Share

Sudah Menjadi Asing

Penulis: A Dreamer
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-03 19:14:56

Langkah Flora mulai gontai. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin dari angin sore yang menusuk tulang, tapi karena jiwanya terasa kosong. Pipinya masih perih karena tamparan Veronica dan hatinya remuk karena pengkhianatan cinta yang selama ini ia perjuangkan.

Rumah kecil di ujung gang sempit itu akhirnya terlihat. Rumah neneknya—satu-satunya tempat yang dulu selalu membuatnya merasa aman. Namun kini, bahkan untuk berdiri tegak di depan pintu itu saja, lutut Flora nyaris tak mampu lagi menopang tubuhnya.

Langkah kakinya menyeret, menimbulkan bunyi gesekan yang lemah di atas ubin teras. Bunyi itu cukup membuat sang nenek, yang kerap di sapa Nyai Marlina, yang tengah duduk membaca doa di ruang tengah, segera berdiri dan membuka pintu.

“Siapa di luar sana?” serunya panik.

Begitu pintu terbuka, tubuh Flora langsung ambruk di kaki wanita tua itu.

“Ya tuhan! Flora!!” jerit neneknya kaget, ia langsung bersimpuh memeluk tubuh cucu satu-satunya yang tergeletak tak sadarkan diri.

Nenek Marlina memanggil tetangganya yang kebetulan sedang lewat untuk membantunya mengangkat Flora ke dalam kamar. Tubuh mungil itu dingin, wajahnya pucat dan penuh luka. Nenek Marlina hanya bisa menahan tangis di dada—melihat cucunya kembali ke rumah dalam kondisi yang sangat memilukan.

***

Beberapa jam kemudian.

Cahaya temaram dari lampu gantung tua di langit-langit kamar mulai menyinari wajah Flora yang perlahan membuka mata. Kelopak matanya berat, kepalanya pusing dan tubuhnya terasa sakit di banyak bagian.

Langit-langit kamar itu tak asing. Bau semerbak kayu jati, suara kipas tua yang berderit pelan—semua menyambutnya kembali ke rumah sederhana neneknya.

“F-fo, Flora?” suara neneknya terdengar lembut namun khawatir dari sisi ranjang. “Kamu sudah sadar, Nak?”

Flora menoleh pelan. Begitu melihat wajah keriput penuh kasih itu, dadanya seperti diguyur pelukan hangat. Ia langsung bangkit dan memeluk sang nenek erat-erat.

“Nenek,” Flora tersedu. “Nenek, aku sudah tak punya siapa-siapa lagi, semuanya pergi, semua menyalahkanku.”

Nenek Marlina membalas pelukan cucunya dengan sabar. “Ya tuhan, cucuku. Apa yang terjadi? Siapa yang menyakitimu, Nak?”

Flora menggeleng dalam pelukannya, lalu tangisnya pecah tak tertahan. Tubuhnya bergetar hebat seperti sudah lama menahan semuanya sendirian.

“Aku diusir, Nek. Nathan, dia tak mempercayaiku. Dia mengatakan aku perempuan murahan. Aku tuduh tidur dengan Kasman. Mereka membuat foto palsu, Nek.” kata Flora di sela isak tangisnya yang mengguncang.

Mata nenek Marlina membelalak. “Kau tahu siapa pelakunya?”

Flora menatap wajah neneknya dengan mata sembab. Flora menggelengkan kepalanya. “Nenek, aku tak melakukan itu. Aku tak pernah melakukan hal sekotor itu Nek. Tapi semua orang percaya sama foto itu. Mengapa semua orang tak ada satu pun yang mempercayaiku?”

“Tenang,Nak. Ada Nenek di sini. Nenek yang mempercayaimu!” ucap nenek yang menenangkan.

Flora menggeleng. “Ada seseorang yang menjebak aku.”

Nenek Marlina membelai rambut cucunya, berusaha menenangkan tangis yang terus mengalir.

“Cucu nenek bukan perempuan seperti itu. Nenek percaya padamu, Nak. Percaya sepenuhnya.”

Kalimat sederhana itu membuat Flora menangis lebih keras. Tangis lega, tangis keputusasaan yang selama ini ia telan sendiri. Akhirnya ada seseorang yang percaya padanya, seseorang yang masih memandangnya sebagai manusia, bukan sebagai wanita hina seperti yang dikatakan Nathan dan mertuanya.

