Dunia tidak akan hancur hanya karena Zara cemburu, meskipun gadis itu menyangkalnya."Dasar bodoh!""Eh?" Zara mengerjap linglung. "Siapa juga yang menyukai makhluk rendahan seperti kalian? Wanita selalu merepotkan." Reon membanting setir hingga memutar jalan. Ternyata laboratoriumnya telah terlewatkan. "Hiyaaaa! Kau mau membunuhku apa?!" teriak Zara histeris. Memegang sabuk pengaman saja tidak cukup menghilangkan takut. Lalu, mobil itu perlahan berbelok ke gerbang memasuki lingkungan laboratorium. Seluruh tubuh Zara gemetar. Dia enggan melepaskan sabuk pengaman. "Re-rendahan dia bilang? Ah, lututku seperti jeli," merintih ngeri. Tak menghiraukan Zara, Reon segera keluar dan membuka pintu laboratorium. Mau tidak mau Zara menyusul walau terus menyumpahi Reon dari belakang. "Ada yang harus kau bereskan di sini. Tempat pembakaran sampah ada di halaman belakang. Bakar semuanya," ujar Reon tanpa berhenti berjalan. "Hah?! Sampah lagi?!" Memekik pun tidak ada artinya."Huft! Apa bo
Tiap detik bagai satu jam. Zara menghilang dalam alam sadar.Kenyataan menamparnya keras membuat jarak yang begitu jauh dengan sang majikan. Zara mendorong Reon begitu saja. 'Ke-kenapa aku menempel seperti lem di lengannya?!' batin Zara memekik.Dia membekap mulutnya. Bola matanya bergerak-gerak.'Kenapa aku merengkuhnya?' hati Reon bingung. Saling berpaling dengan kerutan di dahi serta gejolak yang aneh.Seolah tidak terjadi sesuatu, mereka pulang dalam keadaan canggung. Situasi bodoh itu menggerogoti Zara dalam perjalanan.Pagi pukul delapan. Zara kebingungan mondar-mandir di kamar mandi kantor. Cermin yang memenuhi dinding menampilkan wajahnya yang bengis nan berpikir kritis. Dia benar-benar menekan nalurinya."Apa aku akan mati?"Memegang dada yang berdebar kuat. Terasa jantung hendak keluar. "Aarghh, tidak, tidak, tidak! Aku tidak akan mati hanya karena terlalu dekat dengan si banyak wajah itu. Ck, menyebalkan sekali! Harusnya aku tidak terbawa suasana kemarin! Ini gara-gara
Panas tak berkesudahan hingga malam. Kegelisahan pun melanda Raja Iblis di kursi kebesarannya."Tuan, Azuma bilang Nona Zara belum kembali." Alexa datang setelah menerima laporan dari orang rumah.Reon dan Zack tersentak. "Apa? Bagaimana bisa? Ini sudah cukup lama untuk lari ketakutan," Zack mewakili Reon berbicara. Sebentar lagi pukul delapan malam. Alexa pun menggeleng. "Tidak mungkin juga gadis itu kabur," lanjut Zack mengetuk dagu.Ucapannya membentuk sugesti. Kedua alis Alexa terangkat. "Tuan, izinkan aku mencarinya," serius Alexa. Reon mengangguk cepat. Kecemasan yang menakutkan di wajahnya begitu kentara meskipun disembunyikan."Telusuri siapa pun yang bersinggungan dengan Zara, termasuk dua desainer itu." Bahkan suaranya teredam kekhawatiran itu sendiri. Berat rasanya perintah terucap hingga menggetarkan dua ajudannya. "Jika curiga pada klien, kenapa tidak mencurigai karyawanmu? Kami semua terpesona pada Zara," sahut Zack membekukan suasana.Alexa pun pamit pergi. Bukan
"Tunggu dulu, Raja Iblis! Ada yang ingin saya bicarakan pada Anda! Di mana temanku Zara?!"Kondisi babak belur yang hanya terbalut plaster seadanya, Bastian memberanikan diri menghadang Reon di depan gedung perusahaan. Alexa dan Zack tak percaya Bastian berani datang bahkan setelah Alexa membuatnya berantakan. "Aku tidak tau," jawab Reon memperhatikannya jelas. "Jangan bohong!" Bastian memotong udara.Napasnya masih terengah, "Nona Alexa datang bertanya tentang keberadaan Zara. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Apa dia menghilang?" Alexa dan Zack terperangah, tetapi Reon tetap tenang tak tersentuh. "Maafkan saya, Tuan Bastian. Saya telah salah paham," dengan kakunya Alexa memohon maaf seperti tiada niat. Bastian tetap mempertahankan emosi. "Saya tidak mempermasalahkannya." Zack yang terus memandang pun melerai. "Hei, sudahlah, jangan terlalu formal. Bastian, aku tidak kolot seperti mereka berdua. Saat ini mungkin akan mengejutkanmu, tapi Zara benar-benar menghilang sejak pag
"Tuan, Nona Zara ...," ucapan Alexa terputus dengan dobrakan pintu yang dilayangkan kakinya sendiri. Zack segera menayangkan tayangan rekaman CCTV. Dia merampas laptop polisi. "Diculik dalam keramaian trotoar," lanjut Alexa setelah berada di dekat Reon."Baiklah, ini dia!" Zack memutar rekaman itu. Sesuai praduga Reon, Zara hilang berdasarkan penculikan. Keningnya memunculkan garis halus yang nampak tenang, tetapi tangannya terkepal."Bodoh! Kenapa aku tidak berpikir dari awal? Ada apa dengan otakku?" Reon pun berdiri."Kita pergi!" Melenggang keluar rumah membuat Zack dan Alexa mengikutinya."Heh? Lalu, aku bagaimana?" Bastian menengadahkan tangan bingung. Reon melirik sempat berhenti."Kembalilah menjadi Burung Merpati Zara." Desisan Reon meninggalkan misteri bagi Bastian. "Argh, apa maksudnya?"Berkerut dahi sembari menggaruk kepala. Sontak terpikirkan sesuatu. "Burung Merpati ... astaga, aku juga harus pergi!"Tak menunggu lagi dia meninggalkan kediaman Reon begitu cepat.
