Share

Bab 5

Aku terus mengikuti pergerakan mobil mas Wira, mau kemana sebenarnya dia. Katanya tadi mau beli rok*ok.

Tiba-tiba gerimis turun lumayan deras, aku agak kesulitan mengawasi kemana arah mas Wira melaju. Na'as pas dilampu merah aku terjebak. Ketika mobil mas Wira berhasil melalui lampu hijau, pas giliraku, aku kalah cepat dan kehilangan jejak kemana perginya mas Wira.

"Sial." Gerutuku kesal. Pasti aku diomeli netizen karena gak dilabrak pas mas Wira menaikkan perempuan tadi.

Aku cuma tidak ingin aku yang kemakan

salah paham, makanya aku akan ikuti kemana mas Wira pergi. Aku putar balik, takut nanti mas Wira sampai aku belum dirumah. Bisa gawat.

Hujan turun agak deras, baju yang kukenakan sudah basah karena aku lupakan membawa mantel. Seluruh tubuhku basah kuyup. Sesampainya dirumah, aku langsung diberondong banyak pertanyaan dari mbak Gita.

"Gimana Nay, Wira pergi kemana?" Tanya mbak Gita khawatir, ntah khawatir atau kepo. Tapi mbak Gita orangnya baik, gak mungkin hanya sekedar kepo belaka.

"Aku kehilangan jejak mbak, tadi pas dilampu merah, tapi aku tadi liat dia masukan perempuan." Masih kedinginan aku diintrogasi mbak Gita.

"Kamu ganti baju dulu deh, baru nanti cerita."

"Iya mbak." Lalu aku ganti baju, baju yang basah kuyup tadi aku tarok dipaling bawah. Biar mas Wira tidak curiga.

Aku kembali keruang tamu. Ternyata mbak Gita sudah membuatkanku teh hangat. Eh kok kebalik ya. Kan seharusnya aku yang membuatkan teh hangat, katena kan mbak Gita yang tamunya.

"Ini diminum dulu biar badannya hangat."

"Makasih lho mbak, malah ngerepotin mbak gini, bentar ya aku ambil cemilan dulu." Bahkan sangking buru-burunya aku lupa mengeluarkan makanan untuk mbak Gita tadi.

Aku ambil lempuk durian yang kubeli serempak mama kemaren. Akupun lupa untuk memankannya.

"Ini mbak dimakan, kmren aku beli sekalian pas ngantar mama beli oleh-oleh."

"Wah lempuk, kesukaan mbak ini Nay." Mbak Gita mencomot lempuk dari piring. Dia ternyata sangat suka sekali lempuk durian.

"Eh iya gimana tadi."

"Ya gitu pas dilampu merah aku kejebak. Trus hujan.ya terpaksa pulang dengan tangan kosong." Ucapku kesal.

"Yaudah gak usah kesal gitu, besok-besok kita kumpulkan lagi buktinya. Asal kamu tetap bersikap biasa sama Wira, mbak yakin dia belum kan berhenti tu Nay."

"Iya mbak, selama ini mas Wira benar-benar rapi, gak sama sekali mencurigakan bahkan handphone-nya dia tarok disembarang tempat."

"Kan suamimu hampir satu minggu diluar kota, bisa jadi mereka komitmen pas diluar kota aja mereka saling menghubungi."

"Iya juga ya mbak, kok aku gak kefikiran sampai kesitu." Aku garuk-garuk kepala yang sebenarnya memang gatal, ntah ketombe mungkin. Huh...

Tak lama mas Wira pulang, astaghfirullah aku lupa masukan motor, jawab apa kalau mas Wira nanya ya.

Aku dan mbak Gita keluar, mbak Gita bermaksud pamit sekalian, karena mas Wira sudah pulang.

Mas Wira berlari dari keteras sambil menutupi rambutnya dengan tas.

"Eh mbak Gita, udah lama mbak."

"Iya Wir, udah habis teh satu gelas, hehehe..."

"Lho kamu darimana dek, kok motornya diluar?"

Aku yang masih bingung mau jawab apa, mbak Gita langsung menjawan pertanyaan mas Wira.

"Itu tadi aku yang pinjam Wir, ke swalayan depan, eh pas pulangnya malah hujan, motor mbak lampunya putus."

"Oh gitu, yaudah Wira masuk dulu ya mbak."

