlihatkan perut kotaknya yang sempurna. Rambutnya dikepang ke belakang. Tatapannya dingin, fokus. Tapi napasnya… sudah mulai panas bahkan sebelum mereka bertarung.Valen berdiri di tengah arena. Tanpa jas, hanya celana latihan dan kaus tipis yang membentuk lekuk otot punggung dan dadanya dengan jelas. Ia terlihat seperti petarung sejati, meskipun tubuhnya lebih sering memerintah daripada bertempur.“Mengira aku akan terlambat?” tanya Kayra, menyibak rambutnya ke bahu.Valen menyeringai keci

  • Milik Sang Bayangan   Bab 3

    Restoran itu berdiri di atas bukit kecil di sisi timur Melbourne, tersembunyi di balik pagar tanaman yang dirawat rapi dan dinding batu kapur putih bergaya Mediterania. Tempat itu hanya buka untuk tamu pilihan, dan hanya menerima reservasi dari orang-orang dengan nama belakang yang bisa membuat pintu terbuka tanpa diketuk.Kayra tidak menyangka dia akan kembali bertemu pria itu begitu cepat. Tapi pesan singkat datang tadi pagi:“Makan malam. Tempat yang tidak ada kamera. Aku ingin kamu duduk di depanku tanpa rasa curiga.” – V.”Tak ada permintaan. Hanya pernyataan. Seolah dia tahu Kayra akan datang.Dan anehnya… ia memang datang.Mobil hitam yang mengantarnya berhenti tepat di depan pintu masuk. Seorang pelayan berseragam abu-abu dengan sarung tangan putih membungkuk saat membuka pintu.“Selamat datang, Nona Leone. Tuan Moretti telah menunggu.”Kayra berjalan masuk melewati lorong marmer, diiringi nyala lilin gantung dan aroma anggur tua. Di ujung ruangan, Valen sudah duduk. Kali ini

  • Milik Sang Bayangan   Bab 2

    Matahari Melbourne naik lambat ke balik kaca jendela apartemen Kayra, memantulkan siluet tubuhnya yang berdiri di depan cermin. Kaus hitam tanpa lengan menempel di tubuhnya yang berkeringat. Gerakan pukulannya cepat, teratur. Ia sedang latihan shadow boxing, sebuah rutinitas pagi yang tak pernah ia tinggalkan. Tangannya berhenti ketika suara notifikasi ponsel bergetar di meja. [Pesan Masuk: Nomor Tidak Dikenal] “Kau yang memukul seperti petarung. Dinner malam ini, pukul 8. Jangan tolak. Aku tidak suka mengulang undangan dua kali.” – V. [Location] Alis Kayra terangkat. Ponselnya langsung ia kunci kembali. Ah, ini orangnya. Jadi dia mencariku, pikirnya. Dan dia berhasil. Kayra tidak bertanya bagaimana pria itu mendapatkan nomornya. Orang seperti dia… pasti punya jalan. Tapi yang membuat Kayra lebih terusik bukan pada fakta bahwa pria itu mengundangnya makan malam. Melainkan pada kenyataan bahwa ia tidak langsung menolak. Sore harinya, langit mulai gelap saat Kayra berdiri di de

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status