LOGINBulan memperhatikan lagi kondisi kamarnya, bukan tentang malam pengantin yang dia pikirkan, tapi lebih pada kenyamanan yang bisa diberikan pada laki-laki sombong itu. Dari mulai kasur sampai dengan pendingin ruangan, sudah dia bersihkan sampai tidak ada satu lapis debu pun.
“Nduk, lagi apa?” tanya Iwan berjalan pelan ke kamar putrinya, berpegangan pada sisi pintu.
“Pak ... kalau butuh apa-apa tinggal teriak aja, jangan maksa ke sini!”
“Kamu ini, Bapak ke sini cuman pengen tahu kamu ini seharian sibuk apa? Benahin kamar kamu?” Iwan mengedarkan pandangannya, cat tembok kamar ini juga sudah diganti. “Kalian cuman semalam di sini, tapi Bapak seneng kamu begitu antusias nyambut suamimu, Nduk!”
Bulan jadi malu sendiri, bukan itu masalahnya, dia hanya tidak mau ada keributan saat Sam tidur di kamar ini meskipun dia sendiri sudah merasa tidak akan baik-baik saja. Tanpa Iwan tahu, dia telah menyiapkan kasur busa lipat di bawah kolong ranjang untuk persiapan, siapa tahu laki-laki itu enggan tidur dengannya, jadi dia tidak perlu tidur di lantai.
Setelah menikah, Iwan tidak langsung ikut tinggal ke kota besar sana, namanya orang tua ingin sekali tinggal bersama kenangannya. Akan tetapi, nantinya Iwan akan pergi dan menetap di kota, tinggal di rumah kedua orang tua Sam seperti yang sudah dibicarakan karena mereka ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama disaat tua seperti ini.
“Bapak makan yuk!” ajaknya menggandeng tangan Iwan.
“Iya, kamu ini suka sekali nyuruh Bapak makan. Inget loh, kalau udah sama suami, dahulukan dia!” tutur Iwan lantas diangguki Bulan.
Tidak mungkin dia berontak di depan ayahnya, dia ingin sekali menjaga kondisi kesehatan Iwan yang mudah sekali drop, apalagi bila ada sesuatu yang mengganggu pikiran Iwan. Sejujurnya, setuju dengan perjodohan ini pun bukan serta merta Bulan mau, awalnya terkejut dan ingin menolak, hanya saja melihat ayahnya yang antusias memuji keluarga Sam dan terlihat sangat berharap, Bulan tidak enak hati membuat ayahnya sedih.
Malam ini, menjadi malam terakhir Bulan akan menyandang status gadis dalam arti belum menikah. Besok, dalam hitungan menit saja semua prosesi sakral itu terjadi dan mengubah statusnya menjadi istri seseorang. Hanya ada dekorasi sederhana dan selayaknya di kampung saja yang terpasang di rumahnya, undangan pun hanya beberapa tetangga dan pengurus setempat, selebihnya Bulan hanya membagikan nasi kotak dan kue sebagai syukuran.
“Tadi, Bapak denger dari pak Tono kalau kirim doanya di mushola rame, kotakan yang kamu kirimkan, habis, Nduk!”
“Alhamdulillah, Pak. Insyaallah besok lancar acaranya ya,” kata Bulan menggenggam tangan Iwan.
“Aamiin ...” Iwan pun mengaminkan doa itu.
Rumah mereka tidak terlalu besar dan pastinya akan melelahkan bila membuat acara pengajian di rumah, apalagi setelah ibunya meninggal dan bapaknya sakit, hubungan dengan saudara yang lain sudah renggang, Bulan hanya mengandalkan diri sendiri dan tetangga sekitar. Dia tidak ingin banyak merepotkan, maka itu kirim doa sebelum menikah, dilaksanakan di mushola, dengan begitu banyak orang yang bisa ikut.
Sampai larut malam, Bulan masih terjaga. Ada beberapa pemuda kampung yang membantunya memasang janur kuning di depan gang kecil rumahnya. Bulan membuat gorengan dan kopi sebagai bentuk rasa terima kasihnya, tidak lupa dia berikan bingkisan sebelum mereka pulang.
