Mata Gladys masih memindai baju yang terpajang di butik tersebut. Sungguh baju-baju itu terlihat berkilau di mata Gladys. Mungkin karena efek baju mahal juga bermerk, dan Gladys baru pertama kali melihat barang-barang mewah itu.
“Ngapain kamu cuman lihat-lihat? Pilih!” perintah Keenan, yang sepertinya sedari tadi memerhatikan Gladys yang sedang terkagum-kagum.
“Eh? Aku harus memilih?” tanya Gladys sungkan.
“Iya.”
Dengan sedikit ragu Gladys mulai memilih pakaian dinasnya. Matanya membelalak ketika melihat harga yang tertera disetiap pakaian itu. Sumpah, harga satu kemeja di sana setara dengan gajinya saat masih bekerja di tempat sebelumnya.
Gadis itu menelan salivanya, merasa sungkan untuk memilih pakaian yang harganya terlampau mahal. Bagaimana jika nanti gajinya yang dipotong? Tiba-tiba saja hal itu terbesit dalam benaknya. Jika memang seperti itu, akan sangat amat disayangkan oleh Gladys.
“Aku pili
Gladys mengigit bibir bawahnya, tangannya meremas rok navy yang sedang dia kenakan. Kenapa dia tidak memikirkan kemungkinan itu? Padahal dia tahu bagaimana liciknya seorang Keenan Setyawardhana.‘Sial!’Kalau saja ini bukan tempat umum, pasti Gladys akan langsung mengumpat pada manusia tak punya hati yang ada di depannya ini. Bisa-bisanya dia tadi merasa senang dengan perlakuan dari Keenan.Keenan kembali duduk di mejanya, dan tak lama seorang pramusaji datang ke tempat mereka. Menyuguhkan makanan yang tadi dipesan oleh Keenan. Terlihat sushi dengan potongan ikan segar dan beberapa toping lainnya yang nampak berkilau.“Habiskan, aku yakin kamu belum pernah mencicipi makanan berkelas seperti ini,” cela Keenan sembari tersenyum miring.Bibir atas Gladys berkedut. Saat ini dia ingin melempar makanan yang ada di hadapannya ini pada wajah atasannya itu. Keenan melirik ke arah Gladys dan melihat ekspresi sang gadis yang sedang tid
Gladys sedang menyeduh secangkir kopi yang dipesan oleh Keenan tadi. Gadis itu sedikit heran kenapa Keenan menyukai kopi yang rasanya pahit seperti ini. Bagi Gladys yang bukan pencinta kopi, kopi Americano ini terasa sangat pahit jika dibandingkan dengan kopi yang biasa beli di warung.Namun tiba-tiba saja seseorang masuk ke ruangan santai para staff sekretaris perusahaan. Gladys menoleh dan mendapati Gilang di sana. Laki-laki itu tersenyum kepada Gladys dan kemudian ikut menyeduh kopi.“Ngopi, Mas?” tanya Gladys. Gadis ini mencoba untuk menyapa seniornya duluan. Diantara staff sekretaris perusahaan Gladys memang kurang bisa dekat dengan Gilang dan Dea.“Iya, kamu juga?” timpal Gilang tanpa menoleh ke arah Gladys.“Oh, nggak. Ini pesanan Mas Keenan.”Gilang menganggukkan kepalanya dan fokus dengan pekerjaannya. Karena Gladys sudah selesai, akhirnya dia langsung mengangkat nampan yang berisi secangkir kopi.
“Aku akan memasak lagi,” ucap Gladys spontan. Dia langsung membuang omelette yang sudah tak layak untuk dikonsumsi.“Aku sarapan dengan roti panggang saja,” timpal Keenan dingin. “Eh?” Gladys menoleh ke belakang, dan mendapati Keenan yang sedang menyiapkan sarananya sendiri.Buru-buru Gladys menghampiri Keenan. “Biar aku yang menyiapkannya,” ucap Gladys merasa tak enak hati.“Tidak usah. Kamu duduk saja, sarapan denganku,” titah Keenan.“Sarapan denganmu? Ti-tidak usah, aku biasa sarapan di kamarku.” Gladys menolak halus perintah dari Keenan. Akan terasa canggung jika Gladys sarapan bersama laki-laki itu.“Jangan melawan! Kamu lupa kalau segala ucapanku adalah perintah untukmu?”Gladys langsung terdiam ketika mendengar ucapan yang terkesan menyentaknya itu. Dia langsung duduk di meja makan, melihat Keenan yang sedang mempersiapkan sarapan. Dia t
Keenan sedang membaca dan memahami isi file dalam hardisk, yang menjadi peninggalan sang ayah. Namun pikirannya sedikit terganggu. Tiba-tiba saja dia memikirkan gadis yang selama ini tinggal di rumahnya. Walau Erza menjamin bahwa Gladys akan baik-baik saja. Tapi entah kenapa perasaan Keenan mengatakan sebaliknya, sebut saja perasaan khawatir. Lebih tepatnya dia tak ingin miliknya itu terluka bahkan seujung kuku pun. Laki-laki itu langsung menyambar ponselnya dan mengirimkan pesan pada sahabatnya.Keenan: Di mana? Gladys bersamamu, kan? Kamu tidak membiarkan dia bersama staff lain?Setelah mengirimkan pesan itu, dia mencoba fokus kembali pada pekerjaannya. Sialnya, pikiran Keenan kini didominasi oleh Gladys. Beberapa kali dia melirikkan pandangannya ke arah gawai yang terletak tepat di samping mouse yang sedang dia pegang. Tapi Erza belum juga membalas pesannya.Ting.Mendengar notifikasi ponselnya berbunyi Keenan langsung menya
