Josie menatapku. Aku yakin dia ingin mengatakan sesuatu tapi ada yang menahannya untuk bicara. "Josie, kamu bilang aja sama Pak Avin. Daripada kamu dipaksa ke guru BK. Kamu mau ketemu Bu Wedari?" Resti memecah kesunyian di antara kami. Josie menoleh pada Resti, lalu mendesah. Napasnya terasa berat. Aku menduga Josie takut mengatakan yang sebenarnya, takut salah percaya pada orang yang dia hadapi ketika dia bicara. "Aku ga tahu ..." Josie tampak ragu. "Percaya sama aku. Aku juga punya rahasia dan Pak Avin ga ember, kok," ujar Resti. Mataku cepat menoleh pada Resti. Rahasia apa? Kenapa Resti bilang begitu? "Baiklah. Aku, aku akan cerita. Setelah sekolah." Josie memutuskan. "Good," sahut Resti. "Kapan saja, asal kamu siap." Aku ikut menimpali. "Udah hampir masuk. Ayo," ajak Resti. Tangannya menggandeng Josie. Josie manut dan tidak menolak. Aku senang. Perlahan, Resti berhasil membuat Josie nyaman dan mau berteman. Aku mengikuti kedua muridku itu menuju kelas. Dua menit lagi bel
"Josie ..." Aku dan Resti memanggil bersamaan. "Ga apa-apa. Aku akan mencari tempat lain buat aku ..." "Josephine! I need you to give me time to listen and understand!" Aku mencegah Josie agar tidak meneruskan langkahnya! Josie langsung berhenti. Dia masih berdiri memunggungi aku dan Resti. "Josephine, bukan berarti aku ga percaya. Aku masih harus mencerna semuanya. Please, lanjutkan. Aku janji ga akan menyela hingga kamu tuntas bicara," ujarku. Aku berharap Josie akan berbalik dan kembali ke kursinya. "Josie ... please ..." Resti ikut membujuk. Josie memutar badannya. Dia memandang padaku dan Resti. "Promise, aku ga akan bicara sampai kamu selesai." Aku meyakinkan Josie. Josie kembali. Dia duduk lagi di kursinya. Aku lega dan siap mendengar kelanjutan cerita Josie yang masih misteri buatku. "Aku makin takut tinggal di rumah. Itu rumahku sendiri, tapi aku merasa asing. Tante terus saja menyuruh aku melakukan ini dan itu, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mencuci, dan se
Dengan pikiran masih penuh, aku meninggalkan sekolah. Tujuanku pulang. Aku tidak ingin ke mana-mana. Masih berkeliaran semua kisah yang Josie buka tentang dirinya. Jika itu benar, betapa perih hidup yang dia jalani selama ini. Sedikit banyak aku bisa paham kalau Josie lelah dan ingin meninggalkan semua kemelut hidupnya. Tapi tidak, tidak semudah itu. Hidup masih berjalan, pasti ada yang baik akan datang. Mobil Bang Edo tampak di depan rumah. Tumben, jam segini calon kakak iparku datang. Artinya Kak Lili juga ada di rumah. "Haa ... haaa ...!!" Tawa lepas terdengar dari dalam rumah. Suara Bang Edo dan Kak Lili tertawa bersama. Aku bergegas melangkah menuju teras. Pintu terbuka. Tampak Bang Edo dan Kak Lili ada di ruang tamu. "Hai! Baru pulang?" sapa Bang Edo. "Aku yang harusnya nanya? Kalian berdua ngapain jam segini di rumah? Jam kerja belum kelar," jawabku. Aku masuk di duduk di kursi tepat di samping Kak Lili. Aku perhatikan di meja penuh dengan goodie bag. Ada yang coklat, put
"Kamu memang paling ga bisa liat orang susah. Aku udah hafal tabiatmu yang satu itu. Asal tidak menimbulkan masalah baru saja, Vin." Bang Edo memecah keheningan di antara kami. "Iya, Bang. Aku akan ingat itu." Aku mengangguk. "Sayang, aku harus balik ke kantor. Aku janji paling lambat sebelum jam empat sudah bisa lanjut kerja. Aku pulang agak larut. Jadi ga usah chat atau telpon kalau ga mendesak." Bang Edo berdiri. "Iya, aku ga akan ganggu." Kak Lili menyahut. "Tapi, kalau kirim chat I Love You, ga dilarang. Aku tunggu," sambung Bang Edo. "Duh, bucin ga abis-abis. Bikin jealous kali!" sahutku. Bang Edo ngakak. Dia melambaikan tangan dan berjalan keluar rumah. Kak Lili mengantar ke depan. Aku memilih masuk ke kamar. Lebih baik aku bersihkan badan, istirahat sebentar, lalu mencari strategi bagaimana caranya yang paling tepat bicara dengan wali kelas Josie dan Ibu Kepala Sekolah. Malam ternyata cepat berlalu. Aku tidak juga menemukan cara jitu menolong Josie kecuali bertemu dan b
