Tak ada ampun lagi dari Papa untuk Mas Raihan dan aku pun tak bisa berbuat apapun, akhirnya Mas Raihan pun kalah dia terpaksa meninggalkan rumah ini, tentu saja tujuannya rumah perempuan itu. Perempuan yang katanya sudah bisa memberinya anak perempuan yang cantik, lalu kenapa dia tetap mempertahankan aku? Tetap bersikap baik padaku. "Nak," sapa Mama.Aku menghela napas. "Ma, aku butuh waktu. Berikan aku waktu untuk sendiri.""Silakan sayang, apapun yang bisa membuat kamu seperti sedia kala akan Mama lakukan.""Terima kasih, Ma."Kami saling berpelukan, aku pamit menuju kamar. Tiba-tiba saja kamar ini begitu menyeramkan, satu per satu ku tatap setiap sudutnya yang ada hanyalah bayangan keharmonisan antara aku dan Mas Raihan, kami jarang berselisih paham, sungguh siapapun yang tahu tak akan menyangka dengan apa yang telah terjadi, aku terlalu naif hingga menutupi akal sehatku kalau Mas Raihan pun manusia biasa yang bisa saja berbuat salah yang disengaja ataupun tidak. Aku lupa akan ha
Aku sudah siap melewati setiap kehidupan setelah apa yang akan aku putuskan hari ini, hari ini aku sudah memasukan gugatan cerai ke pengadilan, lalu Papa melaporkan Mas Raihan soal ini hanya akan menjadi urusan Papa, aku tak mau tahu.Hari pertama di rumah Mama, setelah hampir enam tahun hidup terpisah dengan mereka pasti terasa ada yang hilang, hatiku tak menampik jika kehilangan atas sosok itu terasa tapi semua sudah menjadi takdir yang harus aku jalani, perpisahan terkadang selalu menghadirkan luka tapi untuk apa selalu bersama jika justru hanya luka yang tercipta. Lelaki itu dengan mudah berkhianat dan mengorbankan rumah tangganya sendiri, kurang apa aku ini. Aku melayaninya dengan baik, bahkan aku mempercayainya untuk mengurus perusahaan yang Papa berikan tapi balasannya sesakit ini. Di atas sejadah aku meminta kekuatan Allah untuk bisa melewati setiap ujian, menjadi janda tentu bukan sesuatu yang baik. Aku sudah sering mendengar sisi negatif dengan status itu tapi tetap menjadi
"Woy, kalau mau bunuh diri di jalan besar."Aku menggelengkan kepala, kasihan sekali perempuan itu. Aku sudah hampir gila dibuatnya, ulahnya sudah aneh-aneh saja. Mengabaikannya dan kembali membuka pagar, sebuah mobil berhenti mendadak hingga sepeda motor di belakangnya rem mendadak mengenai mobil di depannya yang berusaha menghindari perempuan itu yang entah mau menyebrang atau memang sengaja sedang mencari perhatian dariku. Entahlah, aku tak peduli. Belum sempat aku masuk ke rumah, perempuan itu datang lagi. Ya ampun, sudah ngambil suami orang gak tahu malu juga nyamperin terus. "Mbak, kamu benar-benar manusia gak punya hati. Aku nyaris mati kamu biarin aja, bayarin ganti rugi dong mbak."Aku melongo heran, kenapa Mas Raihan bisa jatuh cinta sama perempuan yang lebih bo-doh dariku? Atau apa memang Mas Raihan senang dengan perempuan polos supaya dengan mudah dibohongi. "Kamu salah orang kalau minta dikasihi. Maaf mbak yang sok cantik kan punya suami, silakan minta sama suami mbak.
