Ridwan menatap nanar Zahra didepannya, "Istighfar terus, Ra. Ingat Allah selalu bersama Ara," ucapnya pada akhirnya.
Namun, Zahra yang duduk di sebelah kanan peti jenazah hanya diam tak menyahut.Dia tidak juga menoleh.Melihat itu, Ridwan kehilangan kata-kata.Azahrana Azmi Ahmad, gadis yang sholehah dan tangguh--kini terlihat sangat hancur.
Ridwan menghela nafas panjang. Diperhatikannya daerah sekitar dan menyadari bahwa ambulance yang membawa mereka sudah mendekati pondok pesantren yang merupakan rumah Zahra.
"Ara, Bagaimana jika kakak turun dan ke rumah sakit untuk memberitahu Abah?" tanya Ridwan.Pria itu khawatir jika Abah yang memiliki penyakit jantung mendengar kabar duka mendadak.Zahra akhirnya menoleh. "Boleh. Terima kasih Kak," jawabnya singkat kemudian kembali menatap jenazah abangnya.Tak butuh waktu lama, ambulance pun berhenti.Ridwan pun turun di depan pusat pembelanjaan, kemudian dia memesan ojek online untuk ke rumah sakit.
Jantung Ridwan naik turun ketika menginjakkan kaki di Paviliun bugenvil tempat ruang rawat inap Abah.Ditemuinya dokter yang menangani sang guru dan meminta saran untuk penyampaian kabar duka ini.
Untungnya, tim medis siap membantu. Dokter bahkan siap sedia di luar selama kabar duka itu disampaikan untuk berjaga.
***Tok! Tok! Tok!
"Assalamu'alaikum." Ridwan mengucapkan salam setelah mengetuk pintu."Waalaikumsalam warohmatulohi wabarakatuh," jawab umi Aisyah.
"Loh ini ... Bukankah ini Ridwan? Ridwan sahabatnya Ismail bukan?" tanyanya lagi.
Tampak sekali, Umi Aisyah terkejut dengan kedatangan sabahat putranya itu.Setahu Umi Aisyah, Ridwan sibuk memimpin perusahaannya di Jakarta."Nggeh Umi. Betul!" jawab Ridwan dengan menundukkan kepala takdzim."Mau jenguk Abah, ya? Tahu dari mana Le, kamu?" tanya Umi.Mendengar itu, Ridwan tampak salah tingkah dan sedikit gugup. "Iya, Umi," jawabnya lalu menoleh pada abah dan mencium tangan pria itu, "gimana kabarnya, Abah? Apa sudah enak?" Abah tampak mengangguk sembari tersenyum lebar. "Iya Alhamdulillah, apa kamu tau Ara pulang, makanya ke sini Nak?" goda Abah pada Ridwan karena tahu jika pria di hadapannya ini sempat menyukai Azzahra.Ridwan tampak tercekat. Pria itu gugup mengingat apa yang harus dilakukannya saat ini--menyampaikan kabar buruk yang luar biasa untuk dua orang di hadapannya ini.
"Bismillah ya Allah, bantu lisan hamba," batin Ridwan, "menyampaikan kabar duka kepada keluarga yang meninggal di tempat jauh itu sangat berat.'
"Abah, Umi. Apa Ridwan boleh berbicara serius!" kata pria itu akhirnya meski tampak ragu.
"Apa kamu mau mengkhitbah Ara kecilmu?" goda Abah lagi pada Ridwan."Hehe Abah bisa saja. Iya khitbahnya setelah keadaan kembali baik, Bah!" jawab Ridwan sambil melihat respon orang tua Azzahra.Abah tampak senyum karena berhasil menggoda Ridwan, kemudian berkata, "Hahaha Nak Ridwan! Ayo mau bicara apa? Keadaan buruk apa maksud kamu?""Sungguh Ridwan minta maaf Umi, Abah. Kemarin ketika Mail menjemput Ara, Mail mengalami laka lantas ... Mobilnya terbalik dan Mail menghembuskan nafas terakhirnya di tempat kejadian Umi, Abah!" kata Ridwan dengan menundukkan kepalanya."Apa?! Bercanda kamu gak lucu Le ... kamu saja baru sampai. jangan mengada-ada!" jawab Umi tegas.Ucapan Ridwan seperti petir yang menyambar seisi hidup kedua orang lanjut usia itu.Tubuh Umi tampak sempoyongan dan bergetar. Air mata Umi bahkan sudah luruh ke pipinya.Tanpa disadari, air mata pria itu pun menetes.
