Ketika berpapasan dengan kursi Neil, pandangan mataku sempat terpaku kepadanya dan Neil bersikap acuh tak acuh. Ia bergeming pada kursi eksekutifnya dan mengoperasikan flash-C miliknya. Sekilas aku dapat melihat berbagai rumus dan kode algoritma sangat rumit pada layar Cyter dan A.I. Nana. Melihat pergerakan Neil, mendadak aku merasa harus mencari tahu apa yang sedang ia lakukan. Bisa saja aku mendapatkan informasi mengenai cara menerobos perlindungan program A.I. Nana jika mengamati Neil.
Begitu sampai pada pintu keluar ruang meeting, Anita langsung mengapit dan bergelayut di lengan kiriku.
“Gila, kau gila juga ya? Hahaha, hebat sekali kau bisa punya nyali sebesar itu untuk mengutarakan pendapat. Bukan cuma itu, kau bahkan memotong pembicaraan para pimpinan!” Kedua mata Anita tampak berbinar-binar, “Selama lima tahun aku bekerja di perusahaan ini, aku baru pertama kali lihat kejadian seperti tadi. Aku saja tidak berani melakukan itu. Kau tahu tidak
“Hei, Kau, tidak dengar? Apa yang sedang kau lakukan?” untuk kedua kalinya pemilik sepatu pantopel hitam itu berkata padaku. Aku mendongak dan nyaris terkena serangan jantung ketika melihat sosok di hadapanku. “Pak...Neil..” ucapanku tertelan, nyaris tidak dapat terdengar oleh telingaku sendiri. Apes betul aku ini, semua yang kulakukan tidak berjalan sesuai kehendak. Baru saja keluar dari pertempuran para bromocorah, sekarang harus menanggung kehancuran akibat tertangkap basah mengintip oleh orang yang kuintip. “Jawab, sedang apa, Kau?” tanyanya sekali lagi dengan alis terangkat dan mata menyipit. Apa? Aku harus menjawab apa? Tidak mungkin aku mengatakan sedang mengintipmu! Atau berusaha jujur kalau aku mau membobol Nana untuk menghilangkan foto dan identitasku! batinku terus-menerus menggema. Seakan batinku sedang berduel dengan otak dan mulai menyalahkan kelakuan si otak yang bergerak tanpa berpikir. “Mengintipmu!” Ini gawat, mulutk
“Selesai.... Tapi stockingmu sepertinya sudah rusak parah.” Aku bergegas berdiri dan mundur beberapa langkah, lalu membungkuk dan mengucapkan, “Terima kasih sudah membantuku, aku harus kembali bekerja.” Aku harus kabur secepat mungkin dari situasi ini. “Tunggu, kau pikir urusan kita sudah selesai? Kau tidak bisa kabur begitu saja setelah apa yang kau perbuat!” tukas CEO yang memiliki jejak biru pada area kumis dan janggutnya yang tercukur habis. “Ah, maafkan aku, karena sudah mengintip anda, Pak CEO.” Aku membungkuk dua kali dengan sangat dalam. “Aku terima permohonan maafmu yang ini, tapi kau masih berhutang dua maaf lagi. Pertama, atas kejadian di tengah rapat tadi. Kedua, kau pasti sudah tahu apa kesalahanmu yang lain. Lalu aku sudah berjanji untuk menghukummu. Jadi, mari kita bicarakan perihal ini di ruang meeting.” Neil berjalan mendahuluiku memasuki ruang meeting. Sedangkan aku melangkah dengan sangat berat, mengikuti pria yang sudah berdiri di dalam ru
“Aku berhutang maaf dan penjelasan karena meninggalkanmu begitu saja malam itu? Kau bertanya apakah aku merasa bersalah?” gumamku dengan nada yang nyaris hanya terdengar oleh telingaku sendiri. Rasa bersalah? Aku merasakannya, tapi bukan kepada dirimu. Aku merasa bersalah sekaligus takut pada diriku sendiri. Takut pada kenyataan bahwa aku telah melakukan perbuatan yang tidak bermoral. Takut pada fakta bahwa aku menikmatinya. Gelisah dengan keadaan bahwasanya aku tidak dapat mempersembahkan cintaku yang utuh kepada Gerald lagi, karena kesucianku telah hilang. Aku merasa marah pada keadaan, pada dirimu, pada Jimmy yang membuatku menjadi seperti ini, terlebih pada diriku sendiri. Aku merasa frustasi. Kau pikir tubuhku saat ini terasa baik-baik saja? Aku merasakan perih hingga selalu kesakitan ketika berjalan. Hanya saja aku bertingkah seolah semua baik-baik saja. Aku, bukanlah seorang perempuan cengeng, dan aku adalah seorang pengacara. Ada begitu banyak orang yang meng
