Vijar, melenguh panjang. Tubuhnya bergidik, napasnya memburu. Sudah selesai ia, mencapai puncak.
Sedang aku, memulai pun belum. Kesal dan marah rasanya. Sudah bertahun-tahun, dari sejak pertama menikah, dan tidak sekalipun kurasakan mencapai puncak tertinggi bersama suami, tidak seperti yang kudengar dari rumpian tetangga-tetangga sekitar sembari tertawa cekikikan, dan aku hanya jadi pendengar."Salahkah jika aku mengeluh?" tanya bathinku. Seperti tidak merasa bersalah, langsung terlelap dia, Kekesalan dan kemarahan yang kupendam membuatku pusing kepala, dan menjadi tidak bisa tidur."Aku seperti tempat sampah, setelah selesai membuang langsung ditinggalkan."Aku turun ke bawah untuk mengambil minuman dingin yang ada di kulkas.Adem rasanya hati dan tenggorokanku saat air dalam botol dingin ini masuk ke dalam kerongkonganku.Rumah yang kutempati rumah milik mertua, orang tua Vijar.Aku tinggal di lantaAsap rokok berembus perlahan, dinikmati sekali isapan demi isapan. melirik Imron ke arahku. Senyum tersungging melukiskan kepuasan hasrat. Masih terlihat sedikit peluh di kening Imron. Degup jantungnya masih terlihat sedikit berpacu."Dari dulu ... kamu memang paling pandai dalam memuaskan hasratku, San." Sembari imron mengembuskan asap rokoknya.Masih hanya dengan menggenakan celana pendek dan tanpa baju, terduduk dia, di
Hari ini jam 07:00 pagi, aku sudah sampai di kantor, karena ada rencana keberangkatan ke Sepinggan Balikpapan Kalimantan timur dengan Pak Hendra.Jadwal penerbangan jam 09:15 dari Bandara Internasional Soekarno Hatta, terminal 1c.Suasana kantor masih sangat sepi, dan aku sudah bersiap di lobby kantor.Menunggu Pak Hendra dan sopir yang akan menjemput.Suamiku Vijar, si es batu itu, tidak mengiyakan dan melarang pun tidak, saat kubicara tentang rencana kepergian selama tiga hari ke Sepinggan. Hanya bapak mertua saja yang seperti was-was akan kepergianku, mungkin karena terhitung baru masuk kerja, tetapi sudah harus pergi dinas ke luar daerah. Atau mungkin juga dia khawatir, karena selama tiga hari kedepan nanti, hasrat gairahnya tidak lagi terpenuhi.20 menit menunggu, mobil sedan mewah Pak Hendra datang. Pak Timan, sopir pribadi merangkap sopir kantor menghampiriku ke lobby untuk memberi tahu dan membantu membawakan tas, berkas-berkas, dan
Hendra memasuki kamar, dan aku hanya menguntitnya dari belakang. Postur tubuhnya malah terlihat lebih menggairahkan, menyeret angan keinginan mendekap, terlelap hangat beralaskan kulit punggungnya, setelah lelah berkeringat memadu hasrat."Susan ...?""Saya, Pak Hendra." Sedikit terkejut juga aku dibuatnya saat bosku itu memanggilku secara tiba-tiba di saat aku sedang menghayalkan dirinya."Tolong rapihkan barang-barang bawaan saya yah, saya ingin secepatnya mandi. Sudah lengket rasanya seluruh badan ini." Sembari menuju kamar mandi."Baik, Pak." Aku pun secepatnya, membuka-buka barang bawaannya, untuk segera kurapihkan."Mau dipesankan makanan atau minuman, Pak?!" tawarku, agak sedikit berteriak."Saya sudah makan di luar, tapi tolong pesankan saya kopi
Tiga hari di Sepinggan, rasanya seperti bulan madu buat kami berdua. Aku dan mas Hendra. Di luar urusan kepentingan kantor, saat ada waktu-waktu tersisa, kami lalui dengan kebersamaan dan bercinta. Tuan berparas tampan pemilik perusahaan konstruksi itu memang luar biasa dalam segala hal. Cakap dalam berbisnis dan bernegosiasi, termasuk dalam urusan hasrat. Benar-benar membuatku terpesona.Sore sebelum malam kami sudah tiba kembali di ibukota.P
