Agil menggelar kasur tipis di ruang tamu lalu merebahkan badannya di sana. Ubin yang keras membuat punggungnya sakit! Berulang kali ia membolak-balikkan badan mencari posisi pas.
Kemudian matanya menatap langit-langit sembari memikirkan masalah yang ia hadapi. Kasus Bulan, membawanya bertemu dengan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan gadis itu.
Tanpa ia sadari orang- orang itu menyeretnya masuk ke dalam kumparan masalah mereka dan menurutnya ini bukan suatu kebetulan belaka. Ia seperti dituntun untuk menemukan kepingan puzzle dalam masalah tersebut lalu ia harus menyusunnya menjadi sebuah gambar utuh yang nantinya akan menjadi sebuah jawaban atas kasus kematian Bulan.
Puzzle yang didapatnya masih samar dan ia masih mengumpulkan bukti-bukti yang mungkin tercecer dari pengamatan polisi. Tapi ia heran, kenapa polisi terkesan mengendapkan kasus pembunuhan Bulan?
Mas Fadil, penyidik p
“Tidakkah Mama bosan menjalani hidup seperti itu, mempermainkan hati laki-laki?” tanya Bulan sendu memandang Mirna sedang matanya mengeluarkan air mata darah yang deras membanjiri daster putihnya. Wajah gadis itu amat pucat. “Apa yang Mama mau cari lagi??” Kakinya mengayun pelan mendekati Mirna. Perlahan, bau anyir menusuk indra penciuman Mirna. Perempuan itu terdiam kaku dan hanya bisa melihat Bulan dengan pandangan ngeri. “A-aku t-tidak t-tahu.” Dia ingin lari, tapi tak bisa, kakinya tak bisa digerakkan. “Tobat Ma, tobat! Sebelum terlambat!” pinta Bulan. Ia mendekatkan mukanya ke wajah Mirna.Wajah cantik Bulan seketika berubah menyeramkan, sepasang bola matanya nyaris keluar lalu sebagian wajahnya rusak parah
Mirna Dewi baru saja keluar dari kamar mandi dan melihat Luke sedang melonggarkan tutup botol bir dan menuangkannya ke dalam gelas lalu menyesapnya dengan nikmat. Mata Mirna Dewi dengan seksama mengamati Luke yang masih mengenakan celana pendek. Dia membiarkan dada bidangnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu terbuka. Di usianya yang matang, Luke masih tampak seksi membuat Mirna Dewi terpesona dan menatap pria itu tanpa berkedip. Pikirannya mulai membandingkan Luke dengan lelaki yang berkencan dengannya. Di mata Mirna Dewi mereka tak ada yang spesial. Hubungan mereka transaksional. Pria-pria itu membayar dirinya dan dia melakukan pekerjaannya sebagai pemuas ego mereka di atas ranjang. Akan tetapi Luke berbeda, lelaki itu memperlakukannya sebagai seorang ratu. 
Sudah hampir jam 7 malam, tapi Mirna Dewi masih bergelung di ranjang. Mukanya tampak lesu dan kusut. Dari pagi ia muntah-muntah. Perempuan cantik itu khawatir telah keracunan makanan maka ia mengingat-ingat apa yang telah dimakannya semalam. Nasi uduk, ayam goreng dan salad, sepertinya tidak ada yang salah dan semenjak pagi perutnya belum terisi apa-apa. Ia ke dapur memaksakan diri memanggang roti dan mengolesinya dengan selai kacang. Tapi baru satu suap, perutnya sudah berontak, dia buru-buru ke kamar mandi lalu mengeluarkan semua isi perutnya. Mirna Dewi menyandarkan tubuhnya ke dinding, ia sangat lemas. Ponselnya berdering, dari Lilian. 
