LOGINSudah lebih dari satu minggu Nala berada di kampung halamannya. Dan selama itu pula Nala menghabiskan waktunya di warung membantu ayahnya. Namun, hari jumat ini berbeda, karena Pak Bakti menutup warungnya. Memang sudah menjadi tradisi keluarga, setiap hari Jumat warung Pak Bakti akan tutup, dan buka kembali besok hari.
Kini Nala berada di kamarnya. Ia merebahkan tubuh di kasur yang terasa sejuk, sementara angin sepoi-sepoi masuk melalui sela jendela. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel, berpindah-pindah dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya karena rasa bosan yang mulai menyerang. Hingga kemudian, sebuah unggahan iklan film terbaru muncul di lini masanya. Itu adalah film drama romantis yang sudah lama ia nantikan sejak masih di Jakarta. Nala menatap poster film itu dengan binar mata yang mendadak terang. Ia sangat ingin menontonnya. Namun, sedetik kemudian, ia menghela napas panjang dan melempar ponselnya ke samping bantal. Keinginannya itu terasa seperti kemustahilan di sini. Untuk sampai ke bioskop terdekat, ia harus menempuh perjalanan ke pusat kota yang jaraknya cukup jauh—sekitar satu jam lebih perjalanan motor. Masalah utamanya bukan hanya jarak, melainkan izin. Nala tahu betul watak orang tuanya. Pak Bakti dan Bu Raras pasti akan langsung menggelengkan kepala jika mendengar anak gadisnya ingin pergi ke kota sendirian hanya untuk menonton film. Belum lagi kakak laki-lakinya, Banyu, yang saat ini tidak pergi ke bengkel. Mas Banyu pasti akan menentang habis-habisan dengan alasan jalanan menuju kota terlalu ramai dan rawan bagi Nala, apalagi jika pulang kemalaman. "Kenapa juga bioskop harus sejauh itu," gumam Nala kesal, menenggelamkan wajahnya ke bantal. Namun, rasa penasaran dan keinginan yang sudah menggebu-gebu rupanya lebih kuat daripada rasa takutnya akan omelan keluarga. Nala melirik jam di dinding, masih jam setengah sebelas. Jika ia berangkat sekarang, ia bisa mengejar jadwal tayang siang hari dan kembali sebelum hari gelap. Sebuah rencana nekat mulai tersusun di kepalanya. Nala segera bangkit, menyambar tas kecilnya, dan mematut diri di cermin untuk memastikan penampilannya tidak terlalu mencolok seperti orang yang hendak pergi jauh. Setelah menarik napas panjang untuk menetralkan debar jantungnya, ia melangkah keluar kamar dengan wajah yang dibuat sesantai mungkin. Di ruang tengah, ia melihat Banyu sedang asyik mengutak-atik knalpot motornya di depan rumah, sementara ibunya sedang bersantai di depan televisi. Sedangkan ayahnya tidak tahu di mana. "Ma, Nala pinjam motor ya? Mau keliling desa sebentar, bosen di kamar terus," izin Nala sambil memakai sandal dan mengambil helm di dekat rak sepatu, mencoba mengatur nada suaranya agar tidak terdengar gemetar. Bu Raras menoleh sekilas. "Mau ke mana? Siang-siang begini panas, lho." "Cuma mau cari angin sama cari jajan di depan gang, Ma. Mungkin sekalian mampir ke rumah teman sebentar," dusta Nala lancar. Banyu mendongak dari balik motornya, matanya menyipit penuh selidik. "Jangan jauh-jauh. Jalanan lagi ramai, bahaya. Jam dua harus sudah balik!" "Iya, Mas! Cuma deket sini kok," seru Nala sambil buru-buru menyalakan mesin motor matic-nya sebelum sang kakak bertanya lebih detail. Begitu berhasil melewati gerbang rumah, Nala melajukan motornya menyusuri jalanan desa dan langsung tancap gas menuju jalan raya provinsi begitu keluar dari gang. Perasaan bersalah sempat mencubit hatinya, namun bayangan layar lebar dan aroma popcorn di bioskop jauh lebih menggoda. Satu jam perjalanan bukanlah hal yang mudah. Angin kencang dan debu jalanan mulai membuat matanya perih, namun Nala terus