Harap bijak dalam membaca. Happy reading~ *** Akal sehat Gladys benar-benar hilang sekarang. Dia sudah seperti perempuan murahan yang menginginkan sentuhan dari seorang laki-laki. Gladys benar-benar gila sekarang, dia tak bisa menahan hasratnya sendiri. Karena semakin dia berusaha menahannya, maka dorongan itu semakin kuat. Terlebih di sampingnya sedang duduk seorang laki-laki yang benar-benar tampan dan menggoda. Soal bagaimana perlakuan laki-laki itu pada Gladys, tiba-tiba saja dia melupakannya. Saat ini dia tak peduli dengan hal-hal itu. Dia ingin perasaan aneh yang sedari tadi mendorong dirinya ini segera berakhir. “Jangan salahkan aku, karena ini permintaan langsung darimu,” bisik Keenan. Oh, Tuhan! Entah kenapa mendengar bisikan Keenan itu membuat Gladys semakin bergairah. Mata sayunya terus mengikuti pergerakan Keenan. Laki-laki itu turun dari mobil dan membuka pintu lalu menggendong Gladys. M
“Cepat masuk ke kamarmu! Besok kita harus pulang,” perintahnya pada Gladys yang masih terkejut dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Keenan.“Kenapa kamu selalu seenaknya sih, Keenan?” sergah Gladys. Dia tak langsung menuruti perintah Keenan.“Aku tidak menerima pertanyaan apa pun darimu. Sekarang kamu masuk ke dalam!” perintahnya lagi dengan nada tegas. Sejurus kemudian, Keenan langsung meraih kunci yang sedang dipegang oleh Gladys, membukakan pintu itu dan segera mendorong Gladys dengan paksa.Gladys hampir saja tersungkur. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Keenan langsung menutup pintunya dan mengunci dari luar. Gladys mengepalkan tangannya, lalu memukul pintu dengan keras.“Keenan, buka!” teriaknya dari dalam.“Tak usah melawan. Atau kau ingin hukumanmu besok lebih kejam!” ucap Keenan dari balik pintu. Lalu terdengar suara pintu di samping kamar Gladys di buka dan sedetik kemu
“Keenan, kamu mau apa?” tanya Gladys terkejut, ketika mendapati tangannya diborgol untuk kedua kalinya.“Diam! Jangan banyak bicara!” Keenan memerintah Gladys sambil melayangkan tatapan tajam pada gadis itu. Kemudian dia menutup pintu mobil dan langsung berjalan menuju kursi kemudi.Gladys mencoba untuk melepaskan tangannya. Dia mengguncangkan tangannya berharap borgol itu bisa lepas dari tangan mungilnya. Saat Keenan sudah duduk di sampingnya, Gladys menoleh ke arah laki-laki itu dengan tatapan tajam.“Lepaskan aku! Aku bukan seorang tersangka!” raung Gladys. Dia sangat tidak terima dengan perlakuan Keenan saat ini.Keenan tak memedulikan ucapan Gladys sama sekali. Dia menstarter mobil dan langsung menginjak pedal gas. Membawa mobilnya keluar dari parkiran basement.Kesal karena tak mendapatkan respon dari laki-laki dingin itu. Gladys memukul lengan Keenan sambil terus memanggil namanya. Berharap laki-laki itu m
Harap bijak dalam membaca chapter ini, ya.Happy reading~***Keenan mengunci pintu besi itu dan melihat Gladys yang mulai ketakutan melihat tempat ini. Dia menyeringai puas, ini lah akibatnya jika Gladys sering melawan pada Keenan. Namun di satu sisi, dia merasa senang akhirnya bisa membawa Gladys ke tempat ini.“Keenan, tempat apa ini?” tanya Gladys gemetar, matanya menatap sekeliling ruangan.Ruangan ini hampir mirip dengan tempat pertama kali sang gadis di sekap. Tapi … tempat ini lebih terlihat menyeramkan. Di pojok ruangan, dia melihat sebuah ranjang. Selain itu terdapat peralatan aneh yang menggantung di dinding ruangan itu. Gladys menyipitkan matanya, mencoba menatap ke arah benda aneh itu. Oh, Tuhan! Apa itu? Kenapa ada ... ah, Gladys tak sanggup untuk melihatnya lagi. Buru-buru dia memejamkan matanya.Keenan tak menjawab, dia menghampiri Gladys dengan membawa beberapa tali berwarna mer