Home / Fantasi / Miliknya Di Antara Dua Dunia / BAB 8 – RETAKAN DI LANGIT

Share

BAB 8 – RETAKAN DI LANGIT

Author: Ayla
last update Last Updated: 2025-06-10 00:59:04

“Langit tidak pecah oleh guntur. Ia retak oleh sunyi yang disangkal terlalu lama.”


Langit Varethar tidak seperti langit dunia atas. Ia bukan biru atau kelabu, melainkan lapisan kristal hitam yang membentang seperti cangkang. Namun malam itu, sebuah retakan menyala di sana—seperti kilatan petir yang tak menghilang.

Rovan melihatnya dari balkon menara. Matanya menyipit, jantungnya berdegup lebih cepat. Itu bukan retakan biasa. Itu adalah simbol. Sinyal kuno. Peringatan dari masa sebelum kekuasaan Lux Hunter didirikan.

Flamma Vitae telah menyatu.

Dan hanya satu makhluk yang mampu melakukannya: keturunan Darah Dua—gelap dan terang.


Di ruang bawah tanah, Seraphine masih duduk di tengah nyala api yang meredup perlahan. Rambutnya basah oleh keringat, matanya belum sepenuhnya kembali dari perjalanan batin tadi.

Aetheria berlutut di hadapannya. Tak lagi seperti penjaga agung, melainkan seorang pelayan.

“Kau telah menyeberang,” bisiknya.

“Tidak lagi manusia. Tidak pula iblis. Kau kini... kunci.”

“Aku hanya ingin tahu siapa diriku.”

“Tapi ternyata... aku adalah bahaya bagi semuanya.”

“Atau penyelamat.”

“Apa bedanya? Kedua-duanya menuntut darah.”

Seraphine berdiri. Api mengikuti gerak tubuhnya seperti bayangan hidup. Ia tidak takut, tapi juga tidak bangga. Kekuatannya kini lebih nyata dari sebelumnya, tapi bersamanya datang rasa kehilangan. Seolah ia meninggalkan sesuatu di titik nyala—dirinya yang dulu, mungkin?


Di sisi lain dunia, dalam benteng putih Lux Hunter yang dikelilingi salju, para pemimpin berkumpul.

Peta besar diproyeksikan di atas altar kristal. Retakan hitam yang muncul di langit Varethar membuat semua siaga.

“Ini tidak bisa dibiarkan,” kata Pemimpin Tertinggi Lux Hunter, seorang pria dengan wajah seperti ukiran marmer.

“Flamma Vitae hanya bisa diaktifkan oleh satu darah—dan darah itu telah melampaui batas yang kita jaga selama berabad-abad.”

“Apa yang harus kita lakukan, Lord Kaen?”

“Dia hanya seorang perempuan.”

“Perempuan yang memegang kunci untuk menjungkirbalikkan dunia.”

Diam.

Semua tahu apa arti kata-kata itu: jika kunci itu tidak bisa dijaga... maka ia harus dimusnahkan.

“Kirim Rovan,” kata Lord Kaen pelan.

“Dia satu-satunya yang pernah masuk ke wilayah kegelapan dan kembali hidup-hidup. Dan dia satu-satunya yang belum kehilangan hatinya.”


Rovan mendengar keputusannya bahkan sebelum perintah disampaikan langsung. Ia tahu, cepat atau lambat, mereka akan memintanya memilih sisi.

Tapi bagaimana jika kau justru ditarik ke tengah?
Bagaimana jika sisi itu tak pernah benar-benar ada, dan yang nyata hanya luka—dan dia yang berdiri di tengahnya?

Dia mengenang tatapan Seraphine saat pertama kali mereka bertemu. Dingin, tapi tidak kosong. Ada permohonan diam di sana. Bukan permintaan maaf, tapi permintaan untuk dilihat… sebagai seseorang.

"Apakah aku hanya alat bagi mereka? Atau musuh bagi diriku sendiri?"

Pertanyaan itu menghantuinya seperti nyanyian api di dalam darah.


Sementara itu, Seraphine kembali ke ruangan pribadinya di Istana Dalam. Di sana, cermin tua menyambutnya. Tapi bayangan di dalamnya tak seperti biasa.

Dia melihat dirinya, tetapi versi lain: matanya lebih tajam, tubuhnya berdarah, dan senyumnya... dingin seperti logam.

