Melihat tak ada pergerakan dari perempuan di hadapannya, Ridwan pun mengangkat tubuh Zahra.
Digendongnya Zahra ala bridal dan berlari menuju Dalem."Assalamu'alaikum, Umi!" panggil Ridwan sembari berusaha mengetuk pintu.
"Waalaikumsalam, Nak Ridwan ..." ucap Umi Aisyah yang terhenti kala menyadari sang putri ada di gendongan Ridwan, "Loh, Zahra kenapa?""Zahra pingsan di pemakaman, Umi," jawab Ridwan cepat."Baiklah. Bawa masuk ke kamarnya, Nak," kata Umi sambil mengekori Zahra.Ridwan kemudian keluar dari kamar Zahra setelah meletakkan perempuan itu di ranjangnya.Dia memilih duduk di kursi ruang tengah, depan kamar Zahra.Ditatapnya beberapa santri yang masih di ruang tamu untuk mendoakan Pak Kyai dan Bang Mail.Hanya saja, dia teringat bahwa ada janji dengan neneknya di Turki.Namun, ponselnya mati karena lupa diisi dayanya sejak masalah kemarin."Sebaiknya, aku menghubungi mama besok. Selepas acara dan masalah ini selesai, aku juga harus ke Turki" batin Ridwan dalam hati.Semua yang terjadi sangat tiba-tiba dan bertubi-tubi.Kehidupan Ridwan dan Zahra berubah total dalam kurun waktu 24 jam.Selang beberapa menit, sayup terdengar tangis umi Aisyah sambil keluar dari kamar Zahra.Sontak, Ridwan berlari menuju umi Aisyah dan dibelakangnya."Umi ... Ada apa? Kenapa umi menangis?" tanya Ridwan sambil tetap menjaga jarak dengan umi Aisyah."Apa Umi rindu Abah? Atau apa, Umi? Tolong beritahu Ridwan!" desak Ridwan kebingungan.Umi Aisyah tak kunjung menjawab pertanyaan Ridwan.Pipi Umi sudah basah dengan derasnya air matanya.Selain kesedihan, ada gurat kecewa di wajahnya."Mari ke belakang, Nak ... Ke dapur keluarga. Umi mau bicara sama kamu," kata Umi pelan sambil berjalan menuju meja makan.Deg!"Apa yang akan dibicarakan, Umi. Apa sangat penting?" batin Ridwan mengekori umi Aisyah dengan tetap menjaga jarak.Begitu tiba, Umi membuka percakapan, "Nak ridwan, Umi tidak tau apa yang harus umi bicarakan ... Umi ...!"Ucapannya terhenti karena tangis mendesaknya keluar terus-menerus."Pelan-pelan, Umi. Ridwan akan menunggu sampai umi siap berbicara," jawab Ridwan menenangkan umi Aisyah.
"Umi gak tau apa yang terjadi pada Zahra, tapi umi harus bicara mengingat Abah sudah menerima khitbah kamu Nak ... Dan menitipkan Zahra padamu. Umi tak ingin kamu kecewa!" kataUumi sambil mengusap air matanya setelah bisa menenangkan dirinya sendiri.Mendengar itu, Ridwan sontak terperanjat.Dicobanya menenangkan diri sebelum menjawab dengan yakin, "Iya, Umi ... Apapun yang terjadi, Ridwan akan memegang teguh janji Ridwan pada Abah.""Umi barusan mengganti baju Zahra, Nak. Umi begitu kaget melihat ujung bibir Zahra memar biru ... Umi juga menemukan ada beberapa bekas siksaan ...""A—ada beberapa tanda merah di dada dan pahanya. Hati umi semakin kalud dan tersayat ... Umi melihat memar diarea kewanitaannya dan bengkak...!" tambah Umi Aisyah.Tampak sekali, wanta tua itu mencoba menormalkan suara dan menahan tangis.Ridwan sendiri membelalakan mata.Bagaimana caranya mengakui bahwa iblis yang menyiksa Zahra adalah dirinya sendiri?Umi Aisyah bahkan sudah melihat semua jejak kejahatannya. "Umi tau itu apa nak," ucap wanita itu lagi, "Umi tidak menyangka baju panjangnya menutupi semua kesakitan ini ... Zahra bukan anak yang bergaul bebas ...""Kemungkinan dari bekas lukanya, anak Umi mengalami pelecehan, Nak Ridwan. Sesak sekali dada Umi," kata Umi sambil memegangi dadanya.Wanita tua itu benar-benar terguncang.
