Share

Pembalasan pertama

Part 3

Wajahnya tegang seperti sedang menonton film horor. Ini baru permulaan, Nia. Jika kamu berpikir akan hidup senang dan bergelimang harta sesudah menikah dengan suamiku. Kamu salah besar, kamu malah akan semakin menderita setelah ini. Aku pastikan itu.

****

“Tidak bisa begitu dong, Mas, kalau syarat yang pertama sih aku nggak masalah. Tapi syarat yang kedua aku keberatan, memangnya aku babu apa,” protes Nia pada Mas Robi. Aku sungguh puas melihat mereka yang seharusnya sedang berbulan madu tapi malah bertengkar.

“Talita, Mas mohon jangan begini. Kalau memang kamu mau memegang seluruh keuangan Mas tidak keberatan. Tapi syarat itu terlalu berat untuk Mas dan Nia,” tawar Mas Robi. Belum apa-apa Mas Robi sudah membela wanita yang sudah menjadi gundiknya tersebut. Apalagi jika nanti dia sudah bisa hamil dan memiliki anak. Tentu saja semua perkataan wanita itu akan dituruti oleh Mas Robi dan keluarganya.

“Syarat tadi tidak bisa ditawar lagi, Mas. Kalau memang kamu tidak mampu memenuhi syarat tadi kamu boleh mengambil jalan pintas untuk menceraikan aku,” seruku menekan mata cerai. Aku melihat senyum tipis di wajah Nia. Dia pikir setelah aku berpisah dengan Mas Robi dia akan menjadi Ratu, tidak tahu saja dia jika nanti mereka harus berjuang lagi dari nol. Rama mengatakan jika semua aset atas nama bersama dulu sudah dipindahkan menjadi namaku. Mas Robi pasti tidak menyadari, karena setelah ini dia pasti akan sibuk membantu gundinya menjadi babu di rumah.

“Dan kamu Nia, bukankah kamu adalah istri kedua. Jadi istri kedua itu ya resikonya di atur oleh istri pertama. Seharusnya kamu paham itu sebelum mengambil keputusan untuk menjadi simpanan suamiku,” sambungku, sengaja memancing emosinya. Jika dia bertindak gegabah, siap-siap saja dia jadi bahan cibiran para emak di media sosial.

“Hei, Mbak Talita. Pantas saja suamimu tergoda wanita lain dan keluarga Mas Robi tidak menyukai kamu, ternyata mulut Mbak yang tidak bisa dijaga dengan baik,” sungut Nia kesal. Sudah kuduga, emosinya dengan mudah bisa terpancing. Dasar korek api, gesek dikit langsung nyala.

“Mending aku kan yang nggak bisa jaga mulut, daripada kamu tidak bisa menjaga harga diri yang sengaja merebut suami orang,” sindirku dengan sengaja membesarkan suaraku. Semua orang yang ada disini pun menoleh kemeja dimana kami berada. Berbagai cibiran pedas terlontar dari beberapa mulut mereka.

Ada beberapa Ibu-ibu yang duduk tidak jauh dari kami. Aku yakin mereka pasti mendengar seruanku tadi. Nia tidak tau saja bagaimana rasanya diamuk emak-emak.

“Kamu lihat Nia, sepertinya aku tidak harus mengeluarkan tenaga untuk membasmi wanita rendahan seperti kamu. Kita memang benar-benar jauh tingkatanya,” ucapku. Aku begitu puas melihat dia marah. Sedikit saja dia berani menyentuhku, akan aku buat dia merana selamanya.

“Mas, kamu kok diam saja sih. Kamu nggak niat belain aku apa!” bentak Nia. Kulihat Mas Robi sama sekali tidak memperdulikan ocehan Nia, dia lebih banyak diam. Entahlah apa yang dia pikirkan, aku sama sekali tidak peduli.

Tidak ada jawaban apa-apa yang keluar dari mulut Mas Robi. Mungkin dia masih memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa dengan ikhlas merelakan dia untuk menikah lagi tanpa syarat tadi. Entah sejak kapan Mas Robi berubah seperti ini. Dia berubah menjadi sosok yang tidak aku kenal lagi.

“Sudahlah, aku beri kamu waktu dua puluh empat jam untuk berpikir, Mas. Semuanya ada di tangan kamu, kamu yang memulai kamu juga yang akan mengakhiri.” Tukasku sambil berlalu pergi, aku muak melihat wajah mereka.