“Kau pikir bisa berjalan di antara dua sisi tanpa membayar?” tanya bayangan itu.

“Semua yang menyentuh kebenaran akan kehilangan sesuatu.”

“Apa yang akan hilang dariku?”

“Dia.”

“Siapa?”

Bayangan tersenyum.

“Dia yang kau harap tidak akan berubah saat kau berubah.”

Kilatan api muncul dari cermin. Seraphine mundur, napasnya tercekat. Apakah itu peringatan? Atau bayang-bayang masa depan?


Di tengah malam, suara ketukan datang ke pintunya.

Bukan pelayan. Bukan penjaga.

Rovan berdiri di sana.

“Kita harus bicara,” katanya pelan.

“Sebelum semua memilihkan nasib untuk kita.”

Mata mereka bertemu.

Dua jiwa yang mulai merasa... dunia tidak punya tempat untuk mereka, kecuali satu sama lain.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 113 — KETIKA TITIK MENJADI BENIH

    Lahirnya Kalimat Pertama Titik itu tidak lenyap setelah menutup. Ia mengendap, membeku, lalu berkilau seperti benih kecil yang jatuh di tanah basah. Semesta yang baru saja menarik napas panjang kini beresonansi. Getaran itu menyebar, menjalar ke setiap pecahan bintang, ke setiap retakan langit, ke laut yang baru saja meneteskan hujan. Dan dari titik itu, lahirlah kalimat pertama semesta baru: > “Ada sesuatu.” Kalimat sederhana, namun dengan kekuatan maha dahsyat. Karena sebelum kalimat, tidak ada yang bisa diingat. Tidak ada yang bisa dimulai. --- Rynor: Ketakutan pada Benih Rynor menatap titik yang kini bersinar seperti matahari mungil. Pedangnya masih menancap di tanah, tapi ia tahu—cahaya itu akan mulai menulis dengan atau tanpa dirinya. Ia bergumam, suaranya hampir hilang, “Kalau titik bisa menjadi benih… maka apa yang lahir nanti bukan lagi milik kita.” Ia menggenggam gagang pedang, tubuhnya bergetar. Bagian dirinya ingin melindungi titik itu, menj

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 112 — KOMA YANG MEMBELAH

    Keheningan yang RetakSemesta baru bergetar, tapi bukan dengan ledakan.Bukan juga dengan runtuhan.Ia bergetar seperti tinta yang diteteskan ke air bening—membentuk lingkaran, meluas, lalu pecah jadi noda samar.Rynor dan Kael berdiri, bukan sebagai dua kutub lagi, melainkan sebagai kertas yang sama-sama ternoda.Di sela mereka, bayangan-komatis itu menyeringai tanpa wajah.Ia tidak butuh wujud, sebab wujud adalah titik. Ia memilih koma—tak berujung, tak tuntas.> “Kalian bukan lagi dua musuh.Kalian adalah satu kalimat yang terhenti di tengah jalan.Dan aku adalah jedanya.”---Rynor: Luka yang MembukaRynor menggenggam pedangnya, tapi pedang itu retak makin dalam.Cahaya yang dulu mengalir darinya kini tersedot, menjadi hitam pekat.Ia berbisik pada dirinya sendiri, atau mungkin pada semesta:“Kalau aku tebas koma ini… apa aku menutup kalimat, atau memutus hidup?”Tapi setiap kali ia mengangkat pedang, bisikan-bisikan dari bayangan menyeruak:> “Kalau kau menutup… siapa yang menent

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 111 — HUKUMAN PERTAMA : "TIDAK"

    Bab 184 — Hukum Pertama: “Tidak”---Retakan yang Menjadi AksaraKata itu kecil.Kata itu rapuh.Namun ketika Rynor dan Kael mengucapkannya bersamaan, semesta berhenti.> “Tidak.”Suara itu bukan sekadar penolakan.Ia adalah garis melintang di atas naskah yang hendak ditulis ulang.Ia adalah palu yang menghentikan tangan penulis sebelum tinta jatuh.Langit putih-hitam yang sebelumnya berganti-ganti kini terbelah dua.Satu sisi bergetar, masih mencoba mengikuti mulut raksasa.Sisi lain beku, menolak mengikuti.Semesta baru tercabik—seakan halaman buku disobek di tengah kalimat.---Mulut Kosmos yang TersedakMulut raksasa itu meronta.Ia membuka lebar, mengeluarkan ribuan kata sekaligus—kata tanpa arti, kata tanpa bunyi, kata tanpa tubuh.Namun setiap kali satu kata lahir, kata itu terhenti di udara.Seolah-olah ada garis yang menolaknya, menahan huruf sebelum sempat jatuh.Mulut itu batuk.Dan untuk pertama kalinya, sesuatu yang seharusnya tidak bisa batuk—batuk.Dari dalamnya keluar

