Zara kembali dikejutkan dengan aksi Alexa yang memukul Zack setelah menemukan Zack. Mereka berakhir berkelahi kecil dan Zara hanya diam menyaksikan.
Jam digital di layar handphone telah menunjukkan pukul dua belas malam.
Helaan napas panjang pun luruh. Pandangan Zara beralih sayu pada mereka.
'Dua ajudan Reon tidak mau berhenti. Hanya karena Zack lari, Alexa sampai marah. Dia memukuli Zack tanpa bersuara dan laki-laki itu hanya menghindar sambil protes. Aku tidak mengerti dengan mereka,' ujarnya dalam hati.
Alexa mendapati pandangan Zara yang aneh membuatnya berhenti menyerang Zack, tetapi tangannya masih memegang kerah pakaian Zack.
"Zara, sebentar lagi rapatnya selesai. Tuan memberiku perintah untuk meninggalkan kalian berdua. Selanjutnya, kau yang akan mengurus Tuan Reon. Pergilah ke ruang rapat!" jelas Alexa sambil mempertahankan cengkeramannya karena Zack berusaha melarikan diri.
Zara mendelik tajam, "Apa? Aku tidak mau! Kenapa harus aku sendirian?"
"Sayonara!" Alexa menarik Zack pergi meninggalkan Zara.
Zara tersentak mendengar ucapan selamat tinggal yang sama dari Alexa. Dia pun berdecak memandang kepergiannya.
"Kebiasaan yang buruk! Tidak menjawabku dan menghilang setelah bilang Sayonara. Hah, apa boleh buat? Saat ini hanya bisa pasrah sementara,' ujarnya lirih.
Zara pun kembali ke ruang rapat dengan lunglai. Tidak disangka tiba di sana bersamaan dengan pintu yang dibuka oleh Reon.
Zara terkejut dalam hati, hampir menabrak Reon. Seketika dia menunduk dan mundur dua langkah.
"Maaf, Tuan! Saya kurang memperhatikan jalan," ujar Zara.
Namun, Reon hanya memandangnya sampai Zara mendongak penasaran.
'Aduh! Ekspresi dingin itu lagi. Dia suka sekali mengamatiku membuat hatiku serasa dihantam batu! Setidaknya katakan sesuatu!' batin Zara.
"Ambilkan koper di ruanganku. Kita akan ke luar kota." ujar Reon sembari memasukkan tangannya ke dalam saku.
Zara terbelalak, "Apa?! Sekarang?!"
Teriakannya hanya dihadiahi anggukan kecil, setelah itu Reon pergi ke lantai bawah. Decakan kesal memang terlontar, tetapi Zara tetap gesit mengambil koper di ruangan CEO.
Dia sampai bertanya pada salah satu karyawan letak ruangannya dan segera mengambil satu-satunya koper yang ada di sana.
Sangat buru-buru menuju mobil yang ternyata sudah ada Reon di kursi kemudi. Zara kaget karena Reon akan mengemudikan mobil itu sendiri.
"Sudah saya masukkan, Tuan! Maaf, kita mau ke mana?" tanya Zara setelah duduk di sebelah Reon.
Pandangan Reon menajam lurus ke jalanan membuat Zara melebarkan netranya.
"Menjemput maut!"
"Aaaaa! Terlalu kencang! Tolong perhatikan kecepatannya, Tuan! Kita bisa menabrak pengendara lain!" teriak Zara berpegangan pada sabuk pengaman.
Reon menginjak pedal mobil dan melaju kencang di jalan raya. Dia serius sampai Zara tak berhenti berteriak.
Zara juga tahu tidak ada pengendara lain di pertengahan malam seperti ini selain truk yang mengejar target.
"Hiyaaaa! Saya masih mau hidup, Tuan! Jangan bunuh diri ganda seperti ini! Kalau stres bilang saja sama saya! Saya akan lakukan apapun yang Tuan minta, asalkan hentikan mobilnya!" teriak Zara sembari melotot.
Seketika mobil terparkir di tepi jalan.
"Sungguh?" Reon menatap Zara penuh harap.
"Eh?!" Zara memekik heran.
Suaranya melengking tinggi. Tangannya masih gemetar memegang sabuk pengaman terlalu erat.
