FLASHBACK, MALAM DI MANA KIA MENYERAHKAN SEGALANYA
Ponsel Arman Setya terus saja berdering seiring jemarinya melepas setiap kancing kemeja yang membalut tubuhnya, nafasnya terengah-engah dan saling bersentuhan dengan nafas milik Lia yang bersandar di dinding pintu. Ada keraguan di balik tatapan gadis itu, dia bertanya, "Ponsel Pak Arman—" "Sssst." Dia menyentuh bibir Lia, mengisyaratkan untuk tak bicara. Arman merogoh sakunya dan membiarkan ponsel miliknya berada di atas nakas. Tangannya menyentuh pipi Lia lalu dia melepaskan jilbab Lia dengan lembut, menjatuhkannya ke lantai, sembari berkata, "Aku tidak sabar menikah dengan mu nanti, Lia." Dan semuanya dimulai saat itu, Lia memberikan kehidupannya untuk Arman, gadis polos yang hanya terjebak dalam nostalgia masa lalu. Dia mencintai Arman, gadis berusia tujuh belas tahun yang kini berusia dua puluh satu tahun itu masih memiliki perasaan kepada pria yang sama. Sepanjang malam Arman menguasai tubuhnya dan dia bahkan tak menolak setiap sentuhan mantan gurunya sekaligus seniornya saat ini. * Saat mata Lia terbuka dengan tubuh yang terasa pegal, dia menyadari satu hal, sesuatu yang tidak bisa dia lupakan. "Apa aku dan Pak Arman semalam—?" Dia menepuk keningnya. Saat membuka layar ponselnya dia menemukan pesan dari Arman. "Lia, akan ada pengumuman hasil olimpiade sains jam sepuluh pagi, jangan terlambat ya." Tubuh yang nyaris telanjang milik Lia gemetar, matanya ngeri, dan dia tak tahu merespon bagiamana, dia bahkan melihat sebercak darah di atas seprei. Dia panik, bisa-bisa pihak hotel akan memarahinya. Dengan cepat Lia mengambil handuk basah dan mengelap bercak darah dan cairan putih yang berada di mana-mana, tangannya masih bergetar, dan matanya hanya memperlihatkan kengerian. "Bagaimana ini?" Lalu notifikasinya kembali berbunyi, dan pesan itu dari Arman, "Jangan cemaskan sepreinya, aku sudah bicara dengan pihak hotel." Tubuh tegang Lia langsung lemas, dia menjatuhkan badannya yang pegal ke atas kasur dan mencoba melupakan semuanya, seolah masih tidak percaya apa pun. Lia, dia berpura-pura untuk baik-baik saja dan masuk ke dalam kamar mandi, bersiap-siap lalu menuju lobi hotel di mana siswa-siswi berkumpul. Pengumuman kemenangan anak-anak sudah selesai dan Arman tampak biasa saja, tak ada yang terjadi, hanya Lia yang terus memandangi Arman Setya. Mereka memenangkan beberapa kategori dan piala untuk pulang, tapi Lia merasa membawa noda dengan mahkota yang hilang, sementara Arman bahkan tidak menggubris apa pun soal semalam. Mereka melakukan perjalanan dengan menggunakan bis, Arman duduk di kursi paling depan, sementara Lia, dia hanya duduk di tengah bis, tampak muram dan tak ada emosi. "Bu Lia gimana, mau langsung pulang ya? Kata Pak Arman kita singgah makan-makan dulu." Lia menoleh ke arah siswi yang memeluk piala kemenangannya dan Lia melihat dirinya, dia masih sangat muda, semuda gadis yang duduk di sampingnya saat merasa mencintai Arman. "Tidak, Ibu turun di depan saja, Ibu mau langsung istirahat." "Nggak mau makan dulu Bu? Pak Arman yang traktir." Lia menggelengkan kepala, lalu menyandarkan kepalanya di jendela bis, notifikasi kembali masuk ke dalam ponselnya, dan sekali lagi dari Arman, "Aku mau bicara, Lia." Bahkan sampai saat ini, Lia masih belum membalas pesan Arman, dia bisa menangkap tatapan Arman dari depan yang terus menoleh ke belakang. Gadis ini lemah, dia seolah remuk dan lamunannya kacau sesaat sebelum siswi yang duduk di sampingnya pindah ke sebelah temannya. Arman berjalan ke arahnya dan mendaratkan tubuhnya di samping Lia. "Kau baik-baik saja?" Arman berbisik, berharap tidak ada yang mendengar, sementara Lia tak membalas, wajahnya lemas, dan Arman tahu penyebabnya, lalu dia menepuk pundak bocah yang berada di kursi depan sambil berkata, "Ke kuris depanlah, dan katakan ke supir kalau kita berhenti di rumah makan pertama yang kita dapati." Lia langsung