Share

5. Pergi

"Abah ingin memegang putra dan putri Abah, Nduk." jawab Abah pelan.

"Ampuni Zahra ya, Bah. Ini semua karena Zahra., kata Zahra sambil mencium tangan dan pipi Abahnya.

Zahra memeluk cinta pertamanya itu dengan erat sekali, seolah dia sangat takut Abah pergi.

"Ini adalah ketetapan Allah, Nak. Sakit sekali ... Tapi kita harus berusaha ikhlas," kata Abah menguatkan Zahra walau sebenarnya hatinya sangat hancur.

Tak butuh waktu lama, jenazah Mail pun diantar ke makan keluarga yang berada di dalam pondok,

Setelah serangkaian doa selesai, Ridwan pun ikut memikul dan masuk ke liang lahat untuk memastikan jenazah sahabatnya nyaman di peristirahatan panjangnya.

Sementara itu, Zahra dan seluruh orang mengiring kepergian Mail dengan senyum air mata.

Mereka tersenyum melihat wajah berseri dan senyum Ismail. Namun, air mata tak bisa berbohong untuk tidak menetes.

Ridwan memutuskan untuk menetap beberapa hari di pondok untuk menunggu waktu untuk bertanggungjawab pada Azzahra.

Hanya saja, satu jam setelah selesai mengurus jenazah Mail, salah satu santri memangil Ridwan untuk segera menemui Abah.

Ridwan berlari dari asrama menuju Dalem (Rumah Kyai) karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan.

Dia segera memberi salah dan Umi mempersilahkan Ridwan menuju pembaringan Abah.

Namun begitu tiba di depan pintu kamar Abah, Ridwan melihat Zahra sedang duduk di sisi beliau sambil memegang tangannya.

"Kamu sudah datang, Nak?" tanya Abah menyadarkan Ridwan dari pikirannya.

"Iya, Bah," jawab pria itu pelan sambil menunduk layaknya seorang santri pada gurunya.

Di sisi lain, Zahra pun berdiri dan menjauh dari Abah menuju ujung ruangan.

Hanya saja, Ridwan bisa merasakan sorot mata Zahra padanya yang masih tersirat kebencian, kekecewaan dan Kesedihan.

"Nak Ridwan, terima kasih sudah mengurus semua keperluan jenazah Mail. Sungguh, Abah berterima kasih," kata Abah lagi.

Ridwan menggeleng cepat. "Tidak, Abah. Ridwanlah yang harus meminta maaf atas kesalahan Ridwan. Ampuni Ridwan, Ridwan sudah sangat mengecewakan Abah."

Dirinya teringat kejadian malam itu. Dosa Ridwan sangatlah besar karena telah menodai putri kecil yang sangat disayangi Abah.

"Tidak, Nak, kamu laki-laki baik. Seperti yang kamu ucapkan di rumah sakit, Nak, Abah menerima khitbahmu akan putri Abah."

"Abah titip Zahra ya Nak, jangan pernah sakiti Zahra. Abah rasa, Abah sudah tidak lama lagi Nak," kata Abah.

Mendengar itu, jantung Ridwan langsung berlomba untuk keluar dari tubuh.

Ridwan sangat bingung, haruskah Ridwan mengakui semuanya pada Abah yang akan mengakibatkan hal fatal?

Atau ... lebih baik dia diam menunggu waktu yang tepat?

Namun, Ridwan takut jika waktu itu tak bisa menunggunya.

"Tidak Abah, jangan seperti ini. Kita jaga Zahra sama-sama. Abahi harus menjadi wali nikah kami!" jawab Ridwan pada akhirnya.

"Abah percayakan Zahra padamu, Nak. Abah sudah melihat cahaya itu ... Cahaya kematian Abah." lirih Abah sambil tersenyum.

Umi Aisyah yang ternyata sedari tadi di pintu, tiba-tiba saja menghampiri mereka.

"Abah, jangan tinggalkan umi! Bagaimana umi kuat kehilangan Mail dan Abah sekaligus?" kata wanita tua itu sambil menangis.

Umi Aisyah terlihat begitu sedih.

"Umi ... jodoh, maut, rezeki sudah ketetapan Allah. Abah tunggu Umi di sana, ya? Umi harus tabah mendampingi Zahra. Tersenyumlah bidadariku, Abah selalu ridho pada umi," kata Abah sambil membelai pipi Umi Aisyah.

"A--abah," ucap wanita itu menhanan tangis, "Umi juga ridho pada Abah. Abah suami yang sholeh, sungguh telah mengambil umi dalam keadaan baik, memperlakukan umi dengan baik penuh kasih sayang," kata Umi Aisyah sambil memeluk Abah.

Semua itu tak luput dari pandangan mata Ridwan.

Dia diam mematung karena tak tau harus berkata atau melakukan apapun.

Hanya saja, rasa bersalah Ridwan kian menggunung.

Terlebih kala menyadari Zahra juga sudah masuk ke ruangan itu. Perempuan cantik itu juga ikut luruh, menangis dalam dekapan orang tuanya.

"Abah ... Zahra baru saja bertemu Abah. Jangan tinggalkan Zahra, Bah," katanya di sela-sela tangisnya.

Hanya saja, tidak ada yang bisa melawan ketetapan sang pemilik bumi.

Menjelang magrib, Abah benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengucapkan kalimat cinta pada istri dan putrinya.

Pria tua itu pergi selamanya tanpa tahu kebenaran akan kejadian yang menimpa Azzahra karena Ridwan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri.

Ada sesak dalam dada yang tak bisa dijelaskan Ridwan saat ini.

Ditambah lagi, mendengar isak tangis Zahra yang menyayat hati.

Rasanya, Ridwan ingin sekali merengkuhnya dalam pelukannya.

Namun, dia tak berani melakukannya.

******

Malam itu juga, jenazah Abah dikebumikan tanpa menunggu lebih lama lagi.

Para pelayat tampak berduka.

Dua orang baik yang mereka kenal dikuburkan di hari yang sama.

Hanya saja, hidup harus terus berjalan. Jadi setelah prosesi pemakaman, pelayat pun pulang satu per satu.

Akan tetapi, Zahra bersikukuh ingin ditinggal sendirian di sana meski langit sudah gelap.

Cahaya lampu temaram menemani perempuan itu yang masih saja bersimpuh di antara makam sang kakak dan abah. Dia menangis terisak sambil membaca surat yasin seorang diri. 

"Kenapa tidak nyawa saya saja ya Rabb! Hambamu ini sudah kotor ...!" lirih Zahra dengan derai air mata.

Semua keadaan yang Zahra harus lewati seakan sangat menghimpitnya.

Noda yang ditorehkan oleh laki-laki masak kecilnya, kepergian Abah, dan kepergian kakaknya.

"Hambamu telah kotor, Ya Rabb. Lebih baik, Kau jemput hamba-Mu ini juga!" racau Zahra seorang diri.

Sesak di dada Zahra semakin terasa.

Tiba-tiba saja pandangannya kabur.

Bruk!

Perempuan itu pun terjatuh menelungkup dan pingsan.

Ridwan yang sedari tadi menungguinya diam-diam pun terkejut.

"Zahra!" teriaknya.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status