Saat sedang menunggu lift terbuka, aku mendengar ada yang memanggil namaku. Dan aku yakin itu Mas Robi, aku tidak peduli yang penting sekarang aku harus istirahat agar aku punya tenaga menghadapi mereka.

“Talita, tunggu dulu. Mas ingin ngomong,” panggil Mas Robi menarik tanganku agar aku tidak masuk ke dalam lift.

Padahal pintu lift baru saja terbuka, tapi karena tanganku dicegat oleh Mas Robi. Terpaksa aku harus menghentikan langkahku lagi. Sebenarnya hatiku sangat sakit jika harus mengikhlaskan semuanya. Apalagi jauh dari lubuk hatiku, masih ada nama Mas Robi yang terukir di sana.

“Apalagi sih Mas, aku ingin istirahat, aku capek,” bentakku sambil melepaskan cekalan tangan Mas Robi dengan kasar. Tidak sudi rasanya tubuh ini dipegang lagi dengan tangan yang sudah menyentuh tubuh wanita lain.

“Kamu udah ganti pin ATM ya, kartu kredit juga nggak bisa digunakan lagi. Mas mau bayar makanan tadi pakek apa,” ujar Mas Robi dengan wajah lesu. Ternyata dia sudah tau jika aku memblokir semua kartu kreditnya. Baru saja sehari menikah dia sudah kalang kabut seperti ini. Bagaimana jika kami sudah bercerai, pasti hidupnya akan kembali miskin seperti dulu.

“Aku kan sudah bilang tadi, mulai sekarang seluruh keuangan aku yang atur. Udah mending mobil kamu nggak aku ambil,” tukas ku kemudian ingin menekan kembali tombol lift. Namun dengan cepat Mas Robi mencegahnya lagi.

“Tapi setidaknya sisakan sedikit uang untuk Mas dong,” bujuk Mas Robi. Dia pikir aku akan kasihan melihat dia seperti ini. Yang ada rasa benciku semakin menjadi-jadi.

“Kamu tau Mas berapa uang yang kamu keluarkan ketika kamu menikahi wanita itu? Kamu tau bagaimana hancurnya aku? Kamu tau bagaimana perasaanku saat tau suami yang aku cintai menikahi wanita lain? Harusnya kamu sadar,Mas. Aku pikir kamu tadi mengajak aku untuk bertemu supaya kamu bisa meminta maaf. Tapi nyatanya aku salah besar, kamu malah membawa wanita itu kemari,” makiku dengan suara bergetar. Sakit sekali rasanya, hatiku serasa patah dan remuk di tempat yang sama.

Bobol sudah pertahananku, selama ini aku memendam semuanya di dalam sini. Tapi malam ini aku sungguh tidak sanggup lagi untuk bertahan, bagaimanapun Mas Robi adalah suami yang aku cintai.

“Maafkan Mas, Talita. Mas hanya ingin anak. Yasudah, sekarang Mas minta uang untuk membayar makanan tadi,” jawab Mas Robi lagi tanpa rasa bersalah sedikitpun. Tangisku semakin menjadi saat melihat Mas Robi yang hanya mementingkan uang. Tanpa memperdulikan aku, dia masih saja memikirkan uang. Aku menghapus air mataku, benar-benar berubah kamu mas.

“Tidak, minta saja pada gundikmu. Lagian aku tidak memesan apa-apa tadi. Siapa yang makan dialah yang akan membayar.” Tukasku dan berlalu pergi, tidak kupedulikan lagi teriakan Mas Robi. Biar saja dia merasakan bagaimana rasanya menikah diam-diam di belakangku. Wanita itu mungkin berpikir akan hidup senang setelah menikah dengan suami orang, tidak semudah itu Ferguso, kamu harus merasakan pahitnya bangkit dari nol.

Saat aku sudah sampai di lantai atas, tubuhku terasa sangat lemas. Hingga aku harus berpegangan pada tembok.

“Cukup, Talita. Air mata kamu terlalu berharga untuk laki-laki seperti dia,” gumamku pelan.

Aku mengusap air mata dengan kasar, kemudian kembali menekan tombol lift. Aku hanya ingin melihat dan memastikan jika mereka tidak ada uang untuk membayar makanan yang sudah mereka pesan tadi.

Ting!

Pintu lift kembali terbuka dilantai satu, dengan langkah sedikit cepat aku berjalan menuju restoran tempat tadi kami bertemu.

