Chapter 5

FLASHBACK

"Kok muka Bu Lia sejak tadi pucat ya? Bu Lia sakit?" Pertanyaan yang dijatuhkan oleh salah satu siswi Lia. Dan hanya dibalas gelengan.

"Bu Lia mungkin kecapean." Arman menyahut, "Well, kalian juga kalau pulang langsung istirahat, nanti hari Senin nama kalian bakal diumumin sebagai murid-murid yang berprestasi." Arman dengan senyum ramahnya, tetapi pandangannya masih kepada Lia, yang saat itu dia ingin sekali membawa pergi Lia dari sana dan mengacak-acak pakaiannya.

Entah sejak kapan dia memandangi Lia dengan begitu agresif, dia bahkan tidak ingat kapan pertama kali dia menyadari bahwa dia memiliki perasaan pada mantan muridnya itu.

Tak ada yang penting dengan kesuksesan anak-anak murid mereka, Arman hanya fokus kepada objek yang berada di hadapannya sedangkan Lia fokus mengunyah makanan yang tak membuatnya nafsu makan. Pikirannya masih terbayang tentang malam gelap panjang yang dia lalui dengan Arman.

Bahkan sepanjang perjalanan dia hanya diam, dan ketika Arman menawarkannya tumpangan, dia masih mencoba menolak, sayangnya tidak bisa.

"Tentang tawaran ku, apa kau memikirkannya?"

Lia tidak menjawab dan hanya keluar dari mobil milik Arman, masuk ke dalam rumahnya yang bahkan tak menoleh. Arman sendiri ingin memberikan Lia waktu untuk berpikir, dan dia memilih untuk pulang ke rumahnya, kepada istrinya, memeluknya, dan menyapa anak-anaknya.

"Bagaimana olimpiadenya? Ah pasti kamu sibuk banget ya Mas sampai-sampai nggak jawab panggilan aku?" Ratu, wanita yang sedang berbadan dua itu berjalan dengan piring berisikan rujak di tangannya. Dia meninggalkan pekerjaannya dan fokus menjadi ibu rumah tangga setelah Arman berhasil mendapatkan posisi wakil kepala sekolah.

Dia duduk di sofa, kakinya melebar, dan mulutnya terus melahap buah-buah yang berada di atas piring. Arman, dia melepas sepatu, kaos kaki, dan juga ikut menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.

"Satu bulan Ratu, aku harus berhadapan dengan belasan anak-anak selama satu bulan, membimbing mereka, mengajari mereka, mengatur mereka, ah tentu melelahkan." Dia lalu mendaratkan kepalanya di atas pangkuan istrinya, rambut tebal yang sedikit ikal itu lalu diremas oleh Ratu, setelah istrinya menaruh piring di atas meja.

"Hmm ya, aku minta maaf ya Mas kalau gangguin kamu dengan nelpon terus."

Arman menggelengkan kepala, dia menutup matanya dan membiarkan istrinya terus meremas rambut miliknya, tetapi dalam benaknya dia melihat wajah lain, bukan wajah Ratu, dia merasakan tangan lain yang membuatnya merasa jijik pada dirinya sendiri.

"Bagaimana anak-anak?" Arman bertanya, kedua kelopak matanya masih tertutup.

"Di luar, pasti main sama teman-temannya."

Setelah mendapatkan jawaban dari basa-basinya, dia memilih untuk bangkit kembali dan berkata, "Aku mau istirahat, nanti bangunin kalau udah jam makan malam ya, tapi kalau kamu lagi capek, pesan aja makanan untuk anak-anak aja, nggak usah mikirin aku."

Ratu mengangguk, wanita yang sebaya dengan Arman, rambutnya cukup tebal, hitam pekat, tidak seperti Lia yang sedikit tipis dan halus, ya setelah semalaman dengan Lia, Arman terus membandingkan tubuh istrinya dengan tubuh gadis yang lebih muda dari Ratu.

Tangannya bersandar di dinding kamar mandi, air dingin mengguyur tubuhnya melalui lubang-lubang shower dan dia masih tidak bisa melupakan wajah Lia yang meringis, mendesis, dan bahkan mengeram. Kepalanya masih mengingat Lia yang menggigit bibirnya, sementara dia menguasai tubuh gadis itu. Sembari mengingatnya, Arman seolah tersenyum tipis di bawah guyuran butiran air.

"Dia masih perawan diusia 21 tahun? Ah Lia, apa yang aku pikirkan sekarang? Apa dia betul-betul berpikir bahwa aku akan menceriakan Ratu? Polos sekali."