Jika Fatih diberi pertanyaan apakah dirinya mencintai Zulfa. Maka, ya, Fatih mencintainya. Fatih sangat mencintai perempuan yang usianya lebih muda empat tahun darinya itu. Zulfa adalah kesayangannya, perempuan yang mengobati luka hatinya karena penolakan Sabrina, istrinya, juga perempuan yang sekarang sedang mengandung anaknya. Zulfa adalah kecintaannya. Mungkin Fatih pernah ragu akan perasaannya dulu. Namun, tidak lagi sekarang. Fatih yakin dan sadar, jika di dunia ini hanya Zulfa yang Fatih inginkan.
“Apakah dia selalu seperti ini, Cah Ayu?” gumam Fatih lirih sembari menjauhkan tubuhnya dari Zulfa tanpa melepas pelukan mereka.Zulfa langsung mendongakkan kepala guna melihat wajah Fatih dengan dahi yang sedikit mengernyit. “Dia? Dia siapa Mas?” tanyanya dengan suara yang masih sengau. Belum mengerti, dia siapa yang Fatih maksud di sini.Fatih mengulas senyuman lantas membawa sebelah tangannya ke atas perut Zulfa. “Anak kita,” jawabnya.Zulfa lan“Kamu yakin dengan keputusan kamu?” tanya Fatih.“Iya, Mas. Zulfa yakin.”Fatih langsung mendesah. “Kenapa?” tanyanya.Zulfa menundukkan kepala.“Mas mohon jangan pergi. Kamu tidak harus melakukan ini, Cah Ayu.”Ada jeda selepas itu.“Zulfa tahu, Mas,” balas Zulfa pada akhirnya. “Tapi Zulfa mohon izinkan Zulfa pergi. Ini permintaan pertama Zulfa pada njenengan. Tolong Mas izinkan.”Fatih menatap perempuan yang ada di hadapannya dengan tatapan nanar. Laki-laki bersurai gelap itu mendesah. Dadanya benar-benar terasa sesak sekarang, seperti dihimpit oleh ribuan batu.Setelah apa yang mereka lewati, kenapa situasi yang tak terduga harus mereka hadapi? Seolah-olah, bahagia alergi berlama-lama menetap untuk mereka.Fatih berlutut di depan Zulfa yang sekarang duduk di atas ranjang kamar mereka, meraih tangan kanannya dan menggenggamnya erat.“Zulfa,” lirihnya menatap wajah cantik istrinya itu. “Kita b
Sekesal-kesalnya Fatih pada Zulfa, laki-laki itu tidak bisa berlama-lama marah kepadanya. Sejak perbincangan terakhir mereka yang membuat Fatih meninggalkan Zulfa sendiri di dalam kamar, Fatih terus menyibukkan diri dengan urusan pesantren. Ia tidak kembali ke ndalem sama sekali karena tidak ingin melihat Zulfa kemudian meluapkan kemarahannya di depan istrinya itu.Fatih memang kecewa dengan keputusan dan permintaan Zulfa, tetapi Fatih tidak bisa menolaknya karena Zulfa yang menginginkannya. Sekali lagi, Fatih benar-benar mencintainya. Fatih tidak ingin Zulfa bersedih dan menangis lagi karenanya. Ya, meski pada kenyatanya ia telah membuat Zulfa menangis lagi tadi. Namun, mau bagaimana lagi, Fatih benar-benar kesal karena Zulfa yang seolah tidak memedulikan kebahagiaannya sendiri dan lebih mementingakan kebahagiaan orang lain.Perempuan itu sangat baik.Fatih terpaksa meninggalkan Zulfa yang menangis sendirian di kamar mereka karena Fatih tidak mau dirinya
Zulfa Zahra El-FazaJika Gus Fatih mengira aku sudah tidur, dia salah. Aku tidak tidur. Mataku memang terpejam, tapi aku tidak benar-benar terlelap sama sepertinya.Sejak tadi aku bisa merasakan Gus Fatih yang berulang kali mencium kepalaku. Menyelipkan hidungnya di antara surai-surai rambutku juga dirinya yang semakin erat memelukku. Beberapa kali aku juga merasakan hidungnya yang bergesekan dengan leherku. Aku bisa merasakan semuanya. Napas hangatnya, juga air matanya.Sama seperti Gus Fatih, aku juga masih terjaga.Saat Gus Fatih dengan hari-hati melingkarkan tangannya di perutku dan kembali menciumi puncak kepalaku, aku semakin bersusah payah menahan isakku. Gus Fatih tidak boleh tahu jika aku masih bangun dan ikut menangis bersamanya.Malam ini adalah malam terakhir kami. Malam perpisahan kami. Tentu saja aku juga merasa sedih.Air mataku tidak bisa kutahan. Untung saja aku dan Gus Fatih tidak saling berhadapan. Setelah maka
Perempuan itu terlihat begitu damai dalam tidurnya. Tidak ada raut kebahagiaan. Namun, juga tidak ada raut kesedihan. Seperti kertas kosong, wajah cantik itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun selain damai, tenang, dan kepasrahan.Sabrina dalam bahasa Arab berarti mawar putih. Dalam bahasa Inggris, Sabrina berarti putri legendaris. Namun, Sabrina yang satu ini, ia hanya putri malang yang bukan hanya kehilangan cinta, tetapi kehilangan segalanya dalam hidupnya.***“Mas. Ada satu hal lagi yang Zulfa inginkan.”“Apa?”Zulfa menatap dalam kedua mata jelaga suaminya. “Kalau boleh, Zulfa mau bawa semua seri Supernova yang njenengan punya. Zulfa ingin membacanya selama di Lamongan nanti.”Fatih langsung tertegun menatap istrinya. Laki-laki itu membuka mulutnya hendak bersuara, tetapi tak lama mengatupkan bibirnya kembali. Fatih akhirnya hanya mengerjapkan matanya sekali. “Semuanya?” tanya Fatih.“Nggeh.” Zulfa mengangguk. “Sem
