Share

My Beloved Partner
My Beloved Partner
Author: Mrs Dream Writer

Menjadi Tutor (Pertemuan)

“Kau? Sedang apa disini?” tanya Taka dengan mata melebar menatap seorang wanita berbalut dress formal dengan balutan cardigan denim yang memberi kesan lebih kasual yang tengah berdiri di hadapannya.

“Papa sudah pulang?” sahut seorang anak remaja bernama Ghenta itu menyahutnya.

“Ya, dan kalian sedang apa?” tanya Taka kembali mengulang tanyanya.

“Papa, ini Mrs Dini yang menjadi Guru Pengajarku. Papa sudah menyetujuinya kan dan kami sudah dua pekan mulai belajar. Jangan katakan Papa melupakannya,” ucap Ghenta panjang lebar.

”Oh, begitu ya. Maaf sayang, Papa bukannya lupa hanya kaget karena Mrs Dini yang kamu katakan ini adalah Tante Wisang istrinya sahabat Papa. Kau ingat Om Dimas?” jawab Taka sambil menyodorkan tangannya kepada Wisang.

“Really? Mrs Dini adalah istri Om Dimas?” ucap Ghenta sangat terkejut mengetahuinya.

Dan wanita yang disebut keduanya itu pun mengangguk sambil tersenyum.

“Waah, asyik dong,” seru Ghenta yang memang merasa nyaman belajar dengan Wisang menjadi sangat antusias.

“Baiklah, tapi bukankah sekarang kau seharusnya sudah berangkat berenang?” ucap Taka lagi.

“Papa,” keluh Ghenta sambil menuruti pria itu dan pamit pergi setelahnya.

Sementara itu Wisang masih berada di halaman depan bersama Taka. Mereka menunggu taksi yang dipesan Wisang. Namun sampai jeda cukup lama, nyatanya taksi pesanan Wisang tak kunjung sampai.

“Sudah hampir malam, biar aku antarkan saja,” ucap Taka mengambil inisiatif.

“Tidak perlu, aku bisa pulang naik ojek. Jangan merepotkan,” ucap Wisang merasa tidak enakan.

“Tidak masalah, justru aku yang tidak enakan karena aku dengar kau sering pulang dari sini sampai cukup malam mengajari Ghenta. Andai aku tahu lebih awal, mungkin aku akan meminta mundur jadwalnya lebih sore. Maaf ya, aku tidak mau Dimas memprotes nantinya,” ucap Taka sambil membukakan pintu mobil untuk Wisang.

“Terima kasih, tenang saja karena Dimas tidak akan peduli,” ucap Wisang sambil melangkah masuk ke dalam mobil.

Hujan deras mendadak turun mengguyur kota ini. Mereka baru saja meninggalkan halaman rumah dan hujan turun langsung sangat lebat disertai gemuruh petir yang menggelegar.

“Taka, maaf … Bisakah berhenti dulu di sana, aku harus membeli sesuatu,” ucap Wisang sambil menunjuk sebuah kedai makan yang berada di depan mereka.

“Tentu,” jawab Taka sambil menepikan mobil setelahnya.

Pria itu diam-diam memperhatikan Wisang, wanita itu melangkah keluar dengan menggunakan sebuah payung yang diberikan oleh Taka.

Tak berselang lama, Wisang kembali dengan satu porsi makanan di tangannya.

Tidak ada perbincangan di sepanjang perjalanan ini setelahnya.

“Lampu rumahmu mati?” tanya Taka ketika menyadari jika lampu di rumah Dimas itu gelap sementara di kanan dan kiri rumah tersebut menyala terang benderang.

“Tidak ada orang di rumah, jadi belum ada yang menyalakan saklarnya. Oh ya, terima kasih ya sudah mengantarkanku pulang,” ucap Wisang sebelum bergegas turun dari mobilnya Taka.

Kini tanda tanya besar memenuhi benak Taka. Ingatannya kembali kepada sore tadi dimana dia menelepon Dimas untuk sebuah urusan. Taka mendengar sangat jelas jika saat dia menelponnya itu Dimas mengatakan dirinya sedang berada di rumah. Bukan itu saja, Taka bahkan mendengar suara perempuan di dekat Dimas.

“Apa yang terjadi?” gumam Taka sambil memutar balik mobilnya meninggalkan halaman rumah sahabatnya itu.

Keesokan harinya, di jam yang sama seperti kemarin.

Taka baru sampai di rumah, dan dia melihat Wisang tengah bersama dengan Ghenta di ruangan tamu dengan setumpuk buku pelajaran anaknya itu.

Ingin meyakinkan sesuatu, Taka kemudian meraih ponselnya dan berjalan menjauh dari ruangan tamu karena tidak ingin pembicaraannya itu didengar oleh Wisang dan juga Ghenta.