“Bu, Bulan mau nikah besok, doakan ya biar lancar dan semuanya baik-baik saja. Doakan Bulan diberi kuat dan sehat, suami Bulan bisa sayang sama Bulan dan bapak, menerima kami apa adanya. Bulan kangen sama ibu, semoga Allah mengangkat derajat ibu dan menempatkan ibu di sisi-Nya yang terbaik, aamiin ...” Bulan meraup wajahnya, dia selalu menangis bila sedang mengingat sang ibu yang telah pergi lebih dulu.
***
Berbeda dari acara kirim doa dan semua kerumitan yang Bulan lakukan di kampungnya, di sini keluarga Hardja hanya melaksanakan kirim doa dan berbagi tanpa kehadiran sang calon mempelai. Entah ke mana perginya anak laki-laki menyebalkan itu, hampir saja Hardja ingin memanggil polisi untuk menangkap anaknya sendiri dan biar menikah di dalam tahanan saja.
Seperti yang sudah Sam sebarkan pada teman-temannya, tanpa ada izin dari kedua orang tua, lebih tepatnya memang dia tidak meminta izin. Sam pergi malam ini untuk berpesta, bukan menyewa restoran atau sejenisnya, pesta itu dilaksanakan di salah satu club langganannya bersama teman-teman. Para wanita dan minuman, bebas tampil dan dinikmati di sini, Sam mengadakan pesta bujang yang tidak sembarangan, dia menghabiskan banyak uang untuk malam ini.
“Sam, udah!” kata Sita merampas botol minuman di tangan Sam. “Udah cukup, kamu mabuk berat!”
Sam tertawa, kedua tangannya menangkup wajah Sita dan mengikis jarak, beruntung Sita bisa menanganinya.
“Sam!”
Astaga, laki-laki ini kalau sudah mabuk berat, pasti sulit untuk dikendalikan. Walau begitu, Sam bisa melihat dengan jelas siapa yang ada di hadapannya, gadis yang dia cintai lama dan harus dia relakan. Dan demi tetap tampil keren di depan gadis ini, dia harus menerima perjodohan dari ayahnya agar Sita tidak memikirkan dia yang masih sendiri atau curiga padanya.
Sam mengontrol dirinya dengan baik, jangan sampai karena dia mabuk, mulutnya mengoceh yang tidak-tidak, terutama membahas perasaannya pada Sita.
“Sayang!” Leon datang memeluk Sita dari belakang.
Sial!
Sam memalingkan wajahnya yang berubah merah, bukan karena alkohol yang dia minum, tapi ciuman bibir yang sedang Leon lakukan bersama Sita. Sudah sejauh itu hubungan keduanya, Sam pun terkikik menunjuk dua anak manusia yang tidak tahu tempat itu.
“Kalian kalau lagi nafsu, noh pergi ke kamar atas, udah kesewa semua. Bebas lo pada mau ngadon!” kata Sam sambil tertawa.
Sita yang malu lantas mengusap bekas bibir Leon dari bibirnya. “Kamu ngomong apa, ngaco! Udah, sekarang aku sama Leon anterin kamu pulang!”
“Nggak, aku bisa sendiri, Ta!” tolak Sam menepis tangan Sita, kepalanya sakit sekali, tapi dia harus bisa.
Sam kembali menunjuk ruang atas yang memang sudah dia sewa. Tapi, dengan cepat Sita menarik tangan Sam dan membawa temannya itu ke luar. Sudah cukup untuk malam ini, besok sudah menjadi hari sakral bagi Sam, tapi bodohnya Sam justru menjebak dirinya di situasi yang semakin menyakitkan.
Bukan hanya dia yang mabuk, tapi Leon juga. Karena itu, Leon sejak tadi bersikap agresif pada Sita meskipun terus saja berusaha ditolak.
“Ta ...” panggilnya sambil menahan tangan Sita yang baru saja membantunya duduk di mobil.
“Kamu disitu, aku suruh orang kantor buat anterin kamu!” titah Sita, mencoba menghubungi satpam kantor yang kebetulan tidak jauh dari sini.
Sam menggelengkan kepalanya. “Aku bisa sendiri, Ta. Sini, aku mau ngomong sama kamu!”
