Share

Bab 6

NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP

"Maaf, Mak. Suci belanjanya lama. Terpaksa jalan kaki ke dusun sebelah beli beras sama gulanya," jelasku setelah mengucap salam.

Emak terlihat aneh, beliau hanya diam tanpa menjawab ucapanku. Padahal biasanya, apapun yang aku katakan langsung ditanggapi.

"Emak marah karena kelamaan nunggu Suci, ya? Ini minum buat siapa, Mak?" tanyaku ketika Emak membawa nampan yang atasnya ada segelas air putih.

"Ternyata menyedihkan sekali hidup kamu."

Seketika pandanganku beralih pada sosok perempuan yang baru saja masuk dari belakang.

Kaget bukan kepalang ketika melihat perempuan yang telah merebut Ayah dariku tiba-tiba ada di sini. Entah dari mana dia tahu keberadaanku.

"Ngapain anda ke sini?"

"Duh, sopan sekali. Orang tua datang bukannya disambut dengan cium tangan. Malah ketus begitu."

Tersenyum getir. "Orang tua? Orang tua saya hanya Bunda Ratri yang sudah tiada. Dan kini Emak mertua adalah orang tua pengganti Bunda Ratri."

"Mama ke sini bukan ngajakin ribut lho. Cuma ingin tahu kabar kamu dan juga si sopir. Eh … suami kamu."

Mengambil gelas berisi air putih dari tangan Emak lalu menyiramkan ke wajah istri kedua Ayah.

Ya … aku memang dendam. Kehadirannya telah merubah segalanya. Sifat Ayah yang dulu baik dan bijak seketika berubah karena sudah terkena racun perempuan ular yang berdiri di hadapanku saat ini.

Mama Ane mengusap wajahnya pelan. Dia tersenyum dan duduk di kursi kayu. "Tidak masalah, dari awal Mama sudah menebak pasti akan seperti ini. Langsung saja, ya. Karena Mama juga tidak betah lama-lama di sini."

Aku menoleh ke arah Emak yang berdiri tertegun.

"Tolong kamu tanda tangan!" Mama Ane menyodorkan beberapa lembar kertas.

Karena penasaran, aku pun membaca tulisan yang ada di kertas tersebut.

Langsung menyobek dan melempar sobekan kertas ke arah perempuan yang mengenakan dress pendek dengan scarf di lehernya.

"Kenapa? Keberatan dengan isinya? Suci Ramadhani Prayogo. Bukannya kamu anak tidak gila harta seperti yang pernah kamu ucapkan."

"Saya memang bukan orang gila harta seperti anda dan juga putri anda itu. Tapi saya tidak akan membiarkan hotel, maupun kekayaan milik Ayah lainnya jatuh ke tangan kalian."

Mengambil sapu yang ada di sampingku. "Sepertinya gagang sapu ini cukup kuat. Lumayan lah kalau dipuku–." Belum selesai bicara, Mama Ane buru-buru keluar dengan langkah sedikit lari.

Sebenarnya Mama Ane ke sini dengan siapa? Kenapa aku tidak melihat ada mobil di depan. Tidak penting juga, sih.

"Emak tidak apa-apa 'kan? Apa tadi perempuan itu bicara macam-macam?"

Emak hanya menggelengkan kepala. Tapi aku yakin, pasti ada sesuatu yang telah diucapkan Mama Ane pada Emak. Karena beliau terlihat sedih.

-

"Kamu tidak ingin pulang, Dek?" tanya Mas Ihsan ketika aku berdiri di depan jendela ruang tamu, menatap gelap malam tanpa ada kerlip bintang.

"Pulang? Ke mana?"

"Maksud, Mas, nengokin Ayah. Sudah delapan tahun 'kan. Apa tidak kangen?"

Delapan tahun. Tidak terasa selama itu aku tidak bertemu Ayah. Komunikasi kami benar-benar telah putus.

"Aku sudah tidak memiliki rasa kangen untuk dia."

Sebenarnya di lubuk hati yang paling dalam, aku sangat rindu. Entah bagaimana keadaan beliau sekarang? Apa baik-baik saja?

