"Tante, izinkan aku masuk, Tanteee!" teriak Arisha sembari menggedor pintu.
Setelah cukup lama memanggil dan menggedor, pintu pun kembali terbuka. Arisha tersenyum semringah.
"Terima ka—"
"Berhenti! Siapa yang mengizinkanmu masuk, heh?!" hardik wanita paruh baya itu seraya memukulkan sebuah tas selempang ke dada Arisha.
"Jangan pernah kembali! Kakakku benar-benar sial menikahi ibumu. Dia pasti melacur hingga kau juga mengikuti jejaknya dengan menjadi pelakor!"
Kata-kata tajam wanita itu menusuk jantung Arisha bagai sebilah belati. Lukanya memang tak berdarah, tetapi sungguh terasa perih.
Tak masalah jika hanya dia yang dihina, tetapi tidak dengan ibunya. Sampai mati pun Arisha tak akan pernah rela jika ada orang yang merendahkan ibunya.
"Ibuku wanita terhormat, Tante! Jangan pernah merendahkan ibuku!" Manik mata Arisha berkilat garang.
"Cuih! Kalau ibumu wanita terhormat, lalu dari mana kau mendapatkan mata biru itu, hah? Kakakku bermata cokelat, begitu juga ibumu. Kalau ibumu tidak melacur, dari siapa kau mewarisi mata bule itu? Kau tak bisa jawab, kan?
"Pergi dari hadapanku! Aku menyesal pernah membesarkanmu! Dasar anak tidak berguna! Cuma bisa bikin malu!"
Arisha meninggalkan rumah, tempatnya tumbuh besar, dengan kepala tertunduk dan langkah gontai.
Matahari telah lama tenggelam. Ke mana ia harus pergi? Tak ada sanak saudara selain wanita yang ia panggil tante itu.
Arisha berjalan dengan pikiran yang mengembara ke mana-mana. Bahagia yang dia damba, derita yang dia terima.
Membuang pandangan kosong pada jalanan yang lengang, Arisha menapak tilas perjalanan cintanya dengan Alfian.
Setelah lulus SMA, mereka menjalani hubungan jarak jauh. Alfian melanjutkan studinya di ibukota, sedangkan Arisha tetap tinggal di kampung halamannya.
Arisha percaya pada Alfian tanpa ada keraguan sedikit pun. Dia mencintainya dengan sepenuh hati. Dia pikir Alfian akan melakukan hal yang sama untuknya.
Betapa syoknya Arisha saat mengetahui bahwa Alfian telah mengkhianati cinta sucinya selama bertahun-tahun. Lelaki yang dicintainya itu bahkan telah memiliki seorang putra dengan wanita lain.
Malang sekali nasibnya. Kesetiaannya dibalas pengkhianatan.
Di saat ia terpuruk dan butuh sandaran, sang tante justru mengusirnya setelah menikamnya dengan untaian kata yang begitu menyakitkan.
Kriyuut!
Arisha mengusap perutnya yang berdendang nyaring.
'Gara-gara serangan dari istri pengkhianat itu, aku sampai lupa makan seharian ini,' gerundel Arisha dalam hati. Celingukan memperhatikan tepian jalan, mencari keberadaan warung nasi.
Seulas senyum tipis mengembang di bibirnya kala netra sendunya menangkap apa yang dia cari.
Teringat ia harus membayar makanannya nanti, Arisha mengecek tas selempangnya.
"Astaghfirullah! Ke mana uangku?" Arisha syok mendapati uang yang ia sisipkan dalam dompet sebagai tabungan, tak lagi berada di tempatnya. Hanya menyisakan selembar uang berwarna hijau dengan nominal dua puluh ribu rupiah.
"Tidak apalah! Anggap saja uang itu sebagai ucapan terima kasih untuk tante. Uang segini cukup kok untuk bertahan hidup sampai esok hari," gumam Arisha, menghibur diri sendiri seraya memandangi lembaran uang di tangannya.
Grep!
"Hei! Kembalikan! Itu uangku!"