Aku kaget, benar-benar kaget, Resti menyerahkan buku rahasia Josie padaku. "Kamu apa-apaan?" tanyaku dengan mata setengah melotot. "Pak, kalau ga gini, ga tahu kita yang terjadi. Dan ga ada bukti. Kecuali Josie mau bicara dengan tantenya. Kalaupun tantenya datang, apa iya dia akan ngaku, di rumah tempat dia dan Josie tinggal dipakai untuk adegan dewasa?" Resti memandangku. Aku menghela napas. Resti benar. "Aku tahu ini salah. Aku mencuri buku Josie. Tapi ... tiba-tiba saja aku punya pikiran dan waktu lihat buku itu aku ambil." Resti merasa bersalah juga tampaknya. "Baiklah. Yang penting kita bantu Josie tetap stay di sekolah. Itu dulu," ujarku. "Kamu cepat ke kelas sana." "Iya, Pak," kata Resti. Segera gadis itu meninggalkan aku, bergegas ke kelasnya. Aku menoleh lagi ke arah asrama. Sepi, tidak tampak siapapun. Aku membalikkan badan dan melangkah menuju ke kantor. Bu Rani, aku harus menemuinya, tapi setelah aku mendapat sesuatu dari buku harian Josie. Di kantor sudah lumayan b
"Pak Avin!" Panggilan itu terdengar. Suaranya berat, bukan suara Josie. "Pak Avin!" Sekali lagi kudengar. Segera kesadaranku pulih. Ternyata salah satu murid kelas yang memanggilku. Kenapa aku bisa membayangkan begitu jauh tentang Josie? Apa benar, yang Bang Edo bilang, aku suka sama Josie? Aku mulai ada hati untuk muridku itu? "Oh, ya, gimana?" Aku segera menengok pada murid dengan rambut cepak itu. "Udah betul belum, Pak?" Tangan murid itu menyodorkan buku latihannya. Aku kembali konsentrasi, memperhatikan pekerjaan muridku. Tidak lama lagi. Hanya sekian menit lagi, sabarlah. Aku berusaha menenangkan diri sendiri. Begitu bel usai kelas, aku segera meminta murid-murid mengumpulkan tugas mereka di meja. Lalu aku membereskan semuanya dan bergegas meninggalkan kelas. Tujuanku adalah mencari Josie dan Resti. Apakah Josie sudah bertemu dengan Ibu Kepala dan Wali Kelasnya? Apa yang terjadi kemudian? Apa benar, Bu Rani bisa meyakinkan Ibu Kepala agar membiarkan Josie tetap meneruskan s
Kami yang di dalam bis melongok keluar, mengikuti arah tangan murid itu. Aku tidak melihat jelas apa yang dia tunjuk. Segera aku mendekat ke sisi kanan dan menengok keluar agar lebih jelas ada apa. "Josie, Pak!" Suara yang lain menyahut. Tampak Josie berjalan bergegas ke arah bis. Dia mendekati pintu. Aku tak menunggu lagi, segera membuka pintu bis. "Josephine?" tanyaku sambil memandang Josie yang melangkah masuk. "Maaf, Pak, Bu Ertis minta aku ke bis. Dia masuk di mobil empat. Masih cukup kan, di sini?" Josie berdiri di depanku. Ah, lagi-lagi debaran girang menghampiri hatiku. "Bu Ertis? Kok tiba-tiba?" Aku jujur saja terkejut, tapi senang. Bu Ertis seharusnya tidak akan ikut dalam rombongan field trip. Tapi kenapa ... "Bu Ertis ada urusan di kantor pemerintahan ga jauh dari lokasi field trip. Jadi sekalian bareng." Josie menjelaskan. "Well, oke ..." Aku menoleh ke seluruh bis. Sebenarnya bis sudah penuh. Karena memang semua sudah dihitung. "Kamu duduk di sini." Aku mengambil
Ranting pohon itu lepas dari pangkalnya. Di bawahnya Josie sedang melintas. Seperti auto-pilot, kakiku terangkat, melangkah cepat, dan melompat ke arah Josie. Aku menarik Josie sekuat mungkin agar menjauh dari patahan ranting pohon yang terjun terarah padanya. Di sekelilingku terdengar teriakan terkejut dan panik dengan kejadian mengerikan yang tiba-tiba itu. Sementara Josie sudah ada dalam dekapanku. Dan kurasa di bahu kiriku, ranting pohon menimpa, membuat rasa sakit dan ngilu yang sangat kuat. "Pak Avin! Josie! Ya ampun!! Astaga!!" Entah teriakan apa lagi yang masuk ke telingaku. Aku tidak memperhatikan di sekitarku. Aku hanya mau yakin Josie baik-baik saja. Merasa yakin, bahaya sudah lewat, perlahan aku lepaskan dekapanku dari Josie. Wajah Josie tampak sangat tegang dan bingung. Antara pucat dan merah menghiasi wajahnya. Josie menatapku dengan heran sedangkan tangannya masih erat memegang lenganku. "Josie! Kamu ga apa-apa?" Resti sudah berdiri di belakang Josie. Dua gadis lain