Share

Bab 6

last update Last Updated: 2023-06-28 17:09:32

NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP

"Maaf, Mak. Suci belanjanya lama. Terpaksa jalan kaki ke dusun sebelah beli beras sama gulanya," jelasku setelah mengucap salam.

Emak terlihat aneh, beliau hanya diam tanpa menjawab ucapanku. Padahal biasanya, apapun yang aku katakan langsung ditanggapi.

"Emak marah karena kelamaan nunggu Suci, ya? Ini minum buat siapa, Mak?" tanyaku ketika Emak membawa nampan yang atasnya ada segelas air putih.

"Ternyata menyedihkan sekali hidup kamu."

Seketika pandanganku beralih pada sosok perempuan yang baru saja masuk dari belakang.

Kaget bukan kepalang ketika melihat perempuan yang telah merebut Ayah dariku tiba-tiba ada di sini. Entah dari mana dia tahu keberadaanku.

"Ngapain anda ke sini?"

"Duh, sopan sekali. Orang tua datang bukannya disambut dengan cium tangan. Malah ketus begitu."

Tersenyum getir. "Orang tua? Orang tua saya hanya Bunda Ratri yang sudah tiada. Dan kini Emak mertua adalah orang tua pengganti Bunda Ratri."

"Mama ke sini bukan ngajakin ribut lho. Cuma ingin tahu kabar kamu dan juga si sopir. Eh … suami kamu."

Mengambil gelas berisi air putih dari tangan Emak lalu menyiramkan ke wajah istri kedua Ayah.

Ya … aku memang dendam. Kehadirannya telah merubah segalanya. Sifat Ayah yang dulu baik dan bijak seketika berubah karena sudah terkena racun perempuan ular yang berdiri di hadapanku saat ini.

Mama Ane mengusap wajahnya pelan. Dia tersenyum dan duduk di kursi kayu. "Tidak masalah, dari awal Mama sudah menebak pasti akan seperti ini. Langsung saja, ya. Karena Mama juga tidak betah lama-lama di sini."

Aku menoleh ke arah Emak yang berdiri tertegun.

"Tolong kamu tanda tangan!" Mama Ane menyodorkan beberapa lembar kertas.

Karena penasaran, aku pun membaca tulisan yang ada di kertas tersebut.

Langsung menyobek dan melempar sobekan kertas ke arah perempuan yang mengenakan dress pendek dengan scarf di lehernya.

"Kenapa? Keberatan dengan isinya? Suci Ramadhani Prayogo. Bukannya kamu anak tidak gila harta seperti yang pernah kamu ucapkan."

"Saya memang bukan orang gila harta seperti anda dan juga putri anda itu. Tapi saya tidak akan membiarkan hotel, maupun kekayaan milik Ayah lainnya jatuh ke tangan kalian."

Mengambil sapu yang ada di sampingku. "Sepertinya gagang sapu ini cukup kuat. Lumayan lah kalau dipuku–." Belum selesai bicara, Mama Ane buru-buru keluar dengan langkah sedikit lari.

Sebenarnya Mama Ane ke sini dengan siapa? Kenapa aku tidak melihat ada mobil di depan. Tidak penting juga, sih.

"Emak tidak apa-apa 'kan? Apa tadi perempuan itu bicara macam-macam?"

Emak hanya menggelengkan kepala. Tapi aku yakin, pasti ada sesuatu yang telah diucapkan Mama Ane pada Emak. Karena beliau terlihat sedih.

-

"Kamu tidak ingin pulang, Dek?" tanya Mas Ihsan ketika aku berdiri di depan jendela ruang tamu, menatap gelap malam tanpa ada kerlip bintang.

"Pulang? Ke mana?"

"Maksud, Mas, nengokin Ayah. Sudah delapan tahun 'kan. Apa tidak kangen?"

Delapan tahun. Tidak terasa selama itu aku tidak bertemu Ayah. Komunikasi kami benar-benar telah putus.

"Aku sudah tidak memiliki rasa kangen untuk dia."