Aku pun khawatir karena Ayah dikelilingi orang-orang jahat. Tetapi rasa sakit ini sudah terlanjur membekas. Rasanya sulit untuk bisa bersikap seperti dulu lagi, meski pada Ayah sendiri.

Mas Ihsan menggenggam tanganku dan mengecup lembut. "Datangilah Ayah, Dek! Mas yang paling merasa bersalah kalau hubungan kalian tidak membaik."

Menatap lekat kedua manik berwarna hitam dengan bulu mata sedikit lentik itu. "Jangan menyalahkan diri sendiri, karena sebelum kita menikah pun hubunganku dengan Ayah sudah berantakan."

"Tapi Ayah sangat kecewa saat kamu menikah dengan Mas."

"Benar kata Ihsan, Ci. Tengoklah ayahmu. Bagaimanapun dia orang tua kandungmu," sambung emak yang baru saja datang.

Dengan kedatangan Mama Ane tadi, banyak pertanyaan yang bergelayut di pikiran. Bagaimana bisa dia memintaku untuk tanda tangan pengalihan harta, sedangkan Ayah saja jelas-jelas masih hidup. Bahkan aku sendiri sebagai anak kandung tidak pernah tahu soal warisan tersebut.

Apa ada sesuatu yang tidak beres?

***

"Mas, aku titip Emak dan Dila, ya." Setelah berpikir semalaman. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah Ayah sekedar menjenguk beliau.

Sebenarnya tidak tega harus meninggalkan Emak dan Dila meskipun hanya beberapa hari.

"Kamu jangan khawatir soal Emak dan Dila. Mas akan selalu menjaga mereka."

"Emak jangan ke mana-mana, ya. Di rumah saja. Kalau perlu tutup pintu

Dila juga jangan main," pesanku.

"Kamu tidak mau Mas antar sampai terminal, Dek?"

"Tidak usah … Mas Ihsan jagain Emak dan Dila saja. Assalamu'alaikum," pamitku pada Emak, Mas Ihsan dan juga Dila.

Menautkan tas slempang ke bahu dan menenteng tas berisi baju serta keperluan lain. Di rumah Ayah sebenarnya masih banyak barang-barang milikku. Tapi antisipasi saja, siapa tahu kamarku sudah menjadi milik orang lain dan semua barang dibuang.

"Assalamu'alaikum," salamku ketika melewati rumah Bu Kadus dan beliau ada di depan rumah bersama beberapa warga. Ada Bu Yati juga. Kadang suka heran, kenapa hampir setiap hari bertemu orang-orang yang menyebalkan di dusun ini.

"Wa'alaikumsalam. Mau ke mana, Mbak?" tanya beliau menghampiri.

"Mau ke luar kota, Bu."

"Oh, pasti mau kerja jadi pembantu, ya, Ci," sahut Bu Yati dari kejauhan."

"Bu Yati," tegur Bu Kadus.

"Memang benar, Bu. Kemarin ada perempuan cantik naik mobil mewah nyariin dia. Mobilnya saja parkir di depan rumah saya. Pasti nyariin Suci mau dijadikan pembantu. Yang sabar, ya, Ci. Orang miskin memang harus berjuang. Jangan manja cuma ngandelin hasil suami sebagai sopir."

Dari awal menikah sampai sekarang, Mas Ihsan memang melarangku bekerja. Dia ingin membuktikan pada keluargaku kalau mampu menafkahi.

"Bu, titip keluarga saya, ya. Jangan sampai ada yang menyakiti mereka. Saya harap Bu Kadus bisa tegas sama orang-orang yang suka seenaknya pada warga lain. Kalau perlu sump*l saja mulut mereka" Menatap tajam ke arah Bu Yati. Dia langsung menutup mulutnya dengan tangan.

Tunggu saja, suatu saat aku akan membalas perlakuan kalian yang selalu menghina dan merendahkan keluargaku.

"Bu Yati, nanti jangan ngumpet kalau dicariin bank plec*t. Temuin atuh, kasihan 'kan," ucapku sebelum beranjak pergi.

Bu Yati ini sebenarnya bukan orang kaya, tapi gayanya tidak mau kalah dengan Bu Evi. Maklum geng'nya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status