Share

Bab 4

Penulis: Lalaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-21 13:37:04

Gudang itu sunyi pagi-pagi buta. Cahaya matahari masih tertahan oleh jendela-jendela kaca besar yang tertutup tirai hitam. Di tengahnya, lantai kayu mengilap menghampar luas, dikelilingi oleh rak senjata, punching bag, dan dinding cermin panjang. Tempat ini bukan sekadar ruang latihan.

Tempat ini adalah arena. Dan Valen Moretti telah mempersiapkan medan tempurnya dengan sangat pribadi.

Pintu besi bergeser otomatis. Kayra masuk mengenakan setelan training hitam-hitam, legging dan sport bra yang memperlihatkan perut kotaknya yang sempurna. Rambutnya dikepang ke belakang. Tatapannya dingin, fokus. Tapi napasnya… sudah mulai panas bahkan sebelum mereka bertarung.

Valen berdiri di tengah arena. Tanpa jas, hanya celana latihan dan kaus tipis yang membentuk lekuk otot punggung dan dadanya dengan jelas. Ia terlihat seperti petarung sejati, meskipun tubuhnya lebih sering memerintah daripada bertempur.

“Mengira aku akan terlambat?” tanya Kayra, menyibak rambutnya ke bahu.

Valen menyeringai kecil. “Kamu datang tepat waktu. Tapi nalurimu lebih dulu datang.”

Kayra menaikkan salah satu alisnya. “Sudah siap dipermalukan?”

“Siap ditaklukkan, mungkin. Tapi aku akan melawan sampai nafas terakhir.” Jawab Valen.

Kayra mendekat. Jarak mereka tak sampai dua meter. Panas tubuh mulai membias di antara udara.

“Tidak ada senjata,” katanya. “Tidak ada aturan. Kita bermain sampai salah satu menyerah.”

Valen mengangguk.

“Sampai salah satu menyerah,” ulangnya.

Dan tanpa aba-aba… pertarungan dimulai.

Kayra bergerak lebih dulu. Cepat. Tepat. Seperti petir. Ia menyerang dari samping dengan hook kanan, lalu berputar untuk tendangan rendah ke paha Valen. Tapi Valen, dengan refleks tajam, menangkap kakinya dan melemparnya ke belakang.

Kayra jatuh berguling, lalu bangkit lagi tanpa kehilangan kendali. Matanya menyala.

“Refleksmu tidak buruk untuk seorang mafia.”

Valen mengangkat bahu. “Aku belajar dari musuh terbaikku.”

Pertarungan berlanjut. Tangan mereka saling tangkap, kunci, tendang, dorong. Nafas mereka memburu. Kayra meluncur seperti angin, tubuhnya melenting saat menghindar. Valen seperti batu karang, keras, kokoh, tapi mengejutkan ketika menyerang.

Tubuh mereka bersentuhan. Berkeringat. Berdesir.

Saat Kayra berhasil menangkis pukulan Valen dan memutar lengannya ke belakang, ia membanting tubuh pria itu ke lantai keras dengan teknik grappling yang nyaris sempurna.

Valen meringis, tapi tersenyum. “Kamu menyakiti punggungku.”

“Belum seberapa,” Kayra menunduk, menekan satu lutut ke dada Valen, lalu mengunci leher pria itu dengan siku kuat.

Satu kunci leher.

“Satu gerakan lagi, dan kamu pingsan,” kata Kayra, napasnya membakar.

Valen menatap dari bawah. Dan tiba-tiba… ia tertawa kecil.

“Kalau aku mati hari ini… aku ingin mati di bawahmu.”

Kayra memutar bola matanya. “Gombalmu payah.”

Tapi sebelum ia sempat menarik tangannya, Valen mengangkat kepala, dan mencium bibirnya.

Penuh. Liar. Dalam.

Kayra terkejut setengah detik. Tapi tubuhnya… tidak melawan. Nafasnya berhenti. Ciuman itu penuh hasrat, kasar, dan panas seperti letupan pistol. Bibir mereka saling menyerang, saling tarik, saling tekan. Lidah mereka bertemu, dan ketika Kayra sadar ia mencium balik, ia langsung menarik diri dengan kasar.

Mereka saling terengah.

Kayra berdiri, menatap pria itu dengan mata membara.

“Dasar brengsek,” desisnya. Tapi suaranya serak. Dan tubuhnya… gemetar karena dorongan yang lain.

Valen bangkit perlahan, wajahnya masih berkeringat, tapi pandangannya tak goyah.

“Kamu mencekikku. Aku menciummu. Kita impas.”

“Ciumanku bukan bagian dari kesepakatan.”

“Kamu juga tak bilang ciuman dilarang.”

Kayra melangkah mendekat lagi. Jarak mereka kini hanya setengah langkah.

“Kalau kamu lakukan itu lagi tanpa izin…”

“Apa?” bisik Valen. “Kamu akan menciumku lebih dulu?”