Sebenarnya di lubuk hati yang paling dalam, aku sangat rindu. Entah bagaimana keadaan beliau sekarang? Apa baik-baik saja?

Aku pun khawatir karena Ayah dikelilingi orang-orang jahat. Tetapi rasa sakit ini sudah terlanjur membekas. Rasanya sulit untuk bisa bersikap seperti dulu lagi, meski pada Ayah sendiri.

Mas Ihsan menggenggam tanganku dan mengecup lembut. "Datangilah Ayah, Dek! Mas yang paling merasa bersalah kalau hubungan kalian tidak membaik."

Menatap lekat kedua manik berwarna hitam dengan bulu mata sedikit lentik itu. "Jangan menyalahkan diri sendiri, karena sebelum kita menikah pun hubunganku dengan Ayah sudah berantakan."

"Tapi Ayah sangat kecewa saat kamu menikah dengan Mas."

"Benar kata Ihsan, Ci. Tengoklah ayahmu. Bagaimanapun dia orang tua kandungmu," sambung emak yang baru saja datang.

Dengan kedatangan Mama Ane tadi, banyak pertanyaan yang bergelayut di pikiran. Bagaimana bisa dia memintaku untuk tanda tangan pengalihan harta, sedangkan Ayah saja jelas-jelas masih hidup. Bahkan aku sendiri sebagai anak kandung tidak pernah tahu soal warisan tersebut.

Apa ada sesuatu yang tidak beres?

***

"Mas, aku titip Emak dan Dila, ya." Setelah berpikir semalaman. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah Ayah sekedar menjenguk beliau.

Sebenarnya tidak tega harus meninggalkan Emak dan Dila meskipun hanya beberapa hari.

"Kamu jangan khawatir soal Emak dan Dila. Mas akan selalu menjaga mereka."

"Emak jangan ke mana-mana, ya. Di rumah saja. Kalau perlu tutup pintu

Dila juga jangan main," pesanku.

"Kamu tidak mau Mas antar sampai terminal, Dek?"

"Tidak usah … Mas Ihsan jagain Emak dan Dila saja. Assalamu'alaikum," pamitku pada Emak, Mas Ihsan dan juga Dila.

Menautkan tas slempang ke bahu dan menenteng tas berisi baju serta keperluan lain. Di rumah Ayah sebenarnya masih banyak barang-barang milikku. Tapi antisipasi saja, siapa tahu kamarku sudah menjadi milik orang lain dan semua barang dibuang.

"Assalamu'alaikum," salamku ketika melewati rumah Bu Kadus dan beliau ada di depan rumah bersama beberapa warga. Ada Bu Yati juga. Kadang suka heran, kenapa hampir setiap hari bertemu orang-orang yang menyebalkan di dusun ini.

"Wa'alaikumsalam. Mau ke mana, Mbak?" tanya beliau menghampiri.

"Mau ke luar kota, Bu."

"Oh, pasti mau kerja jadi pembantu, ya, Ci," sahut Bu Yati dari kejauhan."

"Bu Yati," tegur Bu Kadus.

"Memang benar, Bu. Kemarin ada perempuan cantik naik mobil mewah nyariin dia. Mobilnya saja parkir di depan rumah saya. Pasti nyariin Suci mau dijadikan pembantu. Yang sabar, ya, Ci. Orang miskin memang harus berjuang. Jangan manja cuma ngandelin hasil suami sebagai sopir."

Dari awal menikah sampai sekarang, Mas Ihsan memang melarangku bekerja. Dia ingin membuktikan pada keluargaku kalau mampu menafkahi.

"Bu, titip keluarga saya, ya. Jangan sampai ada yang menyakiti mereka. Saya harap Bu Kadus bisa tegas sama orang-orang yang suka seenaknya pada warga lain. Kalau perlu sump*l saja mulut mereka" Menatap tajam ke arah Bu Yati. Dia langsung menutup mulutnya dengan tangan.

Tunggu saja, suatu saat aku akan membalas perlakuan kalian yang selalu menghina dan merendahkan keluargaku.

