Home / Rumah Tangga / My Beloved Partner / Menjadi Tutor (Pertemuan)

Share

My Beloved Partner
My Beloved Partner
Author: Mrs Dream Writer

Menjadi Tutor (Pertemuan)

last update Last Updated: 2023-09-26 08:34:30

“Kau? Sedang apa disini?” tanya Taka dengan mata melebar menatap seorang wanita berbalut dress formal dengan balutan cardigan denim yang memberi kesan lebih kasual yang tengah berdiri di hadapannya.

“Papa sudah pulang?” sahut seorang anak remaja bernama Ghenta itu menyahutnya.

“Ya, dan kalian sedang apa?” tanya Taka kembali mengulang tanyanya.

“Papa, ini Mrs Dini yang menjadi Guru Pengajarku. Papa sudah menyetujuinya kan dan kami sudah dua pekan mulai belajar. Jangan katakan Papa melupakannya,” ucap Ghenta panjang lebar.

”Oh, begitu ya. Maaf sayang, Papa bukannya lupa hanya kaget karena Mrs Dini yang kamu katakan ini adalah Tante Wisang istrinya sahabat Papa. Kau ingat Om Dimas?” jawab Taka sambil menyodorkan tangannya kepada Wisang.

“Really? Mrs Dini adalah istri Om Dimas?” ucap Ghenta sangat terkejut mengetahuinya.

Dan wanita yang disebut keduanya itu pun mengangguk sambil tersenyum.

“Waah, asyik dong,” seru Ghenta yang memang merasa nyaman belajar dengan Wisang menjadi sangat antusias.

“Baiklah, tapi bukankah sekarang kau seharusnya sudah berangkat berenang?” ucap Taka lagi.

“Papa,” keluh Ghenta sambil menuruti pria itu dan pamit pergi setelahnya.

Sementara itu Wisang masih berada di halaman depan bersama Taka. Mereka menunggu taksi yang dipesan Wisang. Namun sampai jeda cukup lama, nyatanya taksi pesanan Wisang tak kunjung sampai.

“Sudah hampir malam, biar aku antarkan saja,” ucap Taka mengambil inisiatif.

“Tidak perlu, aku bisa pulang naik ojek. Jangan merepotkan,” ucap Wisang merasa tidak enakan.

“Tidak masalah, justru aku yang tidak enakan karena aku dengar kau sering pulang dari sini sampai cukup malam mengajari Ghenta. Andai aku tahu lebih awal, mungkin aku akan meminta mundur jadwalnya lebih sore. Maaf ya, aku tidak mau Dimas memprotes nantinya,” ucap Taka sambil membukakan pintu mobil untuk Wisang.

“Terima kasih, tenang saja karena Dimas tidak akan peduli,” ucap Wisang sambil melangkah masuk ke dalam mobil.

Hujan deras mendadak turun mengguyur kota ini. Mereka baru saja meninggalkan halaman rumah dan hujan turun langsung sangat lebat disertai gemuruh petir yang menggelegar.

“Taka, maaf … Bisakah berhenti dulu di sana, aku harus membeli sesuatu,” ucap Wisang sambil menunjuk sebuah kedai makan yang berada di depan mereka.

“Tentu,” jawab Taka sambil menepikan mobil setelahnya.

Pria itu diam-diam memperhatikan Wisang, wanita itu melangkah keluar dengan menggunakan sebuah payung yang diberikan oleh Taka.

Tak berselang lama, Wisang kembali dengan satu porsi makanan di tangannya.

Tidak ada perbincangan di sepanjang perjalanan ini setelahnya.

“Lampu rumahmu mati?” tanya Taka ketika menyadari jika lampu di rumah Dimas itu gelap sementara di kanan dan kiri rumah tersebut menyala terang benderang.

“Tidak ada orang di rumah, jadi belum ada yang menyalakan saklarnya. Oh ya, terima kasih ya sudah mengantarkanku pulang,” ucap Wisang sebelum bergegas turun dari mobilnya Taka.

Kini tanda tanya besar memenuhi benak Taka. Ingatannya kembali kepada sore tadi dimana dia menelepon Dimas untuk sebuah urusan. Taka mendengar sangat jelas jika saat dia menelponnya itu Dimas mengatakan dirinya sedang berada di rumah. Bukan itu saja, Taka bahkan mendengar suara perempuan di dekat Dimas.

