Chapter 3

FLASHBACK

"Iya sayang?" Arman terdengar lembut, dia berbicara dengan seorang wanita sebaya dengannya melalui telpon, sementara Lia tampak melangkah pergi dari sana, hendak ke kamar hotelnya. Tatapan Arman sekilas ke arah Lia tapi kini gadis itu menghilang dari tatapannya.

Liandra Firdaus mengepalkan tangan, berjalan di lorong hotel dengan menahan rasa yang bercampur aduk. Dadanya sesak, pikirannya kacau. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gejolak yang menyeruak, lalu mendorong pintu kamarnya dan masuk.

Begitu pintu tertutup, tubuhnya langsung gemetar. Ia menyandarkan punggung ke pintu, napasnya tersengal. Jemarinya tanpa sadar menyentuh bibirnya sendiri — bibir yang baru saja disentuh oleh Arman. Ciuman pertamanya. Ini nyata.

Dengan gerakan gusar, Lia meraih jilbabnya yang terlepas dan menghentakkan nya ke tempat tidur. Ia kemudian memeluk dirinya sendiri, jatuh berlutut di tepi ranjang, air mata mengalir tanpa henti.

"Astaga..." isaknya.

"Maafin aku, ya Tuhan," ucapnya berulang-ulang dengan suara patah. Lia merasa kotor, merasa gagal menjaga dirinya sendiri — merasa tidak berdaya melawan apa yang baru saja terjadi.

Saat fokus dengan dirinya sendiri, dan terus mengulang kata maaf kepada Tuhan, ketukan di pintu tiba-tiba terdengar, dia menghela nafas panjang, mencoba untuk tidak membuka pintu tapi tubuhnya tetap terbangun, dan dia menyentuh gagang pintu.

"Aku minta maaf soal tadi, Lia. Aku tidak tahu apa yang terjadi sama aku." Arman, pria jangkung yang sekarang masih berdiri di hadapannya, dia seperti menyesal tapi kakinya masih melangkah masuk tanpa Lia persilahkan.

"Kenapa Pak Arman datang ke sini?"

Sorot mata Arman langsung disentakkan ke arah Lia, dia merasakan detakan jantung Lia dan nafas yang masih sedikit putus-putus.

Arman tak mengatakan apa pun dan langsung menutup pintu, Lia keberatan tapi tangan Arman menahannya, dan mereka bicara tanpa membuka mulut, hanya ada tatapan dalam beberapa menit. Tetapi Arman kemudian memecahkan keheningan.

"Aku sayang sama kamu, Lia."

Lia diam, "Aku mohon apa yang terjadi antara kita hanya berhenti di antara kita saja." Tangannya terangkat ke bahu Lia, "Tolong."

Lia lalu mendorong tangan Arman dan melangkah ke sudut pintu, matanya masih tertunduk, kuku-kukunya digigitnya, lalu berkata, "Lalu, apa status kita sekarang, Pak Arman?" Kini dia berani menatap Arman, "Aku nggak mungkin jadi pelampiasan atau bahkan gundiknya Pak Arman. Aku—"

"Tidak, tidak." Dia menggelengkan kepala, kembali menyentuh kedua lengan Lia, "Kau juga sayang sama aku kan, Lia?"

Lia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, merasa bingung, dia menoleh kiri dan kanan, tak tahu ingin menjawab apa, jika ditanya rasa sayang atau suka, dia tentu punya perasaan untuk mantan gurunya itu, tapi tentu perasaanya salah.

"Kalau aku punya perasaan untuk Pak Arman, lalu apa?" Dia gusar, mendesis, dia juga mengepalkan tangan. "Aku tidak mungkin mau jadi pacar gelapnya Pak Arman."

"Tunggu sampai aku bercerai dengan, Ratu."

Lia langsung mengangkat pandangannya, "Apa?"

"Aku akan bercerai dengannya dan kita akan menikah. Aku janji padamu, Lia." Dia mengelus lembut wajah Lia dan menyandarkan tubuh kecil Lia di punggung pintu.

"Tapi istri Pak Arman sedang mengandung, dan bagaimana dengan anak -anak Pak Arman? Apa Anda tidak peduli padanya?"

"Aku peduli."

"Lantas?"

"Aku juga peduli dengan perasaan ku sendiri, Lia. Aku peduli dengan mu. Kau juga peduli dengan ku, kan?" Dia semakin mendekatkan dirinya pada Lia, bahkan nafas mereka semakin mendekat. "Jangan tolak aku, Lia."