Ridwan sangat tidak tega , tapi kabar ini harus segera disampaikan agar segala urusan pemakamannya segera selesai."Tidak! ... tidak! Mail kemarin sehat sekali! Mail selamat dan berkumpul dengan kita!" tangis umi Aisyah sambil berpegangan pada ujung bangkar tempat tidur suaminya."Inalillahiwainaillaihirojiun, Mail semoga husnul khotimah! Astaghfirullah!" kata Abah sambil memegangi dadanya.Melihat muka Abah yang sudah merah sambil memegangi dada membuat Ridwan panik.Terlebih, nafas Abah terlihat tersengal dengan dada yang naik turun."DOKTER! DOKTER!" teriak Ridwan.Dokter dan tim medis pun segera masuk untuk memeriksa keadaan Abah dan Umi yang sudah pingsan di tengah-tengah dia terisak.Ridwan membeku di tempat. Dia bisa merasakan kesedihan yang dialami Umi dan Abah.Hati orang tua mana yang tak hancur mendengar kabar kepulangan putra tercinta mereka untuk selamanya?Melihat situasi yang cukup chaos, Ridwan pun menunggu di luar--menunggu dokter melakukan pertolongan pertama.Bertambah besar rasa bersalah Ridwan pada mereka akan dosa yang dia perbuat kemarin."Bagaimana jika kabar putri tercintanya ternoda karena ulah bejatku? Pasti, mereka akan semakin hancur lagi. Aku harus bagaimana?" kata Ridwan dalam hati.Penyesalan di hati Ridwan kini tak bisa lagi diucapkan dengan kata.Untungnya, setelah menunggu kurang lebih satu jam, Abah berhasil ditangani.Namun, Abah dan Umi Aisyah memaksa untuk pulang, hingga Ridwan pun memutuskan membawa kedua orang yang dihormatinya itu.
****
"Ini tidak mimpi? Ini kenyataan? Mailku telah pergi?" gumam Abah saat melihat rumahnya sudah penuh dengan santri dan warga."Astaghfirullah, Mailku Sayang!" pekik Umi Aisyah sambil terisak berlari mendekati jenazah.Umi bersimpuh di samping tubuh Ismail yang sudah dikeluarkan dari peti.Sementara itu, Zahra beranjak dari tempatnya mendekati Umi dan memeluknya.Diciuminya tangan Umi bolak-balik dengan air mata yang tak berhenti.Dan berakhir bersimpuh dikaki uminya."Umi, Ampuni Zahra. Bang Mail seperti ini karena Zahra, umi ... Jika saja Bang Mail tidak menjemput Zah—"Racauan Zahra berhenti mendengar Umi berbicara."Zahra ... Jangan bicara seperti itu, Nak. Semua sudah jalan dan takdir Allah, Nak. Umi senang kamu selamat," jawab Uminya sambil menciumi muka Zahra."Tapi, Umi--"Wanita di hadapannya itu menggelengkan kepala membuat Zahra tergugu.Diliriknya, Abah yang duduk dikursi roda.
Namun, entah mengapa pria kesayangannya itu menjatuhkan dirinya dari kursi Roda--seolah ingin memegang tubuh sang putra yang terbujur kaku."Ya, Allah! Abah di kursi roda saja!" teriak Zahra panik."Abah ingin memegang putra dan putri Abah, Nduk." jawab Abah pelan. "Ampuni Zahra ya, Bah. Ini semua karena Zahra., kata Zahra sambil mencium tangan dan pipi Abahnya. Zahra memeluk cinta pertamanya itu dengan erat sekali, seolah dia sangat takut Abah pergi. "Ini adalah ketetapan Allah, Nak. Sakit sekali ... Tapi kita harus berusaha ikhlas," kata Abah menguatkan Zahra walau sebenarnya hatinya sangat hancur. Tak butuh waktu lama, jenazah Mail pun diantar ke makan keluarga yang berada di dalam pondok, Setelah serangkaian doa selesai, Ridwan pun ikut memikul dan masuk ke liang lahat untuk memastikan jenazah sahabatnya nyaman di peristirahatan panjangnya. Sementara itu, Zahra dan seluruh orang mengiring kepergian Mail dengan senyum air mata.Mereka tersenyum melihat wajah berseri dan senyum Ismail. Namun, air mata tak bisa berbohong untuk tidak menetes. Ridwan memutuskan untuk menetap beberapa hari di pondok untuk menunggu waktu untuk bertanggungjawab pada Azzahra. Hanya saja, satu