menoleh, tidak terima dan ingin langsung pulang. "Sebentar lagi jalan raya, aku akan turun di sana dan mengambil taksi untuk pulang." Lia menatap Arman dengan cukup tajam. "Aku bisa mengantar mu pulang. Mobilku aku parkir di sekolah, jadi kita hanya akan berhenti di rumah makan, lalu ke sekolah, anak-anak akan dijemput oleh orang tua mereka di sekolah." Arman bersikeras dan Lia tak punya tenaga untuk membantah. "Aku hanya ingin pulang." Nada suara Lia lemas, dan laju bis pun terhenti. Mereka berhenti di rumah makan, dan belasan siswa-siswi keluar dari bis. "Pesanlah makanan, aku dan Bu Lia akan nyusul." "Baik Pak!" Arman mengangguk dan menatap sekilas ke arah supir bis, dia berkata, "Pak, Anda juga bisa ikut makan." "Oh ndak perlu Pak, saya di sini saja." Dia menolak ramah tapi Arman memaksa sehingga dia memilih untuk keluar dari bis. Hal itu membuat Arman lebih punya waktu untuk bicara dengan Lia. "Mau bicara apa?" Lia bertanya, nada suaranya rendah, tatapannya bahkan sayu dan tak menatap Arman. "Ada apa, kau sepertinya tidak baik-baik saja?" "Mana mungkin aku baik-baik saja, Pak. Anda tadi malam merenggut kesucian ku dan bertindak seolah tidak ada yang terjadi." "Ssst." Arman menyentuh bibir Lia, dia menarik tirai jendela yang menutupi mereka. "Kau pikir aku bisa lupa? Aku sudah janji untuk menikah dengan mu. Tapi tunggu sampai aku menceraikan, Ratu." Dia meraih tangan Lia, "Aku mohon, berikan aku waktu." Dia lalu melepas genggamannya dari Lia dan menarik kacamatanya, menundukkan kepala dan berada dalam kebimbangan. "Aku tidak yakin." "Kenapa?" "Pak, kita udah berdosa dengan melakukan—" "Kalau begitu menikahlah dengan ku, Lia." "Menikah?" Lia diam, dia tentu terkejut, "Tidak mungkin istri Pak Arman mau diduakan, atau dipoligami." "Siri. Kita bisa menikah siri."FLASHBACK KETIKA LIA MENYETUJUI SEGALANYA Semuanya diselesaikan dengan hanya permintaan maaf dari Arman serta semua biaya pengobatan untuk anak yang dipukulinya dibiayai oleh Arman Setya. "Lain kali jangan lakukan itu lagi. Kau bodoh sekali, Arman. Kenapa kau harus terlibat hanya karena kau membela guru honorer." Ratu yang berbadan dua itu tampak kesal dengan tindakan suaminya. "Jadi, kau ingin aku diam saja, begitu?" Arman mengganti kemejanya dengan piyama tidur lalu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. "Lagi pula semuanya sudah selesai, dan tanpa melibatkan ayahmu." Arman menarik selimut lalu membelakangi ratu yang masih belum selesai dengan ucapannya. Sepanjang malam dia hanya mengomeli Arman dan suaminya justru tak peduli dengan hal itu, kepalanya masih berdenyut mengenai apa yang terjadi antara dia dengan Lia. Saat Arman berhasil membiarkan tubuhnya beristirahat, di belahan bumi lain, Liandra Firdaus yang tinggal di rumah Tante dan neneknya kini berbaring di atas ranjangnya
FLASHBACK BERMAIN API Suasana ruangan kepala sekolah yang ber-AC rasanya mencekam, Lia hanya duduk di kedua kaki yang rapat saling berdempetan, matanya menatap kedua telapak tangannya yang saling bergenggam satu sama lain. Di sampingnya Arman yang terlihat dengan wajah tenang, dan tiba-tiba pintu terbuka, suara nyaring dengan langkah kaki yang terdengar jelas, Pak Damar Ringga menarik kursinya dan duduk di belakang meja. "Apa yang sebenarnya terjadi?" Pak Damar selaku kepala sekolah mencoba untuk bersikap tenang, dia sesekali menatap Lia dengan tatapan prihatin. Pak Damar tidak terlalu tua untuk posisi kepala sekolah, dan dia juga sama sekali tidak muda, kulitnya agak coklat, tapi tubuhnya ramping dengan rahang yang masih tegas, tapi di sela-sela rambutnya sudah terlihat helaian rambut putih. "Bocah itu kurang ajar." Arman mengangkat pandangannya, dan mereka saling bertatap satu sama lain, Damar selaku kepala sekolah dan Arman sebagai wakilnya. "Dia merekam Bu Lia saat mengajar d