Ridwan jelas khawatir akan mempengaruhi kesehatan umi Aisyah. "Sabar umi, Tarik nafas dulu," katanya berusaha menenangkan.Kini, Umi Aisyah tidak mampu lagi menutupi isak tangisnya.
Cobaan yang sangat pedih harus Zahra jalani di hari yang sama bertubi-tubi.Umi Aisyah tak mampu membayangkan perasaan dan hancurnya putri tercintanya dalam satu waktu sekaligus.Hancur hatinya membayangkan sang putri tercinta diperlakukan seperti binatang melalui bekas luka yang tersisa.Melihat keadaan yang semakin parah, Ridwan pun bersimpuh di kaki Umi Aisyah.Dia bersujud di kaki Umi Aisyah dengan air mata penyesalan yang tak mampu dia bendung."U—umi ... A—ampuni Ridwan ... Ampun umi ...!" racau Ridwan dikaki umi Aisyah.Tangis Umi Aisyah mereda. "Apa yang kamu lakukan, Nak?" tanya umi Aisyah mencoba membangunkan Ridwan."Ampun, Umi ... Ridwan bersalah, Umi!" racau Ridwan."Jelaskan! Jangan membuat umi binggung, Nak Ridwan!" jawab umi Aisyah tegas karena kepalanya pusing tak bisa berfikir jernih saat ini."T—tidak Umi, Ridwan memohon ampun, Umi. Hiiks, hiks ... Ridwan laki-laki brengsek itu ... Ridwan laki-laki iblis yang sangat kejam itu, Laki-laki gila itu, Umi." ungkap Ridwan terisak dikaki umi Aisyah."Apa maksud kamu, Ridwan ... Bangun! Jangan sujud pada umi, Sujud hanya pada Allah SWT. Jelaskan sekarang!" tegasnya.Umi sontak terkejut mendengar penuturan Ridwan.Ridwan yang mendengar suara umi Aisyah begitu tegas, membuatnya menjadi tersadar akan perilakunya.Ridwan pun tetap duduk di lantai, tapi tidak menyentuh kaki umi Aisyah. Ridwan menegakkan punggungnya.Kemudian menatap umi Aisyah dan mulai memantapkan hati apapun yang akan terjadi di depan.Ridwan akan menghadapi untuk menebus kesalahannya.Sekalipun umi Aisyah akan kehilangan kepercayaan dan kehilangan sayangnya pada dirinya."Maaf, Umi. Akulah laki-laki yang merenggut kesucian Zahra dengan kejam dan tanpa ampun."Seketika saja, mata Umi Aisyah membelalak. "Tidak mungkin! Ini pasti bohong, kan? Jawab umi, Nak! K--kenapa? T--tapi kenapa?" katanya dengan suara tinggi.
Brak!Umi yang terkejut dan berdiri mendadak dengan nada tinggi tanpa sengaja menyenggol vas bunga dan jatuh. Ridwan buru-buru menjelaskan semua kronologi kejadian malam itu. Dia juga menjelaskan kenapa bisa menggauli Zahra dan meminum minuman keras. Umi Aisyah jelas terisak, membayangkan Zahra dalam posisi yang Ridwan ceritakan. "Zahraku ... Betapa jiwanya dan hatinya hancur, kesuciannya ternoda, harga dirinya lebur" tangis umi pecah. Ridwan hanya bisa meminta maaf, bibirnya tak bisa melakukan pembelaan lagi. Hanya kata maaf yang keluar dari lisan Ridwan. "Sholatlah taubat, tak ada alasan umi tidak memafaakanmu, karena Allah Maha Pemaaf. Mintalah maaf dan pengampunan Zahra. Segera nikahi Zahra!" titah umi Aisyah.Tanpa diduga, sedari tadi, Zahra menguping pembicaraan mereka. Dia sebenarnya takut terjadi sesuatu pada Uminya. Namun tanpa banyak bicara, wanita tua itu meninggalkan Ridwan sendirian dan masuk ke dalam kamarnya. Diam-diam, Umi Aisyah memenuhi malamnya dengan shola
