Gudang senjata Valen tidak seperti tempat penyimpanan ilegal biasa. Ini lebih seperti museum kekuasaan, tertata rapi, simetris, penuh dengan koleksi senjata dari berbagai benua, dari pisau belati hingga sniper buatan tangan. Lampu sorot lembut memantulkan kilau baja dan krom. Semua tertutup kaca pelindung, terkunci dengan sistem biometrik.
Tapi pagi ini, untuk pertama kalinya, kunci itu dibuka untuk seseorang selain Valen. Untuk Kayra. “Ini tempat yang menarik untuk ajakan kencan,” gumam Kayra, melangkah masuk dengan tangan di saku jaket kulitnya. Valen, berdiri di tengah ruangan, menyerahkan pistol ke tangan perempuan itu. “Ini bukan kencan. Ini tes kepercayaan.” Kayra menerima pistol itu tanpa ragu, memeriksanya secepat tentara. “Glock 19 Gen 5. Modifikasi custom. Kamu tahu aku lebih suka tangan kosong, ‘kan?” Ucap Kayra. Valen mendekat. “Kalau kamu harus pilih antara menyentuh kulitku atau memegang senjata, kamu pilih yang mana?” Kayra memutar bola mata. “Pertanyaan konyol.” Tapi dia tetap menjawab dalam hati: kamu. *** Sesi latihan dimulai. Tapi ini bukan latihan biasa. Mereka berdiri berdampingan, menembaki target di ujung ruangan sepanjang 20 meter. Kayra fokus, tubuhnya stabil, tembakannya akurat. Valen berdiri di belakangnya sesekali, mengoreksi posisi lengannya, atau mencari-cari alasan untuk menyentuh pinggangnya dengan alasan "postur". “Peganganmu sudah sempurna,” kata Valen lirih di telinga Kayra. “Kalau begitu, jangan terlalu dekat,” balas Kayra tajam, meskipun tubuhnya sedikit bergidik oleh hembusan napas pria itu. “Sulit untuk tidak dekat… saat kamu seperti ini.” Kayra menembak satu kali—TENG!—peluru menembus kepala target kertas. “Aku bisa menembak tanpa kamu membisikkan hal-hal bodoh.” Valen menyeringai. Tapi matanya tak bergurau. “Dan aku bisa membunuh siapa pun yang membuatmu terganggu.” Kayra menurunkan pistolnya. Menoleh. “Itu tadi ancaman atau… pengakuan?” Valen mendekat. Tak menyentuh. Tapi suaranya berat. “Aku tidak pernah biarkan siapa pun mengganggu milikku.” “Milikmu?” “Sementara ini… kamu sudah ada di ruanganku. Memegang senjataku. Dan memakai perlindungan yang hanya kuberikan pada orang yang ingin kulindungi.” “Dan kamu pikir aku akan tunduk karena itu?” “Tidak. Justru karena kamu tak tunduk… aku makin ingin menjagamu.” *** Setelah latihan selesai, Kayra hendak pergi. Tapi saat keluar dari ruangan, ia dihampiri oleh salah satu anak buah Valen, Luca, yang wajahnya serius. “Bos ingin kamu tahu. Ada yang mengikuti apartemenmu dua malam lalu. Kamera kami menangkapnya.” Kayra menatap layar kecil yang disodorkan. Sosok pria tinggi dengan hoodie hitam terlihat berdiri di seberang jalan apartemennya. Wajahnya tidak jelas, tapi posturnya asing. “Siapa dia?” tanya Kayra cepat. “Belum tahu. Tapi dia menunggu lama. Seperti mengawasi.” Kayra menegang. Tapi sebelum dia bicara lagi, Valen muncul. “Aku sudah tempatkan pengawas di sekitar apartemenmu. Mulai malam ini, kamu tidak tidur sendiri.” Kayra menoleh cepat. “Apa maksudmu?” Valen melangkah maju, mendekatkan wajahnya pada wajah Kayra. “Aku akan tinggal di tempatmu. Atau kamu tinggal di tempatku. Pilihannya dua.” Kayra mendesis. “Kamu tidak bisa mengaturku sesuka hati.” “Aku tidak mengatur. Aku melindungi. Dan kamu bisa benci aku karena itu… selama kamu tetap hidup.” *** Malam itu, Kayra berdiri di dapurnya dengan gelas teh hangat. Tapi matanya tak lepas dari sosok pria tinggi yang kini duduk di sofanya, Valen Moretti, tanpa jas, hanya mengenakan kaus abu yang memperlihatkan