Share

My First Love is Paman (TAMAT)
My First Love is Paman (TAMAT)
Penulis: Asnafa

Part 1 Kehilangan

"Hiks hiks...Ibu...ayah...jangan pergi...." tangis Heira, menggoyangkan jasad kedua orang tuanya dengan kasar.

"Sabar nak, kami mengerti perasaanmu, kamu pasti kuat," ucap Bu Rani mengelus lengan Ira.

Heira menjerit histeris kala melihat kedua orang tuanya tertutup kain batik diam membeku tak berkutik, ia genggam tangan pucat di sampingnya, terasa dingin bagai embun di pagi hari,  hati ini terasa tercabik menerima takdir pahit, kenyataan telah menunjukkan arah, langit terasa runtuh, kehidupan ini seakan memudar tanpa warna, beriringan dengan kilasan memori yang terasa abu, mengapa harus dia yang merasakan semua ini, mengapa takdir tidak mengizinkan dia untuk ikut pergi? Bersama ayah, ibu dan kebahagiaannya.

"Lebih baik aku ikut kalian...jangan tinggalkan aku sendiri...hiks...hiks...." batin Ira.

Bayangan silam seketika muncul dalam pikirannya. Dia masih ingat setiap bentakan, nasehat membosankan, ataupun perintah yang menyebalkan. Sekarang semua itu sangat dia rindukan.

"Aku janji, akan menjadi anak yang baik, tidak akan membantah apa pun lagi, hiks...hiks....," ucap Ira pelan.

Tangis Ira mengeras, beberapa pelayat yang menyaksikan menyeka mata mereka, kepedihan seorang gadis muda di samping jasad kedua orang tuanya terlalu pilu untuk mereka lihat.

"Kamu kuat," ucap Bu Nina sambil menyeka air mata yang mengalir begitu saja, larut dalam kesedihan.

"Aku tidak kuat....aku ingin ikut dengan mereka, aku tidak ingin sendirian, hiks...hiks..."

"Tenangkan dirimu Ira!" ucap Bu Nina menyandarkan kepala gadis itu di bahunya, mengusap dengan penuh perasaan.

"Aku tidak ingin sendiri hiks...hiks..."

"Ira tidak sendirian, ada Bu Nina, Bu Rani, Alva dan yang lainnya juga, Ira tidak sendirian." Bu Nina berusaha meyakinkan Ira.

Bugh...

Ira tergeletak tak sadarkan diri di tengah kerumunan pelayat. Beberapa orang segera menggendong tubuh gadis kecil itu menuju kamarnya. 

***

Setelah beberapa saat akhirnya dia terbangun. Dengan paksa, dia membuka matanya yang terasa sangat berat.

"Ayah, ibu!" Ira langsung teringat kedua orang tuannya.

Dia segera berlari mencari sosok yang sangat di rindukan. Berharap semua yang ada dalam ingatannya terakhir kali, hanyalah mimpi.

Bak...

Ira membanting pintu dengan keras, hingga terdengar beberapa langkah dari luar.

"Ayah, Ibu?"

Ira mencari jasad kedua orang tuanya. Di ruang tengah tidak terlihat apa pun di sana. Hanya beberapa orang saja yang terlihat sedang berkumpul di sini. Seketika mereka menoleh, memberikan tatapan menyedihkan kepadanya.

"Ayah dan ibu sudah di ke bumikan." Alva datang menjelaskan.

Ira menoleh ke arah adiknya dengan mata sembab.

"Ayah, Ibu?" tanya Ira, tidak percaya.

Apakah ingatan terakhirnya benar-benar nyata? Kedua orang tua yang dia miliki sekarang sudah di makamkan. Apakah ini hanya sekedar mimpi?

Tubuh gadis itu bergetar, dia mundur beberapa langkah hingga menyentuh tembok. Perlahan tubuhnya mulai turun, hingga tertelungkup di lantai dengan kepala yang tertunduk, memejamkan mata serapat-rapatnya, menahan tangis yang mungkin saja akan kembali pecah beberapa saat lagi.

Perlahan dia kembali membuka matanya, menatap adik satu-satunya yang terdiam tak bergerak sedikit pun.

"Kenapa tidak tanya dulu padaku?" Ira menaikan volumenya, menatap Alva dengan tajam.

Alva tak bergeming sedikitpun, dia menundukkan kepala, berlari dari pertanyaan yang di lontarkan kakaknya.

"Hey!" Seketika Heira bangun dari duduknya, mencengkeram kuat kerah baju Sang Adik.

Alva hanya diam menerima perlakuan Sang kakak, dalam pikiran Alva, kakaknya hanya di landa emosi sesaat, membalasnya adalah hal yang sia-sia.

Stt....

Beberapa orang yang melihat kejadian seketika melerai kedua Adik Kakak yang terlibat cekcok.

"Sudah-sudah, Ira tenang dulu."

Ira melepas cengkeraman dengan kasar. Air mata tak bisa dia bendung lagi, terus mengalir deras dengan sendirinya. Dia menatap lekat setiap wajah menyedihkan yang duduk memperhatikan dirinya dengan rasa penuh iba. Tak lupa dia menatap Pak Ustaz dan Alva secara bergantian.

"Tenang? ...Tak ada yang bisa menenangkan aku sekarang. Semua orang egois! Tidak ada yang bisa mengerti aku," bentak Heira.

Setiap kata yang keluar dari mulutnya, menggema hingga memenuhi setiap penjuru ruangan.

"Ira...." ucap Pak Ustaz terpotong, seraya menatap Ira dengan tatapan sayu. Tangannya mengapung hendak mengelus gadis yang tengah dilanda emosi, berusaha menenangkannya.

"Diam!" bentak Heira.

Seketika suasana semakin hening, tak ada sedikitpun suara yang terdengar, hanya suara jarum jam yang masih terdengar samar.

Tangan Ira mengepal kuat hingga terlihat jelas garis hijau membentang di tangannya. Dia mengambil ancang-ancang, kemudian pergi, berlari sekencang-kencangnya, menghindar dari semuanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status