Taka : “Hallo, Dim, Lo dimana?”.

Dimas : “Hai Brother, aku baru balik nih. (Iya sayang sebentar ya, aku mandi dulu).” Terdengar suara di belakang Dimas.

Taka : “Seriusan Lo dirumah?”

Dimas : “Ya iyalah, masa di mana? Lagian ada apa sih Bro?”

Taka : Enggak, aku cuma mau nanya. Istri Lu masih open jasa tutor gak sih? Aku butuh tutor untuk Ghenta.

Dimas : “ Oh, itu aku gak tahu. Tar aku tanyain ya. (Siapa sih sayang?)”

Suara wanita itu kembali terdengar dengan sangat jelas

Taka : “Nah, itu ada Wisang kan? Tanyain deh.”

“Tut … Tut … Tut… “

Telepon justru terputus membuat Taka yang sedari tadi melihat Wisang tengah mengajari Ghenta di ruang tamu menjadi merasa gemetar penuh rasa kesal mencerna apa yang tengah terjadi dalam rumah tangga sahabatnya itu.

Pukul enam sore.

“Aku antar kamu pulang ya,” ucap Taka kembali menawarkan diri untuk mengantar Wisang.

“Tidak perlu, tuh taksi sudah datang,” jawab Wisang.

Namun pria ini justru membayar taksi itu dan membatalkan orderan Wisang tersebut.

“Naiklah, aku ingin mentraktirmu makan,” ucap Taka yang entah memiliki keberanian dari mana untuk melakukan semua ini yaitu melibatkan diri dalam persoalan rumah tangga sahabatnya.

Setengah jam berlalu, mereka kini sudah duduk berhadapan pada meja makan sebuah restoran.

“Apa kalian ada masalah?” tanya Taka dengan begitu saja.

Wisang menggelengkan kepalanya perlahan.

“Syukurlah, bisa kau telponkan Dimas? Ponselku mati sementara ada urusan penting yang ingin aku tanyakan,” ucap Taka sambil menyodorkan ponselnya yang memang mati karena sebelumnya sudah di off-.kan.

Terlihat raut wajah Wisang menjadi gusar. Wanita itu meneguk salivanya berulang kali karena bingung.

Sementara Taka, dia semakin meyakini sesuatu.

“Aku … “ ucap Wisang tergagap.

“Kau tidak punya nomor Dimas kan?” ucap Taka menebak.

Seketika itu juga air mata Wisang mengalir deras dengan tanpa suara. Wanita itu tak bisa mengendalikan emosinya saat menyadari jika sampai saat ini setelah dua tahun pernikahannya dengan Dimas dia bahkan tidak pernah tahu nomor ponsel suaminya itu.

Taka menggenggam erat tangan Wisang untuk mencoba menenangkan wanita itu.

“Maaf, tidak seharusnya aku mengatakan semua ini kepadamu. Terlebih, kalian bersahabat. AKu sungguh minta maaf,” ucap Wisang ketika mereka berada di perjalanan pulang.

“Ciit!”

Taka menepikan mobilnya di tepian jalan yang cukup lengang. Pria ini memutar tubuhnya menghadap ke arah Wisang.

“Jangan pura-pura kuat! Kau tidak sehebat itu menyembunyikannya! Itulah kenapa kau tidak keberatan saat Ghenta menghabiskan waktu malam mu dengan tugas-tugasnya dan itulah alasan kalimatmu yang mengatakan jika ‘dia tidak akan peduli?” ucap Taka sambil meraih Wisang ke dalam pelukannya.

“Tidak Taka, aku baik-baik saja,” ucap Wisang tapi kembali dengan tangisan yang mengalir deras dari kedua sudut matanya.

Taka tak bisa mengerti apa yang mengendalikan dirinya saat ini. Tapi dia tak sanggup melihat Wisang menanggung beban ini sendirian.

Dia meraih wajah wanita itu dan mengusap lembut setiap sudut matanya Wisang dengan desiran aneh yang Taka sendiri tidak bisa memahaminya.

Dua bola mata beradu cukup lama. Desiran hebat tak hanya menyentuh relung hatinya Taka, tapi juga Wisang.

Mata wanita itu memejam perlahan saat deru nafas Taka semakin menyapu hangat kulit wajahnya.

Taka menyentuh bibir itu sangat lembut dengan menggunakan kedua bibirnya, seperti tengah menyentuh bunga mawar tanpa ingin menghancurkan kelopaknya.

Sentuhan lembut itu begitu singkat, tapi sanggup membuat Wisang begitu mendesir hebat.

Rangkulan pun dilepaskan, tubuh keduanya merenggang dan Taka kembali melajukan mobilnya ke arah rumah Dimas.

Mengantarkan Wisang hingga ke pintu gerbang rumahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status