Share

6. Pengakuan

Melihat tak ada pergerakan dari perempuan di hadapannya, Ridwan pun mengangkat tubuh Zahra.

Digendongnya Zahra ala bridal dan berlari menuju Dalem.

"Maaf, Zahra ... Kakak harus mengangkatmu," ucapnya dalam hati.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamu'alaikum, Umi!" panggil Ridwan sembari berusaha mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam, Nak Ridwan ..." ucap Umi Aisyah yang terhenti kala menyadari sang putri ada di gendongan Ridwan, "Loh, Zahra kenapa?"

"Zahra pingsan di pemakaman, Umi," jawab Ridwan cepat.

"Baiklah. Bawa masuk ke kamarnya, Nak," kata Umi sambil mengekori Zahra.

Ridwan kemudian keluar dari kamar Zahra setelah meletakkan perempuan itu di ranjangnya.

Dia memilih duduk di kursi ruang tengah, depan kamar Zahra.

Ditatapnya beberapa santri yang masih di ruang tamu untuk mendoakan Pak Kyai dan Bang Mail.

Hanya saja, dia teringat bahwa ada janji dengan neneknya di Turki.

Namun, ponselnya mati karena lupa diisi dayanya sejak masalah kemarin.

"Sebaiknya, aku menghubungi mama besok. Selepas acara dan masalah ini selesai, aku juga harus ke Turki" batin Ridwan dalam hati.

Semua yang terjadi sangat tiba-tiba dan bertubi-tubi.

Kehidupan Ridwan dan Zahra berubah total dalam kurun waktu 24 jam.

Selang beberapa menit, sayup terdengar tangis umi Aisyah sambil keluar dari kamar Zahra.

Sontak, Ridwan berlari menuju umi Aisyah dan dibelakangnya.

"Umi ... Ada apa? Kenapa umi menangis?" tanya Ridwan sambil tetap menjaga jarak dengan umi Aisyah.

"Apa Umi rindu Abah? Atau apa, Umi? Tolong beritahu Ridwan!" desak Ridwan kebingungan.

Umi Aisyah tak kunjung menjawab pertanyaan Ridwan.

Pipi Umi sudah basah dengan derasnya air matanya.

Selain kesedihan, ada gurat kecewa di wajahnya.

"Mari ke belakang, Nak ... Ke dapur keluarga. Umi mau bicara sama kamu," kata Umi pelan sambil berjalan menuju meja makan.

Deg!

"Apa yang akan dibicarakan, Umi. Apa sangat penting?" batin Ridwan mengekori umi Aisyah dengan tetap menjaga jarak.

Begitu tiba, Umi membuka percakapan, "Nak ridwan, Umi tidak tau apa yang harus umi bicarakan ... Umi ...!"

Ucapannya terhenti
karena tangis mendesaknya keluar terus-menerus.

"Pelan-pelan, Umi. Ridwan akan menunggu sampai umi siap berbicara," jawab Ridwan menenangkan umi Aisyah.

"Umi gak tau apa yang terjadi pada Zahra, tapi umi harus bicara mengingat Abah sudah menerima khitbah kamu Nak ... Dan menitipkan Zahra padamu. Umi tak ingin kamu kecewa!" kataUumi sambil mengusap air matanya setelah bisa menenangkan dirinya sendiri.

Mendengar itu, Ridwan sontak terperanjat.

Dicobanya menenangkan diri sebelum menjawab dengan yakin, "Iya, Umi ... Apapun yang terjadi, Ridwan akan memegang teguh janji Ridwan pada Abah."

"Umi barusan mengganti baju Zahra, Nak. Umi begitu kaget melihat ujung bibir Zahra memar biru ... Umi juga menemukan ada beberapa bekas siksaan ..."

"A—ada beberapa tanda merah di dada dan pahanya. Hati umi semakin kalud dan tersayat ... Umi melihat memar diarea kewanitaannya dan bengkak...!" tambah Umi Aisyah.