Setelah lelah berputar-putar tak ada tujuan, Mirna Dewi mengarahkan mobilnya ke klub tempatnya bekerja. Ia langsung masuk dan mencari Lilian di kantornya.“Aku mau menari malam ini!” kata Mirna Dewi datar setelah 2 hari mengambil libur. Dia tidak mau tertekan sendirian di apartemennya karena menunggu kabar Luke yang tidak ada kabar sama sekali. Daripada senewen memikirkannya lebih baik ia bekerja. Bagi Mirna Dewi night club bukan hanya sekedar tempat meraup uang, tapi sebagai tempatnya melarikan diri mencari kebahagiaan sesaat dan melupakan masalah yang ia hadapi. “Kamu yakin? Bagaimana mualmu?” sahut Lilian, ia menangkap kemurungan di wajah Mirna Dewi. Sepertinya masalahnya dengan Luke belum selesai, pikirnya. 
“Apakah dia istri Luke?” tanya Mirna Dewi bengis dan menatap Lilian dengan benci. Lilian tidak menjawab. Tadi dia salah bicara dan Mirna Dewi curiga padanya. “Ini untuk kebaikanmu Mir, kehadiran bayi akan membuatmu repot nanti. Lebih baik gugurkan saja kandunganmu. Aku akan membantumu mencarikan tempat terbaik untuk melakukan aborsi. Aku juga akan tutup mulut.” “Omong kosong! Ini bukan tentangku kan? Tapi tentang perempuan posesif dan cerewet itu. Dia membayarmu untuk mengorek informasi dariku supaya bayi ini tidak menjadi duri dalam daging dalam kehidupan mereka kelak, betul kan?!” tuduh Mirna Dewi langsung. “Kamu jahat sekali Lilian! Kamu rela menjual temanmu untuk kepentingan dirimu!” dengusnya dengan senyum mengejek.
Mirna Dewi yang lebih senang disapa Mirna mengusap perutnya. Ia memejamkan mata, ketika tangannya menyentuh luka parut pasca operasi cesar. Mendadak wajahnya melunglai teringat peristiwa menyakitkan yang mengoyak batin dan meninggalkan jejak trauma mendalam pada perempuan itu. Kesedihan jelas terlukis di wajahnya. Trauma yang Mirna pendam rapat selama puluhan tahun meski pada Bulan, anaknya sendiri. Hingga gadis itu mati terbunuh dengan membawa pertanyaan yang ingin ia ketahui, lalu Chandra tiba-tiba hadir membawa kenangan pahit itu kembali. Mirna menghembuskan napas ke udara. Anehnya… saat stress begini justru hasrat bercintanya meningkat. Seks dengan di selingi minum alcohol membuatnya kecanduan. Kedua aktifitas itu memberinya kenikmatan sejenak, meluruhkan re
Semburat cahaya mentari masih malu-malu menyapa. Agil mengayuh sepedanya dengan bersemangat menyusuri gang- gang sempit mencari Chandra. Tak segan ia berhenti bertanya pada sekumpulan ibu-ibu di warung maupun tempat kos tentang Chandra. Peluhnya bercucuran membasahi badan, ia lantas berbelok ke jalan raya. “Ya Allah, tolong beri aku petunjuk di mana Chandra berada,” doanya dalam hati. Selama gadis itu belum ditemukan, hati Agil tak bakalan tenang. Dia merasa berdosa karena tidak memegang amanah Ibu Muji, ibunya Chandra untuk menjaga gadis itu. Maka tiap hari dia mencari Chandra bergantian dengan Pak Maman. Kerongkongan Agil kering, ia menepikan sepedanya di tepi jalan. Kemudian, matanya
“Jangan balik ke rumah Mirna, titik!” bentak Agil tak sadar dan membuang pandangannya ke jalan raya. Ia gusar, apa yang membuat Chandra ingin kembali ke rumah perempuan itu. “Aku kasihan dengan dia, Gil. Tante Mirna sendirian di rumah itu, pasti dia kesepian,” ujar Chandra bersikap tenang. “Bagaimana kalau arwah Bulan datang menakutinya?” Agil tertawa masam. “Apa itu alasan kamu sebenarnya? Atau…” tanya Agil menyelidik. Setelah mendengar cerita Bik Ami, Agil berpikir Mirna tak mungkin kesepian. Ia pasti mencari teman untuk menemaninya. “Atau apa?” balik Chandra. “Kenapa tidak kamu teruskan?”