“Apa yang terjadi?” gumam Taka sambil memutar balik mobilnya meninggalkan halaman rumah sahabatnya itu.

Keesokan harinya, di jam yang sama seperti kemarin.

Taka baru sampai di rumah, dan dia melihat Wisang tengah bersama dengan Ghenta di ruangan tamu dengan setumpuk buku pelajaran anaknya itu.

Ingin meyakinkan sesuatu, Taka kemudian meraih ponselnya dan berjalan menjauh dari ruangan tamu karena tidak ingin pembicaraannya itu didengar oleh Wisang dan juga Ghenta.

Taka : “Hallo, Dim, Lo dimana?”.

Dimas : “Hai Brother, aku baru balik nih. (Iya sayang sebentar ya, aku mandi dulu).” Terdengar suara di belakang Dimas.

Taka : “Seriusan Lo dirumah?”

Dimas : “Ya iyalah, masa di mana? Lagian ada apa sih Bro?”

Taka : Enggak, aku cuma mau nanya. Istri Lu masih open jasa tutor gak sih? Aku butuh tutor untuk Ghenta.

Dimas : “ Oh, itu aku gak tahu. Tar aku tanyain ya. (Siapa sih sayang?)”

Suara wanita itu kembali terdengar dengan sangat jelas

Taka : “Nah, itu ada Wisang kan? Tanyain deh.”

“Tut … Tut … Tut… “

Telepon justru terputus membuat Taka yang sedari tadi melihat Wisang tengah mengajari Ghenta di ruang tamu menjadi merasa gemetar penuh rasa kesal mencerna apa yang tengah terjadi dalam rumah tangga sahabatnya itu.

Pukul enam sore.

“Aku antar kamu pulang ya,” ucap Taka kembali menawarkan diri untuk mengantar Wisang.

“Tidak perlu, tuh taksi sudah datang,” jawab Wisang.

Namun pria ini justru membayar taksi itu dan membatalkan orderan Wisang tersebut.

“Naiklah, aku ingin mentraktirmu makan,” ucap Taka yang entah memiliki keberanian dari mana untuk melakukan semua ini yaitu melibatkan diri dalam persoalan rumah tangga sahabatnya.

Setengah jam berlalu, mereka kini sudah duduk berhadapan pada meja makan sebuah restoran.

“Apa kalian ada masalah?” tanya Taka dengan begitu saja.

Wisang menggelengkan kepalanya perlahan.

“Syukurlah, bisa kau telponkan Dimas? Ponselku mati sementara ada urusan penting yang ingin aku tanyakan,” ucap Taka sambil menyodorkan ponselnya yang memang mati karena sebelumnya sudah di off-.kan.

Terlihat raut wajah Wisang menjadi gusar. Wanita itu meneguk salivanya berulang kali karena bingung.

Sementara Taka, dia semakin meyakini sesuatu.

“Aku … “ ucap Wisang tergagap.

“Kau tidak punya nomor Dimas kan?” ucap Taka menebak.

Seketika itu juga air mata Wisang mengalir deras dengan tanpa suara. Wanita itu tak bisa mengendalikan emosinya saat menyadari jika sampai saat ini setelah dua tahun pernikahannya dengan Dimas dia bahkan tidak pernah tahu nomor ponsel suaminya itu.

Taka menggenggam erat tangan Wisang untuk mencoba menenangkan wanita itu.

“Maaf, tidak seharusnya aku mengatakan semua ini kepadamu. Terlebih, kalian bersahabat. AKu sungguh minta maaf,” ucap Wisang ketika mereka berada di perjalanan pulang.

“Ciit!”

Taka menepikan mobilnya di tepian jalan yang cukup lengang. Pria ini memutar tubuhnya menghadap ke arah Wisang.

“Jangan pura-pura kuat! Kau tidak sehebat itu menyembunyikannya! Itulah kenapa kau tidak keberatan saat Ghenta menghabiskan waktu malam mu dengan tugas-tugasnya dan itulah alasan kalimatmu yang mengatakan jika ‘dia tidak akan peduli?” ucap Taka sambil meraih Wisang ke dalam pelukannya.

