Share

2. Penyesalan

Author: Roro Halus
last update Last Updated: 2023-10-25 15:13:47

"Ya illahi Rabbi, lindungi putra dan putriku... Lindungi perjalanan mereka dan semoga selamat sampai di rumah kami," doa Umi Aisyah sambil menengadahkan tangannya berdoa dengan khusyuk.

Wanita paruh baya itu menjalankan sunnah sholat malam karena perasaan gelisah melanda hatinya.

"Aamiin ya Rabb," lirih abah yang ternyata mendengar doa istri tercintanya.

Pria yang baru saja keluar dari ICU itu ternyata sudah berdiri dengan selang infus yang menancap di tangannya. Dia juga ikut berdoa untuk kedua buah hati mereka.

"Abah! Kenapa Abah bangun…? Umi ganggu Abah tidur, ya?" tanya Umi Aisyah terkejut, lalu menghampiri Abah.

"Tidak, Umi. Abah ingin sholat malam juga untuk mendoakan putra-putri kita... Abah gak sabar ketemu mereka, Umi," jawab Abah yang sudah sangat rindu berjumpa dengan putrinya yang sudah tujuh tahun berada di kota para bidadari surga itu.

"Boleh, sambil duduk saja, Abah ... Abah ‘kan belum bisa berdiri lama!" kata umi Aisyah.

Abah pun mengangguk sebagai jawaban dari permintaan istrinya itu.

Mereka begitu senang menanti anak anaknya datang dan mereka tidak tahu … kalau besok akan ada kabar yang mengguncang jiwa mereka.

***

Tak terasa matahari sudah meninggi, membuat Ridwan membuka matanya

Dilihatnya gadis cantik dan imut yang terlelap di sebelahnya.

Walaupun ada sisa darah di ujung bibir, tapi tidak mengurangi kecantikannya.

Ridwan menatapnya dengan raut muka yang sedih dan menyesal.

Kilas balik kelakuannya yang semalam berputar-putar diotaknya.

"Astaga, aku seperti predator! Aku biadab!" batin Ridwan sambil terus memandang wajah yang meneduhkan itu.

"Maafkan aku ya. Aku sudah dibutakan setan. Sungguh aku tidak bermaksud menyakitimu, menggagahimu dengan kasar dan kejam!" kata Ridwan penuh penyesalan.

Suara nada dering yang asing tiba-tiba terdengar—menyadarkan sang pewaris itu dari lamunan.

Bergegas Ridwan berdiri dan mengambil ponsel keluaran 10 tahun lalu yang hanya bisa digunakan untuk telepon dan SMS. Bentuk kotak kecil dan tebal, sebenarnya lebih cocok digunakan untuk menimpuk maling untuk zaman sekarang.

[ Kak Ismail Tersayang ]

"Apa ini nama dari kakak perempuan itu?" gumam Ridwan dan kemudian mengangkat panggilan dari kak Ismail itu karena takut ada keperluan yang penting.

"Hallo, selamat pagi. Benar ini saya berbicara dengan saudari Zahra, adik saudara Ismail?" kata perempuan di ujung panggilan.

Senyum Ridwan merekah karena mengetahui nama wanita yang dia nodainya semalam.

"Saya Ridwan, teman Zahra. Ini siapa ya dan ada perlu apa?" tanyanya balik.

"Oh, mohon maaf, Pak. Bisa tolong beritahu kepada saudari Zahra kalau tadi malam terjadi laka lantas dan saudara Ismail termasuk dalam korban laka lantas tersebut. Sekarang, korban ada di Rumah Sakit Sidoarjo!" kata perawat di seberang telepon.

"Mohon segera ya, Pak karena jenazah tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk proses dan administrasinya!" kata suster tersebut.

Deg!

"Apa? Jenazah?" Ridwan terkejut dengan perkataan suster diujung panggilan.

"Iya Pak, saudara Ismail meninggal di tempat kejadian. Mobilnya terbalik dan tim polis baru bisa mengevakuasi dini hari!" jelas sang suster.

"Baik, Sus. Saya segera ke sana!"

Setelah telepon mati, Ridwan pun melangkah ke arah Zahra yang masih tak bergerak.

"Zahra, bangun! Kita harus pergi sekarang!" katanya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Zahra.

Namun, Zahra tetap tak bergerak dan tetap memejamkan matanya rapat-rapat.

Pria itu tidak sadar jika Zahra sudah tidak sadarkan diri dari permainan semalam.

"Zahra bangun Zahra, jangan buat aku takut!" kata Ridwan kembali.

