Brak!
Umi yang terkejut dan berdiri mendadak dengan nada tinggi tanpa sengaja menyenggol vas bunga dan jatuh.Ridwan buru-buru menjelaskan semua kronologi kejadian malam itu.Dia juga menjelaskan kenapa bisa menggauli Zahra dan meminum minuman keras.Umi Aisyah jelas terisak, membayangkan Zahra dalam posisi yang Ridwan ceritakan."Zahraku ... Betapa jiwanya dan hatinya hancur, kesuciannya ternoda, harga dirinya lebur" tangis umi pecah.Ridwan hanya bisa meminta maaf, bibirnya tak bisa melakukan pembelaan lagi.Hanya kata maaf yang keluar dari lisan Ridwan."Sholatlah taubat, tak ada alasan umi tidak memafaakanmu, karena Allah Maha Pemaaf. Mintalah maaf dan pengampunan Zahra. Segera nikahi Zahra!" titah umi Aisyah.Tanpa diduga, sedari tadi, Zahra menguping pembicaraan mereka. Dia sebenarnya takut terjadi sesuatu pada Uminya. Namun tanpa banyak bicara, wanita tua itu meninggalkan Ridwan sendirian dan masuk ke dalam kamarnya.Diam-diam, Umi Aisyah memenuhi malamnya dengan sholat sunnah dan zikir.Hati Umi begitu berkecamuk.Sakit akan kehilangan Ismail juga Abah, dan harus menerima kenyataan bahwa putri satu-satunya mendapat musibah sedemikian rupa.Umi berpasrah sepenuhnya dan ikhlas akan jalan hidup yang Allah garis kan.Jika iman dipegang, agama kuat mengakar dalam hati, mereka tau semua milik Allah dan akan kembali pada Allah.Mereka tahu dunia ini sementara dan akhirat kekal.Mereka tahu cinta Allah dan Rasul di atas segala cinta di muka bumi ini. Apapun kehilangan yang dirasa, tidak akan membuat kita menyalahkan Allah.Jadi, Umi meminta kasih sayang Allah untuk anaknya--untuk menguatkan langkah anaknya dan mengokohkan iman anaknya."Ya illahi Rabbi, hanya kepada-Mu hamba akan kembali, hanya kepada-Mu hamba meminta belas kasih, meminta pengampunan untuk semua dosa hamba, hamba pasrah dan ikhlas untuk semua ketetapan-Mu ya Rabb.""Ya rabb pandang hamba dengan pandangan kasih sayang, jangan engkau paling kan wajah dari hamba-Mu. bantu putri hamba ya Rabb"Begitu khusyuk doa dan air mata yang terus mengalir menandakan hancurnya hati seorang ibu.Dia meratap, mengadukan segala masalah, dan mengemis pertolongan pada sang pencipta.****Sementara itu di Istanbul, Turki.Papa Ameer dan mama Sofiya sedang terus berusaha menghubungi putra mereka.Sudah dua hari, ponsel Ridwan tidak aktif.Ketika menghubungi asisten pribadi Ridwan, dia juga tidak tahu.Ridwan memang berangkat sendiri ke Surabaya untuk menjemput kekasihnya. Namun, ia berjanji menuju Turki bersama.Tut!"Pah, akhirnya aktif!" seru Mama Sofiya kegirangan"Alhamdulillah," jawab Papa Ameer lega.Setelah dua kali menghubungi, Ridwan pun mengangkat telepon.
"Assalamualaikum, Mah" salam Ridwan diujung panggilan.
"Waalaikumsalam, Sayang. Kamu kemana aja? ... Kapan sampai Turki?" tanya Mama Sofiya."Hehe maaf, Mah. Ridwan ada urusan!" jawabnya."Urusan apa nak? Oma nungguin kamu!" kesal Mama Sofiya."Jika selesai, Ridwan akan segera menyusul," katanya.Sofiya mengerutkan kening. "Sekarang, Nak. Oma gak mau makan dari kemarin setelah tau kalau Mama dan Papa datang tanpa kamu!" desaknya."Ridwan sudah gak sayang oma ... Jangan dipaksa sofiya. Aku cukup senang kalau dia bisa datang dipemakamanku!"Suara Oma tiba-tiba terdengar dari belakang.
Jantung Ridwan sontak berdetak tak beraturan.Wanita tua yang dihormatinya itu memang kesehatannya sedang tidak baik. Dia bahkan meminta Ridwan segera menemuinya. "Enggak oma, Ridwan sayang oma. Oke Ridwan berangkat sekarang, tapi oma makan, ya?" "Oke, Sayang, Mama tunggu," jawab Mama Sofiya cepat, "Oma bilang mau makan kalau kamu kirim tiket kamu!"Tut!Tak lama, telepon terputus.Ridwan yang ada di asrama pondok pun bergegas ke rumah Umi Aisyah.Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari, akan tetapi Ridwan harus pamit pada Umi Aisyah.Tok! Tok! Tok!Cklek!"Ada apa nak Ridwan? Kenapa tidak tidur jam segini?" kata Umi Aisyah setelah saling menjawab salam.Dengan cepat, Ridwan pun menjelaskan pada Umi jika harus pergi menuju Turki.Pria itu sebenarnya berniat mengajak Zahra, tetapi ia sadar diri bahwa wanitanya itu butuh waktu untuk menenangkan diri.Mendengar itu, Umi Aisyah pun mengijinkan Ridwan pergi menemui Omanya yang marah."Ridwan berangkat, ya, Umi. Assalamualaikum!" salam Ridwan.
"Waalaikumsalam," jawab Umi.Begitulah, dua belas jam perjalanan Jakarta-Istanbul, Ridwan yang menguras energi dimualai.Akhirnya Ridwan sampai ke rumah omanya.
Dimasukinya area Mansion keluarga yang sangat besar. "Assalamualaikum, Oma!" seru Ridwan memasuki mansion."Waalaikumsalam."Keempat orang berjalan mendekati Ridwan dari arah ruang keluarga."Ya Allah cucu ganteng Oma kenapa berantakan begini?" kata Omah sambil meraba kepala rambut dan wajah Ridwan.Ridwan seketika menyadari bahwa hampir dua hari ini Ridwan tidak mandi dan berganti pakaian.Namun, dia menormalkan ekspresi dan tersenyum hangat. "Ini semua karena Ridwan langsung berangkat demi ketemu Oma. Kenapa Oma gak mau makan?" gerutunya sedikit manja pada sang Oma."Sudah tua juga! Ada tamu itu kamu gak malu!" ejek Omanya.Namun, semua tahu bahwa wanita itu sangat senang dengan sikap manja Ridwan.Hanya saja, kehangatan itu berhenti ketika Ridwan tak sengaja menatap perempuan cantik berkerudung merah jambu di dekat sang Oma yang tak pernah dilihatnya.Seolah tahu kebingungan sang cucu, Oma pun berkata, "Itu kenalin, cucu teman Oma. Dia baru lulus S2-nya di Maroko." Diberikannya tatapan menggoda pada Ridwan.Namun, wajah pria itu berubah dingin. "Jangan bilang, Oma mau jodohin Ridwan?"Meski tak menjawab, Ridwan tahu jawabannya."Ridwan menolak. Ridwan mau ke kamar!" Diciumnya sang nenek, lalu jalan ke kamar.
"Dasar anak itu! ... Jangan diambil hati ya, Lara!" kata Oma pada gadis itu.
Alara Halime Yildiz tersenyum. "Iya Oma, tak apa."Hanya saja, putri tunggal dari keluarga terkenal di Turki dengan kekayaan dan keislaman itu dapat merasakan penolakan secara langsung Ridwan."Mungkin, Ridwan butuh waktu," ucapnya lagi, "Lara pulang dulu oma."
"Maafkan Ridwan ya, Lara!" jawab oma tak enak.