Napasnya yang memburu dilanda takut berhasil diatasi setelah menatap Reon yang ekspresinya berbeda jauh darinya.
"Iya! Iya, apapun itu! Hah, rasanya nyawa mau dicabut terus dikembalikan lagi. Ada apa denganmu? Kalau mau mati, mati saja sendiri, jangan ajak-ajak aku!"
Kata-kata itu spontan keluar.
"Tidak sopan!" ujar Reon seolah kesal.
Dia kembali menginjak pedal dan mengendarai mobilnya lagi dengan gila.
"Eh, eh, eh, jangan lagi! Kumohon jangan lagi! Aaa, aku mau muntah! Dasar Bos gila!" teriak Zara tak bisa dikendalikan.
Satu jam kemudian tiba di kota Bandung. Kota yang ramai cahaya lampu, tetapi senyap tak ada seorang pun.
Dalam hati Zara memaki Reon bertubi-tubi. Untuk apa datang ke kota orang jam satu dini hari? Semuanya sepi.
"Uhuk-uhuk! Aku butuh air!"
Zara tidak bisa memuntahkan isi perutnya yang kosong. Di samping mobil yang terparkir di parkiran sebuah gedung perusahaan, dia terbatuk tanpa henti.
Perutnya penuh ribuan kupu-kupu yang menggaduk bagai racun.
"Sialan kau, Reon! Awas saja, akan kubalas nanti! Memangnya kenapa dia mau mencoba bunuh diri seperti tadi?! Dikira sedang balapan liar?!" makian Zara keluar.
Sempoyongan hendak duduk di bangku taman depan parkiran sembari memegang perutnya.
Zara pun mendesis lelah. Sorot matanya seolah memikirkan sesuatu.
"Tadi ... dia semangat saat aku menyemangatinya? Mobilnya sampai dihentikan. Apa dia benar-benar stres? Lalu, melampiaskannya pada mobil dan aku?" gumamnya berpikir sambil meredakan pusing dan mual.
Semakin memikirkannya membuat Zara penasaran. Dia pun memasuki gedung mencari Reon.
Terdengar suara tawa dari salah satu ruangan. Zara pun mendekatinya heran. Ternyata itu tawa Reon dan seorang mitra kerjanya.
'Apa yang terjadi sampai si gila itu tertawa?' pikir Zara.
Dia pun mengendap-endap di balik pintu.
"Ah, Zara! Kebetulan kau datang. Kemarilah!"
Zara tersentak hebat sampai jantungnya berdegup cepat. Reon menangkapnya basah. Dia langsung menyilangkan tangannya.
"Ahaha, tidak, tidak! Saya tidak bermaksud menguping pembicaraan kalian. Maafkan saya!" buru-buru menunduk meminta maaf.
"Kemarilah dan duduk di pangkuanku!" mendadak suara Reon terdengar berat.
Sontak Zara mendongak.
'Apa maksudnya?' batin Zara.
Mata besarnya tertuju pada Reon. Firasatnya buruk. Pandangannya turun ke paha Reon dan membuat dahinya berkerut.
'Jangan bilang ... dia mau mempermalukanku lagi di depan orang lain?' pikirnya menebak kebenaran.
Reon tersenyum miring seolah mengetahui apa yang Zara pikirkan. Zara melotot melihat senyum itu.
Tanpa disadari tangannya terkepal kuat. Keringat dingin sudah membasahi pelipisnya.
"Hei, kenapa kau diam saja? Pelayan seharusnya berperilaku seperti pelayan. Turutilah kemampuan Bos-mu!"
Seorang laki-laki paruh baya yang duduk berhadapan dengan Reon berbicara dengan nada kasar. Hal itu mengundang lirikan Reon.
Tangan Zara semakin terkepal.
'Tidak, aku tidak akan sudi duduk di pangkuan Raja Iblis! Seluruh tubuhnya penuh aroma kegelapan. Aku bukan wanita sembarangan yang bisa disuruh duduk di paha orang!' kecam Zara dalam hati.
"Ah, maaf, sepertinya kita akhiri pertemuan ini. Aku harus ke kota seberang. Terima kasih atas kerja samanya!"
