Share

Part-5: Play Boy Cap Kodok

     Enam bulan kemudian setelah kecelakaan pesawat Hercules Lockheed C-130

     Tanggal 31 Desember: pukul 23:00  malam 

     Ruang tunggu keberangkatan pesawat di malam pergantian tahun itu terlihat begitu padat. Lihatlah...., antrean di meja chek-in keberangkatan begitu panjang penuh sesak. Penumpang pesawat membludak, penjualan tiket on-line meledak-ledak. Maskapai penerbangan kaya mendadak, pilot dan pramugari dapat tambahan rezaki lumayan banyak. Memang...., kalau rezeki dari Yang Kuasa itu sudah datang, pasti tak ada yang doyan mengelak.

     Hiruk-pikuk, lalu-lalang ratusan orang penumpang di ruang tunggu keberangkatan sangat terasa amburadulnya sejak sore tadi. Semua sibuk bertanya ke sana kemari. Keberangkatan banyak yang delay.....? Tapi itu kan suatu hal yang sudah biasa terjadi. Calon penumpang terlihat adu urat leher dengan petugas ground bandara karena tak pastinya jam keberangkatan pesawat.....? Ah...., kayaknya itu juga sesuatu hal yang sudah biasa.

    Namun...., ternyata ada juga sesuatu yang tak biasa terjadi di malam pergantian tahun itu. Suara teriakan marah-marah seorang wanita tak kalah sengitnya juga terdengar di antara hiruk-pikuk suasana ruang tunggu keberangkatan pesawat di malam itu. “Hei playboy korengan..! kamu dengar ya baik-baik kata-kata saya..!” Suara judes seorang wanita terdengar bergema dari salah pojok ruang tunggu.

     “Kamu itu yang nggak tahu diri.....! kamu itu yang egois tak punya perasaan..! kamu memang playboy cap kodok..!” Begitu aksen wanita itu mencak-mencak melalui handphone barunya berwarna merah jambu. Begitu bengis terdengar, melebihi bengisnya teriakan seorang ibu tiri.

     Lisa nama wanita yang lagi marah-marah itu. Gadis keturunan perancis alias “peranakan cina sunda“ salah seorang calon penumpang pesawat Airbus A320 dengan nomor penerbangan XZ-1949 yang akan berangkat menuju Biak pukul 23:45. Tak peduli baginya penumpang lain yang berada di sekitar sana. Tiga menit lamanya dia mencak-mencak, entah mengapa suara Lisa tiba-tiba saja macet tersendat di kerongkongan. Matanya yang genit tak sengaja tersangkut pada seorang perwira muda berpakaian dinas kemiliteran yang tepat duduk di depannya.

     Pemuda yang dilirik oleh Lisa itu sedari asyik saja membaca. Padahal dia itu adalah seorang tentara, bukan seorang mahasiswa, apalagi pasca sarjana. Begitu tampan dan terlihat berwibawanya dia. Pangkatnya saja kapten, terlihat jelas dari tanda tiga garis strip kuning yang melekat di kedua bahunya. Dia itu ternyata seorang perwira penerbang, bahkan pilot termuda lagi yang menyandang pangkat kapten di kesatuannya. Adam namanya, mulai bulan januari nanti, perwira muda itu mendapat tugas baru selama beberapa bulan di Papua.

     Puas memandang perwira pemuda itu, bibir Lisa yang bergincu kembali beringas. “Hei enak saja kamu ya..!” Teriak Lisa lagi melaui handphonenya. Mencak-mencak gadis anak orang kaya itu ternyata masih berlanjut.

     “Kamu itu yang selingkuh dengan dia kok malah aku yang kamu suruh harus minta maaf....., emang nya kamu itu siapa..! seorang pangeran haah......? benar-benar memalukan tak tahu diri kamu..! petantang petenteng hanya jual tampang....! padahal kamu itu pengangguran, kamu jangang bohong....! aku sudah tahu semuanya....!” Sorak Lisa semakin beringas. Handphone kemudian dia matikan seketika.

      Mendengar celotehan seseorang, pemuda bernama Adam yang duduk tepat di depan Lisa itu mengarahkan penglihatannya ke arah gadis itu. Lisa yang sedari tadi memang mencuri pandang berakting pura-pura malu. Kedua bola mata Lisa yang genit kembali beraksi. Seragam yang dikenakan oleh pemuda itu dia perhatikan, termasuk atribut kemiliteran yang Lisa sendiri tak sebegitu paham apa itu artinya. Namun dia yakin pemuda itu adalah pasti seorang Perwira. “...andai saja dia..., oh begitu tampan dan bersahajanya...” Gumam Lisa dengan tatapan lugu.  

