Ridwan bergegas menuju ruangan dokter yang dimaksud.
"Bagaimana keadaan Zahra, dok?" tanyanya langsung."Begini, Pak Ridwan. Nona Zahra ini sepertinya telah mengalami pelecehan seksual. Daerah kewanitaannya robek dan selaput daranya mengalami pendarahan yang cukup banyak,” jelas sang dokter pelan-pelan.“Pendarahannya sudah teratasi, tetapi nona Zahra seperti nya mengalami trauma pak."Mendengar itu, Ridwan menahan kesedihannya. "Lalu bagaimana, dokter?" tanyanya pada sang dokter."Saya sarankan ke psikolog saja pak, agar bisa membantu membimbing pikirannya dan semangat hidupnya lagi!" jawab dokter."Baik, Dok. Lalu, apa Zahra perlu dirawat atau….""Pasien Zahra sudah boleh pulang pak!" sahut dokter cepat.Mendengar itu, Ridwan mengangguk.Dia pun pamit dan berdiri berjalan masuk ke UGD dan menuju bangkar Zahra.Perempuan itu sudah bangun!Namun, pandangannya begitu kosong.Hal itu membuat jantung Ridwan seakan disayat-sayat pedang."Zahra baik-baik saja?" tanya Ridwan dengan pelan.Sayangnya, tidak ada jawaban yang Azzahra keluarkan sama sekali.Pria itu sontak menahan napas. Dia kemudian duduk di samping Zahra.Diangkatnya tangan untuk menyentuh tangan Zahra. Hanya saja, tangannya itu seketika juga ditepis oleh Azzahra.Ridwan juga mendapat tatapan tajam dari perempuan itu. Sangat tajam, hingga rasanya Ridwan tak bisa berkutik begitu saja.Detik berikutnya, Zahra bahkan berteriak sangat keras. "TIDAK ... JANGAN SAKITI AKU…”“AAAAA. KAMU JAHAT... !" teriaknya lagi ketakutan.Tubuhnya gemetar sambil menunjuk-nunjuk Ridwan.Hal ini jelas mengundang atensi para perawat yang sedang berjaga.Menyadari itu, Ridwan memberi isyarat untuk tetap di tempat mereka.Kemudian ditariknya Zahra dalam pelukan Ridwan erat-erat. "Ara ampuni kakak, Ra," bisik Ridwan di telinga Zahra.Dan … ajaibnya, ucapan Ridwan mampu menghentikan teriakan dan rontaan Zahra."Abang Mail?" racau Zahra setengah sadar.Deg!Mendengar nama sang sahabat, Ridwan menahan tangis. Terlebih, kala mendengar ucapan Zahra selanjutnya."Tapi … ini bukan Abang Mail ... Ini laki-laki jahat semalam, kan?" racaunya sambil menangis tersedu-sedu karena kilas balik kejadian semalam kembali berputar di otak.Kesadaran Zahra mulai kembali."Kamu siapa? Kalau bukan bang Mail, apa mungkin kakak Ridwan?" tanya Zahra sambil mengeluarkan air mata.Zahra ingat betul sapaan Ara hanya diberikan keluarganya dan juga Ridwan seorang.Sungguh, dia sangat berharap pria di depannya ini bukan pria yang sering bermain dengan Bang Mail dan menjahili dirinya dulu, serta cinta pertamanya dalam diam.Sayangnya, ucapan Ridwan menghancurkan harapannya…."Ampuni Kakak, Ara. Sungguh, Kakak tidak bermaksud menyakitimu!"Zahra terdiam.Pria brengsek dan kejam semalam adalah cinta pertamanya?Pria yang dulu dikenal sangat sholeh kini berubah menjadi iblis!Bagaimana bisa?Setahunya, Ridwan paham syariat. Pria itu mengerti dosa besar, tapi tega mengambil kehormatannya dengan paksa dengan bumbu kekerasan…?"Ar kecewa dengan Kak Ridwan! Kakak sekarang meminum minuman keras dan menyetubuhiku!” tatapnya tajam.“Aku sungguh kecewa pada Kakak!” teriak Zahra lagi dengan mata merah berderai air mata.Ia bahkan masih ingat jelas pemaksaan pria di depannya ini.Tubuh Ridwan membeku. "Maaf, Ara! Kak Ridwan salah dan berdosa. Kak Ridwan memang brengsek dan membiarkan diri kakak dikuasai setan. Ampuni Kakak, Ara!" pintanya menahan rasa pedih.Dipandangnya wajah gadis kesayangannya itu.Hatinya tersayat mendengar kalimat yang dilontarkan Ara padanya.Sementara itu, Zahra tampak memejamkan mata. "Pergilah, Kak. Aku tak mau melihatmu lagi.”“Dan, jangan panggil aku, Ara, lagi selamanya!" tambah perempuan itu sembari menatap tajam Ridwan.Pria itu jelas tercengang. "Ara, biarkan kakak disini menjagamu pada almarhum Mail untuk menjagamu dengan nyawaku. Kakak akan —”Tanpa sadar, Ridwan mengabarkan kabar duka itu pada Zahra.Mata cantik Zahra sontak terbelalak. "Apa kakak bilang? Almarhum bang Mail? Apa maksud, Kakak?!” teriaknya.“Bang Mail mau jemput Ara semalam. Kenapa Kakak tega bilang Kak Mail sudah almarhum, hah?!" pekik Zahra dengan suara lebih tinggi.Ridwan mengepalkan tangan, menahan emosi yang luar biasa campur aduk di dalam hatinya saat ini."Ar, semua yang hidup akan mati, begitu juga bang Mail. Kemarin, abang Mail telat menjemputmu karena abang mengalami laka lantas, Ara. Dan dia meninggal di tempat kejadian," kata Ridwan lemah lembut.Azzahra sontak terpukul dengan kabar yang dia dengar.“Innalillahiwainnailaihirojiun ... Bang Mail!” teriaknya cepat, “ Aku pengen ketemu abang.”“Ayo, kak antar aku ke Bang Mail!" teriak Zahra sambil menangis meronta- ronta.Melihat itu, Ridwan pun memeluk Zahra. "Habis ini, kita antar ke Kediri, ya. Kita antar dengan senyum. Ingat, abang sudah bahagia di surga.”"Surga?” tangis Azzahra kembali pecah, “Apa aku masih bisa layak ke sana? Aku sudah kotor.”“Bang Mail, jangan tinggalkan Ara! Bawa Ara, ikut, Bang!"Tak lama, tubuh perempuan itu pun luruh–menyisakan Ridwan yang penuh rasa penyesalan. Bagaimana dia bisa memperbaiki hubungannya dengan Ara?Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam