Zahra memasuki area pondok Darrul Amin dengan langkah gontai menuju kediaman Hubabah Awiyah. Hubabah Awiyah adalah pimpinan pondok putri Darrul Amin, pondok yang terkenal sampai ke mancanegara. Tok! Tok! Tok! Zahra dengan gemetaran mengetuk pintu dan mengucap salam, "Assalamualaikum, Hubabah,""Waalaikumsalam warohmatulohi wabarakatuh, Siapa?" tanya Hubabah dari balik bilik rumahnya. Jantung Zahra berdebar mendengar suara Hubabah Awiyah, "Zahra, Hubabah,""MasyaAllah, Nak ... Ayo masuk, Zahra—" "Hubabah—" Zahra tak mampu melanjutkan ucapannya dan langsung bersimpuh dikaki Hubabah. Menyandarkan kepalanya dipaha Hubabah Awiyah yang sudah menganggapnya putri selama ini. Hubabah Awiyah terlihat kebingungan dan memilih untuk membelai kepala Zahra. "Tenangkan dirimu, Nak!" kata Hubabah. "Hubabah, Abah dan Abang berpulang pada sang khalik, dan Zahra—" Zahra diam sebentar sambil menarik niqab yang dikenakannya.Hubabah Awiyah terkejut dengan kondisi wajah gadis yang sangat disayangn
Sudut bibir Ridwan hingga berdarah karena pukulan bang Yusuf yang membabi buta. "Itu untuk sudut bibir Zahra yang akan memar berminggu-minggu!" kata Yusuf. Yusuf kembali melayangkan pukulan demi pukulan pada tubuh Ridwan hingga dadanya naik turun. "Dan itu untuk kelakuan binatangmu!" Yusuf menyeringai sambil mengibaskan tangannya seperti sedang membersihkan kotoran yang menempel. Ridwan diam menerima pukulan demi pukulan itu, tanpa membalas.Ridwan merasa dirinya pantas mendapatkan lebih dari ini. Ridwan memang bersalah dan dia merasa layak menerima hukuman lebih dari ini. "Ayo balaslah ... Kenapa diam saja! Kamu mati kalau tak membalas!" pekik Bang Yusuf dengan mata nyalang. "Aku pantas mendapatkan ini, Bang," lirih Ridwan. "Bulshit—"Bang Yusuf tak melanjutkan lagi umpatannya dan memilih menerjang kembali Ridwan dengan penuh tenaga. Hingga Yusuf duduk terengah-enga
Sedangkan dari jendela lantai tiga, Zahra sedang melihat pria yang diseret oleh dua aparat itu. Zahra melihat ekspresi marah dan frustasi Ridwan. Tapi tak membuat Zahra berbelas kasih dan ingin menemui Ridwan. 'Biarlah kita berjalan di jalan kita masing-masing kak,' batinya.Hingga tepukan dipundaknya menyadarkan Zahra kembali dari lamunannya. "Apa kamu berubah fikiran dan menerima pertanggungjawaban pria tadi?" tanya Hubabah Awiyah setelah mengucap salam. "Tidak Hubabah, Jalan kami berbeda. Biarkan Zahra mengabdikan diri Zahra di sini!" jawab Zahra dengan tatapan penuh harap. Hubabah Awiyah langsung memeluknya erat. "Panggillah Umi, Ra, seperti Sahira!" perintah Hubabah Awiyah. Sahira adalah putri bungsu Hubabah Awiyah. Hubabah memiliki dua putra dan putri, yaitu Syarif Ali dan Syarifah Sahira. "Baik, Umi."Zahra kini mantap memanggil Hubabah Awiyah dengan sebutan Umi setelah beberapa kali Hubabah meminta. Zahra sebelumnya tidak enak memanggil guru besarnya dengan sebutan U
Ridwan yang tidak menyadari keberadaan Papanya itu terhuyung ke belakang akibat bogeman mentah sang Papa. Ameer diliputi amarah dan kembali menyerang sambil berseru, "Bajingan kamu, Ridwan!" Tidak ada perlawanan sedikitpun dari Ridwan. "Kamu akan membuat Zahra semakin membencimu, Ridwan!" lirih Ameer saat sambil menetralkan nafasnya. Ameer sangat tersiksa melihat putranya seperti ini, tapi semuanya adalah hasil dari kesalahannya sendiri. Ameer juga tidak akan membiarkan anaknya memperdalam kesalahannya. Ridwan hanya diam, tak menjawab perkataan papanya. "Jika kamu merasa bersalah, datang dengan baik. Jika belum bisa, langit kan doa agar Allah melembutkan hati Zahra dan memaafkanmu," kata Ameer. Amer menatap putra semata wayangy itu, "Bukan begini caranya, Nak!" lanjutnya. Ameer paham sekali apa yang dirasakan Ridwan, karen Ridwan adalah duplikatnya. Kalau sudah cinta, tidak akan bisa