Siapapun dan di belahan bumi manapun tak ada yang ingin kehidupan rumah tangganya hanya berlangsung seumur jagung, jelang enam tahun pernikahan ternyata harus membuat rumah tanggaku selesai sampai sini. Tak pernah aku bayangkan, bahkan tak pernah aku meminta hal ini. Setiap malam-malam panjang dan sujud yang aku lakukan ada doa indah yang selalu aku haturkan pada sang pemilik kehidupan. Rumah tangga harmonis, penuh cinta dan membawa pada ketaatan tentu adalah impian setiap pasangan begitupun aku, aku pikir itu pun impian Mas Raihan karena semua sikapnya tak ada yang membuatku curiga atau kecewa. Tapi nyatanya semua lenyap begitu saja, hanya dalam hitungan detik semua yang sudah terjadi selama ini pudar dan pupus. Apakah aku terlalu egois? Palu yang diketuk Pak Hakim pertanda bahwa semua sudah selesai, pengadilan mengabulkan gugatanku dan menolak sanggahan dari Mas Raihan yang bersikukuh ingin tetap bertahan. Bukankah jalan cerai yang dibenci Allah itu boleh diambil jika dalam pernik
Aku menunggu dengan tenang orang yang sedang aku temui, tak lama dia datang dengan dikawal oleh petugas lalu petugas itu pergi. Tatapannya penuh kebencian dan ketidaksukaan, tapi aku tetap tersenyum. Dia duduk dengan kasar, kini kami berhadapan."Ada apa kamu kesini? Mau menertawakan aku, iya hah?" Lelaki yang ku kenal dulu sangat baik, penyayang, lembut kini dapat kulihat sifat aslinya sama seperti yang orang lain katakan dulu kalau aku hanya terhipnotis dengan gaya romantisnya. "Tenang, Mas Raihan. Aku datang kesini tidak bermaksud demikian, aku hanya merasa empati padamu karena bagaimanapun kamu adalah orang yang pernah ada di hidup saya dengan waktu yang tak sebentar.""Jangan basa-basi, kamu bahagia kan dengan kondisiku sekarang?"Aku mencoba tetap tenang, katanya orang yang memiliki kelainan jiwa maka ia tak akan bisa menerima sesuatu hal buruk terjadi padanya jika ada yang terjadi jika tak disukainya itu bukan kesalahannya. Entahlah, yang jelas aku melihat sekarang pada diri
Aku tak pernah menyangka pertemuan tanpa sengaja itu membawaku pada keadaan yang seperti ini. Kala itu, aku yang bekerja sebagai sales sebuah produk rokok mencoba menawarkan produk itu pada seorang lelaki yang kebetulan sedang diam, ya godaan itu sudah biasa bagiku. Karena pekerjaanku ini memang hampir selalu disamakan dengan pekerjaan perempuan nakal, padahal apa yang kukerjakan adalah halal. Lelaki itu tak kusangka meluncurkan rayuan hingga aku terbuai dan akhirnya berkenalan, perkenalan di pertemuan pertama berlanjut menjadi pertemuan-pertemuan selanjutnya. Aku terpikat pada sikapnya yang lembut, wajah tampannya selaras dengan sikap baiknya. Hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan, kedekatan itu terjalin begitu saja. Ada rasa nyaman yang terasa di dalam jiwa ini, aku merasa telah menemukan seseorang yang selama ini aku cari. Sungguh aku telah terpikat pada lelaki yang ternyata beristri, tapi aku sudah terlanjur jatuh hati padanya hingga tak peduli apapun statusnya terlebih di
"Kamu suka?"Tetiba suara itu terdengar dari arah belakang, aku dan Shofa menoleh ke sumber suara, betapa aku terkejut dengan kehadirannya. "Kamu?"Lelaki itu tersenyum, sementara Shofa terus menyikut. "Senang bisa bertemu denganmu lagi, Naura. Tak menyangka perempuan yang akan dikenalkan denganku itu adalah kamu.""Dikenalkan?" Aku dibuat heran dengan ucapannya, tiba-tiba dia hadir di depan mata. Siapa yang dia maksud."Tuh, orangnya."Aku dan Shofa menoleh ke arah dimana lelaki itu menatap. Menghela napas ringan, ternyata perempuan itu. Untuk apa dia melakukan hal ini. "Jadi kamu sudah mengenal dia?" tanya perempuan itu padaku. Aku mendesis, maksud dia itu apa? Aku dan dia memang semakin mengenal, saling mengenal tapi aku masih menjaga jarak dengannya. Bagaimanapun perempuan itu adalah perempuan yang dulu pernah diincar oleh mantan suamiku, Mas Raihan. Aku tak ingin membawa orang-orang di masa lalu siapapun masuk dalam hidupku. Zahra Khaura, ah perempuan itu salah menilai ku.
Menyusuri pesisir pantai dengan udara yang sejuk, matahari perlahan terlihat naik, angin menyapa begitu lembut, pemandangan yang asri begitu memanjakan mata, hamparan laut luas seraya berkata bahwa inilah kehidupan begitu luas, apa yang tersaji di dalamnya adalah keindahan yang terbalut dalam segala rangkaian cerita. Deburan ombak, angin yang kencang, terjangan gelombang. Semua terjadi menciptakan keindahan yang sempurna, bagaimana jadinya pantai tanpa sebuah ombak, gelombang dan terjangan angin? Rasanya keindahannya akan kurang sempurna. Tatapan ini tak lepas mengamati perpaduan indah yang tercipta dari tiga hal itu, hingga aku menyadari tentang kehidupan yang selama ini aku hadapi. Terlahir, lalu tumbuh dengan penuh cinta, tak banyak gelombang dan ombak yang menerpa semua bisa dirasakan begitu manis, beranjak dewasa tumbuh menjadi manusia yang paling beruntung, dilimpahkan banyak kemudahan, kemewahan tapi ternyata jika sungai saja terkadang mendapat arus besar maka wajar jika lau