“Tidak Taka, aku baik-baik saja,” ucap Wisang tapi kembali dengan tangisan yang mengalir deras dari kedua sudut matanya.

Taka tak bisa mengerti apa yang mengendalikan dirinya saat ini. Tapi dia tak sanggup melihat Wisang menanggung beban ini sendirian.

Dia meraih wajah wanita itu dan mengusap lembut setiap sudut matanya Wisang dengan desiran aneh yang Taka sendiri tidak bisa memahaminya.

Dua bola mata beradu cukup lama. Desiran hebat tak hanya menyentuh relung hatinya Taka, tapi juga Wisang.

Mata wanita itu memejam perlahan saat deru nafas Taka semakin menyapu hangat kulit wajahnya.

Taka menyentuh bibir itu sangat lembut dengan menggunakan kedua bibirnya, seperti tengah menyentuh bunga mawar tanpa ingin menghancurkan kelopaknya.

Sentuhan lembut itu begitu singkat, tapi sanggup membuat Wisang begitu mendesir hebat.

Rangkulan pun dilepaskan, tubuh keduanya merenggang dan Taka kembali melajukan mobilnya ke arah rumah Dimas.

Mengantarkan Wisang hingga ke pintu gerbang rumahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • My Beloved Partner   Kembali Normal

    Suara alarm dari HP Wisang meraung dari bawah bantal. Ia mengeluh, membalik badan sambil memeluk guling… yang ternyata adalah kaki Taka.“Wisang, alarm-mu udah kayak sirine ambulans. Bangun, hari pertama kamu ngajar privat anak Bu Neneng.”“Kenapa namanya Bu Neneng terdengar seperti karakter antagonis?” gumam Wisang tanpa membuka mata.Taka melempar bantal ke wajahnya. “Karena kamu punya trauma dengan ibu-ibu komplek.”“Karena mereka menyeramkan.”Wisang duduk berhadapan dengan anak laki-laki usia 9 tahun yang sedang memainkan pensil seperti lightsaber. Bu Neneng memperhatikan dari balik pintu.“Mas Wisang, anak saya ini memang agak sulit fokus. Tapi katanya dulu Mas pernah ngajar anak-anak korban trauma. Harusnya bisa, ya?”Wisang tersenyum canggung. “Tentu, Bu. Saya juga mantan korban—eh, maksud saya… mantan guru di tempat terapi.”Anak laki-laki itu menatap Wisang. “Kak, kamu bisa ngajarin matematika sambil cerita horor gak?”Wisang menghela napas panjang. “Ini akan jadi hari yang

  • My Beloved Partner   Kehidupan Normal Kembali

    Beberapa Bulan Setelah Kemenangan – Kota Cyradon BaruLangit kota metropolitan Cyradon Baru berwarna keemasan sore itu. Bangunan-bangunan tinggi berarsitektur futuristik berdiri berdampingan dengan reruntuhan yang kini dijadikan monumen peringatan perdamaian. Mobil terbang melintas di udara, dan layar hologram menampilkan berita utama: “Wisang Si Api dan Komandan Taka Resmi Pensiun dari Pasukan Gabungan”.Di balkon apartemen lantai 42, Taka menyeduh teh dari teko batu hitam warisan suku leluhur api. Rambutnya kini digelung sederhana, dan pakaian tempurnya tergantung rapi di balik lemari kaca. Ia mengenakan piyama linen abu muda, tampak tenang, meski pikirannya berkelana jauh.Dari dalam apartemen, suara tumit beradu dengan lantai terdengar ringan.“Lagi-lagi teh jam lima,” kata Wisang, muncul dengan rambut masih basah dan kaus lusuh. “Kau memang tak bisa dipisahkan dari tradisi perang, ya?”Taka menoleh dan tersenyum. “Tradisi itu... mengingatkanku padamu. Kita dulu selalu minum teh s