Tampak sekali, wanta tua itu mencoba menormalkan suara dan menahan tangis.

Ridwan sendiri membelalakan mata.

Bagaimana caranya mengakui bahwa iblis yang menyiksa Zahra adalah dirinya sendiri?

Umi Aisyah bahkan sudah melihat semua jejak kejahatannya. 

"Umi tau itu apa nak," ucap wanita itu lagi, "Umi tidak menyangka baju panjangnya menutupi semua kesakitan ini ... Zahra bukan anak yang bergaul bebas ..."

"Kemungkinan dari bekas lukanya, anak Umi mengalami pelecehan, Nak Ridwan. Sesak sekali dada Umi," kata Umi sambil memegangi dadanya.

Wanita tua itu benar-benar terguncang.

Ridwan jelas khawatir akan mempengaruhi kesehatan umi Aisyah. "Sabar umi, Tarik nafas dulu," katanya berusaha menenangkan.

Tiba-tiba saja, Umi Aisyah menggeleng. "J--jika kamu membatalkan khitbahmu, Umi persilahkan ... Jangan memaksakan diri, Nak. Anak umi sudah tidak suci lagi," jawabnya.

Kini, Umi Aisyah tidak mampu lagi menutupi isak tangisnya.

Cobaan yang sangat pedih harus Zahra jalani di hari yang sama bertubi-tubi.

Umi Aisyah tak mampu membayangkan perasaan dan hancurnya putri tercintanya dalam satu waktu sekaligus.

Hancur hatinya membayangkan sang putri tercinta diperlakukan seperti binatang melalui bekas luka yang tersisa.

Melihat keadaan yang semakin parah, Ridwan pun bersimpuh di kaki Umi Aisyah.

Dia bersujud di kaki Umi Aisyah dengan air mata penyesalan yang tak mampu dia bendung.

"U—umi ... A—ampuni Ridwan ... Ampun umi ...!" racau Ridwan dikaki umi Aisyah.

Tangis Umi Aisyah mereda. "Apa yang kamu lakukan, Nak?" tanya umi Aisyah mencoba membangunkan Ridwan.

"Ampun, Umi ... Ridwan bersalah, Umi!" racau Ridwan.

"Jelaskan! Jangan membuat umi binggung, Nak Ridwan!" jawab umi Aisyah tegas karena kepalanya pusing tak bisa berfikir jernih saat ini.

"T—tidak Umi, Ridwan memohon ampun, Umi. Hiiks, hiks ... Ridwan laki-laki brengsek itu ... Ridwan laki-laki iblis yang sangat kejam itu, Laki-laki gila itu, Umi." ungkap Ridwan terisak dikaki umi Aisyah.

"Apa maksud kamu, Ridwan ... Bangun! Jangan sujud pada umi, Sujud hanya pada Allah SWT. Jelaskan sekarang!" tegasnya.

Umi sontak terkejut mendengar penuturan Ridwan.

Ridwan yang mendengar suara umi Aisyah begitu tegas, membuatnya menjadi tersadar akan perilakunya.

Ridwan pun tetap duduk di lantai, tapi tidak menyentuh kaki umi Aisyah. Ridwan menegakkan punggungnya.

Kemudian menatap umi Aisyah dan mulai memantapkan hati apapun yang akan terjadi di depan.

Ridwan akan menghadapi untuk menebus kesalahannya.

Sekalipun umi Aisyah akan kehilangan kepercayaan dan kehilangan sayangnya pada dirinya.

"Maaf, Umi. Akulah laki-laki yang merenggut kesucian Zahra dengan kejam dan tanpa ampun." 

Seketika saja, mata Umi Aisyah membelalak. "Tidak mungkin! Ini pasti bohong, kan? Jawab umi, Nak! K--kenapa? T--tapi kenapa?" katanya dengan suara tinggi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status