“Kamu beneran nggak ada uang, Mas?” tanya wanita itu pada Mas Robi.

“Iya, uangnya sama Talita semua. Jadi sekarang kamu bayar dulu ya. Nanti setelah aku berhasil mendapatkan uang dari Talita. Aku akan menggantikannya sepuluh kali lipat,” jawab Mas Robi dengan nada lembut. Aku tertawa melihat pasangan yang baru saja menjadi suami istri itu ribut.

“Nikah bukannya enak malah menderita,” gerutu Nia yang semakin membuatku ingin tertawa kencang.

Lebih baik aku kembali saja ke kamar dan beristirahat. Agar esoknya aku bisa memikirkan bagaimana caranya agar bisa membalas semua sakit hatiku pada Mas Robi.

*

Hari ini rasanya badanku sangat lelah, sebaiknya hari ini aku tidak harus ke Resto dulu. Aku ingin menghabiskan waktu untuk memanjakan diri ke salon.

Rasanya sudah lama aku tidak memanjakan tubuhku sendiri. Aku terlalu sibuk mencari uang untuk diberikan pada Ibu mertua dan keluarganya. Mungkin aku terlalu baik dulu, makanya mereka berpikir bisa memanfaatkan kebaikanku selama ini. Ternyata jadi orang baik juga akan tetap membuat kita mempunyai musuh.

 Setelah mandi lalu aku pun bersiap untuk pergi, sebelumnya aku tidak lupa untuk mengecek ponselku. Saat aku membuka ponsel, ternyata banyak sekali pesan dan panggilan tak terjawab dari Mas Robi dan keluarganya. Entah apa yang akan terjadi lagi hari ini, aku benar-benar dibuat pusing oleh mereka.

[Tolong buka kembali blokiran kartu ATM. Mas butuh uang, Ibu sakit dan akan berobat] Pesan dari Mas Robi.

[Jangan egois, Ta. Itu harta kita bersama. Aku juga ikut andil dalam mencari uang selama ini.] Pesan dari Mas Robi lagi.

Aku hanya membacanya tanpa berniat untuk membalasnya. Ada beberapa pesan lagi dari Ibu mertua.

[Dasar menantu durhaka. Kamu mau kualat dan jatuh miskin lagi?]

[Semua harta yang kamu miliki sekarang itu milik anak saya. Jadi kamu jangan serakah. Jangan jadi Istri zolim]

Aku tersenyum membaca pesan terakhir yang dikirim oleh Ibu. Istri zalim katanya, yang ada juga Suami zalim, Bu. Lebih baik memang aku ke salon saja hari ini. Daripada terus stres memikirkan semua masalah yang belum tentu ada jalan keluarnya.

Setelah sampai di salon aku melakukan semua perawatan yang ada disini, tidak lupa untuk mengambil beberapa foto untuk di upload di media sosial, bukan untuk pamer sebenarnya tapi biar dilihat saja sama keluarga Mas Robi jika aku baik-baik saja.

[Menyenangkan hati dengan uang hasil keringat sendiri. Menjadikan diri sebagai ratu tapi tidak menjadi benalu]

Begitulah keterangan yang aku buat di stori. Dengan menampilkan gambar fotoku yang sedang melakukan treatment wajah. Tidak butuh waktu lama, Kak Mira langsung mengirimkan pesan untukku.

[Dasar maruk, kembalikan semua uang Adikku yang kamu curi!]

[Maaf, Anda siapa ya? Saya tidak kenal]

Balasku dan segera memblokir nomor Kak Mira lagi. Aku yakin dia pasti lagi uring-uringan karena tidak bisa mengirimkan aku pesan lagi.

 Saat sedang melakukan perawatan ponselku berdering, setelah aku cek ternyata mang Asep. Dengan cepat aku menggeser tombol berwarna hijau ke atas.

“Halo, Mang ada apa?” tanyaku setelah panggilan telepon terhubung.

“Hei menantu durhaka, dimana kamu sekarang hah? Perintahkan sekarang sama Asep biar membukakan pintu rumah, Robi mau masuk ke rumahnya sendiri pun tidak bisa,” bentak Ibunya Mas Robi. Dasar b**ci begitu saja mengadu ke Ibunya, sejak kapan Mas Robi sudah berubah seperti ini, dulu sepertinya dia adalah lelaki yang mandiri.

Kira-kira dengan siapa Ibu ke rumah. Karena tadi Kak Mira mengirimkan aku pesan. Tapi Ibu malah menggunakan nomornya Mang Asep untuk menelponku. Ah, aku lupa jika sudah memblokir nomornya Kak Mira.

