Share

4. Hati yang hancur

Ridwan menatap nanar Zahra didepannya, "Istighfar terus, Ra. Ingat Allah selalu bersama Ara," ucapnya pada akhirnya.

Namun, Zahra yang duduk di sebelah kanan peti jenazah hanya diam tak menyahut.

Dia tidak juga menoleh.

Melihat itu, Ridwan kehilangan kata-kata.

Azahrana Azmi Ahmad, gadis yang sholehah dan tangguh--kini terlihat sangat hancur.

Ridwan menghela nafas panjang. Diperhatikannya daerah sekitar dan menyadari bahwa ambulance yang membawa mereka sudah mendekati pondok pesantren yang merupakan rumah Zahra.

"Ara, Bagaimana jika kakak turun dan ke rumah sakit untuk memberitahu Abah?" tanya Ridwan.

Pria itu khawatir jika Abah yang memiliki penyakit jantung mendengar kabar duka mendadak.

Zahra akhirnya menoleh. "Boleh. Terima kasih Kak," jawabnya singkat kemudian kembali menatap jenazah abangnya.

Tak butuh waktu lama, ambulance pun berhenti.

Ridwan pun turun di depan pusat pembelanjaan, kemudian dia memesan ojek online untuk ke rumah sakit.

Jantung Ridwan naik turun ketika menginjakkan kaki di Paviliun bugenvil tempat ruang rawat inap Abah.

Ditemuinya dokter yang menangani sang guru dan meminta saran untuk penyampaian kabar duka ini.

Untungnya, tim medis siap membantu. Dokter bahkan siap sedia di luar selama kabar duka itu disampaikan untuk berjaga.

***

Tok! Tok! Tok!

"Assalamu'alaikum." Ridwan mengucapkan salam setelah mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam warohmatulohi wabarakatuh," jawab umi Aisyah.

"Loh ini ... Bukankah ini Ridwan? Ridwan sahabatnya Ismail bukan?" tanyanya lagi.

Tampak sekali, Umi Aisyah terkejut dengan kedatangan sabahat putranya itu.

Setahu Umi Aisyah, Ridwan sibuk memimpin perusahaannya di Jakarta.

"Nggeh Umi. Betul!" jawab Ridwan dengan menundukkan kepala takdzim.

"Mau jenguk Abah, ya? Tahu dari mana Le, kamu?" tanya Umi.

Mendengar itu, Ridwan tampak salah tingkah dan sedikit gugup. "Iya, Umi," jawabnya lalu menoleh pada abah dan mencium tangan pria itu, "gimana kabarnya, Abah? Apa sudah enak?" 

Abah tampak mengangguk sembari tersenyum lebar. "Iya Alhamdulillah, apa kamu tau Ara pulang, makanya ke sini Nak?" goda Abah pada Ridwan karena tahu jika pria di hadapannya ini sempat menyukai Azzahra.

Ridwan tampak tercekat. Pria itu gugup mengingat apa yang harus dilakukannya saat ini--menyampaikan kabar buruk yang luar biasa untuk dua orang di hadapannya ini.

"Bismillah ya Allah, bantu lisan hamba," batin Ridwan, "menyampaikan kabar duka kepada keluarga yang meninggal di tempat jauh itu sangat berat.' 

"Abah, Umi. Apa Ridwan boleh berbicara serius!" kata pria itu akhirnya meski tampak  ragu.

"Apa kamu mau mengkhitbah Ara kecilmu?" goda Abah lagi pada Ridwan.

"Hehe Abah bisa saja. Iya khitbahnya setelah keadaan kembali baik, Bah!" jawab Ridwan sambil melihat respon orang tua Azzahra.

Abah tampak senyum karena berhasil menggoda Ridwan, kemudian berkata, "Hahaha Nak Ridwan! Ayo mau bicara apa? Keadaan buruk apa maksud kamu?"

"Sungguh Ridwan minta maaf Umi, Abah. Kemarin ketika Mail menjemput Ara, Mail mengalami laka lantas ... Mobilnya terbalik dan Mail menghembuskan nafas terakhirnya di tempat kejadian Umi, Abah!" kata Ridwan dengan menundukkan kepalanya.

"Apa?! Bercanda kamu gak lucu Le ... kamu saja baru sampai. jangan mengada-ada!" jawab Umi tegas.