FLASHBACK KEJADIAN DI SEKOLAH Setelah upacara penaikan bendera dan pemberian penghargaan bagi siswa-siswi yang berhasil memenangkan olimpiade, Lia, dia kembali ke rutinitasnya, menyusun buku tugas, mengerjakan pekerjaan guru-guru senior, dan kemudian masuk ke ruang kelas, mengajar. "Selamat pagi, Bu Lia!" Suara anak-anak serentak menyapa. "Pagi." Lia membalas dan duduk di kursinya, dia membuka buku absensi dan menyebut satu persatu nama murid-muridnya, lalu memulai pelajaran ekonomi kelas sebelas. Dia menjelaskan semuanya dengan baik tetapi anak-anak yang berada di bangku paling belakang terlihat mengabaikannya, mereka juga mencoba untuk merekam Lia, tetapi sayangnya Lia tidak menyadari bahwa anak-anak itu sedang merekam area pribadi yang dimiliki Lia. Lia selama ini tidak pernah melawan siapa pun atau mengeluh, dia hanya gadis honorer yang menerima gaji berapa pun untuk mengajar, bahkan sering kali tidak dihormati oleh murid-muridnya. "Tolong perhatiannya. Yang dibelakang, jan
FLASHBACK "Kok muka Bu Lia sejak tadi pucat ya? Bu Lia sakit?" Pertanyaan yang dijatuhkan oleh salah satu siswi Lia. Dan hanya dibalas gelengan. "Bu Lia mungkin kecapean." Arman menyahut, "Well, kalian juga kalau pulang langsung istirahat, nanti hari Senin nama kalian bakal diumumin sebagai murid-murid yang berprestasi." Arman dengan senyum ramahnya, tetapi pandangannya masih kepada Lia, yang saat itu dia ingin sekali membawa pergi Lia dari sana dan mengacak-acak pakaiannya. Entah sejak kapan dia memandangi Lia dengan begitu agresif, dia bahkan tidak ingat kapan pertama kali dia menyadari bahwa dia memiliki perasaan pada mantan muridnya itu. Tak ada yang penting dengan kesuksesan anak-anak murid mereka, Arman hanya fokus kepada objek yang berada di hadapannya sedangkan Lia fokus mengunyah makanan yang tak membuatnya nafsu makan. Pikirannya masih terbayang tentang malam gelap panjang yang dia lalui dengan Arman. Bahkan sepanjang perjalanan dia hanya diam, dan ketika Arman menawark
FLASHBACK, MALAM DI MANA KIA MENYERAHKAN SEGALANYA Ponsel Arman Setya terus saja berdering seiring jemarinya melepas setiap kancing kemeja yang membalut tubuhnya, nafasnya terengah-engah dan saling bersentuhan dengan nafas milik Lia yang bersandar di dinding pintu. Ada keraguan di balik tatapan gadis itu, dia bertanya, "Ponsel Pak Arman—""Sssst." Dia menyentuh bibir Lia, mengisyaratkan untuk tak bicara. Arman merogoh sakunya dan membiarkan ponsel miliknya berada di atas nakas. Tangannya menyentuh pipi Lia lalu dia melepaskan jilbab Lia dengan lembut, menjatuhkannya ke lantai, sembari berkata, "Aku tidak sabar menikah dengan mu nanti, Lia." Dan semuanya dimulai saat itu, Lia memberikan kehidupannya untuk Arman, gadis polos yang hanya terjebak dalam nostalgia masa lalu. Dia mencintai Arman, gadis berusia tujuh belas tahun yang kini berusia dua puluh satu tahun itu masih memiliki perasaan kepada pria yang sama. Sepanjang malam Arman menguasai tubuhnya dan dia bahkan tak menolak seti
FLASHBACK "Iya sayang?" Arman terdengar lembut, dia berbicara dengan seorang wanita sebaya dengannya melalui telpon, sementara Lia tampak melangkah pergi dari sana, hendak ke kamar hotelnya. Tatapan Arman sekilas ke arah Lia tapi kini gadis itu menghilang dari tatapannya. Liandra Firdaus mengepalkan tangan, berjalan di lorong hotel dengan menahan rasa yang bercampur aduk. Dadanya sesak, pikirannya kacau. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gejolak yang menyeruak, lalu mendorong pintu kamarnya dan masuk. Begitu pintu tertutup, tubuhnya langsung gemetar. Ia menyandarkan punggung ke pintu, napasnya tersengal. Jemarinya tanpa sadar menyentuh bibirnya sendiri — bibir yang baru saja disentuh oleh Arman. Ciuman pertamanya. Ini nyata.Dengan gerakan gusar, Lia meraih jilbabnya yang terlepas dan menghentakkan nya ke tempat tidur. Ia kemudian memeluk dirinya sendiri, jatuh berlutut di tepi ranjang, air mata mengalir tanpa henti."Astaga..." isaknya."Maafin aku, ya Tuhan," ucapnya