Share

Bab 2

"Tante, izinkan aku masuk, Tanteee!" teriak Arisha sembari menggedor pintu.

Setelah cukup lama memanggil dan menggedor, pintu pun kembali terbuka. Arisha tersenyum semringah.

"Terima ka—"

"Berhenti! Siapa yang mengizinkanmu masuk, heh?!" hardik wanita paruh baya itu seraya memukulkan sebuah tas selempang ke dada Arisha.

"Jangan pernah kembali! Kakakku benar-benar sial menikahi ibumu. Dia pasti melacur hingga kau juga mengikuti jejaknya dengan menjadi pelakor!"

Kata-kata tajam wanita itu menusuk jantung Arisha bagai sebilah belati. Lukanya memang tak berdarah, tetapi sungguh terasa perih.

Tak masalah jika hanya dia yang dihina, tetapi tidak dengan ibunya. Sampai mati pun Arisha tak akan pernah rela jika ada orang yang merendahkan ibunya.

"Ibuku wanita terhormat, Tante! Jangan pernah merendahkan ibuku!" Manik mata Arisha berkilat garang.

"Cuih! Kalau ibumu wanita terhormat, lalu dari mana kau mendapatkan mata biru itu, hah? Kakakku bermata cokelat, begitu juga ibumu. Kalau ibumu tidak melacur, dari siapa kau mewarisi mata bule itu? Kau tak bisa jawab, kan?

"Pergi dari hadapanku! Aku menyesal pernah membesarkanmu! Dasar anak tidak berguna! Cuma bisa bikin malu!"

Arisha meninggalkan rumah, tempatnya tumbuh besar, dengan kepala tertunduk dan langkah gontai.

Matahari telah lama tenggelam. Ke mana ia harus pergi? Tak ada sanak saudara selain wanita yang ia panggil tante itu.

Arisha berjalan dengan pikiran yang mengembara ke mana-mana. Bahagia yang dia damba, derita yang dia terima.

Membuang pandangan kosong pada jalanan yang lengang, Arisha menapak tilas perjalanan cintanya dengan Alfian.

Setelah lulus SMA, mereka menjalani hubungan jarak jauh. Alfian melanjutkan studinya di ibukota, sedangkan Arisha tetap tinggal di kampung halamannya.

Arisha percaya pada Alfian tanpa ada keraguan sedikit pun. Dia mencintainya dengan sepenuh hati. Dia pikir Alfian akan melakukan hal yang sama untuknya.

Betapa syoknya Arisha saat mengetahui bahwa Alfian telah mengkhianati cinta sucinya selama bertahun-tahun. Lelaki yang dicintainya itu bahkan telah memiliki seorang putra dengan wanita lain.

Malang sekali nasibnya. Kesetiaannya dibalas pengkhianatan.

Di saat ia terpuruk dan butuh sandaran, sang tante justru mengusirnya setelah menikamnya dengan untaian kata yang begitu menyakitkan.

Kriyuut!

Arisha mengusap perutnya yang berdendang nyaring.

'Gara-gara serangan dari istri pengkhianat itu, aku sampai lupa makan seharian ini,' gerundel Arisha dalam hati. Celingukan memperhatikan tepian jalan, mencari keberadaan warung nasi.

Seulas senyum tipis mengembang di bibirnya kala netra sendunya menangkap apa yang dia cari.

Teringat ia harus membayar makanannya nanti, Arisha mengecek tas selempangnya.

"Astaghfirullah! Ke mana uangku?" Arisha syok mendapati uang yang ia sisipkan dalam dompet sebagai tabungan, tak lagi berada di tempatnya. Hanya menyisakan selembar uang berwarna hijau dengan nominal dua puluh ribu rupiah.

"Tidak apalah! Anggap saja uang itu sebagai ucapan terima kasih untuk tante. Uang segini cukup kok untuk bertahan hidup sampai esok hari," gumam Arisha, menghibur diri sendiri seraya memandangi lembaran uang di tangannya.

Grep!

"Hei! Kembalikan! Itu uangku!"

Arisha berlari mengejar anak jalanan yang merampas uang terakhir miliknya.

"Sekarang jadi milikku!" ledek remaja laki-laki tersebut seraya mencibir, menggoyangkan pantat ke kiri dan ke kanan, kemudian kembali melesat pergi.

"Ah, sial!"

Arisha menghentikan pengejaran. Telapak kakinya terasa perih. Seharusnya ia memakai sandal saat berhasil pulang tadi. Sayang, ia terlalu terbawa perasaan, hingga melupakan kondisi tubuhnya. Pakaiannya pun bahkan tidak berganti.

Tertatih-tatih Arisha beranjak menuju warung nasi yang menjadi tujuannya tadi. Setelah sampai, ia hanya berdiri termangu di luar kedai. Tak berani menapak masuk. Hanya tatapannya terpaku pada deretan menu yang menggugah selera.

Byuur!

Pemilik warung menyiram Arisha dengan seember air bekas cuci piring. Mata laki-laki paruh baya itu melotot garang.