Ucapan Ridwan seperti petir yang menyambar seisi hidup kedua orang lanjut usia itu.

Tubuh Umi tampak sempoyongan dan bergetar. Air mata Umi bahkan sudah luruh ke pipinya.

"Le, kamu kan tahu jantung Abah bagaimana? Jangan bercanda, Le. Abah tau kamu rindu Mail dan Ifa, tapi tidak begini!" kata Abah menimpali istrinya pun dengan air mata yang sudah menggenang.

"Maaf Abah, Umi ... Demi Allah Ridwan tidak berbohong. Sekarang jenazah sudah berada di pondok pesantren, Bah bersama Ara." Ridwan mencoba menyakinkan keduanya bahwa ia sedang tidak bercanda.

Tanpa disadari, air mata pria itu pun menetes. 

Ridwan sangat tidak tega , tapi kabar ini harus segera disampaikan agar segala urusan pemakamannya segera selesai.

"Tidak! ... tidak! Mail kemarin sehat sekali! Mail selamat dan berkumpul dengan kita!" tangis umi Aisyah sambil berpegangan pada ujung bangkar tempat tidur suaminya.

"Inalillahiwainaillaihirojiun, Mail semoga husnul khotimah! Astaghfirullah!" kata Abah sambil memegangi dadanya.

Melihat muka Abah yang sudah merah sambil memegangi dada membuat Ridwan panik.

Terlebih, nafas Abah terlihat tersengal dengan dada yang naik turun.

"DOKTER! DOKTER!" teriak Ridwan.

Dokter dan tim medis pun segera masuk untuk memeriksa keadaan Abah dan Umi yang sudah pingsan di tengah-tengah dia terisak.

Ridwan membeku di tempat. Dia bisa merasakan kesedihan yang dialami Umi dan Abah.

Hati orang tua mana yang tak hancur mendengar kabar kepulangan putra tercinta mereka untuk selamanya?

Melihat situasi yang cukup chaos, Ridwan pun menunggu di luar--menunggu dokter melakukan pertolongan pertama.

Bertambah besar rasa bersalah Ridwan pada mereka akan dosa yang dia perbuat kemarin.

"Bagaimana jika kabar putri tercintanya ternoda karena ulah bejatku? Pasti, mereka akan semakin hancur lagi. Aku harus bagaimana?" kata Ridwan dalam hati.

Penyesalan di hati Ridwan kini tak bisa lagi diucapkan dengan kata.

Untungnya, setelah menunggu kurang lebih satu jam, Abah berhasil ditangani.

Namun, Abah dan Umi Aisyah memaksa untuk pulang, hingga Ridwan pun memutuskan membawa kedua orang yang dihormatinya itu.

****

"Ini tidak mimpi? Ini kenyataan? Mailku telah pergi?" gumam Abah saat melihat rumahnya sudah penuh dengan santri dan warga.

"Astaghfirullah, Mailku Sayang!" pekik Umi Aisyah sambil terisak berlari mendekati jenazah.

Umi bersimpuh di samping tubuh Ismail yang sudah dikeluarkan dari peti.

Sementara itu, Zahra beranjak dari tempatnya mendekati Umi dan memeluknya.

Diciuminya tangan Umi bolak-balik dengan air mata yang tak berhenti.

Dan berakhir bersimpuh dikaki uminya.

"Umi, Ampuni Zahra. Bang Mail seperti ini karena Zahra, umi ... Jika saja Bang Mail tidak menjemput Zah—"

Racauan Zahra berhenti mendengar Umi berbicara.

"Zahra ... Jangan bicara seperti itu, Nak. Semua sudah jalan dan takdir Allah, Nak. Umi senang kamu selamat," jawab Uminya sambil menciumi muka Zahra.

"Tapi, Umi--"

Wanita di hadapannya itu menggelengkan kepala membuat Zahra tergugu.

Diliriknya, Abah yang duduk dikursi roda.

Namun, entah mengapa pria kesayangannya itu menjatuhkan dirinya dari kursi Roda--seolah ingin memegang tubuh sang putra yang terbujur kaku.

"Ya, Allah! Abah di kursi roda saja!" teriak Zahra panik.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Adi M AyundaCell
cerita sedih dan menghanyutkan.. benar2 membuat aer mata berlinang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status