Kali ini, Ridwan membuka selimut dan alangkah terkejutnya dia karena melihat banyak sekali cairan putih dan darah kering yang sudah mengering di antara kedua paha perempuan tersebut.

"Astaghfirullah! Bodohnya, aku berpikir Zahra tidur. Dia ternyata pingsan karena kesakitan!" gumam Ridwan sambil memakaikan pakaian Zahra satu per satu.

Pria itu lalu mengangkut tubuh Zahra dan berlari turun ke bawah menuju ke mobil yang sudah dia pesan kemarin beserta supirnya.

Kurang lebih satu jam perjalanan, mereka pun sampai di RS Sidoarjo Barat.

Sengaja Ridwan membawa Zahra ke rumah sakit ini agar dia bisa sekaligus mengurus jenazah kakak dari perempuan itu.

Tanpa banyak bicara, pria itu pun mengangkat tubuh Zahra dan membawanya ke UGD.

Sungguh jantung Ridwan maraton saat ini. Takut, cemas, dan menyesal menghantui hatinya.

Tapi, ia tak membiarkan emosi menguasai dirinya lagi.

Diselesaikan administrasi perawatan Zahra, sekaligus administrasi pemulangan jenazah kakak dari Azzahra.

Kemudian, Ridwan menuju ke ruang jenazah untuk melihat Kak Ismail.

Ceklek!

Ridwan menyusuri bangkar tempat tidur mayat itu.

“Ismail Ahmad?” lirihnya kala menyadari jika kakak Zahra adalah sahabatnya sejak 9 tahun lalu.

Keduanya sama-sama mondok di Jawa Timur sebelum akhirnya Ismail berangkat ke Al- Azhar dan Ridwan melanjutkan di pendidikan di Jakarta.

Ismail adalah seorang Gus, anak pemilik pondok. Namun, pria itu sangat ramah dan memilih berbaur bersama santri lainnya.

"Ya Allah … Mail, aku sungguh berdosa sekali," gumam Ridwan menahan tangisannya pecah.

Penyesalan yang dia rasakan berkali-kali lipat sakitnya ketika dia menyadari jika gadis yang dinodai adalah Ara–gadis kecil yang selalu dijaganya saat main di rumah Ismail dulu.

Tangan Ridwan bahkan bergetar saat menerima KTP, dompet, ponsel dan kunci mobil milik Ismail.

Ridwan terduduk di lantai sebelah bangkar Ismail sambil memegang tangan dingin dan kaku itu.

"Bodoh!" runtuk Ridwan pada dirinya sendiri.

Ridwan diliputi penyesalan yang mendalam. Dia tak bisa membayangkan bagaimana dirinya menghadapi keluarga Ismail nanti.

Cukup lama ia menyesali perbuatannya, hingga Ridwan akhirnya berdiri dan menatap jenazah sang sahabat penuh penyesalan.

Tak lama, Ridwan pun keluar dan berjalan keluar.

Diurusnya semua urusan administrasi jenazah Ismail untuk segera dibawa ke rumahnya.

Setelahnya, dia pun kembali ke UGD untuk menunggui Zahra dan memastikan kondisi perempuan itu membaik. Hanya saja belum sempat ia menghampiri, seorang perawat mendatangi Ridwan.

“Permisi, Pak.”

“Ya, ada apa?” tanya pria itu cepat.

“Ada hal penting yang perlu dibicarakan dokter pada Anda sebagai pihak keluarga Nona Zahra. Apakah Anda bisa ke ruangannya sebentar?”

Deg!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Abigail Briel
duh kenapa lagi zahra
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Noda Di Balik Cadar sang Ustadzah   Extra Part [BONUS BUAT ZEYENG-ZEYENG]

    Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k

  • Noda Di Balik Cadar sang Ustadzah   Bab 147. Allah menguji dengan apa yang dicintai

    Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri

  • Noda Di Balik Cadar sang Ustadzah   Bab 146. Tragedi berdarah

    "Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra

  • Noda Di Balik Cadar sang Ustadzah   Bab 145. Kembali ke Turki

    Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan

  • Noda Di Balik Cadar sang Ustadzah   Bab 144. Ke Indonesia

    Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat

  • Noda Di Balik Cadar sang Ustadzah   Bab 143. Tarim

    Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam

  • Noda Di Balik Cadar sang Ustadzah   Bab 142. Perjalanan.

    Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"

  • Noda Di Balik Cadar sang Ustadzah   Bab 141. Tamparan Papa Edar

    Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.

  • Noda Di Balik Cadar sang Ustadzah   Bab 140. Ijin ke Tarim dan Indonesia.

    Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status