Melihat tak ada pergerakan dari perempuan di hadapannya, Ridwan pun mengangkat tubuh Zahra.Digendongnya Zahra ala bridal dan berlari menuju Dalem."Maaf, Zahra ... Kakak harus mengangkatmu," ucapnya dalam hati.Tok! Tok! Tok!"Assalamu'alaikum, Umi!" panggil Ridwan sembari berusaha mengetuk pintu."Waalaikumsalam, Nak Ridwan ..." ucap Umi Aisyah yang terhenti kala menyadari sang putri ada di gendongan Ridwan, "Loh, Zahra kenapa?""Zahra pingsan di pemakaman, Umi," jawab Ridwan cepat."Baiklah. Bawa masuk ke kamarnya, Nak," kata Umi sambil mengekori Zahra. Ridwan kemudian keluar dari kamar Zahra setelah meletakkan perempuan itu di ranjangnya. Dia memilih duduk di kursi ruang tengah, depan kamar Zahra. Ditatapnya beberapa santri yang masih di ruang tamu untuk mendoakan Pak Kyai dan Bang Mail. Hanya saja, dia teringat bahwa ada janji dengan neneknya di Turki.Namun, ponselnya mati karena lupa diisi dayanya sejak masalah kemarin."Sebaiknya, aku menghubungi mama besok. Selepas acara
Brak!Umi yang terkejut dan berdiri mendadak dengan nada tinggi tanpa sengaja menyenggol vas bunga dan jatuh. Ridwan buru-buru menjelaskan semua kronologi kejadian malam itu. Dia juga menjelaskan kenapa bisa menggauli Zahra dan meminum minuman keras. Umi Aisyah jelas terisak, membayangkan Zahra dalam posisi yang Ridwan ceritakan. "Zahraku ... Betapa jiwanya dan hatinya hancur, kesuciannya ternoda, harga dirinya lebur" tangis umi pecah. Ridwan hanya bisa meminta maaf, bibirnya tak bisa melakukan pembelaan lagi. Hanya kata maaf yang keluar dari lisan Ridwan. "Sholatlah taubat, tak ada alasan umi tidak memafaakanmu, karena Allah Maha Pemaaf. Mintalah maaf dan pengampunan Zahra. Segera nikahi Zahra!" titah umi Aisyah.Tanpa diduga, sedari tadi, Zahra menguping pembicaraan mereka. Dia sebenarnya takut terjadi sesuatu pada Uminya. Namun tanpa banyak bicara, wanita tua itu meninggalkan Ridwan sendirian dan masuk ke dalam kamarnya. Diam-diam, Umi Aisyah memenuhi malamnya dengan shola
"Alara kecewa karena kamu!" kesalnya.Ridwan hanya menatap Omanya dengan lembut. Dia yang baru keluar kamar mandi dan hanya memakai handuk yang melilit pinggang saja---mendekat ke arah oma.Ditaruhnya kepala yang masih basah itu dipundak sang Oma."Ridwan gak mau dijodohin oma," kata Ridwan lembut. "Ridwan udah ada calon!" lanjutnya"Ya sudah! Mana calon kamu? Jangan nunggu Oma dikubur dulu baru nikah!" jawab Oma cepat."Yuk kita ke kamar Oma, Ridwan mau tidur sama Oma." kata Ridwan mengalihkan pembicaraan."Dasar kamu ya, bayi tua! Persis seperti Opamu ... Jadi rindu opa. Yuk pakai baju dulu, udah besar gak punya malu!" ejek Oma. Ridwan pun menggoda Omanya dan berkata, "Gak mau, pakein oma aja!""Hahaha ... kamu gak malu udah tua juga!" jawab oma terpingkal-pingkal.Cucunya ini emang selalu bikin ketawa. "Tapi, belum punya istri, Oma," tambah Ridwan lagi."Hahahahha, makanya cari, dong!" jawab oma sambil terus jalan ke arah kamarnya."Ridwan melakukan kesalahan yang besar." jawab