Arisha berlari mengejar anak jalanan yang merampas uang terakhir miliknya.
"Sekarang jadi milikku!" ledek remaja laki-laki tersebut seraya mencibir, menggoyangkan pantat ke kiri dan ke kanan, kemudian kembali melesat pergi.
"Ah, sial!"
Arisha menghentikan pengejaran. Telapak kakinya terasa perih. Seharusnya ia memakai sandal saat berhasil pulang tadi. Sayang, ia terlalu terbawa perasaan, hingga melupakan kondisi tubuhnya. Pakaiannya pun bahkan tidak berganti.
Tertatih-tatih Arisha beranjak menuju warung nasi yang menjadi tujuannya tadi. Setelah sampai, ia hanya berdiri termangu di luar kedai. Tak berani menapak masuk. Hanya tatapannya terpaku pada deretan menu yang menggugah selera.
Byuur!
Pemilik warung menyiram Arisha dengan seember air bekas cuci piring. Mata laki-laki paruh baya itu melotot garang.
Ia mengusir Arisha tanpa rasa belas kasihan, "Pergi! Pelangganku bisa kehilangan selera makan melihatmu di sini! Hush! Hush!"
Arisha berbalik lesu. Beginilah nasib orang tak punya. Selalu dihina dan dipandang rendah. Sepertinya orang-orang kaya itu lupa bahwa di antara sebagian rezeki yang Allah titipkan kepada mereka, ada hak orang lain.
Percayalah, hanya memberi makan dengan sepiring nasi tak akan membuat suatu usaha jatuh bangkrut atau seseorang menjadi miskin. Justru harta yang ditinggalkan akan lebih berkah dan yang disedekahkan akan kembali kepada yang menyedekahkan dengan berlipat ganda.
Tanpa terasa air mata Arisha kembali jatuh menetes. Cepat-cepat disekanya dengan punggung tangan. Langkahnya kian terseok, tanpa tujuan.
"Arisha! Kamu Arisha, kan?"
Arisha mengangkat kepalanya yang menunduk. Matanya menyipit, berusaha mengenali sosok perempuan yang menyapanya setelah turun dari sebuah mobil.
"Kamu—"
"Astaga, Arisha! Kamu benar-benar Arisha! Dan kamu tidak mengenaliku?" cerocos gadis itu seraya menangkup kedua pipi Arisha. "Lihat baik-baik! Aku Hanna! Han-na!"
"Hanna? Kamu Hanna, teman masa kecilku?" tanya Arisha, setengah tak percaya.
Gadis di depannya itu sangat jauh berbeda dengan Hanna yang ia kenal dulu.
Hanna mengangguk berulang kali.
Secercah cahaya seakan menerangi kegelapan yang melingkupi Arisha.
“Hanna, senang bertemu denganmu lagi! Bagaimana kabarmu?” Arisha memeluk Hanna erat.
“Aku baik-baik saja, Arisha." Hanna melepaskan tangannya dan menatap Arisha dalam-dalam.
“Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku bertemu denganmu,” kata Hanna. “Tapi, yah … kamu tidak banyak berubah. Bagaimana kehidupanmu selama ini?”
"Kurasa kamu tidak akan senang mendengarnya."
"Ayo kita ngobrol! Eh, malam-malam begini, kamu kok bawa tas? Apa yang terjadi?"
Arisha tersenyum canggung. "Ceritanya panjang."
"Ya sudah, bagaimana kalau ngobrol di rumahku saja?"
Bak mendapat durian runtuh, Arisha menyetujui ajakan Hanna.
"Inilah rumah sederhanaku. Malam ini kamu boleh menginap di sini," kata Hanna, menyodorkan segelas teh manis pada Arisha.
Ia ikut duduk di sofa ruang tamu, bersebelahan dengan Arisha.
"Sederhana apanya? Kamu hebat! Udah punya rumah sendiri sebagus ini!" puji Arisha, mengerling kagum pada benda-benda mewah yang menghias ruang tamu Hanna.