Alara hanya mengangguk sembari mempertahankan senyumnya.Tak lama, ia pulang.Hanya saja, Oma merasa dipermalukan di depan cucu keluarga terpandang oleh Ridwan.Dia pun bergegas menemui pria itu.Cklek!"BAGUS SEKALI, Ridwan Ameer Kharaman!" ucap wanita tua itu, "siapa yang mengajarimu untuk tidak sopan seperti tadi?""Alara kecewa karena kamu!" kesalnya.Ridwan hanya menatap Omanya dengan lembut. Dia yang baru keluar kamar mandi dan hanya memakai handuk yang melilit pinggang saja---mendekat ke arah oma.Ditaruhnya kepala yang masih basah itu dipundak sang Oma."Ridwan gak mau dijodohin oma," kata Ridwan lembut. "Ridwan udah ada calon!" lanjutnya"Ya sudah! Mana calon kamu? Jangan nunggu Oma dikubur dulu baru nikah!" jawab Oma cepat."Yuk kita ke kamar Oma, Ridwan mau tidur sama Oma." kata Ridwan mengalihkan pembicaraan."Dasar kamu ya, bayi tua! Persis seperti Opamu ... Jadi rindu opa. Yuk pakai baju dulu, udah besar gak punya malu!" ejek Oma. Ridwan pun menggoda Omanya dan berkata, "Gak mau, pakein oma aja!""Hahaha ... kamu gak malu udah tua juga!" jawab oma terpingkal-pingkal.Cucunya ini emang selalu bikin ketawa. "Tapi, belum punya istri, Oma," tambah Ridwan lagi."Hahahahha, makanya cari, dong!" jawab oma sambil terus jalan ke arah kamarnya."Ridwan melakukan kesalahan yang besar." jawab
Zahra memasuki area pondok Darrul Amin dengan langkah gontai menuju kediaman Hubabah Awiyah. Hubabah Awiyah adalah pimpinan pondok putri Darrul Amin, pondok yang terkenal sampai ke mancanegara. Tok! Tok! Tok! Zahra dengan gemetaran mengetuk pintu dan mengucap salam, "Assalamualaikum, Hubabah,""Waalaikumsalam warohmatulohi wabarakatuh, Siapa?" tanya Hubabah dari balik bilik rumahnya. Jantung Zahra berdebar mendengar suara Hubabah Awiyah, "Zahra, Hubabah,""MasyaAllah, Nak ... Ayo masuk, Zahra—" "Hubabah—" Zahra tak mampu melanjutkan ucapannya dan langsung bersimpuh dikaki Hubabah. Menyandarkan kepalanya dipaha Hubabah Awiyah yang sudah menganggapnya putri selama ini. Hubabah Awiyah terlihat kebingungan dan memilih untuk membelai kepala Zahra. "Tenangkan dirimu, Nak!" kata Hubabah. "Hubabah, Abah dan Abang berpulang pada sang khalik, dan Zahra—" Zahra diam sebentar sambil menarik niqab yang dikenakannya.Hubabah Awiyah terkejut dengan kondisi wajah gadis yang sangat disayangn
Sudut bibir Ridwan hingga berdarah karena pukulan bang Yusuf yang membabi buta. "Itu untuk sudut bibir Zahra yang akan memar berminggu-minggu!" kata Yusuf. Yusuf kembali melayangkan pukulan demi pukulan pada tubuh Ridwan hingga dadanya naik turun. "Dan itu untuk kelakuan binatangmu!" Yusuf menyeringai sambil mengibaskan tangannya seperti sedang membersihkan kotoran yang menempel. Ridwan diam menerima pukulan demi pukulan itu, tanpa membalas.Ridwan merasa dirinya pantas mendapatkan lebih dari ini. Ridwan memang bersalah dan dia merasa layak menerima hukuman lebih dari ini. "Ayo balaslah ... Kenapa diam saja! Kamu mati kalau tak membalas!" pekik Bang Yusuf dengan mata nyalang. "Aku pantas mendapatkan ini, Bang," lirih Ridwan. "Bulshit—"Bang Yusuf tak melanjutkan lagi umpatannya dan memilih menerjang kembali Ridwan dengan penuh tenaga. Hingga Yusuf duduk terengah-enga
Sedangkan dari jendela lantai tiga, Zahra sedang melihat pria yang diseret oleh dua aparat itu. Zahra melihat ekspresi marah dan frustasi Ridwan. Tapi tak membuat Zahra berbelas kasih dan ingin menemui Ridwan. 'Biarlah kita berjalan di jalan kita masing-masing kak,' batinya.Hingga tepukan dipundaknya menyadarkan Zahra kembali dari lamunannya. "Apa kamu berubah fikiran dan menerima pertanggungjawaban pria tadi?" tanya Hubabah Awiyah setelah mengucap salam. "Tidak Hubabah, Jalan kami berbeda. Biarkan Zahra mengabdikan diri Zahra di sini!" jawab Zahra dengan tatapan penuh harap. Hubabah Awiyah langsung memeluknya erat. "Panggillah Umi, Ra, seperti Sahira!" perintah Hubabah Awiyah. Sahira adalah putri bungsu Hubabah Awiyah. Hubabah memiliki dua putra dan putri, yaitu Syarif Ali dan Syarifah Sahira. "Baik, Umi."Zahra kini mantap memanggil Hubabah Awiyah dengan sebutan Umi setelah beberapa kali Hubabah meminta. Zahra sebelumnya tidak enak memanggil guru besarnya dengan sebutan U