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 110 — KATA PERTAMA YANG BERDARAH

    Mulut KosmosMulut raksasa itu menganga, tapi yang keluar bukan suara biasa.Itu adalah kata yang tak punya huruf, tak punya lidah—hanya luka yang dipaksa menjadi bunyi.Setiap kali mulut itu bergerak, retakan baru muncul di semesta.Pulau kaca pecah. Langit yang sudah rapuh kian teriris.Dan dari rongga udara yang koyak, keluar barisan suara-suara lain:tawa yang patah, doa yang terbalik, nyanyian yang tak pernah selesai.Kael menggertakkan giginya, darah hitam menetes di dagunya.“Dia… menulis ulang dengan teriakan. Kalau kita terlambat, semesta ini akan jadi kitab penuh jeritan.”Rynor menggenggam pedangnya, cahaya gemetar, tubuhnya retak sampai ke tulang bayangan.Ia tahu pedang itu sudah bukan pedang lagi—ia adalah garis pertama di halaman kosong.Dan garis itu kini diperebutkan.---Seruan yang MenyusupSuara mulut raksasa itu bukan sekadar gema.Ia masuk ke kepala, menyalin dirinya dalam pikiran.Rynor mendengar ayahnya berteriak memanggil nama yang sudah lama hilang.Kael mend

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 109 — DI DALAM JERITAN TANPA NAFAS

    Ruang yang Tidak Punya DetakKeheningan yang datang setelah jeritan itu bukanlah kedamaian.Ia lebih mirip ruang tunggu, di mana segalanya menggantung di antara “masih ada” dan “sudah tidak”.Pulau-pulau emas yang retak kini hanyalah pecahan kaca melayang.Langit semesta baru berganti warna setiap detik—putih, ungu, merah, hitam—seakan bingung menentukan wajahnya sendiri.Kadang tampak bintang, kadang tampak kabut, lalu hilang begitu saja sebelum sempat menjadi nyata.Dan di tengah semua itu, Rynor dan Kael terapung.Bukan berjalan, bukan berdiri.Hanya terapung—seakan hukum gravitasi pun masih bingung, apakah mereka berhak ditarik ke bawah atau dibiarkan hanyut.Rynor merasakan tubuhnya semakin retak. Ia tak lagi tahu di mana batas dirinya dan pedangnya.Kael merasakan bara di dalam dadanya menyala-menyala, tapi sekaligus memakan habis sisa jantungnya sendiri.Mereka masih ada, tapi dengan cara yang sudah tidak manusiawi.---Ingatan yang MenyusupDari retakan langit, bayangan-bayang

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 108 — LUKA DI PARU-PARU KOSMOS

    Semesta yang Terbelah Retakan semakin melebar. Langit emas yang baru lahir berubah jadi dua lapis: satu bergetar putih keemasan, satu lagi menghitam ungu, berdenyut mengikuti tarikan napas lama. Setiap tarikan → bayangan-bayangan samar yang tadi lahir tercerabut, berteriak sebelum kembali jadi abu. Setiap hembusan → tanah rapuh di bawah mereka pecah, mengapung jadi pulau-pulau retakan. Rynor dan Kael berdiri di atas kepingan realitas, tubuh mereka goyah, tapi mata mereka tajam. Mereka sadar: ini bukan sekadar pertarungan hidup-mati. Ini perang memperebutkan hukum semesta. --- Tubuh Inti Lama Dari pusaran, tubuh raksasa itu semakin nyata. Rongga dadanya berdenyut, memuntahkan kabut ungu setiap kali hembusan keluar. Lengannya seperti batang pohon hitam yang tak berujung, mencakar ruang tanpa arah. Lubang besar di wajahnya berputar bagai lubang hitam, menghisap cahaya, bahkan menelan suara. Setiap kali ia bicara, kata-katanya bukan hanya terdengar, tapi membentuk realitas.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status