  • My Beloved Partner   Melewati Batas Badai

    Pagi Hari – Pos Pertemuan Pasukan Gabungan di Lembah DargathMentari menyibak kabut pagi, menghangatkan tenda-tenda pasukan yang tersebar di sepanjang lembah. Di tengahnya, berdiri panggung darurat dengan lambang tiga faksi besar: Elven Selatan, Pasukan Hutan Utara, dan Pasukan Api Cyradon.Wisang dan Taka berdiri berdampingan di depan para pemimpin fraksi. Shandra sudah bersiap di sisi kiri, sementara Raina berdiri tegap di sisi kanan.“Tak kusangka, kita akan tiba di hari ini—hari di mana musuh bersama membuat kita lupa dendam lama,” ucap Shandra, menatap kerumunan prajurit dan komandan.Wisang melangkah maju. Suaranya lantang, tenang, dan penuh harap.“Kita tak lagi punya waktu untuk membenci satu sama lain. Kerajaan Gelap bukan hanya ancaman bagi satu bangsa, tapi bagi semua makhluk yang mencintai kebebasan. Jika kita ingin melihat cahaya esok, kita harus berdiri sebagai satu—hari ini.”Sorak sorai meledak dari bawah panggung. Para pemimpin fraksi saling menatap, lalu satu per sat

  • My Beloved Partner   Pegunungan Cyradon

    Pukul 10:30 WIB – Reruntuhan Stasiun Komunikasi, Gunung CyradonSetelah ledakan reda dan situasi dinyatakan aman oleh Shandra, mereka berlindung di ruang bawah tanah stasiun yang masih kokoh. Raina sibuk memperbaiki sambungan komunikasi, sementara Taka membersihkan serpihan peluru dari lengannya.Wisang duduk di sudut ruang, memandangi tangan kirinya yang gemetar. Luka fisik mulai membaik, tapi luka batin yang disembunyikannya kembali terasa menyiksa.Taka menghampirinya dengan kain basah. “Masih sakit?” tanyanya pelan.Wisang menggeleng. “Aku baik-baik saja.”Taka duduk di sampingnya, tapi jarak di antara mereka terasa membentang jauh.“Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk bicara soal kita,” bisik Taka, “tapi aku harus tahu... kenapa kau begitu menjauh sejak Bara menghilang?”Wisang menunduk. Suaranya lirih. “Karena aku takut kehilangan lagi. Aku kehilangan Bara, dan aku belum siap kehilangan kamu juga.”Taka menatapnya lama, sebelum menghela napas. “Kau tidak akan kehilanganku.

  • My Beloved Partner   Argenta Mount

    Pukul 08.00 WIB, Dua Hari Setelah Operasi LeviathanLokasi: Kediaman Darurat di Pegunungan ArgentaKabut tebal menggantung rendah di lereng gunung saat Wisang membuka pintu kabin tua yang dijadikan markas sementara. Di dalam, suasana sunyi. Hanya denting pelan alat komunikasi yang terus menyala, menerima siaran-siaran dari dunia luar yang kini mulai bergolak.Taka duduk di dekat perapian, memandangi layar tablet yang menampilkan berita utama dari berbagai negara:“Eksperimen Manusia Super Terbongkar: Pemerintahan Bayangan Wira Diguncang Skandal Internasional.”“Benteng Leviathan Meledak: Pertanda Akhir Rezim Rahasia?”“Rakyat Bergerak: Demonstrasi Serentak di 17 Negara.”Wisang berdiri di belakangnya. “Kita berhasil mengguncang dunia.”Taka mengangguk. “Tapi Wira belum jatuh. Dan kita kehilangan Bara.”Mereka terdiam sejenak, hingga langkah ringan terdengar dari luar. Raina masuk dengan wajah cemas.“Ada masalah,” katanya singkat.Pusat Komando Rahasia – Ruang Intelijen RainaRaina me

  • My Beloved Partner   Server

    Pukul 10.00 WIB – Markas Rahasia Jenderal AlvaroSebuah markas tersembunyi di bawah tanah, jauh dari jangkauan intelijen milik Wira, menjadi tempat perlindungan sementara bagi Wisang, Taka, dan Raina. Ruangan utama dipenuhi layar monitor yang memantau pergerakan musuh di seluruh wilayah. Aroma kopi hangat dan suara mesin server terdengar samar-samar.Wisang berdiri di depan papan digital, menatap peta interaktif yang menampilkan wilayah kekuasaan Wira. “Dia membagi kekuatan ke tujuh sektor. Yang paling kuat, Sektor Epsilon, dijaga langsung oleh tangan kanannya: Juna Madekha.”Taka menatap layar itu dengan tajam. “Juna... dia mantan instruktur taktik militer. Dia tahu bagaimana membuat jebakan mematikan.”Raina mengangguk. “Tapi kita punya seseorang yang lebih mematikan darinya.”Langkah berat menggema dari lorong belakang. Pintu terbuka, dan seorang pria bertubuh kekar dengan mata tajam melangkah masuk. Rambutnya cepak, dan bekas luka memanjang di pelipis kirinya.“Panggil aku Bara,”