"Bu Yati, nanti jangan ngumpet kalau dicariin bank plec*t. Temuin atuh, kasihan 'kan," ucapku sebelum beranjak pergi.

Bu Yati ini sebenarnya bukan orang kaya, tapi gayanya tidak mau kalah dengan Bu Evi. Maklum geng'nya.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nasi Kotak   Bab 30 TAMAT

    NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP (TAMAT)Full Part"Cepetan ngomong, Bu! Lama.""Iya, nih. Biasanya kalau ngomentari orang cepet."Warga kembali riuh menunggu Bu Evi dan Bu Atik yang tidak segera bicara."Silahkan, siapa yang ingin bicara lebih dulu diantara kalian. Bu Evi atau Bu Atik," ucap Mas Ihsan.Bu Evi dan Bu Atik saling melempar pandang. "Saya yang akan bicara lebih dulu," terang Bu Atik.Dia berdiri dan berjalan mendekat ke arah kami duduk. Lalu membalikkan badan ke arah warga. Sebelum bicara, Bu Atik menatap semua orang yang ada di ruangan. Hingga akhirnya sebuah salam terucap mengawali pengakuan yang sebentar lagi akan didengar oleh warga dusun.Kakinya terlihat bergetar hebat. Sampai-sampai anaknya maju ke depan untuk memegangi tubuh Bu Atik. Kurang lebih lima belas menit Bu Atik mengakui semua perbuatan yang dia lakukan. Bahkan dia menjelaskan dengan detail bagaimana mereka memasukkan r*cun tikus di masakan yang dimasak Mbak Icik untuk Emak. Kami hanya bisa menge

  • Nasi Kotak   Bab 29

    NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP Setelah menunggu, akhirnya Ayah pun tiba bersama perempuan yang sebentar lagi akan terbongkar kebusukannya. Sikap Mama Ane terlihat biasa saja. Masih dengan gayanya yang modis dan raut wajah yang selalu menunjukkan keangkuhan. Apa Bu Evi memang belum memberitahu tentang kejahatan mereka yang sudah terbongkar? Baguslah. Biar menjadi kejutan yang indah. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam, Yah," jawabku dan Mas Ihsan yang menyambut Ayah di depan. "Ayah mau langsung melihat keadaan Emak. Boleh 'kan?" "Boleh, Yah. Ayo Suci antar ke kamar.""Pak Rudi, Bu Ane," sapa emak yang ternyata lebih dulu keluar kamar. "Assalamu'alaikum, Bu. Bagaimana keadaannya?" tanya ayah."Emak … kenapa tidak istirahat saja?" ucapku."Emak itu sudah tidak apa-apa. Badan juga sudah enakan. Masa' iya harus di kamar terus.""Alhamdulillah kalau keadaan Ibu sudah membaik.""Iya, Pak Rudi. Silahkan duduk! Mari Bu Ane."Aku menoleh ke arah Mama Ane yang sekedar basa-basi men

  • Nasi Kotak   Bab 28

    NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Apa? Seratus lima puluh juta? Uang sebanyak itu Bu Evi kantongi sendiri? Licik. Berarti saya cuma dimanfaatkan saja," protes Bu Atik.Bu Atik dan Bu Evi saling serang ucapan. Sikap mereka tak ubahnya kucing dan tikus. Lupa, kalau mereka satu geng yang sangat solid. Aku, Mas Ihsan dan Emak sengaja membiarkan keduanya berdebat sejenak. Sampai akhirnya suara mereka tidak terdengar lagi ketika Mas Ihsan mengajakku untuk melaporkan ke pihak berwajib. "Tolong, Mak. Jangan laporkan kami." Mereka menangkupkan kedua tangan sambil bersimpuh. "Ihsan, suruh mereka keluar dari kamar Emak.""Suci … Emak mau bicara sama kamu," ucap beliau ketika aku hendak keluar kamar mengikuti Mas Ihsan."Iya, Mak."Emak terdiam lalu menarik napas. "Masalah ini tidak perlu diperpanjang lewat jalur hukum.""Apa? Perbuatan mereka tidak bisa ditolerir lagi, Mak. Harus diberi efek jera agar berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu. Apalagi menyangkut nyawa.""Emak tahu, tapi ….