Debur ombak menghantam pasir putih pantai. Matahari bersinar terang di singgasananya. Pepohonan kelapa diterpa angin kemudian menari syahdu bersamanya.Zulfa membawa kaki telanjangnya melangkah menyusuri bibir pantai berpasir putih itu. Pelan-pelan. Membiarkan ombak mendera kakinya dan membuat basah ujung gamis berwarna biru yang dikenakannya. Perempuan itu terus berjalan sembari memegangi perut besarnya.Seperti yang Zulfa minta, selama dirinya menetap di Lamongan, di salah satu pondok pesantren salaf ternama asuhan Kiai Muza dan Nyai Alimah yang berdiri di dekat laut, Fatih tidak pernah datang untuk menemui atau menghubunginya. Keduanya sudah berpisah selama lima bulan lamanya.Zulfa tentu merindu. Namun, mengingat perpisahan mereka dan semua ini terjadi karena keputusannya, ia sendiri yang meminta dan menginginkannya, Zulfa tidak bisa mengeluhkan apa-apa selain terus merindukan Fatih dan mendoakan kebahagiaannya.Dalam perpisahan ini, Zulfa bel
Zulfa dan Mila masih berjalan bersisian menuju pesantren selepas dari pantai. Beberapa meter dari mereka, gerbang masuk pesantren yang dicat warna hijau sudah terlihat di depan sana, berdiri dengan gagah.“Akh!” Tiba-tiba Zulfa berhenti berjalan sambil meringis memegangi perut.“Kenapa, Neng?” tanya Mila yang merasa terkejut.Mereka baru saja masuk beberapa langkah dari gerbang saat tiba-tiba Zulfa merintih seperti itu. Dengan cekatan, Mila kemudian memegangi lengan Zulfa yang ada di sisi kanannya.“Njenengan kenapa?” cemas Mila kembali bertanya.Zulfa tak kunjung menjawab. Ia masih memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa begitu mulas.“Akh ….” Zulfa meringis lagi. “Pe-perutku … perutku sakit, Mil,” lirihnya.Mila langsung membolakan kedua mata dan terserang panik mendengarnya. “Nje-njengan mau melahirkan, Neng?!” tanya Mila yang masih merasa terkejut, panik sekaligus bingung secara bersamaan.Zulfa sudah tidak
Zulfa Zahra El-FazaSetelah kelahiran bayi kami, aku bisa melihat wajah Gus Fatih yang begitu bahagia. Dia langsung mencium dalam keningku dan aku bisa merasakan air matanya yang jatuh di wajahku. Dia juga mengatakan kalau dirinya sangat mencintaiku.Sungguh, aku selalu bisa melihat ketulusan dan kesungguhan di mata hitam Gus Fatih saat dia mengungkapkan cintanya. Aku mempercayainya.Namun, mengingat jika selain aku, ada Sabrina juga dalam hidupnya, aku merasa aku harus pandai-pandai merasa cukup dengan apa yang kudapat. Aku tidak boleh serakah akan diri Gus Fatih dan aku harus pandai-pandai mengolah hati. Ada perempuan lain yang berhak akan diri Gus Fatih selain aku. Dan sama halnya seperti kepadaku, Gus Fatih juga memiliki kewajiban yang sama terhadap perempuan itu.Selama lima bulan tidak bersama, aku selalu penasaran apa yang terjadi antara Gus Fatih dan Sabrina. Apakah mereka bahagia? Apakah Gus Fatih bisa kembali mencintai cinta pertamanya?
Srek srek srek ….Suara sikat yang beradu dengan cucian terdengar riuh di telinga. Belum lagi suara gemericik air yang mengguyur dan membasahi tubuh di balik pintu kamar mandi yang berjajar rapi di sepanjang blok itu. Ditambah para santri putri yang berbaris mengantre di luar masing-masing pintu yang juga menciptakan keributan. Di antara mereka, ada yang asyik bergosip, ada yang melakukan olah vokal, ada yang berteriak-teriak karena tidak sabar menunggu temannya di dalam, dan ada pula yang memilih berdiri menyandar di tembok sambil melalar hafalan nadhom.“Neng Zulfa, yakin tidak mau mencalonkan diri jadi ketua pondok putri tahun ini?” tanya seorang santri bernama Dewi sambil terus bergelut dengan cucian yang disikatnya.Santri putri berparas ayu di samping Dewi itu menggeleng, tangannya juga sibuk menyikat. “Tidak, De. Aku tidak pantas mencalonkan diri jadi ketua pondok,” jawabnya seperti gumaman. “Banyak yang lebih pantas dariku.”Suara lirihnya itu membuat Dewi, sang sahabat yang j