"Abah ingin memegang putra dan putri Abah, Nduk." jawab Abah pelan.
"Ampuni Zahra ya, Bah. Ini semua karena Zahra., kata Zahra sambil mencium tangan dan pipi Abahnya.Zahra memeluk cinta pertamanya itu dengan erat sekali, seolah dia sangat takut Abah pergi."Ini adalah ketetapan Allah, Nak. Sakit sekali ... Tapi kita harus berusaha ikhlas," kata Abah menguatkan Zahra walau sebenarnya hatinya sangat hancur.Tak butuh waktu lama, jenazah Mail pun diantar ke makan keluarga yang berada di dalam pondok,
Setelah serangkaian doa selesai, Ridwan pun ikut memikul dan masuk ke liang lahat untuk memastikan jenazah sahabatnya nyaman di peristirahatan panjangnya.
Sementara itu, Zahra dan seluruh orang mengiring kepergian Mail dengan senyum air mata.
Mereka tersenyum melihat wajah berseri dan senyum Ismail. Namun, air mata tak bisa berbohong untuk tidak menetes.Ridwan memutuskan untuk menetap beberapa hari di pondok untuk menunggu waktu untuk bertanggungjawab pada Azzahra.Hanya saja, satu jam setelah selesai mengurus jenazah Mail, salah satu santri memangil Ridwan untuk segera menemui Abah.Ridwan berlari dari asrama menuju Dalem (Rumah Kyai) karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan.Dia segera memberi salah dan Umi mempersilahkan Ridwan menuju pembaringan Abah.Namun begitu tiba di depan pintu kamar Abah, Ridwan melihat Zahra sedang duduk di sisi beliau sambil memegang tangannya."Kamu sudah datang, Nak?" tanya Abah menyadarkan Ridwan dari pikirannya."Iya, Bah," jawab pria itu pelan sambil menunduk layaknya seorang santri pada gurunya.Di sisi lain, Zahra pun berdiri dan menjauh dari Abah menuju ujung ruangan.Hanya saja, Ridwan bisa merasakan sorot mata Zahra padanya yang masih tersirat kebencian, kekecewaan dan Kesedihan."Nak Ridwan, terima kasih sudah mengurus semua keperluan jenazah Mail. Sungguh, Abah berterima kasih," kata Abah lagi.Ridwan menggeleng cepat. "Tidak, Abah. Ridwanlah yang harus meminta maaf atas kesalahan Ridwan. Ampuni Ridwan, Ridwan sudah sangat mengecewakan Abah."Dirinya teringat kejadian malam itu. Dosa Ridwan sangatlah besar karena telah menodai putri kecil yang sangat disayangi Abah.
"Tidak, Nak, kamu laki-laki baik. Seperti yang kamu ucapkan di rumah sakit, Nak, Abah menerima khitbahmu akan putri Abah.""Abah titip Zahra ya Nak, jangan pernah sakiti Zahra. Abah rasa, Abah sudah tidak lama lagi Nak," kata Abah.
Mendengar itu, jantung Ridwan langsung berlomba untuk keluar dari tubuh.Ridwan sangat bingung, haruskah Ridwan mengakui semuanya pada Abah yang akan mengakibatkan hal fatal?Atau ... lebih baik dia diam menunggu waktu yang tepat?Namun, Ridwan takut jika waktu itu tak bisa menunggunya.
"Tidak Abah, jangan seperti ini. Kita jaga Zahra sama-sama. Abahi harus menjadi wali nikah kami!" jawab Ridwan pada akhirnya."Abah percayakan Zahra padamu, Nak. Abah sudah melihat cahaya itu ... Cahaya kematian Abah." lirih Abah sambil tersenyum.Umi Aisyah yang ternyata sedari tadi di pintu, tiba-tiba saja menghampiri mereka.
"Abah, jangan tinggalkan umi! Bagaimana umi kuat kehilangan Mail dan Abah sekaligus?" kata wanita tua itu sambil menangis.Umi Aisyah terlihat begitu sedih."Umi ... jodoh, maut, rezeki sudah ketetapan Allah. Abah tunggu Umi di sana, ya? Umi harus tabah mendampingi Zahra. Tersenyumlah bidadariku, Abah selalu ridho pada umi," kata Abah sambil membelai pipi Umi Aisyah."A--abah," ucap wanita itu menhanan tangis, "Umi juga ridho pada Abah. Abah suami yang sholeh, sungguh telah mengambil umi dalam keadaan baik, memperlakukan umi dengan baik penuh kasih sayang," kata Umi Aisyah sambil memeluk Abah.
Semua itu tak luput dari pandangan mata Ridwan.
Dia diam mematung karena tak tau harus berkata atau melakukan apapun.
Hanya saja, rasa bersalah Ridwan kian menggunung.
Terlebih kala menyadari Zahra juga sudah masuk ke ruangan itu. Perempuan cantik itu juga ikut luruh, menangis dalam dekapan orang tuanya.
"Abah ... Zahra baru saja bertemu Abah. Jangan tinggalkan Zahra, Bah," katanya di sela-sela tangisnya.Hanya saja, tidak ada yang bisa melawan ketetapan sang pemilik bumi.Menjelang magrib, Abah benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengucapkan kalimat cinta pada istri dan putrinya.
Pria tua itu pergi selamanya tanpa tahu kebenaran akan kejadian yang menimpa Azzahra karena Ridwan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri.Ada sesak dalam dada yang tak bisa dijelaskan Ridwan saat ini.Ditambah lagi, mendengar isak tangis Zahra yang menyayat hati.
Rasanya, Ridwan ingin sekali merengkuhnya dalam pelukannya.
Namun, dia tak berani melakukannya.******Malam itu juga, jenazah Abah dikebumikan tanpa menunggu lebih lama lagi.
Para pelayat tampak berduka.
Dua orang baik yang mereka kenal dikuburkan di hari yang sama.
Hanya saja, hidup harus terus berjalan. Jadi setelah prosesi pemakaman, pelayat pun pulang satu per satu.
Akan tetapi, Zahra bersikukuh ingin ditinggal sendirian di sana meski langit sudah gelap.
Cahaya lampu temaram menemani perempuan itu yang masih saja bersimpuh di antara makam sang kakak dan abah. Dia menangis terisak sambil membaca surat yasin seorang diri.
"Kenapa tidak nyawa saya saja ya Rabb! Hambamu ini sudah kotor ...!" lirih Zahra dengan derai air mata.
Semua keadaan yang Zahra harus lewati seakan sangat menghimpitnya.Noda yang ditorehkan oleh laki-laki masak kecilnya, kepergian Abah, dan kepergian kakaknya."Hambamu telah kotor, Ya Rabb. Lebih baik, Kau jemput hamba-Mu ini juga!" racau Zahra seorang diri.
Sesak di dada Zahra semakin terasa.Tiba-tiba saja pandangannya kabur.Bruk!Perempuan itu pun terjatuh menelungkup dan pingsan.Ridwan yang sedari tadi menungguinya diam-diam pun terkejut."Zahra!" teriaknya.
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s