"Kamu juga bisa punya rumah kayak gini. Mau ikut aku kerja di kota? Besok aku kembali kerja "
"Benaran? Aku boleh ikut kamu?"
"Tentu dong, tapi … kamu harus cerita dulu kenapa kamu sampai terlihat seperti orang sesat begini!"
Arisha menunduk sedih dan berkata dengan nada lirih, "Aku gagal nikah, Han …."
"Apa? Kok bisa?"
Lalu mengalirlah kisah pilu yang baru dialaminya dari mulut Arisha.
Hanna mengusap-usap pundak Arisha. "Mungkin memang sudah takdir hidupmu, Arisha. Sabar. Badai pasti berlalu."
Terdengar klise memang, tapi ternyata cukup mampu menenangkan kegalauan Arisha.
"Jadi, bagaimana? Mau mengubah nasib dengan ikut aku ke kota?" Sekali lagi Hanna menawarkan harapan.
Arisha mengangguk. Mungkin inilah jalan untuknya bisa menggapai cita-cita dan mengubah nasib. Ingat, Tuhan tidak akan mengubah nasib seorang hamba jika hamba itu tidak mau mengubah nasibnya sendiri.
"Kenapa lagi?" tanya Hanna, melihat wajah Arisha tiba-tiba murung.
"Aku … tidak punya modal untuk pergi ke kota."
"Ah, itu mah gampang. Aku yang mengajakmu, aku juga yang akan menanggung semuanya sampai kamu punya penghasilan sendiri."
"Serius?"
"Astaga, Arisha! Masa kamu masih meragukanku?"
Refleks Arisha mendekap Hanna. Hatinya terharu. "Terima kasih, Hanna. Aku nggak tahu bagaimana hidupku kalau misalnya nggak ketemu kamu."
Hanna mengelus punggung Arisha. Matanya memancarkan kilat misterius seiring dengan sudut bibirnya yang melengkung naik, membentuk seringai licik.
'Ya, ya. Aku juga senang mendapatkanmu, Arisha!'
"Arisha, hei! Bangun! Kita udah sampai." Hanna menepuk pelan pipi Arisha. Membangunkan gadis itu dari lelapnya selama menempuh perjalanan panjang, hampir delapan jam.Arisha menggeliat, lalu mengerjap. Berusaha mengumpulkan kepingan jiwanya yang masih berserakan setelah lelah berkelana di alam mimpi."Kita di mana?""Ini Jakarta, Sayang. Ayo turun!""Aku masih ngantuk." Arisha mengucek mata, berusaha melawan kantuk yang masih tersisa."Kamu bisa melanjutkan tidur sepuasnya setelah tiba di kamar hotel."Arisha terlonjak. "Apa? Hotel? Kita bukan ke kontrakanmu?""Biasa aja kali, nggak usah kaget begitu!" ledek Hanna. "Anggap aja ini sambutan selamat datang untukmu.""Hotel kan mahal, Hanna." Arisha merasa tak enak hati membebani sang sahabat dengan menghabiskan banyak uang."Sudah, tidak apa-apa. Cuma sesekali kok. Ayo!" Hanna mendorong pintu mobil untuk Arisha.Arisha dan Hanna melenggang, meninggalkan parkiran hotel, yang kian kelam."Um, kamu keberatan enggak menunggu di sini sebenta
"Apa? Kamu pikir aku pekerja sosial?" bentak Dareen. “Kamu menabrakku, jadi kamu harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi padaku,” bantah Arisha. "Ya Tuhan! Dari mana asal wanita gila ini?” Dareen menggerutu.Kilatan lampu mobil menerangi wajah Arisha. Dia tampak pucat. Dareen merasa tidak tega untuk meninggalkan gadis itu seorang diri di tengah belantara kota metropolitan yang lebih menakutkan daripada hutan rimba."Oke. Aku akan membawamu ke Rumah Sakit," putus Dareen seraya mengoper gigi persneling. "Tidak! Jangan bawa aku ke sana!" Arisha menolak untuk pergi ke Rumah Sakit. Dia khawatir Hanna akan menemukannya. "Dengarkan aku!" kata Dareen. Dia menatap Arisha melalui kaca spion. "Aku sibuk dan tidak punya waktu untuk mengabulkan permintaanmu. Lagi pula, aku bukan jin yang dapat mengabulkan tiga permintaan. Kalau kamu tidak mau periksa ke dokter, katakan ke mana aku harus mengantarmu!" "Aku bilang aku tidak tahu seluk-beluk kota ini,” jawab Arisha. "Bawa aku ke tempat man