“Apa? Diem dul-“ Sita mengatupkan bibirnya, sebab Sam mendekatkan dan menempelkan kening mereka sambil tersenyum. “Sam-“
“Ta, jaga diri kamu baik-baik! Jaga diri kamu, Ta!” ucap Sam lirih, lalu tertawa dan menjauhkan keningnya.
Sita menarik diri, detik itu dia bergegas menengadahkan wajahnya, hampir saja dia meneteskan air mata mendengar ucapan Sam, seakan-akan temannya itu telah tahu apa yang terjadi padanya, padahal Sam tidak tahu sama sekali dan ini hanya mengingatkan dia untuk menjaga dirinya dari godaan dimabuk cinta.
Sita mengepalkan kedua tangannya, mengendalikan dirinya dengan baik, lalu kembali tersenyum pada Sam, meminta laki-laki itu menunggu orang yang telah dia suruh.
“Maaf, Sam,” ucapnya lirih.
Entah sihir apa yang ada pada diri istrinya itu, Sam merasa semuanya berbeda. Nama Sita yang dulu menguasai hatinya semakin ke sini semakin pudar, bahkan saat wanita itu memintanya bertemu, Sam memberikan alamat rumah sakit. "Iya—" Bulan tercekat melihat siapa yang datang, wajah itu tak mungkin ia lupakan. "Sebentar, saya panggilkan ya, duduk dulu!" Bulan menunjuk kursi tunggu di depan ruangan itu. Sita mengangguk, ia sendiri tak menyangka dan berpikir Sam yang sakit sampai tadi sebelum ke rumah sakit mampir membeli buah untuk teman istimewanya itu. Ternyata, bukan Sam, melainkan bapak mertua lelaki itu. "Bang, ada temennya," Kata Bulan. "Dia di depan, Bang," tambahnya. Sam yang tadi baru saja membalas email lantas berdiri, alih-alih keluar sendiri, lelaki itu yang tadinya sudah mengambil dua langkah, kembali lagi dan mengambil tangan Bulan untuk digenggam. "Iya?" "Ikut gue ke depan!" Walaupun cukup aneh dan tidak tahu maksud suaminya, status lelaki itu masih harus B
Cukup mengerikan Sam datang ke rumah sakit tempat tujuan mertuanya akan dipindahkan, prosesnya cukup rumit tadi, tetapi beruntung kondisi mertuanya membaik dan memenuhi peraturan untuk bisa dipindahkan. Mereka masih menunggu, Bulan tampak lebih tenang dari tadi pagi saat kabar itu baru diketahuinya. Bulan langsung ingin pulang, bahkan sudah siap ke terminal, beruntung mami dan papi mengetahuinya sehingga mereka mengajak Bulan berkoordinasi dengan pihak rumah sakit besar di sini sembari terus meng-update hasil perkembangan terbaru. Sebenarnya, tak lama juga Sam terlewat, tetapi seperti sudah lama sekali dan terlewat beberapa kejadian. Matanya menyapu seisi ruang tunggu, istrinya ada di sana, duduk bersandar pada tiang pembatas dengan wajah pucat dan basah. Semalam wanita itu demam, pun nekat melayaninya, wajar saja jika Bulan kurang sehat. "Lan," panggilnya sehingga wanita itu mendongak, menatapnya. Bulan terdiam, ia masih tak menyangka benar suaminya akan datang, walaupun mer
Tubuh Bulan nyaris menindih suaminya, Sam sendiri tidak menyangka jika tindakannya tadi akan seperti sekarang. "Aku—" "Diem! Gue bantu kompres, lo nurut!" potong Sam lantas menyingkirkan tubuh Bulan dari atasnya, lalu berdiri. Wajah lelaki itu memerah, dadanya berdebar-debar, ia tahu benar ukuran istrinya itu sejak malam setelah pernikahan. Dan tadi, astaga menempel padanya sampai nyaris tersedak, padahal tidak meminum apa pun. Sam mengeram dalam hati, tak pernah ia salah tingkah, bisa-bisanya dengan Bulan ia seperti pria baik-baik yang tak pernah dibelai. "Argh, resek! Udah kasih obat aja biar tenang dia, gue juga aman. Kalau dia sakit kan gue juga yang repot, mana disalahin mami, parah!" gerutunya, tangannya bergerak cepat mengambil kompres, obat, roti dan air mineral, semuanya di satu nampan, lalu dibawanya ke atas. Langkahnya sedikit mengendap, bahaya jika maminya bangun dan ketahuan, bisa digantung besok. "Duduk!" titahnya begitu di kamar. Bulan yang memili
