FLASHBACK BERMAIN API
Suasana ruangan kepala sekolah yang ber-AC rasanya mencekam, Lia hanya duduk di kedua kaki yang rapat saling berdempetan, matanya menatap kedua telapak tangannya yang saling bergenggam satu sama lain. Di sampingnya Arman yang terlihat dengan wajah tenang, dan tiba-tiba pintu terbuka, suara nyaring dengan langkah kaki yang terdengar jelas, Pak Damar Ringga menarik kursinya dan duduk di belakang meja. "Apa yang sebenarnya terjadi?" Pak Damar selaku kepala sekolah mencoba untuk bersikap tenang, dia sesekali menatap Lia dengan tatapan prihatin. Pak Damar tidak terlalu tua untuk posisi kepala sekolah, dan dia juga sama sekali tidak muda, kulitnya agak coklat, tapi tubuhnya ramping dengan rahang yang masih tegas, tapi di sela-sela rambutnya sudah terlihat helaian rambut putih. "Bocah itu kurang ajar." Arman mengangkat pandangannya, dan mereka saling bertatap satu sama lain, Damar selaku kepala sekolah dan Arman sebagai wakilnya. "Dia merekam Bu Lia saat mengajar dan—" "Saya sudah lihat rekamannya, Pak Arman." "Lalu kenapa Anda bertanya?" Tatapan Arman cukup berani, Lia yang merasa terpojok seolah tak diperlukan di saat. Pak Kepala sekolah lalu memandangi Lia dan bertanya, "Bu Lia, bagaimana perasaan Anda sekarang?" Lia menggenggam jemarinya, dia menelan saliva dan pelan mengangkat pandangannya, "Saya hanya cemas dengan kondisi anak didik saya, Pak." Damar mengangguk dengan jawaban Lia, sementara Arman hanya menggelengkan kepala, dia tidak mengatakan apa pun. "Baiklah, Bu. Kalau begitu tinggalkan kami di sini." Lia yang merasa ragu pun hanya berdiri, dia menatap sekilas ke arah Arman yang balas menatapnya, dan dalam sesaat Lia sudah berada di luar ruangan. Dia penasaran dengan apa yang dibahas oleh Arman dan Damar, tetapi dia juga tidak punya hak untuk menguping. "Rekamannya tersebar hampir di seluruh sosial media, Arman." "Baguslah kalau begitu, semua orang bisa tahu bahwa bocah itu kurang ajar." Arman masih menganggap dirinya tak bersalah. "Bukan rekaman bocah itu, tapi rekaman mu yang memukuli bocah itu. Bagaimana kalau orang tuanya melapor polisi? Nama baik sekolah kita akan tercemar!" Kepala Sekolah berdiri dari duduknya, kedua tangannya nyaris memukul meja, dan amarah terlihat di wajahnya. "Pak Damar, jelas-jelas bocah itu melakukan pelecehan pada Bu Lia, jadi dia yang pantas dikeluarkan dari sekolah ini." Damar menggelengkan kepala, "Tapi lihat sendiri kan tadi, Bu Lia sendiri cemas dengan kondisi anak yang kau hajar itu." "Lalu apa yang harus aku lakukan?" "Bicara dengan orang tua murid, minta maaf, lakukan klarifikasi, dan kau akan diskorsing beberapa hari." "Ha?" Arman berdiri tidak terima, mereka saling berhadapan tetapi Kepala Sekolah memilih untuk duduk, bersandar, mencoba untuk santai. "Tidak. Kenapa aku yang harus minta maaf?" "Karena kau terlalu berlebihan, Arman. Jika istrimu bukan anak dari kepala dinas pendidikan maka kau mungkin akan dipecat sekarang." Ego Arman seolah dihajar habis-habisan, dia mengepalkan tangan dan menekan meja, wajahnya dia condongkan ke arah kepala sekolah, "Jangan bawa-bawa istriku, Pak Damar." Tatapannya tajam, dan Pak Kepala sekolah hanya bersikap tenang, tangannya meraih cangkir yang ada di hadapannya dan meneguk tetesan teh herbal. "Kalau begitu, supaya tidak perlu melibatkan mertua mu yang berpengaruh itu, maka lakukan apa yang aku katakan." Arman diam sejenak, dia menghela nafas dan menyetujui ucapan Kepala Sekolah, saat berada di luar ruangan, ponsel Arman berdering beberapa kali dan itu dari istrinya, dia mencoba menjelaskan semuanya pada Ratu, tapi istrinya terus saja mengomel, juga memberikan