"Tidak. Begini saja, kau jadi babysitter," ralat Dareen, teringat bahwa babysitter yang dipekerjakannya telah mengundurkan diri dua hari yang lalu. "Apa? Jadi babysitter?" Arisha terperangah. Kuliah sampai sarjana dengan niat agar dapat bekerja sesuai dengan bakat dan minatnya, kenapa tiba-tiba ditawari jadi babysitter? Dalam mimpi pun Arisha tidak pernah berharap akan menekuni bidang pekerjaan yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi tersebut. "K–kamu … cuma bercanda, 'kan?" Dareen menatap lekat wajah resah Arisha. "Apa aku kelihatan sedang bercanda?" "Tidak sih," jawab Arisha ragu. Mau tidak mau Arisha harus mengakui bahwa Dareen terlihat sangat serius dengan kata-katanya. "Kuberi kamu waktu untuk memikirkannya sampai makan malam nanti," tegas Dareen. "Kalau kamu menerima tawaranku, bukan hanya tempat tinggal dan makanmu yang gratis di sini, kamu juga akan menerima gaji. Bahkan, jauh lebih tinggi dari karyawan biasa yang bekerja di perusahaan." "Kalau aku … tidak mau?" "Si
"Silla mana, Bi? Apakah dia tantrum lagi hari ini?""Iya, Tuan. Seperti biasa, bibi sampai kewalahan menghadapi Nona Kecil."Dareen menghela napas panjang. "Aku juga tidak tahu lagi bagaimana menghadapinya, Bi. Tidak satu pun babysitter yang kupekerjakan mampu menarik hatinya. Aku juga jadi tidak tenang dalam bekerja. Selalu memikirkannya."Wajah letih Dareen terlihat putus asa. Setiap jam makan siang dia harus pulang untuk mengecek kondisi Silla.Tak jarang gadis itu dia dapati sedang tantrum, membanting semua barang-barang di kamarnya. Akan tetapi, siang ini, kenapa begitu tenang?Sadar akan perubahan itu, Dareen mengernyit dan bertanya dengan nada cemas, "Di mana Silla sekarang, Bi? Apa telah terjadi sesuatu yang buruk padanya?"Dareen melesat menuju tangga yang menjadi penghubung ke lantai atas.Bi Minah tersenyum santai. "Tenang saja, Tuan! Semua aman terkendali.""Maksud, Bibi?""Non Silla udah ketemu sama pawangnya, Tuan," beritahu Bi Minah setengah berbisik."Aduh, Bi … tolong
"Kamu mau membunuh Silla?" Dareen berkata dengan nada pelan, tetapi penuh penekanan. Jemari panjangnya mencekal pergelangan tangan Arisha dan menjauhkan tangan gadis itu dari dada Silla. Arisha meringis. "Lepas! Kamu menyakitiku." "Katakan! Apa yang kamu lakukan pada Silla?" "Memangnya apa yang aku lakukan? Aku hanya mendoakannya," sahut Arisha seraya berusaha bangkit. Kening Dareen mengerut. "Jangan coba-coba menipuku, Arisha!" bisik Dareen, menyeret Arisha menjauh dari Silla. "Aku tidak buta. Aku lihat kamu menekan dada Silla." "Astagfirullah! Kamu salah paham. Aku tidak berniat menyakiti Silla. Aku justru sedang berusaha mengetuk pintu langit, berharap Allah akan melembutkan hatinya." Dareen menyipitkan mata, curiga. "Aku tidak bodoh, Arisha!" "Ya, ya. Kamu tidak bodoh, tapi juga tidak cukup pintar untuk membesarkan seorang anak," sindir Arisha dengan bibir mencebik sinis. "Dengar, Tuan Sok Pintar! Jangan cuma bisa membuat anak, tapi pelajari juga cara mendidiknya! Hanya den