“Ta, mual?” Sam melihat gejala aneh pada temannya itu. Sita yang menyadari keberadaan Sam spontan menghapus jejak basah di mulutnya kemudian berbalik dan tampil biasa. “Em, enggak, ini kayak nggak enak aja minumannya. Oiya, gimana? Kamu butuh apa ini?” Sita mencoba mengalihkan perhatian. Sam menggelengkan kepalanya, ia hanya menarik tangan Sita untuk ikut bersamanya selagi Leon sibuk dengan urusan yang lain, kebetulan pria itu bertemu kawan lama di sana. Di meja sudut bar itu dengan minim pencahayaan, Sam mengajak Sita duduk berdua di sana. Wajah Sita cukup terlihat tegang, pasalnya ia khawatir kalau mendadak mual di depan Sam dan pria itu akan curiga kepadanya, sedangkan semua itu haruslah terungkap usai ia menikah dengan Leon sebentar lagi. “Ada apa, Sam?” tanya Sita menunggu. Sam meletakkan sesuatu ke meja, menggesernya tepat ke depan tangan Sita yang indah di matanya, Sita suka sekali memakai gelang. “Apa ini?” Sita membukanya, matanya melebar begitu melihat hadiah a
"Iya, Bang?" Bulan mengerutkan keningnya tipis, mereka sudah berada di kamar dengan pintu terkunci rapat. "Abang mau sesuatu?" Sam memejamkan matanya singkat, pusing sekali menghadapi wanita satu itu, selain penampilannya yang membuat sakit mata, ternyata juga banyak bicara dan pandai sekali memberikan jawaban yang sialnya terkadang Sam banyak kalahnya. "Lo tau kalau harus jaga nama baik gue, kan? Bisa-bisanya, lo ke luar kamar nggak bilang-bilang, hah? Kalau mami tanya gue di mana, gimana? Lo jawab apa? Gue habis kabur, terus capek, akhirnya molor bangun gitu?" tuduh lelaki itu sambil menunjuk wajah Bulan. "Abang tenang aja, aku nggak jawab gitu kok. Maaf ya, Bang, aku nggak pamit. Tadi, dingin aja di sini dan kalau aku udah coba bangunin kamu, tapi rada susah. Maafin ya, Bang?" Alih-alih ikut meledak seperti Sam, Bulan justru mengambil bawahnya sehingga amarah lelaki itu hilang. "Yaudah, lo harus tau itu pokoknya. Beda kalau nanti udah tinggal di rumah sendiri, lo bebas mau pam
"Ngapain kamu tanya soal Sita?" tanya Sam melotot dan manyun pada Bulan, mereka sedang berada di kamar lama Sam sekarang seperti yang mami Dara mau. Bulan menggedikkan kedua bahunya. "Tanya aja, Bang. Kalian deket banget tadi sampe pelukan, dia bukan mah-" "Nggak usah ceramahin gue!" potong Sam menutup telinganya, lalu bergegas mengganti baju tanpa peduli saat itu Bulan pun kesusahan melepaskan aneka aksesoris di kepalanya, sepanjang perjalanan kembali ke rumah pun seperti itu, masih menempel di kepala Bulan. "Gue mau ke luar, lo tidur aja sendiri!" "Bang, kalau mami sama papi tanya gimana?" Bulan berusaha menahan suaminya itu, sungguh dia harus ekstra sabar menghadapi Sam. "Bebas lo mau ngarang apa, intinya kasih tahu mereka baik-baik!" jawab Sam menggeser tubuh Bulan sehingga dia bisa segera ke luar dan pergi ke tempat yang sudah dia janjikan bersama teman yang lain, termasuk ada Sita di sana bersama Leon. Bulan memejamkan matanya sembari mengusap dada, baru saja satu hari dia







