Bab; 7

Tuan Maheer memang menasihati istrinya untuk memberi waktu pada Mira, namun dalam hatinya (sebagai kepala keluarga utama rumah besar itu) ia tentu tak bisa menerima sikap Mira yanng menurutnya egois itu.

Baginya, bila sudah menikah maka harus bisa menerima segala kekurangan suami dan keluarganya. Tapi lihatlah apa yang Mira lakukan! Di hari pertama bahkan ia telah berani melanggar tradisi keluarga yang paling di hormati semua orang hanya karena mementingkan perasaannya sendiri, bukankah itu adalah perlakuan egois dan sangat tidak pantas?

Seumur hidup, Tuan Maheer telah di ajarkan untuk disiplin dan benar-benar mematuhinya hingga kini usianya telah mencapai kepala lima.

Maka dari itu, ketika Nyonya Salma memejamkan kedua mata khawatir nya, ia beranjak keluar dari kamar utama tanpa membersihkan badan terlebih dahulu.

Di depan pintu, ia melihat seorang pelayan yang tengah membersihkan meja hias, "apakah Nona Mira telah keluar?"

Pelayan itu menunduk, menunjukkan rasa hormat yang mendalam pada majikannya, "belum, Tuan."

Tuan Maheer, "lalu apakah ia sudah makan?"

Si pelayan, "tadi Nona Amina telah membawakan makan ke kamar Nona Mira,"

Dahi Tuan Maheer mengernyit, "Amina sendiri yang bawa?"

"iya, Tuan."

Kedua tangan Tuan Maheer mengepal di kedua sisi, menunjukkan bahwa ia sama seklai tak menyukai kelakuan menantu keduanya.

Andai Mira bukanlah anak dari Pak Darma, yang meupakan kawan baiknya, boleh jadi sekarang Tuan Maheer telah bergegas untuk 'berbicara' padanya.

Nmaun karena Mira adalah anak dari Pak Darma, ia harus lebih bisa menjaga ucapan dan emosinya agar tak membuat Pak Darma sakit hati di kemudian hari.

Ceklek!

Pintu kamar Amina terbuka, menampilkan seorang wanita yang begitu anggun dengan baju rumah nya, "Ayah, Ayah sudah pulang?"

Biasanya, Tuan Maheer akan pulang bersama dengan Alka, dan biasanya, setelah pulang Alka akan langsung masuk ke dalam kamar mereka.

Karena hingga sekarang Alka bahkan belum menunjukkan diri di dalam kamar, dan ia melihat Tuan Maheer telah berdiri di depan kamarnya tanpa jas yang sellau menjadi pelengkap penampilan kantornya, secara spontan ia menanyakan hal itu.

Bukannya menjawab, Tuan Maheer malah balik bertanya, "kamu melayani Mira?"

Amina telah berada di rumah itu selama empat tahun, dan baru beberapa kali mendengar nada bicara Tuan Maheer yang tak enak di dengar.

Meskipun begitu, ia sangat paham bahwa sekarang Tuan Maheer tidak sedang dalam perasaan yang baik.

Amina memandang si pelayan yang masih setia tunduk di sebelah Tuan Maheer, "kau boleh turun," ia lalu berjalan maju dua langkah, "Amina hanya menyuruhnya makan, Yah."

Tuan Maheer, "Ayah tahu kau baik hati, tapi jangan jadikan dirimu bisa di tindas oleh siapapun, bahkan termasuk Ayah ataupun Alka sendiri."

Amina mengerutkan dahinya, ia sama sekali tak merasa di tindas oleh siapapun, "siapa yang menindas Amina, Yah?"

Tuan Maheer, "tadi pagi kau bilang akan membujuk Mira makan. Tak apa kalau hanya sekedar membujuk, tapi tak perlu sampai membawakan makanan ke dalam kamarnya juga! Ia sehat, memiliki dua tangan dan dua kaki, ia juga memiliki otak yang baik, jadi jangan biarkan dirimu mengabdi padanya!"

Amina, "Amina hanya tak mau Mira kelaparan, Yah. Lagi pula, boleh jadi Mira masih merasa malu jika tiba-tiba turun dan ingin makan ketika baru saja ia masuk ke dalam rumah ini."

"Tapi masih banyak pelayan di rumah ini, kenapa pula harus kau lakukan sendiri tugas seperti itu?"