melaju. Hingga akhirnya, gedung pusat perbelanjaan terbesar di kota itu terlihat di depan mata. Nala tersenyum penuh kemenangan; misinya berhasil. --- Tidak hanya menonton film, Nala juga mengelilingi mall untuk berbelanja beberapa keperluan yang sulit ia temukan di desa. Ia menyusuri deretan toko pakaian, mencoba beberapa produk kecantikan di gerai kosmetik, hingga mencicipi camilan kekinian yang sedang populer di media sosial. Saking asyiknya menikmati suasana kota yang sempat ia rindukan, ia benar-benar lupa waktu. Langkah kakinya baru terhenti saat ia merasakan ponsel di saku celananya bergetar tanpa henti. Nala merogoh ponselnya, dan jantungnya nyaris copot melihat tumpukan notifikasi yang muncul di layar. Ada puluhan panggilan tak terjawab dari Banyu dan ayahnya, dan lima pesan dari ibunya. Nala segera melirik jam di sudut layar ponsel. Angka digital itu menunjukkan pukul 17.10. "Mati aku!" bisiknya panik. Wajahnya mendadak pucat. Pukul lima sore! Itu artinya ia sudah telat lebih dari tiga jam dari waktu yang ditentukan Banyu. Jika ia berangkat sekarang, ia baru akan sampai di rumah menjelang pukul setengah tujuh malam, tepat saat hari sudah gelap gulita. Rasa senang karena belanjaan dan film tadi seketika menguap, digantikan oleh rasa takut yang luar biasa. Ia membayangkan wajah garang Mas Banyu yang pasti sudah mondar-mandir di depan pagar, atau omelan ibunya yang akan sepanjang rel kereta api, lalu nasihat dari ayahnya yang berujung tidak akan membiarkan Nala membawa motor lagi. Nala bergegas menuju area parkir dengan langkah seribu. Tangannya gemetar saat memasukkan kunci motor. Begitu mesin menyala, ia langsung memacu motornya keluar dari area mall. Namun, masalah baru muncul; jalanan saat ini sedang berada di puncak kemacetan karena jam pulang kantor. Di tengah kepanikannya menembus kemacetan, langit perlahan mulai berubah jingga keunguan. Angin sore yang dingin mulai menusuk kulit yang dilapisi kemeja tipisnya. Nala terus merutuki kebodohannya sendiri dalam hati. Bagaimana ia harus menjelaskan tas belanjaan di motornya ini? Dan yang lebih penting, alasan apa yang bisa masuk akal untuk keterlambatan selama ini? Saat ia baru saja berhasil keluar dari batas kota dan memasuki jalanan sepi yang diapit hutan jati menuju desanya, awan hitam mendadak menggantung rendah. Tak lama kemudian, rintik hujan mulai turun, membuat jalanan aspal yang berdebu menjadi licin dan berbahaya. Ditambah motornya tiba-tiba melambat sebelum akhirnya berhenti total. Gawat! Motornya mogok. Nala panik bukan main. Jarak dari sini ke desanya membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit jika menggunakan motor, mustahil kalau ia harus mendorong motornya. Hal yang perlu ia lakukan sekarang adalah, menghubungi kakaknya. Ia pun merogoh tas kecilnya untuk mengambil ponsel. Namun nahas, ponselnya malah mati. "Sial banget sih aku," ucapnya lirih. Nala berdiri mematung di pinggir jalan yang mulai gelap dan sepi. Hujan yang tadinya hanya rintik-rintik kini berubah menjadi deras, mengguyur tubuhnya hingga kemeja tipis itu melekat dingin di kulit. Rasa takut mulai menggerogoti hatinya, takut akan gelapnya jalanan hutan jati, takut akan keselamatan dirinya, dan tentu saja, takut akan kemarahan keluarganya di rumah yang pasti sudah mencarinya ke mana-mana. Ia bahkan mengabaikan barang belanjaannya yang sudah basah kuyup, sangking takutnya. "Tolong... nyala dong motornya," isaknya sambil berkali-kali menekan tombol starter, namun mesin motornya tetap membisu. Cahaya lampu dari arah belakang tiba-tiba membelah kegelapan. Nala menoleh dengan perasaan was-was sekaligus berharap. Sebuah mobil