"Alara kecewa karena kamu!" kesalnya.Ridwan hanya menatap Omanya dengan lembut. Dia yang baru keluar kamar mandi dan hanya memakai handuk yang melilit pinggang saja---mendekat ke arah oma.Ditaruhnya kepala yang masih basah itu dipundak sang Oma."Ridwan gak mau dijodohin oma," kata Ridwan lembut. "Ridwan udah ada calon!" lanjutnya"Ya sudah! Mana calon kamu? Jangan nunggu Oma dikubur dulu baru nikah!" jawab Oma cepat."Yuk kita ke kamar Oma, Ridwan mau tidur sama Oma." kata Ridwan mengalihkan pembicaraan."Dasar kamu ya, bayi tua! Persis seperti Opamu ... Jadi rindu opa. Yuk pakai baju dulu, udah besar gak punya malu!" ejek Oma. Ridwan pun menggoda Omanya dan berkata, "Gak mau, pakein oma aja!""Hahaha ... kamu gak malu udah tua juga!" jawab oma terpingkal-pingkal.Cucunya ini emang selalu bikin ketawa. "Tapi, belum punya istri, Oma," tambah Ridwan lagi."Hahahahha, makanya cari, dong!" jawab oma sambil terus jalan ke arah kamarnya."Ridwan melakukan kesalahan yang besar." jawab
Zahra memasuki area pondok Darrul Amin dengan langkah gontai menuju kediaman Hubabah Awiyah. Hubabah Awiyah adalah pimpinan pondok putri Darrul Amin, pondok yang terkenal sampai ke mancanegara. Tok! Tok! Tok! Zahra dengan gemetaran mengetuk pintu dan mengucap salam, "Assalamualaikum, Hubabah,""Waalaikumsalam warohmatulohi wabarakatuh, Siapa?" tanya Hubabah dari balik bilik rumahnya. Jantung Zahra berdebar mendengar suara Hubabah Awiyah, "Zahra, Hubabah,""MasyaAllah, Nak ... Ayo masuk, Zahra—" "Hubabah—" Zahra tak mampu melanjutkan ucapannya dan langsung bersimpuh dikaki Hubabah. Menyandarkan kepalanya dipaha Hubabah Awiyah yang sudah menganggapnya putri selama ini. Hubabah Awiyah terlihat kebingungan dan memilih untuk membelai kepala Zahra. "Tenangkan dirimu, Nak!" kata Hubabah. "Hubabah, Abah dan Abang berpulang pada sang khalik, dan Zahra—" Zahra diam sebentar sambil menarik niqab yang dikenakannya.Hubabah Awiyah terkejut dengan kondisi wajah gadis yang sangat disayangn
Sudut bibir Ridwan hingga berdarah karena pukulan bang Yusuf yang membabi buta. "Itu untuk sudut bibir Zahra yang akan memar berminggu-minggu!" kata Yusuf. Yusuf kembali melayangkan pukulan demi pukulan pada tubuh Ridwan hingga dadanya naik turun. "Dan itu untuk kelakuan binatangmu!" Yusuf menyeringai sambil mengibaskan tangannya seperti sedang membersihkan kotoran yang menempel. Ridwan diam menerima pukulan demi pukulan itu, tanpa membalas.Ridwan merasa dirinya pantas mendapatkan lebih dari ini. Ridwan memang bersalah dan dia merasa layak menerima hukuman lebih dari ini. "Ayo balaslah ... Kenapa diam saja! Kamu mati kalau tak membalas!" pekik Bang Yusuf dengan mata nyalang. "Aku pantas mendapatkan ini, Bang," lirih Ridwan. "Bulshit—"Bang Yusuf tak melanjutkan lagi umpatannya dan memilih menerjang kembali Ridwan dengan penuh tenaga. Hingga Yusuf duduk terengah-enga