  • My Beloved Partner   Kabin

    Seorang prajurit mendekat dengan napas terengah-engah. “Kami mendeteksi gangguan sinyal dari dalam kabin, Komandan. Mereka memalsukan lokasi. Beberapa tim kita salah arah.”Mahesa mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Itu kerja Raina,” desisnya. “Dia lebih pintar dari yang kukira. Tapi otaknya tetap bisa dipatahkan.”Ia segera memberi perintah baru. “Kumpulkan semua unit ke pusat. Kita tidak menyerang dengan kekuatan acak. Kali ini, kita bentuk barisan pemecah sinyal dan penyusup drone udara.”Pasukan mulai bergerak mengikuti instruksi Mahesa, sementara sebuah drone kecil terbang rendah, mengitari kabin, merekam setiap sudut dan celah.Di Dalam Kabin – Pukul 07.20 WIBRaina menyadari pergerakan udara dari suara dengung halus yang mendekat. “Mereka sudah mulai menerbangkan drone,” katanya, tangannya dengan cepat menekan kombinasi kode baru pada sistem.“Dapat kau hancurkan atau lumpuhkan?” tanya Wisang cepat.“Bisa, tapi kita harus memilih. Kalau aku lumpuhkan drone, kita kehilangan

  • My Beloved Partner   Makin Tertekan

    Pukul 06.30 WIBLangkah-langkah berat terdengar semakin dekat. Mahesa dan pasukannya sudah berada di sekitar kabin, menyelusuri hutan dengan perlahan, seolah mengincar setiap celah. Di dalam kabin, ketegangan semakin terasa. Wisang dan Taka saling menatap, hati mereka berdegup kencang, sementara Raina berdiri dengan tegas di depan jendela, mengamati gerak-gerik pasukan Mahesa.Taka menghela napas. “Apa yang kita lakukan jika mereka datang?”Wisang menggenggam tangannya, menatapnya dengan penuh keyakinan. “Kita tidak akan mundur. Ini adalah pertarungan terakhir. Kita pertaruhkan semuanya.”“Jika kita bertahan,” Taka berkata, “mungkin kita bisa menang.”Raina menoleh, memandang mereka berdua dengan serius. “Tapi bukan hanya kalian berdua yang bertarung. Saya akan melindungi kalian. Selama ini, saya bersembunyi karena alasan. Wira yang mengendalikan permainan ini, bukan hanya Dimas atau Mahesa. Tapi saya sudah memiliki semua data yang bisa menumbangkannya.”Wisang memandang Raina dengan

  • My Beloved Partner   Masih Di Titik yang Sama

    Hujan masih terus mengguyur atap kabin, menciptakan irama sunyi yang menggantung di udara. Taka tertidur di pelukan Wisang. Wajahnya tampak damai, tapi sesekali matanya bergerak, seolah masih diburu mimpi buruk yang belum usai.Wisang tak bisa tidur. Matanya menatap kosong ke arah jendela yang ditutup tirai lusuh. Tubuhnya diam, tapi pikirannya gelisah. Tangannya tak henti mengusap rambut Taka, mencoba menenangkan, mencoba menenangkan dirinya sendiri.Ia mengingat masa-masa saat semua ini belum terjadi. Saat ia masih mengira cinta cukup untuk menyelamatkan segalanya. Tapi ternyata, cinta saja tidak pernah cukup jika dunia bersikeras menghancurkanmu.Pintu kabin berderit pelan. Wisang refleks menoleh, mengangkat pistol kecil yang diselipkan di balik selimut. Tapi yang masuk hanyalah Raina—basah kuyup, jaket kulitnya meneteskan air hujan, dan ekspresinya seperti baru melihat neraka.“Ada yang membuntuti kita,” katanya tanpa basa-basi.Wisang langsung sigap. “Bukan orang Wira?”Raina men

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status