Share

Noda Di Balik Cadar sang Ustadzah
Noda Di Balik Cadar sang Ustadzah
Penulis: Roro Halus

1. Malam Naas

"Dasar, wanita sok suci! Percuma kamu pakai niqabmu itu jika tak mampu menjaga kehormatanmu!"

Zahra mengernyit bingung.

Setelah penerbangan 14 jam dari Tarim, Yaman, perempuan itu sedang berada di Bandara untuk menunggu sang kakak yang katanya terjebak macet.

Hanya saja, pria tinggi dengan kemeja berantakan ini–datang dan menatapnya penuh amarah.

Samar-samar, Zahra bisa mencium bau alkohol yang tercium darinya.

"Apa maksudmu?" tanya perempuan itu menyembunyikan takut yang melingkupi dirinya.

Baru kali ini, Zahra berada dalam jarak yang sangat dekat dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.

Memang tujuh tahun terakhir, wanita berusia 21 tahun itu menghabiskan masa mudanya dengan belajar agama dan jauh dari pergaulan bebas.

Di sana, dia bahkan tidak keluar pondok jika tidak ada kepentingan mendesak.

Bila harus keluar, Zahra juga harus didampingi hubabah atau mahramnya di sana.

Jika bukan karena kabar sang ayah yang masuk ICU rumah sakit, tentunya Zahra masih berada di pondok.

"Jangan pura-pura bodoh!" bentak laki-laki itu tiba-tiba dengan ekspresi marah, “apa kau tak ingat telah menipuku?!”

“Kau mungkin salah mengenali orang. Aku–”

Belum sempat menyelesaikan ucapan, Zahra sudah ditarik dan diseret begitu saja ke arah tangga.

Tempat itu memang terhubung dengan pintu belakang hotel yang memang masih berada di satu kawasan dengan Bandara.

Zahra jelas sangat terkejut dengan serangan mendadak itu.

Sekuat tenaga, dia berontak untuk melepaskan cekalan tangan pria itu.

"Tolong lepaskan! Kita bukan mahram!" pekik Zahra gemetar.

Sayangnya, laki-laki itu bergeming dan terus menyeret tangan Zahra tanpa rasa iba, seakan-akan Azzahra adalah wanita murahan yang baru dibelinya.

Parahnya, tak ada petugas hotel yang berjaga di sekitar sana, sehingga ia tak bisa meminta bantuan.

Air mata mulai membanjiri pipi perempuan itu kala menyadari dirinya sudah masuk ke dalam lift hotel.

“Anda salah orang, Tuan,” ucapnya lagi.

Ting!

Tak terasa, lift itu pun terbuka dan sampailah mereka lantai paling atas hotel.

Ditariknya Zahra ke arah kamar VVIP nomor 3.

Brugh!

Zahra didorong masuk ke kamar itu tanpa rasa iba, lalu mengunci pintu. Kemudian, pria itu berjalan menghampirinya.

“Aww…” ringis Zahra pelan.

"Sakit?" kata pria itu dengan alis terangkat.

Zahra mengangguk membuat pria itu tertawa. "Lebih sakit hatiku melihatmu mendesah di dalam kungkungan laki-laki lain!" lanjutnya nanar.

"Jadi, apa fungsi niqabmu itu, Ica? Wajahmu kau tutup rapat, pandanganmu kau tundukkan dari laki-laki, bahkan dadamu itu kau tutup khimar panjang. Tapi, di rumahku, kau buka pahamu lebar sambil mendesah keras di bawah tubuh polos laki-laki lain seolah kau begitu menikmatinya!"

Mendengar itu, tubuh Zahra semakin gemetar ketakutan.

Ini pertama kalinya dirinya dimarahi sedemikian rupa dengan jarak yang sangat dekat dengan laki-laki yang bukan mahramnya.

"Kau sok jual mahal padaku yang menyayangimu dengan tulus dan menjagamu selama ini, Ica.”

Kali ini, nada pria itu terdengar menyedihkan.

Dipegangnya dagu Zahra dari balik cadar. "Jadi, sebutkan hargamu sekarang! 100 juta? Oh … atau 200 juta?"

Zahra syok memperhatikan pria itu menumpahkan emosi seperti dikuasai setan.

“Tuan, saya bukan Ica yang Anda maksud,” ucap Zahra pada akhirnya.

Sayang, pria di depannya itu menulikan telinga. Minuman keras mengendalikan dirinya saat ini.

Dia justru menggendong tubuh Zahra ke kasur big size itu.

Tanpa basa-basi, pria itu membuka pakaian yang dikenakannya, hingga menyisakan celana boxer yang menempel di badannya saja.