Ia mengusir Arisha tanpa rasa belas kasihan, "Pergi! Pelangganku bisa kehilangan selera makan melihatmu di sini! Hush! Hush!"

Arisha berbalik lesu. Beginilah nasib orang tak punya. Selalu dihina dan dipandang rendah. Sepertinya orang-orang kaya itu lupa bahwa di antara sebagian rezeki yang Allah titipkan kepada mereka, ada hak orang lain.

Percayalah, hanya memberi makan dengan sepiring nasi tak akan membuat suatu usaha jatuh bangkrut atau seseorang menjadi miskin. Justru harta yang ditinggalkan akan lebih berkah dan yang disedekahkan akan kembali kepada yang menyedekahkan dengan berlipat ganda.

Tanpa terasa air mata Arisha kembali jatuh menetes. Cepat-cepat disekanya dengan punggung tangan. Langkahnya kian terseok, tanpa tujuan.

"Arisha! Kamu Arisha, kan?"

Arisha mengangkat kepalanya yang menunduk. Matanya menyipit, berusaha mengenali sosok perempuan yang menyapanya setelah turun dari sebuah mobil.

"Kamu—"

"Astaga, Arisha! Kamu benar-benar Arisha! Dan kamu tidak mengenaliku?" cerocos gadis itu seraya menangkup kedua pipi Arisha. "Lihat baik-baik! Aku Hanna! Han-na!"

"Hanna? Kamu Hanna, teman masa kecilku?" tanya Arisha, setengah tak percaya.

Gadis di depannya itu sangat jauh berbeda dengan Hanna yang ia kenal dulu.

Hanna mengangguk berulang kali.

Secercah cahaya seakan menerangi kegelapan yang melingkupi Arisha.

“Hanna, senang bertemu denganmu lagi! Bagaimana kabarmu?” Arisha memeluk Hanna erat.

“Aku baik-baik saja, Arisha." Hanna melepaskan tangannya dan menatap Arisha dalam-dalam.

“Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku bertemu denganmu,” kata Hanna. “Tapi, yah … kamu tidak banyak berubah. Bagaimana kehidupanmu selama ini?”

"Kurasa kamu tidak akan senang mendengarnya."

"Ayo kita ngobrol! Eh, malam-malam begini, kamu kok bawa tas? Apa yang terjadi?"

Arisha tersenyum canggung. "Ceritanya panjang."

"Ya sudah, bagaimana kalau ngobrol di rumahku saja?"

Bak mendapat durian runtuh, Arisha menyetujui ajakan Hanna.

"Inilah rumah sederhanaku. Malam ini kamu boleh menginap di sini," kata Hanna, menyodorkan segelas teh manis pada Arisha.

Ia ikut duduk di sofa ruang tamu, bersebelahan dengan Arisha.

"Sederhana apanya? Kamu hebat! Udah punya rumah sendiri sebagus ini!" puji Arisha, mengerling kagum pada benda-benda mewah yang menghias ruang tamu Hanna.

"Kamu juga bisa punya rumah kayak gini. Mau ikut aku kerja di kota? Besok aku kembali kerja "

"Benaran? Aku boleh ikut kamu?"

"Tentu dong, tapi … kamu harus cerita dulu kenapa kamu sampai terlihat seperti orang sesat begini!"

Arisha menunduk sedih dan berkata dengan nada lirih, "Aku gagal nikah, Han …."

"Apa? Kok bisa?"

Lalu mengalirlah kisah pilu yang baru dialaminya dari mulut Arisha.

Hanna mengusap-usap pundak Arisha. "Mungkin memang sudah takdir hidupmu, Arisha. Sabar. Badai pasti berlalu."

Terdengar klise memang, tapi ternyata cukup mampu menenangkan kegalauan Arisha.

"Jadi, bagaimana? Mau mengubah nasib dengan ikut aku ke kota?" Sekali lagi Hanna menawarkan harapan.

Arisha mengangguk. Mungkin inilah jalan untuknya bisa menggapai cita-cita dan mengubah nasib. Ingat, Tuhan tidak akan mengubah nasib seorang hamba jika hamba itu tidak mau mengubah nasibnya sendiri.

"Kenapa lagi?" tanya Hanna, melihat wajah Arisha tiba-tiba murung.

"Aku … tidak punya modal untuk pergi ke kota."

"Ah, itu mah gampang. Aku yang mengajakmu, aku juga yang akan menanggung semuanya sampai kamu punya penghasilan sendiri."

"Serius?"

"Astaga, Arisha! Masa kamu masih meragukanku?"

Refleks Arisha mendekap Hanna. Hatinya terharu. "Terima kasih, Hanna. Aku nggak tahu bagaimana hidupku kalau misalnya nggak ketemu kamu."

Hanna mengelus punggung Arisha. Matanya memancarkan kilat misterius seiring dengan sudut bibirnya yang melengkung naik, membentuk seringai licik.

'Ya, ya. Aku juga senang mendapatkanmu, Arisha!'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status