Neil mendesiskan tawa. Di sela tawanya, Neil berkata, ”Baiklah, aku akan berterima kasih dan memberimu reward, asalkan kau tetap menjalankan satu hukuman dariku.” Aku memperhatikan pria di hadapanku dengan saksama, napasku memburu untuk memakinya dengan segala sumpah serapah. Segala bentuk antisipasi bangkit dalam tubuhku hingga tanganku mengepal dan bergetar. “Bernyanyilah,” ujar Neil pelan, namun dengan nada yang memancarkan kekuasaan. “Itu hukuman atas sikap tidak sopanmu saat rapat, dan karena telah meninggalkanku tanpa pesan apapun di klub,” sambungnya. “Apa?” Seluruh emosiku meledak, aku nyaris berteriak. “Kau ingin aku menyanyi? Aku harus menyanyi apa?” Mataku berkedip-kedip. Wajahku memerah, tidak memercayai apa yang baru saja kudengar dari mulut Neil. Alih-alih kaget melihat kemarahanku, Neil justru terlihat tenang. Ia mengedipkan matanya persis seperti yang kulakukan. “Terserah, yang penting menyanyilah. Otakku sudah terlalu suntuk,
Aku memejamkan mata sejenak. Menarik nafas panjang. Hal yang paling memusingkan adalah kenyataan bahwa aku tidak mengingat satu lagu apapun. Aku tidak pernah menghafal lagu dari awal sampai akhir. Aku tidak tahu harus menyanyikan lagu apa! Tapi karena aku sudah berjanji kepada Nana, aku mencoba membuka mulut. “Sophie Amalia, menyanyilah!” teriak Neil dengan penuh semangat. Aku kaget bukan main. Di saat aku tengah membuka mulut, ia memotongku begitu saja. Sontak sifat latahku kumat, dan aku langsung berceloteh tanpa rem, “Eh nyanyi...Nyanyi...Siap nyanyii...Nyanyi apa tapi? Eh nyanyi...” Hoooo… Nak tidur mana? Hoooo… Nak tidur mana? Mengantuk… Mengantuk Nak tidur mana? Mengantuk… Mengantuk Tolonglah saya Jumpa katil (katil) Jumpa katil (katil) Katil yang bulat Yeay… Nak tidur (okay) Ouch! Ouch! Ouch! Ouch!
“Memang apa lagi yang harus kita bicarakan?” tanyaku setelah sang CEO menyuruhku duduk kembali. Dia menggeleng. Tersenyum. “Tidak ada.” “Apa?” Aku menggeleng gusar. “Kau memintaku menunggu tanpa alasan yang jelas? Kau pikir aku ini apa?” Lancar sekali ucapan ini keluar dari mulut tanpa tertahan. Lagi Neil hanya mengangguk tenang kemudian menjawab, “Kau adalah anak buahku. Sedangkan aku adalah CEOnya.” “Kau tahu istilah ‘kurang ajar’ tidak. Kamu itu adalah..” Ingin sekali aku menghujaninya lagi dengan rentetan kalimat yang lebih banyak, namun kibasan tangan sang CEO membuatku terdiam. Neil mengubah sikap duduk menjadi condong ke depan sembari menepiskan tangannya. Dia berbicara setelah yakin mulutku terdiam. “Dengar, ya, aku juga tidak lama. Sebentar lagi aku ada meeting di Senayan.” “Lantas kenapa kau menyuruhku bertahan di sini?” “Karena aku hanya ingin menatap wajahmu lebih lama,” jawabnya singkat namun diiringi tata
“Nana, sebelum kau pergi, bolehkah aku memintamu menghapus sebuah file?” Nana menoleh penuh kepadaku, “File yang mana, Nona?” “File tadi yang ada di rapat. File berisi foto yang ditunjukkan oleh pengacara...” “File yang ada foto dan profil dirimu, Nona?” sebelum aku menyelesaikan kalimatku Nana sudah memotong. Apa? Ucapan menusuk kedua dari si A.I. hari inil. Kalau di pertandingan sepak bola, Kali ini dia sudah membuat skor menjadi 2-0. “File yang ada foto diriku?” tanyaku berupaya bersikap seolah-olah tidak tahu. “Tentu dengan pembesaran zoom dua puluh kali dan pertajaman gambar saja, aku sudah dapat melihat figure wanita yang mengantarkan para saksi tadi adalah dirimu, Nona Sophie. Apakah Anda menginginkan saya untuk membuka file foto Anda beserta identitasnya?” Brengsek! Kenapa mereka menciptakan AI secanggih ini, harus bagaimana aku ini? “Tidak... Tidak...Kau tidak perlu menunjukkan file itu pa
Ucapan Neil dan A.I. sok tahu, Nana, kemarin, membuatku tidak dapat tidur dengan nyenyak. Sepanjang malam kalimat jatuh cinta, cantik, serta pertanyaan apakah aku menyesali atau tidak peristiwa one night stand yang terjadi antara aku dan Neil terus-menerus terngiang-ngiang di telingaku. Bahkan lucunya aku tidak dapat menyingkirkan wajah dan sorot mata Neil, meskipun sudah berusaha menyingkirkannya dari otak dengan berusaha memejamkan mata. Sial kenapa wajah laki-laki menyebalkan itu selalu muncul di kepalaku? Kupukul kepalaku beberapa kali untuk menyingkirkan wajah manis itu dari otakku. Manis? Hah! Rupanya aku sudah gila! Memikirkan laki-laki tengil itu membuat seluruh tubuh dan pikiranku terasa amat lelah. Padahal ini akhir pekan, dan Sabtu Minggu adalah hari liburku baik di Firma Hukum Benjamin maupun Wollim, tapi pagi ini aku justru terpaksa menembus jalanan ibukota untuk bertemu dengan salah satu korban pencemaran lingkungan PT Orin be