Reon berdiri dan mengulurkan tangan terlebih dahulu memutus semua kata yang akan dilontarkan mitra kerjanya.
Lantas orang itu langsung berdiri dan menjabat tangan Reon tanpa membantah, padahal ingin sekali menahan Reon lebih lama. Pasalnya sangat jarang Reon mengulurkan tangan terlebih dahulu.
Zara sangat terkejut.
'Ada apa dengannya? Dia menghilangkan kesempatan yang dia buat?' batin Zara.
Kemudian, Reon keluar dan membisikkan sesuatu saat melintasi Zara. Kedua alis Zara terangkat.
"Kita lanjutkan di mobil."
Itulah kalimat Reon yang menghipnotis Zara selama satu detik. Dia langsung mengikuti Reon setelah sadar.
Setibanya di parkiran, Zara pun bertanya.
"Kenapa kau mengakhirinya? Kupikir akan menarik bagimu jika aku benar-benar duduk di pangkuanmu!"
Pertanyaan yang mendesak karena kesal.
Reon menoleh datar.
"Oh? Jadi kau sangat menginginkannya?" sengaja meneleng dengan sedikit senyuman.
Zara mendesis mengetatkan giginya.
"Bukan! Aku tau kau mengerti maksudku! Cepat katakan atau ..." ucapan Zara terputus karena Reon menyelanya.
"Kerisauan di pelipismu membuatku kesal. Terlebih lagi itu bukan keinginanku, tapi orang tadi," ujar Reon panjang.
Zara terperangah, "Apa?"
Reon membuang napasnya halus.
"Hmm, sekarang ayo pulang. Kau yang mengemudi." Reon hendak mendahului masuk ke mobil.
"Hah?! Kenapa jadi aku yang menyetir?" Zara menunjuk dirinya kaget.
"Hukuman karena sudah bicara tidak sopan."
Suara bariton Reon menggema di telinga Zara. Gadis itu memukul kepalanya bodoh karena tidak bisa menolak permintaan Reon. Akhirnya dia yang duduk di kursi kemudi.
'Apa artinya Reon menolongku? Dia tidak ingin diriku dipermalukan? Ada apa dengan otak orang ini yang berubah-ubah? Terlebih lagi, kemana kita akan pergi sekarang? Pulang atau ke kota seberang yang dia katakan sebelumnya? Jangan memberi perintah kalau tidak jelas!' pikir Zara memekik.
Niatnya ingin bertanya, justru dibuat ternganga. Reon tidur tepat setelah mobil memasuki jalan raya.
"Cepat sekali tidurnya!" ucap Zara lantang.
Zara tidak menyangka kerapuhan juga terjadi pada Reon. Laki-laki itu benar-benar terlelap dalam waktu singkat. "Lihat, dia seperti Raja di kursi belakang. Aku doakan kau mimpi buruk dikejar hantu! Hah, kesalnya! Hanya bisa mengandalkan navigasi di handphone demi menemukan jalan pulang. Oh, benar juga! Bagaimana kalau aku buang saja dia di hutan? Lalu, aku akan menguasai rumahnya, hahaha! Aku jahat juga!" Zara terus melantur seraya mengikuti arah anak panah dalam navigasi. "Tutup mulutmu!" tekan Reon tanpa membuka mata. Suara bariton itu menyadarkan Zara. Seketika menginjak rem sampai berderit tanpa menepikan mobilnya. "Hah? Kau masih bangun?!" pekiknya menoleh ke belakang. Reon pun membuka matanya yang memicing dingin. Zara meringis ngilu. 'Gawat! Dia mendengarku!' batinnya berteriak. "Zara! Ternyata ini yang terpendam di otakmu," desis Reon tajam tiada ampun.Tatapannya seakan menguliti Zara. Pucat sudah wajah gadis itu tak bisa bergerak. Malam pun kembali berubah lebih gelap