Masa I'dah Arini sudah hampir berakhir, dan selama itu, tidak pernah sekalipun Hendra menghubunginya. Tidak lewat telepon, WA atau apapun."Sudah tidak perdulikah, Mas Hendra padaku. Sebegitu bencinya Mas Hendra, hingga untuk menghubungiku saja dia tidak mau."Berkecamuk semua pertanyaan di dalam hati dan pikiran Arini.Matanya nanar menatap derasnya hujan dari balik jendela kamar.Hujan sore ini, benar-benar membawa kepedihan di dalam hatinya.Sakit rasanya.Jika Hati masih memendam rindu."Kamu sedang apa, Mas?""Tidak rindukah engkau denganku?"Mengapa kau lebih percaya orang lain, di banding aku. Lima tahun kebersamaan kita, tidak cukupkah untuk engkau meyakini, jika aku tidak mungkin berkhianat padamu. Ba
Setelah mengunci pintu rumah, segera Arini bergegas untuk menemui Ceu Yoyoh, tidak ingin berlama-lama untuk segera menyelesaikan masalah. Lagi pula nanti setelah dari rumah Ceu Yoyoh, harus pula menyelesaikan pesanan pembuatan kue ulang tahun yang akan diambil sore nanti.Tidak lupa Arini membawakan kue buatannya untuk anak-anak Ceu Yoyoh.Di saat sedang menutup pintu pagar rumah."Assalamualaikum, Jeng Arini?""Wa'alaikum salam." Arini menoleh ke arah asal suara salam itu terdengar."Mau kemana Jeng? Sepertinya terburu-buru sekali?"Tante Naya, tetanggaku, hanya berbeda lima rumah dari sebelah kanan tempat tinggalku, juga di Pinggir jalan raya.Tante Naya juga punya usaha yang samasama dengan Arini, menerima pesanan pembuatan kue dan catering makanan.
Lewat pesan singkat, Syarifah meminta Arini untuk bertemu dengannya di sebuah taman di tengah kota. Arini mendatanginya, dan kembali permintaan yang sama terucap dari mulut Syarifah.Tetapi ada satu hal yang membuat Arini semakin terkejut, saat istri dari Gazza ini bercerita jika suaminya itu belakangan ini di-diagnosis Dokter mengidap penyakit yang sangat serius dan mematikan. Arini sampai tidak percaya mendengarnya."Mbak Arini bersediakan, jika menikah dengan Gazza?" Syarifah kembali meminta kepastian. Arini hanya terdiam, bingung dan tak tahu lagi harus bicara apa. Mendengar jika gazza menderita penyakit kanker darah saja sudah sangat mengejutkan baginya."Menikah dengan Gazza? Bukannya malah akan membuat hatimu lebih sakit Dik?""Aku hanya ingin dia bahagia, di akhir sisa hidupnya Mbak," ucapnya.&nbs
Keputusan sudah diambil, dan apa pun yang akan terjadi nanti, Arini harus sudah siap menghadapinya, termasuk dengan menjadi orang ketiga dalam hubungan Gazza dan Syarifah. Jika bukan karena keadaan sakitnya Gazza, mungkin Arini tidak akan pernah menerima lamaran Syarifah.Dua hari setelah Syarifah ke rumah, Gazza pun datang berkunjung. Dibawakannya beberapa macam makanan dalam jumlah yang lumayan banyak. Atika yang nyengir kegirangan."ini makanan kesukaan aku semua," katanya. Sebagian Arini mintakan Mbak Lasmi untuk mengantarkan kepada Ceu Yoyoh dan anak-anaknya."Terimakasih Arini, kamu sudah mau menerima lamaranku." Gazza memulai pembicaraan, di teras depan rumah."Bagaimana keadaanmu, Za?" Arini mengalihkan pembicaraan."Aku baik-baik saja Arini," ucapnya, tetapi tatapan matanya t