Sedangkan dari jendela lantai tiga, Zahra sedang melihat pria yang diseret oleh dua aparat itu. Zahra melihat ekspresi marah dan frustasi Ridwan. Tapi tak membuat Zahra berbelas kasih dan ingin menemui Ridwan. 'Biarlah kita berjalan di jalan kita masing-masing kak,' batinya.Hingga tepukan dipundaknya menyadarkan Zahra kembali dari lamunannya. "Apa kamu berubah fikiran dan menerima pertanggungjawaban pria tadi?" tanya Hubabah Awiyah setelah mengucap salam. "Tidak Hubabah, Jalan kami berbeda. Biarkan Zahra mengabdikan diri Zahra di sini!" jawab Zahra dengan tatapan penuh harap. Hubabah Awiyah langsung memeluknya erat. "Panggillah Umi, Ra, seperti Sahira!" perintah Hubabah Awiyah. Sahira adalah putri bungsu Hubabah Awiyah. Hubabah memiliki dua putra dan putri, yaitu Syarif Ali dan Syarifah Sahira. "Baik, Umi."Zahra kini mantap memanggil Hubabah Awiyah dengan sebutan Umi setelah beberapa kali Hubabah meminta. Zahra sebelumnya tidak enak memanggil guru besarnya dengan sebutan U
Ridwan yang tidak menyadari keberadaan Papanya itu terhuyung ke belakang akibat bogeman mentah sang Papa. Ameer diliputi amarah dan kembali menyerang sambil berseru, "Bajingan kamu, Ridwan!" Tidak ada perlawanan sedikitpun dari Ridwan. "Kamu akan membuat Zahra semakin membencimu, Ridwan!" lirih Ameer saat sambil menetralkan nafasnya. Ameer sangat tersiksa melihat putranya seperti ini, tapi semuanya adalah hasil dari kesalahannya sendiri. Ameer juga tidak akan membiarkan anaknya memperdalam kesalahannya. Ridwan hanya diam, tak menjawab perkataan papanya. "Jika kamu merasa bersalah, datang dengan baik. Jika belum bisa, langit kan doa agar Allah melembutkan hati Zahra dan memaafkanmu," kata Ameer. Amer menatap putra semata wayangy itu, "Bukan begini caranya, Nak!" lanjutnya. Ameer paham sekali apa yang dirasakan Ridwan, karen Ridwan adalah duplikatnya. Kalau sudah cinta, tidak akan bisa
Tes! Tes! Darah mengalir dari lengan tangan Zahra. Sedangkan tubuhnya terhempas ke dalam pelukan Umi Awiyah.Umi Awiyah yang kebetulan lewat melihat hal gila yang sedang coba dilakukan oleh Zahra. sehingga, Umi Awiyah berlari menarik tangan Zahra yang akan diiris. Pisau itu tidak mengenai urat nadi, akan tetapi tetap menggores lengan Zahra, tidak terlalu dalam. "Tolong!" teriak Umi Awiyah sambil memeluk Zahra yang sudah tidak sadarkan diri. Umi Awiyah sudah terduduk menopang tubuh Zahra. Tak lama, santri-santri datang mendengar teriakan Umi Awiyah dan segera membantu Zahra membawa ke Lahanat Kesehatan. Zahra langsung ditangani oleh petugas medis pondok. Dua jam lamanya Umi Awiyah menunggu, akhirnya petugas medis keluar.Umi Awiyah tergopoh-gopoh berdiri dan langsung bertanya, "Bagaimana, San?" "Sudah dijahit lukanya, Hubabah. Akan tetapi ustadzah Zahra shock jadi masih t
Zen membawa Marisa ke sebuah rumah tua yang nampak seperti lama tidak dihuni. "Apa benar Ridwan menungguku di sini, Zen?" tanya Marisa kebingungan. Rumah itu terlihat sangat menyeramkan. Banyak semak belukar dan dan bangunan yang sudah roboh di beberapa sudut. Zen tidak menjawab sedikitpun, dia terus berjalan masuk menuju rumah tua itu. Marisa terus mengikuti Zen sambil terus meracau, "Jangan menakutiku, Zen!"Cklek! Zen megunci pintu saat memasuki rumah tua itu. Marisa terkejut hingga memekik, "Kenapa dikunci? Zen kamu jangan macam-macam!" Zen tak menjawab satupun ucapan Marisa, dia memilih terus berjalan menuju bagian belakang rumah tua itu. Hingga sampai di satu sudut, yang terlihat Ridwan duduk seorang diri. "Ridwan!" pekik Marisa dengan mata berbinar. Ridwan hanya diam sambil melihat Marisa dengan dingin. "Maafkan aku, An. Aku tidak tau ada seseorang