     Sayang sekali, tatapan Lisa yang genit pada perwira itu hanya berlangsung sesaat. Ada panggilan masuk, handphone Lisa kembali berdering. Gadis itu kesal, belum puas lagi tatapan matanya yang genit itu beraksi, namun dirinya kini sudah terusik lagi, seketika itu juga handphonenya itu langsung dia matikan. Beberapa detik kemudian, lagi-lagi handphone Lisa berdering, kali ini panggilan itu dia jawab, tapi dengan makian. 

     Amarah Lisa memuncak, dia langsung membentak membentak dengan mencak-mencak. “Hei, sudah ya.....! aku sudah muak dengan kamu.....! dasar lelaki pengangguran....., kamu memang playboy cap kodok, playboy murahan....!” Handphone itu dia pencet, langsung mati seketika.

     Handphone nya  kembali berdering. “Masa bodo.!”  Jawab Lisa singkat, sesingkat-singkatnya. Hanya dua kata, handphone itu langsung dia matikan. Satu detik kemudian, handphone itu berdering lagi.

     “Hei.! playboy murahan cap kodok....! dengarin aku baik-baik ya, kita berdua putus mulai hari ini, mulai jam ini, dan detik ini juga, pokoknya detik ini juga putus, titik....!” Power handphone dia pencet habis-habisan, langsung mati deh, dan tak mungkin lagi berdering.

      Begitulah aksen Lisa, gadis tinggi behenol yang mengenakan baju warna ungu bergambar hello kitty itu kalau lagi marah melalui handphone, seram tapi menggelikan. Padahal, penumpang lain yang berada di dekatnya mendengar semua apa yang dia katakan. Namun, mungkin saja karena kesal yang memuncak, hingga wanita cantik itu pun tak peduli apa kata orang-orang yang ada di sekelilingnya.

     “Masa bodoh..!” Begitu mungkin pikirnya.

     Hi.., hi.., hi..., ternyata Lisa lagi perang sengit dengan seseorang, tapi perang tanpa senjata. Musuhnya adalah ‘play boy cap kodok’ seperti apa yang dia sebut-sebut di handphone tadi, dan orang itu tak lain adalah cowok nya sendiri yang sering kepergok selingkuh di  caffe pojok.  

     Pemuda yang bernama Adam itu tak lagi memperhatikan Lisa yang doyan marah-marah. Padahal gadis cantik dengan lekuk tubuh yang aduhai itu sudah begitu perfect nya beraksi untuk memancing perhatian. Sejenak Lisa masih berdiri di sana sembari mencuri pandang, namun pemuda itu semakin tak menghiraukan. Dia bahkan kembali membolak-balik bukunya asyik dengan bacaan. Mengetahui pemuda itu tak lagi memperhatikan dirinya, Lisa gadis mempesona anak orang kaya itu pun akhirnya cepat-cepat berlalu dari sana.

*****

     Malam terakhir bulan Desember merangkak mendekati larut. Jarum jam menunjukkan pukul 11.07 malam, menit-menit menghampiri pergantian tahun semakin mendekat. Sampai saat itu, ruang tunggu keberangkatan pesawat di bandara sepertinya masih enggan merayap senyap.

    Penerbangan banyak yang tertunda di malam pergantian tahun itu. Lalu lintas di udara katanya lagi pada macet. Padahal juga...., tak ada ‘traffic light’ lampu merahnya di atas sana, apalagi yang namanya razia gabungan atau operasi zebra, tentu saja itu tak pernah ada. Jam keberangkatan pesawat dengan nomor penerbangan XZ 1949 dengan tujuan Biak belum juga ada kepastiannya. Menunggu pun mulai bosan, belum tahu entah sampai kapan

     Sebahagian dari penumpang mengisi waktu dengan permainan game seru di beberapa pojok ruangan. Penumpang yang sempat ngorok dalam ruang tunggu juga ada. Yang bengong lalu-lalang tak tentu arah banyak juga. Kalau yang berduit seperti orang-orang berdasi lebih memilih nongkrong di ruangan excecutive yang tentu saja harganya selangit.

     Beberapa orang lelaki ‘sejati’ lebih memilih bersemedi dengan sabar di smoking area yang sempit. Walaupun dipenuhi asap rokok memedihkan mata, namun mereka tetap duduk dengan tenang sembari menikmati hisap demi hisap lintingan tembakau beracun yang sudah digulung rapi oleh tangan-tangan cekatan di pabriknya.

******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status