"Pulanglah! Siapkan kamar penuh parfum untukku!" titah Reon setelah kopi pahit itu ada di mejanya. "Hah?! Maksudnya bagaimana?" heran Zara mendelik. Nampan masih digenggam jemarinya. Reon mendesah lelah. Mata sayunya membuat Zara melengkungkan bibir ke bawah. "Aku akan pulang nanti sore. Pelayanku, kau jangan kabur! Siapkan saja kamar yang harum nan cantik sepertimu," ujarnya mendayu sendu. Napas Zara tercekat di tenggorokan. 'Ada apa lagi dengannya?!' teriak dalam hati. Rumah besar Reon yang dihuni banyak pelayan. Saat ini Zara menjadi salah satunya. Dia menguap sambil mengucek matanya dan berjalan menuju kamar. Mengerjap-ngerjap menyesuaikan pandangan. "Huft! Aku lelah sekali! Dia benar-benar Raja Iblis! Tidak membiarkanku tidur, tapi menyuruh ini dan itu. Pasti enak kalau berbaring di kasur," gumamnya dengan bibir mengerucut. "Ahahaha! Ternyata ini pelayan baru yang konon gadis tercantik di kota? Hah? Yang benar saja? Apa mata Tuan kita sudah rabun?" Zara merasa diin
Terungkap sudah misteri percakapan Reon dengan Alexa. Tidak disangka bersangkutan dengan peristiwa semalam. Belum puas terlena dengan ucapan majikannya, Zara sudah dibuat kualahan lagi dengan berbagai tugas. "Aku ... harus membuang semua ini! Hiyaaa!" Zara membuang seprai dan gorden penuh semangat sampai bersin. Sebenarnya terlalu kesal, sehingga melampiaskannya pada semangat."Masa bodoh dengan tubuh yang hampir remuk! Mata berkunang-kunang pun bukan halangan bagiku! Lihat saja, Iblis sialan! Aku akan membuatmu terkesan dan kau akan bersedia membantuku, hahaha! Aku akan menjadikanmu bonekaku, maka apapun tugasmu pasti kuladeni! Gejolak gunung berapi sekarang ada di nadiku!" Berteriak layaknya monster dengan mata memerah sembari mencengkeram seprai.Reon menyuruhnya membersihkan hujan abu dan menghiasi kamarnya dengan aroma parfum terbarunya. Lalu, membuat karangan bunga dan menyiapkan hidangan utama. Sepertinya akan kedatangan tamu. Walau keringat bercucuran, Zara tidak berhenti
Jantung Zara masih berdegup kencang. 'Gawat! Ini tidak aman. Kenapa jantungku terus berdebar saat Reon ada di dekatku? Aku tidak mungkin terpesona sungguhan, 'kan?' pikirnya bingung. Meringis memegang dada. Reon sudah pergi, kini dia sendirian di kamar. Mendesah lesu sembari memandang semangkuk bubur hangat di meja. "Huft, tapi dia memang mempesona! Tidak salah jika dia sombong sedikit. Sudah merawatku dan ternyata sadar telah mempermainkanku."Matanya sedikit berbinar. Dia tersenyum ringan. "Yah, apapun itu yang jelas aku harus berterima kasih sekaligus mengajukan permintaan. Dia harus membantuku."Semangatnya kembali sampai menepuk tangannya. Demi memulihkan tenaga, dia rela memakan bubur buatan Azuma dengan sedikit kesal.Mengganti pakaian pelayan dengan yang baru. Sepertinya Zara mulai menyukai pakaian itu, terlebih lagi bagian bando putih. Rambutnya kini diikat menjadi satu. Namun, Reon sedang menemui tamu di ruang tamu. Pupus sudah harapan Zara. Dia bersembunyi di balik pin
"Tenang saja, Tuan! Dengan senang hati aku akan melayanimu. Aku sudah seperti robot tanpa jiwa yang tidak kenal lelah, haha." senyum palsu Zara sangat manis.Kamar adalah tempat yang berbahaya. Terlebih lagi Reon beraksi tampil seksi nan menawan di tepi ranjang dengan senyum dan kancing kemeja atas terbuka.'Tahan dirimu, Zara. Hiraukan saja dia,' dalam hati menekan perasaannya sekuat tenaga. "Ah, aku baru ingat ingin mengatakan ini. Tuan Reon, kau punya kepribadian ganda, ya? Berubah-ubah setiap saat seperti memiliki seribu wajah," lanjut Zara menyembunyikan kekesalannya, padahal otot kepalanya sudah menegang. Senyum Reon pun hilang. "Apa kau akan lari dariku?" tatapan sayu menurunkan ego-nya.Zara mencicit melepas ketegangan ototnya."Jangan membuat wajah sedih seperti itu! Aku tidak membuangmu, 'kan?!" Meskipun sudah teredam dengan keindahan kamar rahasia yang membuatnya syok, masih saja bisa terengah.Reon tidak mempermasalahkan teriakan Zara. Zara pun cemberut.'Sudah kuduga!