“Aku sudah kehilangan semuanya, Nek. Aku bahkan, sudah tidak bisa berharap Nathan akan percaya padaku lagi. Dia tidak melihatku seperti dulu lagi, dia membenciku sekarang.”

“Biarkan orang lain berkata apa, sayang, yang penting kamu tahu siapa dirimu,” kata neneknya lembut. “Dan percayalah, kebenaran selalu akan menemukan jalannya.”

Flora memeluk neneknya lebih erat. Di balik keheningan malam yang menyelimuti rumah kecil itu hanya satu hal yang pasti—kehidupan Flora tak akan pernah sama lagi.

Ia telah dibuang dari kehidupan mewah dan cinta palsu. Kini ia berdiri di antara reruntuhan harapan dan rasa sakit. Tapi ia bersumpah ia akan bangkit. Ia akan mencari tahu siapa yang telah menghancurkan hidupnya.

Dan jika suatu hari Nathan tahu kebenarannya ia berharap penyesalan akan datang terlambat.

Cibiran demi cibiran menghujani Flora sejak pagi tadi. Bahkan sebelum sempat menyalakan komputer di meja kerjanya, bisikan tajam dari rekan-rekan satu lantai telah lebih dulu mengiris telinganya.

“Eh, itu Flora yang ketahuan selingkuh?”

“Iya, dia selingkuh dengan pria tua, katanya sampai diusir dari rumah keluarga Marshall.”

“Padahal mukanya polos, ya. Ternyata, lebih liar dari kelihatannya.”

Tawa kecil yang menggema di belakang punggungnya, lirih namun menghina, lebih menyakitkan daripada tamparan ibunda Nathan beberapa hari lalu. Tangannya gemetar saat mencoba menekan tombol keyboard, tapi semuanya terasa hampa. Hatinya kosong dengan pikirannya yang kalut.

Foto-foto editan itu hasil rekayasa keji yang seolah menggambarkan Flora sedang bersantai mesra dengan Kasman—pria yang selama ini jadi bayangan mengerikan dari masa lalu keluarganya. Tak ada satu pun yang percaya bahwa semua itu palsu. Mereka lebih memilih percaya pada kebohongan yang terlihat meyakinkan daripada pada seorang perempuan yang selama ini bekerja tanpa cela.

Flora mencoba bertahan. Tapi hari ini bukan lagi tentang harga diri. Ini tentang menyelamatkan apa yang tersisa dari hidupnya.

Tangannya menggenggam sebuah amplop putih. Surat pengunduran diri yang ditulisnya semalam dengan air mata yang belum juga mengering hingga pagi ini.

Setelah menyerahkan surat itu ke bagian HRD, ia kembali ke meja kerjanya. Meja kecil yang telah menjadi saksi kerja kerasnya selama hampir tiga tahun terakhir. Dengan tangan gemetar, ia mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam sebuah kotak karton besar: foto bersama neneknya, mug pemberian teman lama dan boneka kecil hadiah akhir tahun dari divisi keuangan.

Ia menatap sekeliling, menyimpan satu per satu kenangan di dalam hati. Tak ada yang menyapanya. Tak ada yang menahan kepergiannya. Semua memilih diam—entah karena tak peduli atau memang senang melihat kejatuhannya.

Langkah kakinya menyusuri lorong kantor yang selama ini jadi jalan pulangnya setiap sore. Tapi hari ini, jalan itu terasa seperti koridor terakhir menuju perpisahan.

Dan saat ia hendak melangkah keluar dari lobby utama perusahaan, takdir memberinya satu hadiah terakhir—sebuah pertemuan.

Nathan.

Pria itu melangkah masuk dari arah pintu utama. Setelan jas hitam yang rapi, wajah dingin tanpa ekspresi dan sorot mata yang lurus menatap ke depan. Tidak ada sedikit pun tanda bahwa pria itu pernah memeluknya erat, pernah mencium keningnya sambil berjanji tak akan pernah meninggalkannya.

Flora tertegun. Langkahnya terhenti. Kotak di pelukannya terasa berat, namun jauh lebih berat lagi adalah sesak di dalam dadanya.

Ia menatap Nathan. Lama. Dalam. Mencari sedikit saja kehangatan yang dulu selalu ia dapat dari sorot mata pria itu.