solusi. "Tidak, tidak perlu melibatkan ayahmu, aku bisa menyelesaikan ini semua sendiri. Kau tidak perlu cemas." Arman mematikan panggilannya dan notifikasi kini muncul, nama Lia tertera di layar ponsel. Dia berpesan: Kita harus bicara sekarang Pak, aku ada di gudang sekolah. **** "Aku cuman berniat melindungi mu, Lia." Dia melangkah maju, mencoba menyentuh pipi Lia. Tapi gadis dengan jilbab coklat tipis itu menghindar. "Dengan memukuli murid sendiri?" "Dia merekam area intim mu." Tatapan Arman lembut tapi ada ketegasan di wajahnya. Lia paham akan hal itu, salah satu muridnya kurang ajar padanya dan Arman mencoba melindunginya. "Tapi tidak dengan ...." Lia memundurkan tubuhnya, dia bersandar di dinding gudang sekolah, berharap nahwa tidak akan ada yang melihat mereka. "Dengan apa? Memukuli murid yang kurang ajar pada gurunya bukanlah hal—" "Bocah itu sekarat, bagaimana kalau Pak Arman dipecat? Atau lebih parahnya, dipenjara? Bagaiman dengan hal itu?" Arman diam, langkahnya mendekat ke arah Lia dan tangannya lembut menyentuh pipi gadis itu, "Kau mencemaskan ku?" Dia tersenyum, langkah kakinya semakin mendekat hingga tubuhnya nyaris menempel di tubuh Lia, "Lagi pula, aku sudah bermain api sekarang. kenapa harus takut dipecat karena memukuli bocah nakal?"FLASHBACK KETIKA LIA MENYETUJUI SEGALANYA Semuanya diselesaikan dengan hanya permintaan maaf dari Arman serta semua biaya pengobatan untuk anak yang dipukulinya dibiayai oleh Arman Setya. "Lain kali jangan lakukan itu lagi. Kau bodoh sekali, Arman. Kenapa kau harus terlibat hanya karena kau membela guru honorer." Ratu yang berbadan dua itu tampak kesal dengan tindakan suaminya. "Jadi, kau ingin aku diam saja, begitu?" Arman mengganti kemejanya dengan piyama tidur lalu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. "Lagi pula semuanya sudah selesai, dan tanpa melibatkan ayahmu." Arman menarik selimut lalu membelakangi ratu yang masih belum selesai dengan ucapannya. Sepanjang malam dia hanya mengomeli Arman dan suaminya justru tak peduli dengan hal itu, kepalanya masih berdenyut mengenai apa yang terjadi antara dia dengan Lia. Saat Arman berhasil membiarkan tubuhnya beristirahat, di belahan bumi lain, Liandra Firdaus yang tinggal di rumah Tante dan neneknya kini berbaring di atas ranjangnya
FLASHBACK BERMAIN API Suasana ruangan kepala sekolah yang ber-AC rasanya mencekam, Lia hanya duduk di kedua kaki yang rapat saling berdempetan, matanya menatap kedua telapak tangannya yang saling bergenggam satu sama lain. Di sampingnya Arman yang terlihat dengan wajah tenang, dan tiba-tiba pintu terbuka, suara nyaring dengan langkah kaki yang terdengar jelas, Pak Damar Ringga menarik kursinya dan duduk di belakang meja. "Apa yang sebenarnya terjadi?" Pak Damar selaku kepala sekolah mencoba untuk bersikap tenang, dia sesekali menatap Lia dengan tatapan prihatin. Pak Damar tidak terlalu tua untuk posisi kepala sekolah, dan dia juga sama sekali tidak muda, kulitnya agak coklat, tapi tubuhnya ramping dengan rahang yang masih tegas, tapi di sela-sela rambutnya sudah terlihat helaian rambut putih. "Bocah itu kurang ajar." Arman mengangkat pandangannya, dan mereka saling bertatap satu sama lain, Damar selaku kepala sekolah dan Arman sebagai wakilnya. "Dia merekam Bu Lia saat mengajar d