SUV hitam yang tampak gagah dan elegan melambat dan berhenti tepat di sampingnya. Pintu mobil terbuka, dan sesosok pria tinggi turun dengan payung besar di tangannya. Hanggara berdiri di sana. Ada raut terkejut diwajahnya, "Nala? Saya kira orang lain tadi. Motornya mogok?" Nala tidak menjawab. Ia hanya bisa menunduk, tubuhnya menggigil hebat karena dingin yang menusuk tulang dan rasa takut yang memuncak. Isak tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah begitu saja. Ia merasa sangat kecil, bodoh, dan tidak berdaya di hadapan pria yang selama satu minggu ini terus mengusik pikirannya. Melihat Nala yang hanya diam tersedu, Hanggara menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat, memosisikan payung besarnya agar Nala terlindung dari guyuran air, sementara bahunya sendiri mulai basah. "Naik ke mobil sekarang. Kamu bisa sakit kalau terus berdiri di sini," ucap Hanggara. "Ta-tapi motornya, Mas..." cicit Nala di sela isakannya. "Masuk aja dulu, badanmu udah menggigil." Hanggara membantu Nala menuju pintu penumpang depan. Begitu pintu tertutup, Nala disambut oleh aroma kabin mobil yang mewah, perpaduan antara wangi kayu cendana dan suhu hangat dari heater yang langsung dinyalakan Hanggara, begitu laki-laki itu masuk. *** Tbc.Sudah lebih dari satu minggu Nala berada di kampung halamannya. Dan selama itu pula Nala menghabiskan waktunya di warung membantu ayahnya. Namun, hari jumat ini berbeda, karena Pak Bakti menutup warungnya. Memang sudah menjadi tradisi keluarga, setiap hari Jumat warung Pak Bakti akan tutup, dan buka kembali besok hari.Kini Nala berada di kamarnya. Ia merebahkan tubuh di kasur yang terasa sejuk, sementara angin sepoi-sepoi masuk melalui sela jendela. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel, berpindah-pindah dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya karena rasa bosan yang mulai menyerang. Hingga kemudian, sebuah unggahan iklan film terbaru muncul di lini masanya.Itu adalah film drama romantis yang sudah lama ia nantikan sejak masih di Jakarta. Nala menatap poster film itu dengan binar mata yang mendadak terang. Ia sangat ingin menontonnya. Namun, sedetik kemudian, ia menghela napas panjang dan melempar ponselnya ke samping bantal.Keinginannya itu terasa seperti kemustahilan di sini. U
Sesampainya di rumah, Nala segera menata belanjaan di dapur sementara Bu Raras mulai mengeluarkan bumbu-bumbu dapur. Namun, rasa penasaran Nala sudah di ujung lidah. Sambil pura-pura sibuk memindahkan lupis dan jajanan lainnya ke piring, ia mencoba memancing informasi."Ma," panggil Nala pelan. "Mama kok bisa kenal sama Mas Hanggara?""Ya kenal, to, Nala. Memang dia bukan orang desa kita, dia itu asalnya dari desa sebelah, Desa Sukomulyo. Tapi ya siapa yang nggak kenal keluarga Pak Gunawan? Namanya tersohor sampai ke sini karena toko berasnya itu yang paling besar di pasar tadi," jelas Bu Raras panjang lebar.Nala terdiam sejenak, membayangkan sosok tinggi besar itu berdiri di antara tumpukan karung beras. Pantas saja Hanggara bisa berada di pasar pagi-pagi sekali."Mas Hanggara itu anak tunggal. Ayahnya, Pak Gunawan, sebenarnya masih ada, tapi kondisinya sudah sepuh dan sering sakit-sakitan. Makanya sekarang semua urusan keluarga mereka, mulai dari sawah yang luas sampai peternaka