Tapi tidak hari ini.

Nathan berjalan melewatinya tanpa menoleh sedikit pun.

Seolah Flora bukan siapa-siapa. Seolah Flora hanya udara—tak terlihat dan tak terasa.

Hatinya tercabik.

“Nathan,” bisik Flora pelan nyaris tak terdengar. Ia bahkan tak yakin apakah suara itu keluar dari bibirnya atau hanya teriak sunyi dari dalam hatinya.

Namun pria itu tetap berjalan. Tegas. Tanpa melambat. Tanpa memalingkan kepala.

Sejenak waktu seperti berhenti. Flora berdiri diam di tengah koridor, dadanya bergemuruh. Kotak itu nyaris terjatuh dari pelukannya. Matanya mulai berkaca-kaca.

Langkah kaki Nathan mulai menjauh, tapi rasa sesaknya justru semakin dekat. Flora menggigit bibirnya keras-keras. Ia berusaha menahan tangis, tapi air matanya tak peduli. Mereka tetap jatuh, satu per satu, membasahi pipi yang masih menyimpan jejak luka.

Bukan karena tatapan sinis orang-orang. Bukan karena hinaan atau foto palsu itu. Tapi karena satu-satunya orang yang ia cintai telah menolak untuk melihatnya lagi.

Flora menarik napas dalam-dalam. Ia menatap punggung Nathan untuk terakhir kali sebelum akhirnya melangkah keluar dari gedung itu.

***

Sore menjelang, langit Jakarta mendung. Flora duduk sendirian di halte bersama kotak barangnya diletakkan di sisi kaki. Bus kota datang dan pergi tapi ia belum juga naik. Kepalanya tertunduk dengan pikirannya yang terus berputar.

“Mungkin memang sudah waktunya aku pergi jauh.”

Ia menggenggam ponselnya. Di layar tertera jadwal keberangkatan kereta malam ini menuju kota kelahiran ibunya di Jawa Timur. Neneknya telah menyetujui keputusan itu—pergi sejenak, menjauh dari luka yang terlalu dalam untuk segera disembuhkan.

Namun satu hal masih belum bisa ia buang dari pikirannya.

Nathan.

Flora memeluk tubuhnya sendiri. Angin sore mulai berhembus lebih kencang. Entah karena cuaca atau karena hatinya. Tubuhnya mulai menggigil lagi.

Ia tahu, meninggalkan kota ini berarti meninggalkan semuanya—termasuk kenangan. Tapi mungkin itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan dirinya sebelum luka itu membunuhnya perlahan-lahan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Badai Itu Kembali Datang

    Malam berganti dengan cepat. Kegelapan yang menyelimuti langit tak ubahnya seperti kabut kelam yang menyelimuti hati Flora. Setelah seharian mencari Nayla tanpa hasil, tubuhnya mulai melemah, namun tidak dengan semangatnya. Ia duduk di beranda rumah, memeluk lutut, menatap jalan setapak yang sepi dengan tatapan kosong. Air matanya telah mengering, menyisakan perih yang mengendap di dada.Nathan mendapatkan informasi dari salah satu bawahannya jika Nayla hendak dibawa keluar pulau dan sedang dalam perjalanan menuju sebuah pelabuhan oleh ibunya, Veronica. Sementara itu, Nathan berada di dalam mobil, masih berusaha menghubungi sang ibu, Veronica Marshall. Berkali-kali ia menekan nomor yang sama, namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Kepalanya berdenyut karena panik dan lelah, tapi naluri sebagai seorang ayah tak membiarkannya berhenti terlebih ketik dia melirik ke arah Flora, hatinya terasa semakin hancur. Saat ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang yang tak dikenal. “D

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Melisa Datang Nayla Hilang

    Suasana rumah sederhana milik Flora sore itu mendadak berubah panas ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan halaman. Flora yang tengah menyiram tanaman di pekarangan, mengerutkan dahi melihat sosok tinggi semampai turun dari kendaraan. Wajahnya cantik sempurna, namun matanya menyala penuh amarah.“Melisa Gunawan,” gumam Flora pelan, tubuhnya kaku.“Jadi ini tempatmu bersembunyi, Flora Andini!” seru Melisa tajam, suaranya menggema menusuk udara sore yang damai. “Hidup seperti wanita desa, namun masih merebut apa yang menjadi milikku!”“Melisa, hentikan omong kosongmu itu!” ucap Flora tenang, meski jantungnya berdegup tak karuan.Melisa berjalan cepat menghampiri, hak sepatunya menghentak tanah dengan kasar. “Kau tahu persis maksudku! Jangan berpura-pura polos! Kau pikir hanya karena Nathan datang beberapa kali ke mari, kau bisa kembali menguasai hatinya?”“Sudah cukup, Melisa. Ada anak kecil di sini,” bisik Flora, menoleh ke arah anak kecil yang berdiri di ambang pintu bersam