"Kakaaak! Kakak Nggak boleh tinggalkan Silla!" jerit Silla, berlari menuruni tangga. Rambutnya yang sepinggang berkibar-kibar dan terlihat kusut. "Aakh!" Silla terjatuh kala kaki mungilnya tersandung pinggiran karpet. Mengabaikan rasa sakitnya, Silla bergegas bangkit, kembali memburu Arisha. Melihat pemandangan yang menyentuh hati itu, pegangan tangan Arisha pada kenop pintu terlepas. Ia berjongkok, mengimbangi ketinggian Silla. Gadis mungil itu menghambur ke dalam pelukan Arisha dan memagut lehernya dengan erat. "Silla … Silla mau sama Kak Sha," lirih gadis itu, terbata-bata. Ia mulai sesenggukan. Arisha dilema. Sungguh tak ada keinginan dalam hatinya untuk tetap tinggal serumah dengan Dareen. Lelaki yang menurutnya sangat arogan dan menyebalkan. Akan tetapi, melihat betapa Silla mulai bergantung kepadanya, rasa tak tega menyeruak dalam hatinya. Menyapa dengan bisikan-bisikan yang meluluhkan jiwa. "Sayang, kok tidur siangnya sebentar sekali?" tanya Arisha, menyembunyikan ras
"Bi Minah, Silla mana? Kenapa dia tidak ada di kamarnya?" Pagi-pagi Dareen heboh sembari memasang wajah panik. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk mengecup kening sang keponakan tercinta sebelum berangkat kerja. Namun, pagi ini, kamar gadis mungil itu kosong. Prasangka buruk mulai merasuki pikirannya. "Bi, kenapa diam saja?" sungutnya, menyadari sang asisten rumah tangga hanya tersenyum simpul. Tangan wanita paruh baya itu masih menggenggam kemoceng yang ia pakai untuk mengikis debu pada kaca lukisan, penghias dinding koridor menuju bibir tangga. "Bukankah bagus jam segini nona cilik tidak lagi tidur, Tuan?" Sebelah alis Dareen terangkat. "Maksud, Bibi? Silla bukan dibawa kabur, tapi memang sudah bangun?" "Ya ampun, Tuan! Siapa yang berani membawa kabur nona cilik?" timpal Bi Minah. "Nona cilik bersama Non Arisha." "Huh? Sepagi ini?" Dareen masih tak percaya keponakannya itu mau melepaskan diri dari belitan selimut hangatnya saat matahari baru sepenggalan naik. Bi Minah men
"Dasar cowok gila! Dia yang menahanku, dia juga yang selalu curiga," omel Arisha, merasa dongkol dengan kata-kata Dareen yang terus terngiang di telinganya. Sementara tangannya sibuk mengaduk susu yang disiapkannya untuk Silla. "Laki-laki memang egois! Giliran ada maunya baik banget, tapi cuma kedok doang. Aslinya penipu! Habis manis sepah dibuang!" Arisha terus mengomel, mengeluarkan unek-uneknya. Bukan hanya tentang Dareen, melainkan juga dongkol setengah mati pada sosok Alfian. "Tidak semua laki-laki begitu, Non—" "Eh, Bi Minah!" Arisha menoleh kaget. "Sejak kapan Bibi berdiri di situ?" Wajah Arisha sedikit beriak resah. Gawat kalau Bi Minah mendengar semua ocehannya. Bagaimana kalau Bi Minah mengadu pada Dareen? Ah, bisa keluar tanduk dari kepala Dareen. Arisha mengutuki kebiasaannya yang suka berbicara sendiri, sebagai salah satu cara untuk meluapkan emosi. "Sudah lumayan lama, Non," sahut Bi Minah, tersenyum tipis seraya melangkah mendekati Arisha. "Bibi … mendengar semu