Tangan Kayra melayang ke pipi Valen, tapi pria itu menangkap pergelangan tangannya di udara. Mata mereka saling kunci.

Kayra menggertakkan giginya. Tapi sesuatu yang lebih berbahaya menyusup di antara mereka.

Keinginan.

Beberapa menit kemudian, mereka duduk bersandar di dinding studio. Sunyi. Keduanya kehabisan napas. Tapi bukan karena pertarungan.

Valen menatap langit-langit. “Kamu tahu, aku pernah hampir mati tiga kali. Tapi baru kali ini aku merasa… lebih hidup dari sebelumnya.”

Kayra menatap ke samping, bibirnya masih merah karena ciuman tadi. “Kamu gila.”

“Gila untukmu.”

Kayra tertawa kecil, lalu menyandarkan kepalanya di lututnya. Diam.

Valen menoleh, matanya melunak. “Kenapa kamu berhenti dari MMA?”

Kayra menjawab tanpa menoleh. “Karena dunia pertarungan kadang terlalu jujur.”

Valen mengangguk pelan. “Kamu pernah kehilangan seseorang?”

“Lebih tepatnya… aku pernah kehilangan diriku sendiri, dulu.”

Valen tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya memejamkan mata sejenak.

“Kita berdua... rusak ya?”

Kayra tersenyum pahit. “Tapi setidaknya, kalau kita rusak bersama, mungkin serpihannya pas.”

Saat mereka keluar dari ruang latihan, langit telah berubah menjadi biru keperakan. Udara pagi menggigit. Tapi tubuh mereka masih panas.

Valen memandangi punggung Kayra saat perempuan itu berjalan lebih dulu. Lalu berkata pelan,

“Kayra.”

Perempuan itu menoleh.

Valen mendekat. Menyentuh pipinya ringan.

“Kamu boleh terus dorong aku. Tapi suatu saat… aku akan mendorong balik. Dan kalau kamu jatuh, aku tidak akan menangkapmu. Aku akan ikut jatuh bersamamu.”

Kayra menahan napas. Lalu membalas,

“Jangan sok-sok an jadi pujangga, Tuan Bayangan.”

Mereka tidak saling menyentuh lagi. Tapi jarak di antara mereka… tinggal napas.

Dan di dalam napas itu, sesuatu mulai menyala. Sesuatu yang tak bisa lagi dipadamkan.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Milik Sang Bayangan   Bab 7

    Malam turun perlahan di vila tepi pantai milik Valen Moretti. Angin laut membawa bau asin dan suara ombak yang menghantam lembut bibir pasir. Di dalam, cahaya lampu kuning menggantung hangat di ruang tamu berlangit tinggi, memantulkan siluet tubuh dua manusia yang tak lagi saling menyembunyikan ketertarikan mereka.Kayra duduk di lantai, bersandar di kaki sofa, mengenakan oversized shirt milik Valen yang kebesaran di bahunya. Rambutnya masih basah karena mandi, dan matanya sibuk menelusuri berkas-berkas tua yang tergeletak di meja rendah: peta, catatan tangan, dan beberapa foto yang lusuh.Valen berdiri tak jauh, memandangi perempuan itu. Bukan dengan nafsu, kali ini. Tapi sesuatu yang lebih dalam. Seperti menatap mata pedang setelah bertahun-tahun terjebak dalam perang.“Semua orang ingin jadi kuat,” kata Valen pelan, akhirnya bicara.Kayra menoleh. “Tapi tidak semua orang tahu caranya.”Valen mengangguk, melangkah pelan, lalu duduk di belakang Kayra, membiarkan punggung perempuan it

  • Milik Sang Bayangan   Bab 6

    Cahaya malam masuk dari jendela kaca sempit di bagian atas ruang latihan bawah tanah. Sisa-sisa latihan hari itu masih terasa di udara, keringat, logam, dan jejak adrenalin yang menggantung.Valen berdiri membelakangi Kayra, membersihkan salah satu pistol kesayangannya dengan tangan tanpa sarung. Kaosnya menempel basah di punggung, memperlihatkan garis-garis otot yang seperti diukir dari batu. Kayra berdiri di seberang ruangan, memutar pisau kecil di tangannya, senjata lipat ringan yang tadi ia ambil hanya untuk main-main.“Malam ini sepi sekali,” ucap Kayra sambil melangkah pelan ke arahnya. “Aku pikir markas mafia biasanya sibuk. Penuh suara teriakan, langkah kaki tergesa, atau orang berdarah yang menyeret diri ke ruangan ini.”Valen tak menoleh. “Malam ini aku matikan semuanya.”“Kenapa?”“Karena aku tahu kamu akan datang.”Kayra berhenti hanya beberapa langkah di belakangnya. “Jadi kamu menungguku?”“Aku tidak pernah menunggu siapa pun. Tapi kamu… membuatku mau melakukannya.”Vale