Tanpa sadar Zara terbuai perjalanan. Dia tertidur pulas. Lalu, laki-laki yang hampir tidak pernah menunjukkan ekspresi lain selain keangkuhan dan sedikit senyuman itu seakan lupa diri. "Pergilah! Kuserahkan perusahaan pada kalian. Aku akan mencari Zara sendiri." Reon mengusir Zack dan Alexa. Badai telah berlalu. Tak mengira jika berlangsung hingga pagi. Mereka juga telah menjauh dari pemukiman. "Tuan, hubungi kami jika terjadi sesuatu. Bagaimana bisa saya meninggalkan Anda?" Dari nada bicara yang serius, Alexa sedih menjauh dari Reon. Dia ingin mengikuti Reon."Apa tidak sebaiknya saya saja yang melanjutkannya? Anda butuh istirahat," Zack turut tidak tega. Alis Reon justru bertaut."Kalian berani menentangku?" Sontak kedua orang itu menggeleng. "Ahaha, tentu tidak." Zack angkat tangan berkeringat dingin."Bagus! Pergilah!" Reon pun meninggalkan mereka.Zack dan Alexa saling pandang setelah Reon bergabung di jalan raya. Mereka pikir apakah tidak masalah membiarkan Reon yang di
Jauh dari keramaian kota, jauh dari polusi dan debu udara, juga jauh dari materialisme dunia. Tidak ada kesejukan melebihi sungai yang mengalir jernih. Hawa kehadirannya menghilangkan rasa lelah."Aku tertidur?"Perlahan Zara bangun. Begitu sadar menempati tempat yang berbeda dia berdiri tertatih. "Hah?! Di mana ini?!" teriaknya lantang.Terkejut hebat sudah berada di rerumputan basah. Dia menoleh ke segala arah. Tepi sungai di dalam hutan Jati serta banyaknya ilalang dan rumpun bambu menjadi pusat perhatiannya.Seluruh bagian tubuh terasa pegal, kemungkinan lelah perjalanan. Dahi pun berkerut tanda kebingungan."Hutan lagi?!" keluhnya memekik lemah. Mendesis kesakitan dan menggaruk tengkuknya. Dia tersentak menyadari ikatannya terlepas. Mengerjap dua kali, kemudian memahami kondisi."Ah, aku kembali dibuang, ya?"Menatap redup tangan dan kaki yang bebas. "Kukira aku akan dibawa ke pasar gelap. Apa untungnya penculik itu membuangku kemari? Ini di mana?" Mendongak menantang langi
Demi menghilangkan dahaga, Zara terpaksa kembali menyusuri hutan. Langit masih mengamuk mengubah petir menjadi cambuk. Zara sangat kesal karena air tak kunjung turun. "Hujan saja kalau mau hujan! Kenapa harus marah-marah?!" Dia mendongak memarahi langit. Dalam sekejap lesu tanpa tenaga. "Hah, aku sudah tidak sanggup lagi berjalan. Aku haus!" rengeknya dengan bibir bergelombang. Berkat terpaan angin, wajahnya yang lengket menjadi kering. Tubuhnya menyerah bersandar sebuah pohon Jati. Meraup rumput yang dingin dan memandangnya tanpa selera. "Eerrr, apa aku harus makan ini?" Genggaman yang sangat erat. Rumput itu menjadi tak berdaya di tangannya. Rahang Zara pun mengetat. "Hatiku ... masih terasa sesak." gumamnya lirih memandang rumput. Luruh sudah rerumputan itu. Zara kembali mengepalkan tangan di dada. Detakannya lebih kuat. Seirama dengan gemuruh yang meneror. Mendadak bayangan Reon terlintas di benaknya. Zara tersentak, sedetik kemudian lenyap."Ck! Kenapa aku memikirkan o