  • Nasi Kotak   Bab 27

    NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP Tidak ada alasan menunda mengungkap kebenaran sesungguhnya. Setelah tadi Bu Atik terang-terangan bicara sendiri atas apa yang dia dan Bu Evi lakukan pada Emak, aku pun tidak tinggal diam. Jangan ditanya seberapa marahnya ketika aku mengetahui hal ini. Apalagi dalang dibalik semua adalah istri ayahku sendiri. —--------Mas Ihsan, Pak Kadus dan Mbak Icik melempar pandangan ke arahku. Mereka terlihat bingung ketika sengaja aku kumpulkan."Assalamu'alaikum." Salam dari luar. "Wa'alaikumsalam, masuk saja, Bu!" pintaku karena pintu memang terbuka lebar. Bu Atik masuk. Ternyata dia tidak datang sendiri. Melainkan bersama anaknya–Galih–ayahnya Putri. "Silahkan duduk," titahku."Ada apa ini, Dek?" Mas Ihsan mulai bicara. "Nanti Mas juga akan tahu. Kita masih menunggu seseorang lagi."Tadi malam aku bicara dengan Pak Marno dan Indah melalui sambungan telepon. Meminta mereka agar segera pulang dan mengantar Bu Evi ke sini. Dan tadi pagi-pagi sekali Pa

  • Nasi Kotak   Bab 26

    NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP POV EVIPonsel di tanganku seketika terlepas begitu saja. Tubuh ini serasa tak bertulang. Lemas. Suci … ternyata dia sudah mengetahui semuanya. Bu Atik, kamu. Kur*ng ajar."Ma, makanannya sudah datang. Buruan turun!" teriak Mas Marno dari lantai bawah. Selama di luar kota, kami menyewa sebuah villa milik teman Mas Marno. Aku sengaja mengajak semua orang rumah. Bahkan ART pun, untuk menghindari Suci dan Ihsan sementara waktu. Tapi ternyata semua sia-sia. Apa yang aku lakukan pada Emak telah diketahui oleh Suci. Sepertinya aku tidak usah pulang sekalian. Daripada nanti diseret ke pihak berwajib dan jadi cemoohan warga. Ya … lebih baik begitu."Ma … Papa panggil kok diam saja." Mas Marno datang ke kamar. "Mama tidak lapar," jawabku menahan kecemasan. "Lho, tadi katanya lapar. Gimana, sih, Mama ini.""Sudah, ya. Mendingan Papa keluar dan jangan ganggu. Mama pengen sendirian.""Terus tujuan Mama ngajakin liburan orang satu rumah dengan mendadak un

  • Nasi Kotak   Bab 25

    NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Emak sudah tidak apa-apa, Ci. Kamu dan Ihsan bisa balik lagi untuk mengurus hotel.""Tidak, Mak. Kami akan menunggu sampai Emak benar-benar sehat dan mengajak tinggal di sana," sahutku sambil memberikan obat."Benar kata Suci. Emak harus ikut kami. Ihsan tidak akan meninggalkan Emak sendirian lagi," sambung Mas Ihsan."Kejadian ini tidak bisa dianggap sepele. Jelas ada orang yang ingin mencelakai Emak. Suci akan mencaritahu siapa pelakunya."Terdengar ketukan pintu belakang yang menghentikan obrolan kami. Aku pun segera beranjak untuk melihat siapa yang datang. "Mbak Icik?""Saya buatin bubur dan terik tahu untuk Emak," terangnya sambil menunjukkan dua buah rantang. "Masuk saja, Mbak! Emak ada di kamar."Mbak Icik masuk dengan ragu-ragu. "Tidak apa-apa. Ayo, Mbak!" ajakku."San," sapa Mbak Icik.Mas Ihsan mengangguk dengan tatapan datar dan angkuh.Aku paham kenapa sikapnya seperti itu. Sebenarnya Mas Ihsan juga tidak bisa menyalahkan Mbak Ic

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status