“Saya lagi sibuk Bu, sebaiknya Mas Robi membawa pulang istri barunya ke rumah Ibu saja, karena rencananya rumah itu mau aku jual,” sahutku santai. Yang benar saja aku harus hidup satu atap dengan wanita itu. Tidak sudi rasanya aku membiarkan dia merasakan uang yang sudah kami hasilkan selama ini.

“Apa kamu bilang, jual rumah? Nggak bisa gitu dong, yang nyari uang kan bukan kamu aja anak saya Robi juga ikut andil. Dan satu lagi, Rina butuh uang untuk bayar kuliahnya. Sekarang juga kirimkan uangnya!” Perintah ibu. Ya ampun benar-benar tidak tau malu mereka.

Padahal kami sedang bertengkar, tapi Ibu masih sempat-sempatnya meminta uang dariku. Apa dia tidak pikir, bagaimana perasaanku sekarang. Andai ini terjadi padanya atau anak perempuannya. Apakah dia akan tetap diam saja.

“Ibu kan sudah punya menantu baru, istri idaman juga wanita yang sempurna. Minta saja sama dia, ngapain minta uang sama wanita mandul kayak aku,” kilahku. Enak saja minta uang, dulu iya memang aku memenuhi semua kebutuhan dan keinginan kalian. Tapi tidak dengan sekarang, sudah cukup kebaikanku yang kalian abaikan selama ini.

“Saya itu minta uang anak saya, bukan uang kamu. Jangan sok berkuasa kamu, di dalam harta itu ada hak anak saya!” teriak Ibu yang membuat telingaku berdenging. Sepertinya Ibu benar-benar marah kali ini, tapi aku sungguh tidak peduli lagi. Sudah cukup makan hati selama tiga tahun, sudah cukup sabar aku menghadapi mereka.

“Ibu nggak dikasih tau Mas Robi kalau sekarang semua keuangan aku yang pegang? Oh satu lagi, sepertinya Mas Robi juga setuju tidak akan memberikan uang atau fasilitas apapun lagi ke Ibu agar aku ngasih ijin dia nikah lagi,” ujarku menjelaskan. Biar Ibu tau gimana rasanya miskin seperti dulu. Tidak ada suara Ibu diseberang, aku yakin Ibu sangat syok dengan semua ini.

“Aku juga berniat akan menjual rumah yang Ibu tempati sekarang, soalnya aku perlu tambahan modal untuk usahaku, Bu. Jadi tolong ya, sepertinya Ibu dan Kak Mira harus segera berkemas,” lanjutku lagi sambil tertawa jahat di dalam hati. Rumah yang ditempati oleh Ibu sekarang aku beli atas namaku. Karena aku memang membelinya dengan uang tabunganku selama ini. Jadi aku bisa dengan bebas menjualnya kapan saja.

Kakaknya Mas Robi memang masih tinggal bersama Ibunya, karena suaminya yang hanya kerja serabutan jadi mereka tidak sanggup untuk membeli rumah. Seharusnya mereka bersyukur bukan, bukan hanya biaya hidup yang aku tanggung. Tapi juga biaya sekolah kedua anaknya.

“Talita, kamu jangan kurang ajar ya…” Samar-samar aku mendengar suara gaduh, suara Ibu juga terputus.

“Halo Bu, ini saya Asep. Ibunya Bapak pingsan, gimana ini,” ujar Mang Asep. Suara Mang Asep terdengar panik. Ah ada-ada saja, bagaimana jika jantung Ibu kumat. Mas Robi pasti akan marah besar jika dia tau kenapa Ibunya bisa masuk rumah sakit.

“Yaudah Mang, tolong bawa kerumah sakit aja ya. Nanti saya nyusul,” titahku pada Mang Asep lagi. Sangat menyusahkan, kenapa hidupku jadi serumit ini. Tidak pernah terbayangkan hidupku akan begini, bagaimana jika Ibu dan Ayah tau soal rumah tanggaku.

Pasti mereka akan sangat terpukul dengan semua kejadian yang menimpaku sekarang. Sebaiknya aku segera ke rumah sakit, untuk memastikan keadaan Ibunya Mas Robi. Setelah mengganti baju, aku kembali merapikan riasan wajah seadanya. Kemudian bergegas keluar dari salon setelah membayar semuanya pada kasir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status