"Iya Wir, mbak juga mau pamit, makasih ya motornya tadi."

"Iya mbak sama-sama." Jawab kami bersamaan.

Selamat, batinku lega. Mbak Gita menyelamatkanku.

"Ayok dek masuk, mas mau yang hangat-hangat nih." Matanya mulai menggodaku.

"Ih mas ni, aku buatkan kopi ya." Aku sebenarnya risih dengan rayuan mas Wira, namun aku harus pura-pura seperti biasa.

"Habis kopi, madinya ya. Hehehe...".

Dengan tatapan menggoda mas Wira masuk kekamar mandi.

Hemmm...aku mendengus kesal, gondok dalam hati, aku tarik nafas dalam-dalam biar otakku sedikit rileks. Pasalnya kalau udah begitu pasti mau minta haknya.

Dan benar saja, aku tak dibuatnya tidur malam tadi. Ini yang selau membuat aku bertanya-tanya, mas Wira selau hangat denganku, kewajibannya tak pernah sedikitpun dia lewatkan baik nafkah batin maupun lahir.

Tapi desas desusnya kalau mas Wira itu ganjen bahkan ada main sama salah satu temen kantornya. Perempuan yang kulihat malam tadi itu dari bodynya seperti Heni, tapi aku tidak yakin. Entahlah aku tidak mau berfikiran negatif. Sebaiknya aku cari bukti lagi.

Pagi sekali aku sudah menyiapkan sarapan dan bekal untuk mas Wira keluar kota, katanya semalam dia akan berangkat pagi-pagi karena banyak tagihan.

Tapi semenjak kejadian bedak dalam mobil dan malam tadi aku jadi parno sendiri. Fikiranku sudah melayang-layang memikirkan sesuatu yang buruk.

"Sayang kaos kaki mas dinama yang yang hitam?" Tanya lelakiku itu sambil berteriak.

"Ditempat biasalah mas."

"Gak ada, tolong cariin dong, aku buru-buru nih."

"Ih mas nih, awas ya kalau ada." Gerutuku kesal. Aku mematikan kompor dan berlari kekamar.

"Kalau ketemu mas kasih cium bolak-balik." Sambil mencolek daguku yang katanya runcing gitu. Menambah manisnya aku. Eh

"Ini apa?" Sambil menunjukan 1 pasang kaos kaki yang memang aku simpan ditempat biasa, aku simpan bareng daleman dilaci khusus.

"Heheheh....sini aku kasih cium." Dan benar dia mendaratkan ciuman dipipi kanan kiriku bolak-balik.

"Udah mas aku mau lanjut masak." Aku tinggalkan mas Wira dikamar masih dengan cengiran kudanya.

Tak habis fikir aku sama makhluk yang menyandang status suami ini, selalu tidak ketemu kalau mencari sesuatu, padahal ada didepan mata. Hemm..sebuah misteri yang tak terpecahkan.

Pukul 06.30 mas Wira sudah siap, bahkan ini terlalu pagi untuk berangkat kerja. Kalaupun dia mampir kantor dulu setidaknya jam setengah delapan.

Dimas sudah bangun setelah dicium mas Wira. Kami mengantar sampai didepan pintu pagar.

"Papa berangkat dulu ya sayang." Sambil mencium pipi gembil Dimas.

"Iya papa." Dimas yang biasa ditinggalkan dari bayi tak sedikitpun rewel ketika ditinggal mas Wira kerja berhari-hari.

"Dek hati-hati ya dirumah, kalau ada apa-apa telfon mas."

"Iya mas." Mas Wira mencium keningku dan aku mengalami punggung tangannya.

Gawai mas Wira tiba-tiba berbunyi, dia merogoh dari saku celananya, kulihat sekilah dilayar seperti inisial M dan hanya empat huruf. Apa itu Mila?

Buru-buru mas Wira mamasukannya lagi kedalam kantong.

"Kok gak diangkat mas?" Tanyaku penasaran.

"Oh gak usah nanti aja, mas buru-buru soalnya."

Mas Wira masuk kedalam mobil dan mengangkat telfon yang sedari tadi berdering.

"Iya sabar ini baru mau berangkat, tunggu aja." Samar kudengar mas Wira berbicara dengan sipenelfon, karena mesin mobil belum dia hidupkan jadi aku masih dengar.

"Siapa sih sebenarnya yang menelfon, kenapa aku jadi penasaran gini?"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status