Tes! Tes! Darah mengalir dari lengan tangan Zahra. Sedangkan tubuhnya terhempas ke dalam pelukan Umi Awiyah.Umi Awiyah yang kebetulan lewat melihat hal gila yang sedang coba dilakukan oleh Zahra. sehingga, Umi Awiyah berlari menarik tangan Zahra yang akan diiris. Pisau itu tidak mengenai urat nadi, akan tetapi tetap menggores lengan Zahra, tidak terlalu dalam. "Tolong!" teriak Umi Awiyah sambil memeluk Zahra yang sudah tidak sadarkan diri. Umi Awiyah sudah terduduk menopang tubuh Zahra. Tak lama, santri-santri datang mendengar teriakan Umi Awiyah dan segera membantu Zahra membawa ke Lahanat Kesehatan. Zahra langsung ditangani oleh petugas medis pondok. Dua jam lamanya Umi Awiyah menunggu, akhirnya petugas medis keluar.Umi Awiyah tergopoh-gopoh berdiri dan langsung bertanya, "Bagaimana, San?" "Sudah dijahit lukanya, Hubabah. Akan tetapi ustadzah Zahra shock jadi masih t
Zen membawa Marisa ke sebuah rumah tua yang nampak seperti lama tidak dihuni. "Apa benar Ridwan menungguku di sini, Zen?" tanya Marisa kebingungan. Rumah itu terlihat sangat menyeramkan. Banyak semak belukar dan dan bangunan yang sudah roboh di beberapa sudut. Zen tidak menjawab sedikitpun, dia terus berjalan masuk menuju rumah tua itu. Marisa terus mengikuti Zen sambil terus meracau, "Jangan menakutiku, Zen!"Cklek! Zen megunci pintu saat memasuki rumah tua itu. Marisa terkejut hingga memekik, "Kenapa dikunci? Zen kamu jangan macam-macam!" Zen tak menjawab satupun ucapan Marisa, dia memilih terus berjalan menuju bagian belakang rumah tua itu. Hingga sampai di satu sudut, yang terlihat Ridwan duduk seorang diri. "Ridwan!" pekik Marisa dengan mata berbinar. Ridwan hanya diam sambil melihat Marisa dengan dingin. "Maafkan aku, An. Aku tidak tau ada seseorang
Umi Awiyah kemudian memeluk Zahra dengan erat. Umi Awiyah tau jika Zahra mencintai laki-laki tersebut. "Jodoh tidak akan kemana, Nak. Tapi, melihat kegigihannya dulu rasanya susah dipercaya jika menyerah begitu saja," jawab Umi Awiyah. Zahra tahu jika tak ada lagi yang mengintainya. Ridwan tidak lagi menyuruh orang untuk mengawasinya. Zahra menghela nafas beratnya, "Zahra tidak memikirkan perihal jodoh, Umi. Siapa yang mau dengan wanita seperti Zahra," "Banyak. Ali juga beberapa kali mengirimkan lamaran untukmu, bukan?" jawab Umi Awiyah. Setelah Zahra dinyatakan hamil, Habib Ali mengirimkan lamaran untuk menjaga marwa Zahra. Habib Ali paham agama dan apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan setelah menikah nanti. Namun, Zahra menolak terang-terangan lamaran itu. Zahra menoleh dan tersenyum manis, "Habib Ali pantas mendapatkan yang terbaik, Umi. Zahra tak lagi utuh. Zahra tak ingi
Kata-kata Fatih membuat Zahra membeku. Ini kali pertama putranya berkata sedemikian dingin kepada Zahra. Hati Zahra terasa sangat perih. Zahra kehilangan tenaganya, hingga tak mampu menjawab pertanyaan putranya itu.Zahra kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam untuk meredam sesak dadanya. Menghalau air mata yang tak akan Zahra biarkan menetes. Dingin dan perkataan Fatih seperti asam yang ditaburkan diatas luka dihatinya. "Maafkan Zahra, Habib ...,"Zahra mengucapkan dengan lirih sebagai tanda permintaan maafnya. "Baiklah Zahra, mungkin memang kita tidak berjodoh!" jawab Habib Ali. Fatih yang melihat rona kekecewaan dalam ekspresi Habib Ali pun berkata, "Ibu, Apa sih kurangnya Baba? Baba tampan dan sholeh! Baba sangat sayang pada Fatih! Kalau Baba menikah, nanti yang murojaah dengan Fatih siapa?" Fatih terlihat berat melepas Habib Ali untuk menikah. Fatih takut, j