  • Milik Sang Bayangan   Bab 5

    Gudang senjata Valen tidak seperti tempat penyimpanan ilegal biasa. Ini lebih seperti museum kekuasaan, tertata rapi, simetris, penuh dengan koleksi senjata dari berbagai benua, dari pisau belati hingga sniper buatan tangan. Lampu sorot lembut memantulkan kilau baja dan krom. Semua tertutup kaca pelindung, terkunci dengan sistem biometrik.Tapi pagi ini, untuk pertama kalinya, kunci itu dibuka untuk seseorang selain Valen.Untuk Kayra.“Ini tempat yang menarik untuk ajakan kencan,” gumam Kayra, melangkah masuk dengan tangan di saku jaket kulitnya.Valen, berdiri di tengah ruangan, menyerahkan pistol ke tangan perempuan itu. “Ini bukan kencan. Ini tes kepercayaan.”Kayra menerima pistol itu tanpa ragu, memeriksanya secepat tentara.“Glock 19 Gen 5. Modifikasi custom. Kamu tahu aku lebih suka tangan kosong, ‘kan?” Ucap Kayra. Valen mendekat. “Kalau kamu harus pilih antara menyentuh kulitku atau memegang senjata, kamu pilih yang mana?”Kayra memutar bola mata. “Pertanyaan konyol.”Tapi

  • Milik Sang Bayangan   Bab 4

    Gudang itu sunyi pagi-pagi buta. Cahaya matahari masih tertahan oleh jendela-jendela kaca besar yang tertutup tirai hitam. Di tengahnya, lantai kayu mengilap menghampar luas, dikelilingi oleh rak senjata, punching bag, dan dinding cermin panjang. Tempat ini bukan sekadar ruang latihan.Tempat ini adalah arena. Dan Valen Moretti telah mempersiapkan medan tempurnya dengan sangat pribadi.Pintu besi bergeser otomatis. Kayra masuk mengenakan setelan training hitam-hitam, legging dan sport bra yang memperlihatkan perut kotaknya yang sempurna. Rambutnya dikepang ke belakang. Tatapannya dingin, fokus. Tapi napasnya… sudah mulai panas bahkan sebelum mereka bertarung.Valen berdiri di tengah arena. Tanpa jas, hanya celana latihan dan kaus tipis yang membentuk lekuk otot punggung dan dadanya dengan jelas. Ia terlihat seperti petarung sejati, meskipun tubuhnya lebih sering memerintah daripada bertempur.“Mengira aku akan terlambat?” tanya Kayra, menyibak rambutnya ke bahu.Valen menyeringai keci

  • Milik Sang Bayangan   Bab 3

    Restoran itu berdiri di atas bukit kecil di sisi timur Melbourne, tersembunyi di balik pagar tanaman yang dirawat rapi dan dinding batu kapur putih bergaya Mediterania. Tempat itu hanya buka untuk tamu pilihan, dan hanya menerima reservasi dari orang-orang dengan nama belakang yang bisa membuat pintu terbuka tanpa diketuk.Kayra tidak menyangka dia akan kembali bertemu pria itu begitu cepat. Tapi pesan singkat datang tadi pagi:“Makan malam. Tempat yang tidak ada kamera. Aku ingin kamu duduk di depanku tanpa rasa curiga.” – V.”Tak ada permintaan. Hanya pernyataan. Seolah dia tahu Kayra akan datang.Dan anehnya… ia memang datang.Mobil hitam yang mengantarnya berhenti tepat di depan pintu masuk. Seorang pelayan berseragam abu-abu dengan sarung tangan putih membungkuk saat membuka pintu.“Selamat datang, Nona Leone. Tuan Moretti telah menunggu.”Kayra berjalan masuk melewati lorong marmer, diiringi nyala lilin gantung dan aroma anggur tua. Di ujung ruangan, Valen sudah duduk. Kali ini

  • Milik Sang Bayangan   Bab 2

    Matahari Melbourne naik lambat ke balik kaca jendela apartemen Kayra, memantulkan siluet tubuhnya yang berdiri di depan cermin. Kaus hitam tanpa lengan menempel di tubuhnya yang berkeringat. Gerakan pukulannya cepat, teratur. Ia sedang latihan shadow boxing, sebuah rutinitas pagi yang tak pernah ia tinggalkan. Tangannya berhenti ketika suara notifikasi ponsel bergetar di meja. [Pesan Masuk: Nomor Tidak Dikenal] “Kau yang memukul seperti petarung. Dinner malam ini, pukul 8. Jangan tolak. Aku tidak suka mengulang undangan dua kali.” – V. [Location] Alis Kayra terangkat. Ponselnya langsung ia kunci kembali. Ah, ini orangnya. Jadi dia mencariku, pikirnya. Dan dia berhasil. Kayra tidak bertanya bagaimana pria itu mendapatkan nomornya. Orang seperti dia… pasti punya jalan. Tapi yang membuat Kayra lebih terusik bukan pada fakta bahwa pria itu mengundangnya makan malam. Melainkan pada kenyataan bahwa ia tidak langsung menolak. Sore harinya, langit mulai gelap saat Kayra berdiri di de

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status