로그인Baru saja keluar dari imigrasi dan Vanya belum terlalu banyak bertanya, perutnya mendadak terasa sakit kembali. Sensasi melilit itu datang lagi, lebih kuat, lebih menusuk. Ia menahan napas sambil memegangi lambungnya.“Aku … ke toilet lagi,” ucapnya pelan.Kevin, yang masih memegang snack box di tangan kirinya, langsung mengangguk. “Pergilah. Aku tunggu di sana.”Ia menunjuk sebuah kafe kecil di dekat deretan toilet bandara, bergaya modern minimalis dengan lampu kuning hangat. Vanya mengangguk cepat, lalu bergegas masuk sebelum rasa sakit itu semakin menjadi-jadi.Toilet wanita di bandara Solmora Crown International Airport cukup sepi. Hanya ada gemericik air dan dengung AC yang dingin. Vanya memegang perutnya, mencoba bernapas lebih perlahan ketika rasa mulas itu datang dan pergi seperti gelombang kecil.Setelah beberapa menit, rasa sakit itu sedikit mereda. Ia keluar perlahan, bermaksud langsung ke Kevin agar bisa beristirahat sebentar di hotel.Namun baru dua langkah keluar, langkah
Namun semua itu hanya sesaat, Hani tetaplah Hani, dia tidak pernah ingin kalah dari Vanya.“Apa kau bilang?” ucapnya dengan cukup mengejek.“Hentikan sebelum aku melaporkan perbuatanmu ke maskapai ini.” Vanya mengulang kalimatnya dengan sangat tegas.Hani tersenyum miring, tatapannya menajam. “Berani kau? Coba saja. Kau akan lihat apa yang terjadi setelahnya.”“Terserah.” Vanya melewatinya dengan tenang. “Aku tidak takut.”Ia berhasil melangkah, satu … dua langkah … udara di lorong sempit itu terasa menegang.Namun sebelum langkah ketiga terwujud—BRAK!Suara benturan keras menggema, membuat beberapa penumpang menoleh. Hani tiba-tiba jatuh tersungkur di samping kaki Vanya, seperti seseorang yang kehilangan keseimbangan … atau sengaja dibuat jatuh olehnya.“N-Nyonya … maafkan saya!” suara Hani terdengar sangat pilu dan merendah. Dia langsung membungkuk sangat dalam kepada Vanya, hampir menyentuh lantai. “Saya sungguh tidak sengaja! Jika ini membuat Anda tidak nyaman, saya mohon maaf se
Vanya tidak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan seseorang dari masa sekolahnya, masa yang sebisa mungkin ingin ia kubur dalam-dalam. Di sekolah lamanya, ia hanyalah gadis dengan seragam lusuh, sepatu yang solnya mulai terkelupas, dan rambut yang sering diikat seadanya. Ia datang dari rumah yang tidak pernah benar-benar menjadi rumah. Temannya juga tidak ada yang tahu latar belakang Vanya, mereka hanya tahu kalau Vanya adalah seorang anak yang setiap pulang selalu memulung barang-barang bekas. Sekolah yang bisa dimasuki Vanya hanya sekolah biasa yang penuh anak-anak pekerja kasar, pedagang kecil, dan pegawai minimarket. Di sana, kemiskinan adalah hal wajar, kecuali bagi seseorang bernama Hani. Hani adalah siswi yang dianggap “anak orang kaya” karena orang tuanya memiliki rumah makan sederhana yang cukup laris. Status itu, ditambah otaknya yang memang cemerlang, membuatnya merasa berada satu tingkat lebih tinggi dari teman-temannya. Ia terbiasa dielu-elukan sebagai peringkat
Mendengar ucapan Kevin barusan, Vanya spontan terdiam. Ada sesuatu dari nada suaranya, campuran godaan dan keseriusan … yang membuat napasnya sempat tersangkut. Sebelum ia bisa memikirkan apa pun, Kevin melepaskan dekapannya perlahan, menatapnya dalam, lalu memberi kecupan singkat di bibirnya. Begitu cepat, tapi cukup untuk membuat jantung Vanya kembali kehilangan ritme. “Gantilah dengan piyamamu sebelum aku berubah pikiran lagi,” katanya santai, lalu berbalik menuju kamar mandi. Vanya langsung bergerak. Dia tidak berniat menunggu Kevin benar-benar berubah pikiran. Dengan tergesa ia mengambil kembali piyamanya yang ada di lantai, mengenakannya dengan tangan sedikit bergetar. Begitu selesai, ia merapatkan piyama itu erat-erat dan berlari ke arah tempat tidur. Suara shower dari dalam kamar mandi masih terdengar deras. Vanya buru-buru naik ke tempat tidur dan menyelipkan diri di bawah selimut, menggulung badan seperti kepompong. Dia bukan anak kecil, dia tahu persis kenapa Kevin butuh
Vanya berkedip berkali-kali, matanya terpaku pada lingerie yang masih tergantung santai di tangan Kevin. Malu rasanya menampar seluruh wajahnya. Tentu saja ia berniat membawanya, hanya saja … Kevin tidak berhenti berdiri di sisinya sejak tadi, membuatnya menunda memasukkan benda itu ke koper.“Kevin … kembalikan,” pinta Vanya dengan suara kecil, hampir seperti rengekan.Tanpa sadar, tubuhnya sedikit maju, tangannya terulur mencoba meraih lingerie itu, karena Kevin mengangkatnya lebih tinggi, Vanya berakhir setengah memeluk pria itu, wajahnya nyaris menempel di dada Kevin.“Coba saja dulu,” kata Kevin tenang, seolah mengomentari hal biasa. “Aku mau lihat. Kalau tidak cocok, kita beli yang lain.”Vanya langsung membelalakkan mata. “Ka-kau …! Kenapa otakmu tiba-tiba mesum begitu?” protesnya sambil mengerucutkan bibir.Sebuah kesalahan.Karena Kevin justru menaikkan sebelah alisnya. “Apa kau bilang?”Sebelum Vanya sempat mundur, Kevin selangkah lebih dekat. Tubuhnya menekan lembut tubuh V
Vanya terdiam. Ucapan Kevin barusan membuatnya hampir lupa bernapas. Apa ia tidak salah dengar? Namun lidahnya terlalu kelu untuk memastikan.“Dia mengaku hamil anakku,” lanjut Kevin pelan, “dan dia menunjukkan sebuah video tentang apa yang terjadi malam itu.”“J-jadi …?” Vanya menelan ludah dengan susah payah, matanya terpaku pada Kevin yang kini menatap jauh, seolah kosong.“Dengan rekaman itu, mau tidak mau aku harus menikahinya. Dan … membuat perjanjian pernikahan yang isinya menyelamatkan perusahaan keluarganya yang nyaris mati.” Nada Kevin datar, tapi Vanya bisa merasakan gelombang emosi yang tersembunyi di balik kata-katanya.“Rekaman itu, isinya kau sedang ….” Vanya tidak sanggup meneruskan.Kevin menoleh dan mengangkat alis. “Menurutmu apa lagi yang kulakukan sampai aku dipaksa menikahinya?”Vanya tersentak kecil. Kevin kemudian tersenyum miring, bukan senyuman yang menyenangkan, lebih seperti senyum pahit .“Tenang saja. Aku tidak melakukan apa pun,” ucapnya. “Urusan seperti