Zahra memasuki area pondok Darrul Amin dengan langkah gontai menuju kediaman Hubabah Awiyah. Hubabah Awiyah adalah pimpinan pondok putri Darrul Amin, pondok yang terkenal sampai ke mancanegara. Tok! Tok! Tok! Zahra dengan gemetaran mengetuk pintu dan mengucap salam, "Assalamualaikum, Hubabah,""Waalaikumsalam warohmatulohi wabarakatuh, Siapa?" tanya Hubabah dari balik bilik rumahnya. Jantung Zahra berdebar mendengar suara Hubabah Awiyah, "Zahra, Hubabah,""MasyaAllah, Nak ... Ayo masuk, Zahra—" "Hubabah—" Zahra tak mampu melanjutkan ucapannya dan langsung bersimpuh dikaki Hubabah. Menyandarkan kepalanya dipaha Hubabah Awiyah yang sudah menganggapnya putri selama ini. Hubabah Awiyah terlihat kebingungan dan memilih untuk membelai kepala Zahra. "Tenangkan dirimu, Nak!" kata Hubabah. "Hubabah, Abah dan Abang berpulang pada sang khalik, dan Zahra—" Zahra diam sebentar sambil menarik niqab yang dikenakannya.Hubabah Awiyah terkejut dengan kondisi wajah gadis yang sangat disayangn
Sudut bibir Ridwan hingga berdarah karena pukulan bang Yusuf yang membabi buta. "Itu untuk sudut bibir Zahra yang akan memar berminggu-minggu!" kata Yusuf. Yusuf kembali melayangkan pukulan demi pukulan pada tubuh Ridwan hingga dadanya naik turun. "Dan itu untuk kelakuan binatangmu!" Yusuf menyeringai sambil mengibaskan tangannya seperti sedang membersihkan kotoran yang menempel. Ridwan diam menerima pukulan demi pukulan itu, tanpa membalas.Ridwan merasa dirinya pantas mendapatkan lebih dari ini. Ridwan memang bersalah dan dia merasa layak menerima hukuman lebih dari ini. "Ayo balaslah ... Kenapa diam saja! Kamu mati kalau tak membalas!" pekik Bang Yusuf dengan mata nyalang. "Aku pantas mendapatkan ini, Bang," lirih Ridwan. "Bulshit—"Bang Yusuf tak melanjutkan lagi umpatannya dan memilih menerjang kembali Ridwan dengan penuh tenaga. Hingga Yusuf duduk terengah-enga
Sedangkan dari jendela lantai tiga, Zahra sedang melihat pria yang diseret oleh dua aparat itu. Zahra melihat ekspresi marah dan frustasi Ridwan. Tapi tak membuat Zahra berbelas kasih dan ingin menemui Ridwan. 'Biarlah kita berjalan di jalan kita masing-masing kak,' batinya.Hingga tepukan dipundaknya menyadarkan Zahra kembali dari lamunannya. "Apa kamu berubah fikiran dan menerima pertanggungjawaban pria tadi?" tanya Hubabah Awiyah setelah mengucap salam. "Tidak Hubabah, Jalan kami berbeda. Biarkan Zahra mengabdikan diri Zahra di sini!" jawab Zahra dengan tatapan penuh harap. Hubabah Awiyah langsung memeluknya erat. "Panggillah Umi, Ra, seperti Sahira!" perintah Hubabah Awiyah. Sahira adalah putri bungsu Hubabah Awiyah. Hubabah memiliki dua putra dan putri, yaitu Syarif Ali dan Syarifah Sahira. "Baik, Umi."Zahra kini mantap memanggil Hubabah Awiyah dengan sebutan Umi setelah beberapa kali Hubabah meminta. Zahra sebelumnya tidak enak memanggil guru besarnya dengan sebutan U
Ridwan yang tidak menyadari keberadaan Papanya itu terhuyung ke belakang akibat bogeman mentah sang Papa. Ameer diliputi amarah dan kembali menyerang sambil berseru, "Bajingan kamu, Ridwan!" Tidak ada perlawanan sedikitpun dari Ridwan. "Kamu akan membuat Zahra semakin membencimu, Ridwan!" lirih Ameer saat sambil menetralkan nafasnya. Ameer sangat tersiksa melihat putranya seperti ini, tapi semuanya adalah hasil dari kesalahannya sendiri. Ameer juga tidak akan membiarkan anaknya memperdalam kesalahannya. Ridwan hanya diam, tak menjawab perkataan papanya. "Jika kamu merasa bersalah, datang dengan baik. Jika belum bisa, langit kan doa agar Allah melembutkan hati Zahra dan memaafkanmu," kata Ameer. Amer menatap putra semata wayangy itu, "Bukan begini caranya, Nak!" lanjutnya. Ameer paham sekali apa yang dirasakan Ridwan, karen Ridwan adalah duplikatnya. Kalau sudah cinta, tidak akan bisa