otot lengan dan luka lama di salah satu bahunya. “Kamu sering tidur di rumah wanita yang kamu lindungi?” tanya Kayra. Valen menoleh. “Kamu wanita pertama yang membuatku merasa ingin tinggal. Bukan cuma mampir.” Kayra mendekat. Berdiri di depan Valen. Memandangnya dari atas. “Aku bisa jaga diriku sendiri.” Valen memegang tangan Kayra dan menariknya perlahan ke pangkuannya. “Tapi malam ini, izinkan aku yang menjagamu.” Mata Kayra menantang. Tapi tubuhnya tak menolak. Ia duduk di pangkuan Valen, membiarkan tangannya bersandar di dada pria itu. Nafas mereka berat. “Mungkin kamu memang punya banyak senjata,” bisik Kayra. “Tapi kamu… kamu sendiri adalah bahaya sebenarnya.” Valen memegang tengkuk Kayra. “Aku bisa membakarmu. Tapi aku bersumpah, aku akan hangus bersamamu.” Dan malam itu, mereka tidak bercinta. Tapi tidur berdampingan. Tubuh Valen melingkupi Kayra seperti perisai, dan untuk pertama kalinya… ia tidur tanpa mimpi buruk. Dan Kayra… tidur dengan jantung yang berdebar karena hal yang lebih menakutkan daripada musuh. ***Malam turun perlahan di vila tepi pantai milik Valen Moretti. Angin laut membawa bau asin dan suara ombak yang menghantam lembut bibir pasir. Di dalam, cahaya lampu kuning menggantung hangat di ruang tamu berlangit tinggi, memantulkan siluet tubuh dua manusia yang tak lagi saling menyembunyikan ketertarikan mereka.Kayra duduk di lantai, bersandar di kaki sofa, mengenakan oversized shirt milik Valen yang kebesaran di bahunya. Rambutnya masih basah karena mandi, dan matanya sibuk menelusuri berkas-berkas tua yang tergeletak di meja rendah: peta, catatan tangan, dan beberapa foto yang lusuh.Valen berdiri tak jauh, memandangi perempuan itu. Bukan dengan nafsu, kali ini. Tapi sesuatu yang lebih dalam. Seperti menatap mata pedang setelah bertahun-tahun terjebak dalam perang.“Semua orang ingin jadi kuat,” kata Valen pelan, akhirnya bicara.Kayra menoleh. “Tapi tidak semua orang tahu caranya.”Valen mengangguk, melangkah pelan, lalu duduk di belakang Kayra, membiarkan punggung perempuan it
Cahaya malam masuk dari jendela kaca sempit di bagian atas ruang latihan bawah tanah. Sisa-sisa latihan hari itu masih terasa di udara, keringat, logam, dan jejak adrenalin yang menggantung.Valen berdiri membelakangi Kayra, membersihkan salah satu pistol kesayangannya dengan tangan tanpa sarung. Kaosnya menempel basah di punggung, memperlihatkan garis-garis otot yang seperti diukir dari batu. Kayra berdiri di seberang ruangan, memutar pisau kecil di tangannya, senjata lipat ringan yang tadi ia ambil hanya untuk main-main.“Malam ini sepi sekali,” ucap Kayra sambil melangkah pelan ke arahnya. “Aku pikir markas mafia biasanya sibuk. Penuh suara teriakan, langkah kaki tergesa, atau orang berdarah yang menyeret diri ke ruangan ini.”Valen tak menoleh. “Malam ini aku matikan semuanya.”“Kenapa?”“Karena aku tahu kamu akan datang.”Kayra berhenti hanya beberapa langkah di belakangnya. “Jadi kamu menungguku?”“Aku tidak pernah menunggu siapa pun. Tapi kamu… membuatku mau melakukannya.”Vale
Gudang senjata Valen tidak seperti tempat penyimpanan ilegal biasa. Ini lebih seperti museum kekuasaan, tertata rapi, simetris, penuh dengan koleksi senjata dari berbagai benua, dari pisau belati hingga sniper buatan tangan. Lampu sorot lembut memantulkan kilau baja dan krom. Semua tertutup kaca pelindung, terkunci dengan sistem biometrik.Tapi pagi ini, untuk pertama kalinya, kunci itu dibuka untuk seseorang selain Valen.Untuk Kayra.“Ini tempat yang menarik untuk ajakan kencan,” gumam Kayra, melangkah masuk dengan tangan di saku jaket kulitnya.Valen, berdiri di tengah ruangan, menyerahkan pistol ke tangan perempuan itu. “Ini bukan kencan. Ini tes kepercayaan.”Kayra menerima pistol itu tanpa ragu, memeriksanya secepat tentara.“Glock 19 Gen 5. Modifikasi custom. Kamu tahu aku lebih suka tangan kosong, ‘kan?” Ucap Kayra. Valen mendekat. “Kalau kamu harus pilih antara menyentuh kulitku atau memegang senjata, kamu pilih yang mana?”Kayra memutar bola mata. “Pertanyaan konyol.”Tapi
Gudang itu sunyi pagi-pagi buta. Cahaya matahari masih tertahan oleh jendela-jendela kaca besar yang tertutup tirai hitam. Di tengahnya, lantai kayu mengilap menghampar luas, dikelilingi oleh rak senjata, punching bag, dan dinding cermin panjang. Tempat ini bukan sekadar ruang latihan.Tempat ini adalah arena. Dan Valen Moretti telah mempersiapkan medan tempurnya dengan sangat pribadi.Pintu besi bergeser otomatis. Kayra masuk mengenakan setelan training hitam-hitam, legging dan sport bra yang memperlihatkan perut kotaknya yang sempurna. Rambutnya dikepang ke belakang. Tatapannya dingin, fokus. Tapi napasnya… sudah mulai panas bahkan sebelum mereka bertarung.Valen berdiri di tengah arena. Tanpa jas, hanya celana latihan dan kaus tipis yang membentuk lekuk otot punggung dan dadanya dengan jelas. Ia terlihat seperti petarung sejati, meskipun tubuhnya lebih sering memerintah daripada bertempur.“Mengira aku akan terlambat?” tanya Kayra, menyibak rambutnya ke bahu.Valen menyeringai keci
Restoran itu berdiri di atas bukit kecil di sisi timur Melbourne, tersembunyi di balik pagar tanaman yang dirawat rapi dan dinding batu kapur putih bergaya Mediterania. Tempat itu hanya buka untuk tamu pilihan, dan hanya menerima reservasi dari orang-orang dengan nama belakang yang bisa membuat pintu terbuka tanpa diketuk.Kayra tidak menyangka dia akan kembali bertemu pria itu begitu cepat. Tapi pesan singkat datang tadi pagi:“Makan malam. Tempat yang tidak ada kamera. Aku ingin kamu duduk di depanku tanpa rasa curiga.” – V.”Tak ada permintaan. Hanya pernyataan. Seolah dia tahu Kayra akan datang.Dan anehnya… ia memang datang.Mobil hitam yang mengantarnya berhenti tepat di depan pintu masuk. Seorang pelayan berseragam abu-abu dengan sarung tangan putih membungkuk saat membuka pintu.“Selamat datang, Nona Leone. Tuan Moretti telah menunggu.”Kayra berjalan masuk melewati lorong marmer, diiringi nyala lilin gantung dan aroma anggur tua. Di ujung ruangan, Valen sudah duduk. Kali ini
Matahari Melbourne naik lambat ke balik kaca jendela apartemen Kayra, memantulkan siluet tubuhnya yang berdiri di depan cermin. Kaus hitam tanpa lengan menempel di tubuhnya yang berkeringat. Gerakan pukulannya cepat, teratur. Ia sedang latihan shadow boxing, sebuah rutinitas pagi yang tak pernah ia tinggalkan. Tangannya berhenti ketika suara notifikasi ponsel bergetar di meja. [Pesan Masuk: Nomor Tidak Dikenal] “Kau yang memukul seperti petarung. Dinner malam ini, pukul 8. Jangan tolak. Aku tidak suka mengulang undangan dua kali.” – V. [Location] Alis Kayra terangkat. Ponselnya langsung ia kunci kembali. Ah, ini orangnya. Jadi dia mencariku, pikirnya. Dan dia berhasil. Kayra tidak bertanya bagaimana pria itu mendapatkan nomornya. Orang seperti dia… pasti punya jalan. Tapi yang membuat Kayra lebih terusik bukan pada fakta bahwa pria itu mengundangnya makan malam. Melainkan pada kenyataan bahwa ia tidak langsung menolak. Sore harinya, langit mulai gelap saat Kayra berdiri di de