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Pertemuan Yang Tak Disangka

    Tiga tahun telah berlalu.Langit pagi di desa kecil tempat Flora menetap kini terlihat lebih jernih dibandingkan langit kota yang dulu penuh kebisingan dan kabut polusi. Kabut tipis menggantung di atas sawah dan ladang, menciptakan pemandangan yang menenangkan bagi siapa pun yang melihatnya.Di sebuah rumah sederhana yang berdiri di pinggir kebun kecil, Flora Andini kini hidup sebagai seorang petani. Ia mengelola sebidang tanah warisan keluarga dengan penuh kesabaran. Hidupnya tak lagi mewah, tak lagi dikelilingi pelayan atau fasilitas kelas atas. Tapi di balik segala kesederhanaan itu, ia menemukan hal yang selama ini tak pernah ia temukan di rumah mewah keluarga Marshall—ketenangan.Di tengah kesibukannya mengangkut hasil panen sayuran ke dalam keranjang rotan, terdengar tawa kecil dari balik pintu rumah kayu itu.“Nayla Tiara Maharani, jangan lari-lari, Nak. Kotor bajumu nanti,” seru Flora lembut sambil tersenyum.Seorang anak perempuan kecil berambut ikal dan bermata bulat keluar

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Sudah Menjadi Asing

    Langkah Flora mulai gontai. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin dari angin sore yang menusuk tulang, tapi karena jiwanya terasa kosong. Pipinya masih perih karena tamparan Veronica dan hatinya remuk karena pengkhianatan cinta yang selama ini ia perjuangkan.Rumah kecil di ujung gang sempit itu akhirnya terlihat. Rumah neneknya—satu-satunya tempat yang dulu selalu membuatnya merasa aman. Namun kini, bahkan untuk berdiri tegak di depan pintu itu saja, lutut Flora nyaris tak mampu lagi menopang tubuhnya.Langkah kakinya menyeret, menimbulkan bunyi gesekan yang lemah di atas ubin teras. Bunyi itu cukup membuat sang nenek, yang kerap di sapa Nyai Marlina, yang tengah duduk membaca doa di ruang tengah, segera berdiri dan membuka pintu.“Siapa di luar sana?” serunya panik.Begitu pintu terbuka, tubuh Flora langsung ambruk di kaki wanita tua itu.“Ya tuhan! Flora!!” jerit neneknya kaget, ia langsung bersimpuh memeluk tubuh cucu satu-satunya yang tergeletak tak sadarkan diri.Nenek M

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Diusir Tanpa Kesalahan

    "Mulai hari ini kau keluar dari rumah ini, Flora Andini!"Suara bariton Nathan terdengar mengelegar di seluruh ruangan. Suaranya menyayat udara, membelah suasana pagi yang seharusnya damai menjadi mencekam. Semua mata yang hadir di ruang tamu mewah keluarga Marshall tertuju pada pasangan muda itu."Kau bukan lagi siapa-siapanya dari keluarga Marshall!"Jari telunjuk Nathan pria berusia 28 tahun yang memiliki tubuh tegap dan proporsional itu menunjuk tajam ke arah wajah Flora, membuat gadis itu menunduk dalam, seperti seorang pesakitan. Sorot matanya tak lagi lembut seperti dulu—yang ada hanyalah bara kemarahan yang membakar habis sisa kasih yang pernah tumbuh di antara mereka."Nathan, maafkan aku! Aku mohon dengarkan penjelasan aku terlebih dahulu!"Tubuh mungil Flora bersimpuh dengan lututnya yang menyentuh lantai marmer yang dingin. Suaranya parau, matanya sembab, tetapi masih menyimpan secercah harapan. Namun, tangan yang ia julurkan untuk meraih suaminya justru ditepis kasar. Tub

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status