Bagai kisah pangeran dan tuan putri yang hilang, mereka kembali dipertemukan di dunia yang berbeda. "Eh?" kaget Zara setelah bertatapan dengan orang yang menabraknya."Eh?!!" orang itu jauh lebih terkejut. Keduanya saling tunjuk. "Bastian Charlie?!" pekik Zara heboh hingga ternganga."Zara?! Zara Azuri Frazanista?!" teriak laki-laki itu dengan tangan gemetar sampai mundur.Seketika Zara menarik telunjuk Bastian dan menggoyang-goyangkannya. "Ahaha, benar-benar Bastian teman sekolah dasar dulu rupanya? Wah, kau sudah besar dan tampan, ya? Tidak kusangka bisa bertemu denganmu di sini. Aku senang sekali!" seru Zara riang. Bastian panik segera menarik telunjuknya. Pipinya sudah merah padam."Ti-tidak mungkin! Kau pasti salah orang! Permisi!" hendak melarikan diri. "Eh, tidak bisa! Kau masih pemalu seperti dulu? Astaga, dasar memang tidak pernah berubah, haha!" Zara mengerling jahil. Napas Bastian tercekat, "Le-lepaskan aku!" Suaranya menjadi aneh membuat Zara meneleng heran. "Kau
"Tuan, maaf menunggu! Ini kopi manis untukmu!"Zara tersenyum menaruh kopi di meja, padahal Reon tidak meminta. Dia diacuhkan. "Ah, keringatmu menetes. Izinkan saya membersihkannya." Cekatan mengambil tisu dari saku celemek dan menyeka keringat di pelipis Reon. Sayangnya Reon melenggang pergi. "Eh?!" Zara kelepasan. Dia merengut dan berdecak. Mengejar Reon yang terburu-buru.Alexa sudah menunggu di lobi. Dia memberi salam ketika Reon datang. "Kunjungan ke laboratorium sudah dipersiapkan. Zack telah mengatur janji temu dengan desainer mancanegara tiga puluh menit lagi." ujar Alexa sembari mengikuti Reon. Reon hanya mengangguk. Mereka sangat cepat hingga tiba di mobil. Zara bingung dan setelah mengerti dia langsung membukakan pintu mobil."Silahkan masuk, Tuan!" Senyum Zara sangat manis. Terlalu manis sampai membuat Alexa tersipu. Namun, Reon menatapnya bengis. Panas terik seakan dibalut mendung hitam. Kharisma Reon merusaknya hingga senyum Zara menjadi pahit. Kembali lagi diab
Tiupan angin mengusik tiap helai rambut Zara. Bastian terbuai pesona. Dia baru menyadari kecantikan Zara dengan pakaian pelayan.Kemudian, Zara memberi tahu sedang melarikan diri dari penjara kamar Reon."Apa?! Jika kau kabur begini dia pasti marah!" Bastian takut mengingat kharisma Reon."Tidak juga. Dia halus padaku. Mungkin karena aku cantik," jawab Zara percaya diri."Hah! Senjatamu dari dulu selalu menggunakan wajahmu." Bastian menunduk lesu. "Dan juga otakku." Zara mengerling menunjuk kepalanya. 'Marahnya Reon dilampiaskan ke orang lain, bukan padaku. Selama ini dia hanya bermain denganku. Aku tidak takut lagi, tapi jadi merinding,' sambungnya dalam hati. Kegelisahan sementara itu hilang kala Bastian mengoceh tidak jelas. Isinya masih tidak menyangka Zara seorang pelayan. Zara telah menceritakan bahwa dia dicampakkan Ryo dan menjadi bawahan orang yang mengaku Raja Iblis.Zara memutar bola matanya jengah dan memandang sekeliling. "Tidak ada kabar setelah pesta itu. Semua ker