Nala mengangkat rak plastik berisi makanan ringan itu dengan tenaga ekstra. Setelah semuanya rapi di dalam, ia membantu ayahnya menarik rolling door yang berderit nyaring saat ditarik, lalu membiarkan ayahnya menguncinya rapat-rapat. Setelah itu mereka bergegas untuk pulang. Sepanjang perjalanan pulang yang hanya memakan waktu lima menit dengan motor, angin sore menerpa wajah Nala. Pikirannya masih tertambat pada aroma parfum Hanggara. Wanginya tidak menusuk, tapi meninggalkan jejak yang kuat, seperti kepribadian pria itu sendiri. "Sudah sampai," suara Pak Bakti memecah lamunan Nala. "Besok mau ikut Papa ke warung lagi?" tanyanya. Nala turun dari boncengan, lalu menganggukan kepalanya cepat-cepat. "Mau, biar Papa ada temennya." ujarnya sambil terkekeh kecil. "Kalau mau di rumah aja nggak apa-apa loh, Dek. Papa nggak akan maksa kamu buat ikut ke warung terus," Nala tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Di rumah juga nggak ngapa-ngapain, Pa. Lagian aku seneng bantu Papa," ja
Nala mengangguk kecil. Ia meraih permen yang dimaksud, lalu membuka freezer kecil di sudut warung untuk mengambil es mambo. "Permennya dua ribu, es mambo seribu lima ratus," ucapnya pelan, lebih ke mengingatkan diri sendiri daripada si pembeli. "Jadi totalnya tiga ribu lima ratus." Anak itu mengulurkan uang lima ribuan yang sudah agak lecek. Nala menerimanya, membuka laci, lalu menghitung kembalian. "Ini kembaliannya seribu lima ratus," katanya sambil menyerahkan uang itu. "Makasih, Tante," ujar si anak ceria sebelum berlari keluar warung. Nala menghela napas lega setelah pintu warung kembali tertutup. Ia melirik buku kecil di depannya, lalu menuliskan transaksi pertama dengan tulisan rapi, meski sedikit terlalu serius untuk pembelian permen dan es mambo. Tak lama kemudian, seorang bapak datang membeli rokok, disusul ibu muda yang membeli minyak goreng dan telur. Nala sempat salah menyebut harga minyak, tapi cepat membetulkannya setelah mengecek daftar harga di laci. Jantu
Setelah mandi dan berganti dengan pakaian sederhana—kaus putih lengan pendek dan celana jeans—Nala kembali ke ruang tengah. Rambutnya diikat asal, masih sedikit lembap. Papa Bakti sudah menunggu di teras dengan tas kain besar berisi daftar belanja dan uang pecahan. "Siap?" tanya Papa. "Siap, Pa," jawab Nala ceria. Mereka berjalan kaki menuju warung yang jaraknya tak sampai lima menit dari rumah. Warung itu berdiri di pinggir jalan utama desa, bangunan yang lebih mirip dengan minimarket dengan rolling door hijau yang sudah mulai pudar warnanya. Begitu Papa membuka pintu, aroma khas warung—campuran kopi, gula, sabun, dan plastik—langsung menyambut. "Pertama-tama, kita bersih-bersih dulu," kata Papa sambil menyingsingkan lengan kemejanya. Nala mengangguk dan langsung sigap. Ia menyapu lantai, mengelap etalase kaca, lalu menata ulang beberapa barang yang terlihat berantakan. Tangannya sempat kikuk saat menyusun mi instan dan snack, tapi lama-lama ia menikmati kegiatan itu. Ada k
Keesokan harinya, Nala terbangun oleh suara ayam berkokok dan aroma kopi tubruk yang samar-samar menyelinap ke kamarnya. Ia membuka mata perlahan, butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa langit-langit lilac di atasnya bukanlah plafon kosan sempit di Jakarta, melainkan kamar lamanya—rumah. Ia melirik jam di meja kecil. Pukul lima kurang sepuluh. Refleks, Nala langsung duduk tegak. Di Jakarta, jam segini biasanya ia baru saja tertidur setelah semalaman begadang. Di sini, rumah sudah hidup sejak subuh. Dari balik pintu, terdengar suara Mama berbincang dengan Papa di dapur, diselingi bunyi sendok yang berada dengan gelas. Nala menghela napas pelan, lalu bangkit dari ranjang. Ia meraih cardigan tipis, menyampirkannya ke bahu, dan melangkah keluar kamar. Dapur tampak hangat. Papa sudah duduk di bangku kayu, menyesap kopi, sementara Mama berdiri di depan kompor, menggoreng tahu dan tempe. Begitu melihat Nala, Mama tersenyum lebar. "Lho, sudah bangun, tidurnya nyenyak, Nduk?" Tan