Amina tersenyum. Ia tahu, Tuan Maheer bukannya marah padanya, hanya saja, Tuan Maheer memang tak pernah bisa mentolerir ketidak disiplinan dan keegoisan seseorang.

Dalam keadaan ini, Mira melakukan keduanya!

Amina, "di rumah ini, hanya Amina yang bisa di bilang dekat dengan Mira. Ia juga tak biasa di layani sejak kecil, takutnya nanti Mira tetap kekeh tak maj makan."

Tuan Maheer malah semakin berseru kesal, "Ayah tahu itu, tadi pagi kau telah mengatakannya. Tapi bagi Ayah, dia telah menjadi menantu dan anak di keluarga ini, jadi ia harus memposisikan dirinya dengan baik atas peran itu!"

Dan tanpa menunggu jawaban dari Amina lagi, Tuan Maheer telah melangkahkan kakinya ke arah kamarnya kembali.

Amina melihat punggung Tuan Maheer yang lenyap di telan pintu, ia lalu menghembuskan nafas sesaknya.

Walau bagaimana pun, meski semalam ia merasakan sesak akibat cemburu membayangkan suaminya tidur bersama wanita lain, tapi ia juga tak mau wanita yang ceria dan polos seperti Mira itu merasa tak nyaman berada di keluarga ini.

"Hei, kenapa melamun di sini?"

Sebuah suara familiar terdengar di telinganya, beriringan dengan dua lengan kokoh yang mengitari perutnya, juga satu dagu yang mendarat di pundak kanannya, "apa yang kau pikirkan, hm?"

Alka membenamkan wajahnya di ceruk leher jenjang Amina. Menghirup aroma yang telah menjadi favorit nya empat tahun belakang ini.

Amina tersenyum kecil, hal itu telah menjadi kebiasaan suaminya sepulang kerja, "kenapa pulangnya tidak bareng Ayah?"

Alka, "tadi ada tikus kecil di jalan, agar tikus itu tidak mengikuti kita pulang, maka ku hadang dia terlebih dahulu dan membiarkan Ayah pulang lebih awal."

Amina membalikkan badannya, mengambil tas kerja suaminya, "cepat mandilah, kau bau kecut!"

Alka, "bukankah bau seperti ini yang biasa orang bilang seksi?"

Amina, "bukan seksi, tapi jorok?"

Alka, "wow, kau bahkan telah berfikiran jorok hanya dengan bauku?" ia terkekeh kecil menggoda istri pertamanya.

Dengan pelan, Amina memukul dada Alka, "ceaptlah mandi dan ganti baju!"

Alka melepas pelukannya, menggenggam erat tangan istrinya lalu hendak berjalan ke arah kamar mereka ketika suara Amina menginterupsi, "kau tidak akan mandi di kamar kita,"

Alka menaikkan alisnya.

Amina, "sudah kubilang, seminggu ini kau harus menetap di kamar Mira kan?"

Alka, "ya, tapi semua bajuku masih ada di kamar kita..."

Amina, "sudah ku pindahkan beberapa di kamar Mira tadi siang."

Alka, "......"

Amina tak tahu saja, Alka sengaja tak memindahkan bajunya ke kamar Mira agar bisa menemukan cara untuk memasuki kamar Amina tanpa penolakan.

Seharian ini, Alka bahkan tak bisa tidak memikirkan Amina dalam satu detikpun!

Amina, "Mas?

Alka, " oh ya, tentu saja." Lalu ia malah berbalik hendak turun ke bawah.

Melihat hal itu, Amina mengerutkan keningnya, "kenapa turun?"

Alka yang telah berada di tengah tangga agak sedikit mengeraskan suaranya, "ada barang yang tertinggal di mobil, aku harus mengambilnya dulu."

Amina menghela nafasnya sedih.

Sudah empat tahun lamanya Amina sellau bersama Alka, ia hampir hafal segala gerak gerik Alka, mulai dari bagaimana ketika Alka bahagia, semangat, hingga sedih, kecewa, dan sedang ingin kabur dari sesuatu.

Dan Amina yakin, kali ini sikap Alka menunjukkan sedang tak ingin masuk ke kamar Mira untuk ganti baju.

("bila mereka terus-terusan menutup diri seperti ini, bagaimana pula pernikahan ini akan berlanjut?")

Ia lalu lebih memilih masuk ke dalam kamarnya lagi.