Zahra jelas ketakutan. Dia berusaha lari ke arah pintu untuk kabur.

Tindakannya itu malah membuat pria di hadapannya marah.

Seketika saja, Zahra sudah ditarik dan berada di bawah kungkungan pria tersebut." Menurutlah, Sayang!”

"Sebentar lagi, kau akan merasakan surga kenikmatan yang 100 kali lebih luar biasa dari pria asing itu berikan padamu," desisnya penuh perintah.

Tanpa aba-aba, ia meloloskan pakaian terakhir miliknya, lalu menarik celana panjang berwarna hitam di balik dress panjang milik Zahra.

Meski memberontak, Zahra kalah juga.

Satu per satu pakaian syar'i miliknya berhasil laki-laki itu lepas.

Dia bahkan dapat merasakan tubuh keduanya tanpa dihalangi apapun. Hanya cadar yang menutupi dirinya kini.

Zahra menutup matanya erat. Dalam hati, dia hanya merapalkan doa supaya bisa lepas dengan selamat.

Hanya saja, dia tersadar kembali akan nasibnya saat merasakan pria itu membuka kaki Zahra lebar-lebar.

“Jangan!” teriaknya.

Tapi, pria itu malah tersenyum. Tanpa pemanasan, dia mencoba memasuki milik wanita bercadar di hadapannya itu.

Meski bingung karena sulit ditembus, pria itu tetap memaksanya dan ….

“Arghhh!”

Bersamaan dengan darah yang mengalir di paha, teriakan Zahra bersatu memenuhi kamar hotel itu. Perempuan itu merasa tubuhnya seperti terbelah menjadi dua.

Sementara itu, pria yang berada di atasnya itu terkejut.

“K–kau bukan Ica?” Dengan cepat, dibukanya cadar Azzahra.

Seketika dia menyadari perempuan di hadapannya itu bukan kekasihnya, melainkan perempuan asing yang jauh lebih cantik.

Ada kepolosan di wajahnya.

Akan tetapi, karena sudah kepalang tanggung dan hasratnya membara, pria berusia 28 tahun itu terus melanjutkan tindakannya.

“Maaf, aku akan bertanggungjawab nanti,” ucapnya di sela-sela aktivitas.

Mendengar itu, Zahra memilih diam.

Kekuatannya sudah hilang dan jiwanya pun sudah hancur lebur.

"Bagaimana ada laki-laki yang begitu kejamnya menodai gadis yang jelas-jelas sudah menutup dirinya dengan sempurna?" batinnya–tak punya tenaga.

Perlahan, mata Zahra mulai kabur dan gelap—membuat Ridwan Ameer Kharaman menitipkan benih di rahimnya terus-menerus, sampai bosan sendiri.

Putra tunggal pewaris Kahraman itu melakukan hal bejat selayaknya binatang dan telah menghancurkan masa depan seorang gadis sholehah.

***

"Aduh, Kenapa macet banget, sih?!"

Di sisi lain, Ismail tengah menahan kesal.

Sudah dua jam dia berhenti di pertengahan jalan karena terjadi kecelakaan besar dan beruntun yang memakan waktu untuk evakuasi.

Hatinya semakin gelisah membayangkan adiknya menunggu lama di bandara karena keterlambatannya.

Untungnya, kendaraan di depan Ismail mulai bergerak. Dia pun melajukan mobilnya.

Namun, malang tak dapat dicegah. Sebuah truk tronton tiba-tiba melaju kencang dari arah berlawanan.

Bruuuuuggg!

Jedarrr!

Klakson panjang menggema di jalan.

Kepala truk bertabrakan dengan bus di depan Ismail, hingga bergerak mundur ke mobil Ismail.

Mobil kakak Zahra itu pun terbalik.

"Maafin kakak, Zahra gak bisa nepatin janji,” lirih Ismail di tengah kesadaran yang mulai hilang, “Umi, Abah … ampuni Mail gak bisa bawa Zahra dengan selamat sampai di rumah."

Wajah satu per satu anggota keluarganya berputar di pikiran Ismail, hingga pandangannya menggelap.

Bahkan, wajah sahabatnya yang sudah lama tak ia temui, juga sempat terlintas di sisa-sisa hidupnya. Adiknya dulu menyukai pria itu. Apakah bisa sahabatnya itu menjaga Zahra untuknya?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Abigail Briel
aku merinding bacanya
goodnovel comment avatar
zahwanda wanda
ya Allah kasian sekali kemalangan bertubi2 menimpa Zahra dan keluarganya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status