FLASHBACK KEJADIAN DI SEKOLAH Setelah upacara penaikan bendera dan pemberian penghargaan bagi siswa-siswi yang berhasil memenangkan olimpiade, Lia, dia kembali ke rutinitasnya, menyusun buku tugas, mengerjakan pekerjaan guru-guru senior, dan kemudian masuk ke ruang kelas, mengajar. "Selamat pagi, Bu Lia!" Suara anak-anak serentak menyapa. "Pagi." Lia membalas dan duduk di kursinya, dia membuka buku absensi dan menyebut satu persatu nama murid-muridnya, lalu memulai pelajaran ekonomi kelas sebelas. Dia menjelaskan semuanya dengan baik tetapi anak-anak yang berada di bangku paling belakang terlihat mengabaikannya, mereka juga mencoba untuk merekam Lia, tetapi sayangnya Lia tidak menyadari bahwa anak-anak itu sedang merekam area pribadi yang dimiliki Lia. Lia selama ini tidak pernah melawan siapa pun atau mengeluh, dia hanya gadis honorer yang menerima gaji berapa pun untuk mengajar, bahkan sering kali tidak dihormati oleh murid-muridnya. "Tolong perhatiannya. Yang dibelakang, jan
FLASHBACK "Kok muka Bu Lia sejak tadi pucat ya? Bu Lia sakit?" Pertanyaan yang dijatuhkan oleh salah satu siswi Lia. Dan hanya dibalas gelengan. "Bu Lia mungkin kecapean." Arman menyahut, "Well, kalian juga kalau pulang langsung istirahat, nanti hari Senin nama kalian bakal diumumin sebagai murid-murid yang berprestasi." Arman dengan senyum ramahnya, tetapi pandangannya masih kepada Lia, yang saat itu dia ingin sekali membawa pergi Lia dari sana dan mengacak-acak pakaiannya. Entah sejak kapan dia memandangi Lia dengan begitu agresif, dia bahkan tidak ingat kapan pertama kali dia menyadari bahwa dia memiliki perasaan pada mantan muridnya itu. Tak ada yang penting dengan kesuksesan anak-anak murid mereka, Arman hanya fokus kepada objek yang berada di hadapannya sedangkan Lia fokus mengunyah makanan yang tak membuatnya nafsu makan. Pikirannya masih terbayang tentang malam gelap panjang yang dia lalui dengan Arman. Bahkan sepanjang perjalanan dia hanya diam, dan ketika Arman menawark
FLASHBACK, MALAM DI MANA KIA MENYERAHKAN SEGALANYA Ponsel Arman Setya terus saja berdering seiring jemarinya melepas setiap kancing kemeja yang membalut tubuhnya, nafasnya terengah-engah dan saling bersentuhan dengan nafas milik Lia yang bersandar di dinding pintu. Ada keraguan di balik tatapan gadis itu, dia bertanya, "Ponsel Pak Arman—""Sssst." Dia menyentuh bibir Lia, mengisyaratkan untuk tak bicara. Arman merogoh sakunya dan membiarkan ponsel miliknya berada di atas nakas. Tangannya menyentuh pipi Lia lalu dia melepaskan jilbab Lia dengan lembut, menjatuhkannya ke lantai, sembari berkata, "Aku tidak sabar menikah dengan mu nanti, Lia." Dan semuanya dimulai saat itu, Lia memberikan kehidupannya untuk Arman, gadis polos yang hanya terjebak dalam nostalgia masa lalu. Dia mencintai Arman, gadis berusia tujuh belas tahun yang kini berusia dua puluh satu tahun itu masih memiliki perasaan kepada pria yang sama. Sepanjang malam Arman menguasai tubuhnya dan dia bahkan tak menolak seti
FLASHBACK "Iya sayang?" Arman terdengar lembut, dia berbicara dengan seorang wanita sebaya dengannya melalui telpon, sementara Lia tampak melangkah pergi dari sana, hendak ke kamar hotelnya. Tatapan Arman sekilas ke arah Lia tapi kini gadis itu menghilang dari tatapannya. Liandra Firdaus mengepalkan tangan, berjalan di lorong hotel dengan menahan rasa yang bercampur aduk. Dadanya sesak, pikirannya kacau. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gejolak yang menyeruak, lalu mendorong pintu kamarnya dan masuk. Begitu pintu tertutup, tubuhnya langsung gemetar. Ia menyandarkan punggung ke pintu, napasnya tersengal. Jemarinya tanpa sadar menyentuh bibirnya sendiri — bibir yang baru saja disentuh oleh Arman. Ciuman pertamanya. Ini nyata.Dengan gerakan gusar, Lia meraih jilbabnya yang terlepas dan menghentakkan nya ke tempat tidur. Ia kemudian memeluk dirinya sendiri, jatuh berlutut di tepi ranjang, air mata mengalir tanpa henti."Astaga..." isaknya."Maafin aku, ya Tuhan," ucapnya