Ridwan yang tidak menyadari keberadaan Papanya itu terhuyung ke belakang akibat bogeman mentah sang Papa. Ameer diliputi amarah dan kembali menyerang sambil berseru, "Bajingan kamu, Ridwan!" Tidak ada perlawanan sedikitpun dari Ridwan. "Kamu akan membuat Zahra semakin membencimu, Ridwan!" lirih Ameer saat sambil menetralkan nafasnya. Ameer sangat tersiksa melihat putranya seperti ini, tapi semuanya adalah hasil dari kesalahannya sendiri. Ameer juga tidak akan membiarkan anaknya memperdalam kesalahannya. Ridwan hanya diam, tak menjawab perkataan papanya. "Jika kamu merasa bersalah, datang dengan baik. Jika belum bisa, langit kan doa agar Allah melembutkan hati Zahra dan memaafkanmu," kata Ameer. Amer menatap putra semata wayangy itu, "Bukan begini caranya, Nak!" lanjutnya. Ameer paham sekali apa yang dirasakan Ridwan, karen Ridwan adalah duplikatnya. Kalau sudah cinta, tidak akan bisa
Tes! Tes! Darah mengalir dari lengan tangan Zahra. Sedangkan tubuhnya terhempas ke dalam pelukan Umi Awiyah.Umi Awiyah yang kebetulan lewat melihat hal gila yang sedang coba dilakukan oleh Zahra. sehingga, Umi Awiyah berlari menarik tangan Zahra yang akan diiris. Pisau itu tidak mengenai urat nadi, akan tetapi tetap menggores lengan Zahra, tidak terlalu dalam. "Tolong!" teriak Umi Awiyah sambil memeluk Zahra yang sudah tidak sadarkan diri. Umi Awiyah sudah terduduk menopang tubuh Zahra. Tak lama, santri-santri datang mendengar teriakan Umi Awiyah dan segera membantu Zahra membawa ke Lahanat Kesehatan. Zahra langsung ditangani oleh petugas medis pondok. Dua jam lamanya Umi Awiyah menunggu, akhirnya petugas medis keluar.Umi Awiyah tergopoh-gopoh berdiri dan langsung bertanya, "Bagaimana, San?" "Sudah dijahit lukanya, Hubabah. Akan tetapi ustadzah Zahra shock jadi masih t
Zen membawa Marisa ke sebuah rumah tua yang nampak seperti lama tidak dihuni. "Apa benar Ridwan menungguku di sini, Zen?" tanya Marisa kebingungan. Rumah itu terlihat sangat menyeramkan. Banyak semak belukar dan dan bangunan yang sudah roboh di beberapa sudut. Zen tidak menjawab sedikitpun, dia terus berjalan masuk menuju rumah tua itu. Marisa terus mengikuti Zen sambil terus meracau, "Jangan menakutiku, Zen!"Cklek! Zen megunci pintu saat memasuki rumah tua itu. Marisa terkejut hingga memekik, "Kenapa dikunci? Zen kamu jangan macam-macam!" Zen tak menjawab satupun ucapan Marisa, dia memilih terus berjalan menuju bagian belakang rumah tua itu. Hingga sampai di satu sudut, yang terlihat Ridwan duduk seorang diri. "Ridwan!" pekik Marisa dengan mata berbinar. Ridwan hanya diam sambil melihat Marisa dengan dingin. "Maafkan aku, An. Aku tidak tau ada seseorang
Umi Awiyah kemudian memeluk Zahra dengan erat. Umi Awiyah tau jika Zahra mencintai laki-laki tersebut. "Jodoh tidak akan kemana, Nak. Tapi, melihat kegigihannya dulu rasanya susah dipercaya jika menyerah begitu saja," jawab Umi Awiyah. Zahra tahu jika tak ada lagi yang mengintainya. Ridwan tidak lagi menyuruh orang untuk mengawasinya. Zahra menghela nafas beratnya, "Zahra tidak memikirkan perihal jodoh, Umi. Siapa yang mau dengan wanita seperti Zahra," "Banyak. Ali juga beberapa kali mengirimkan lamaran untukmu, bukan?" jawab Umi Awiyah. Setelah Zahra dinyatakan hamil, Habib Ali mengirimkan lamaran untuk menjaga marwa Zahra. Habib Ali paham agama dan apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan setelah menikah nanti. Namun, Zahra menolak terang-terangan lamaran itu. Zahra menoleh dan tersenyum manis, "Habib Ali pantas mendapatkan yang terbaik, Umi. Zahra tak lagi utuh. Zahra tak ingi