LOGINLangkah Flora mulai gontai. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin dari angin sore yang menusuk tulang, tapi karena jiwanya terasa kosong. Pipinya masih perih karena tamparan Veronica dan hatinya remuk karena pengkhianatan cinta yang selama ini ia perjuangkan.
Rumah kecil di ujung gang sempit itu akhirnya terlihat. Rumah neneknya—satu-satunya tempat yang dulu selalu membuatnya merasa aman. Namun kini, bahkan untuk berdiri tegak di depan pintu itu saja, lutut Flora nyaris tak mampu lagi menopang tubuhnya. Langkah kakinya menyeret, menimbulkan bunyi gesekan yang lemah di atas ubin teras. Bunyi itu cukup membuat sang nenek, yang kerap di sapa Nyai Marlina, yang tengah duduk membaca doa di ruang tengah, segera berdiri dan membuka pintu. “Siapa di luar sana?” serunya panik. Begitu pintu terbuka, tubuh Flora langsung ambruk di kaki wanita tua itu. “Ya tuhan! Flora!!” jerit neneknya kaget, ia langsung bersimpuh memeluk tubuh cucu satu-satunya yang tergeletak tak sadarkan diri. Nenek Marlina memanggil tetangganya yang kebetulan sedang lewat untuk membantunya mengangkat Flora ke dalam kamar. Tubuh mungil itu dingin, wajahnya pucat dan penuh luka. Nenek Marlina hanya bisa menahan tangis di dada—melihat cucunya kembali ke rumah dalam kondisi yang sangat memilukan. *** Beberapa jam kemudian. Cahaya temaram dari lampu gantung tua di langit-langit kamar mulai menyinari wajah Flora yang perlahan membuka mata. Kelopak matanya berat, kepalanya pusing dan tubuhnya terasa sakit di banyak bagian. Langit-langit kamar itu tak asing. Bau semerbak kayu jati, suara kipas tua yang berderit pelan—semua menyambutnya kembali ke rumah sederhana neneknya. “F-fo, Flora?” suara neneknya terdengar lembut namun khawatir dari sisi ranjang. “Kamu sudah sadar, Nak?” Flora menoleh pelan. Begitu melihat wajah keriput penuh kasih itu, dadanya seperti diguyur pelukan hangat. Ia langsung bangkit dan memeluk sang nenek erat-erat. “Nenek,” Flora tersedu. “Nenek, aku sudah tak punya siapa-siapa lagi, semuanya pergi, semua menyalahkanku.” Nenek Marlina membalas pelukan cucunya dengan sabar. “Ya tuhan, cucuku. Apa yang terjadi? Siapa yang menyakitimu, Nak?” Flora menggeleng dalam pelukannya, lalu tangisnya pecah tak tertahan. Tubuhnya bergetar hebat seperti sudah lama menahan semuanya sendirian. “Aku diusir, Nek. Nathan, dia tak mempercayaiku. Dia mengatakan aku perempuan murahan. Aku tuduh tidur dengan Kasman. Mereka membuat foto palsu, Nek.” kata Flora di sela isak tangisnya yang mengguncang. Mata nenek Marlina membelalak. “Kau tahu siapa pelakunya?” Flora menatap wajah neneknya dengan mata sembab. Flora menggelengkan kepalanya. “Nenek, aku tak melakukan itu. Aku tak pernah melakukan hal sekotor itu Nek. Tapi semua orang percaya sama foto itu. Mengapa semua orang tak ada satu pun yang mempercayaiku?” “Tenang,Nak. Ada Nenek di sini. Nenek yang mempercayaimu!” ucap nenek yang menenangkan. Flora menggeleng. “Ada seseorang yang menjebak aku.” Nenek Marlina membelai rambut cucunya, berusaha menenangkan tangis yang terus mengalir. “Cucu nenek bukan perempuan seperti itu. Nenek percaya padamu, Nak. Percaya sepenuhnya.” Kalimat sederhana itu membuat Flora menangis lebih keras. Tangis lega, tangis keputusasaan yang selama ini ia telan sendiri. Akhirnya ada seseorang yang percaya padanya, seseorang yang masih memandangnya sebagai manusia, bukan sebagai wanita hina seperti yang dikatakan Nathan dan mertuanya. “Aku sudah kehilangan semuanya, Nek. Aku bahkan, sudah tidak bisa berharap Nathan akan percaya padaku lagi. Dia tidak melihatku seperti dulu lagi, dia membenciku sekarang.” “Biarkan orang lain berkata apa, sayang, yang penting kamu tahu siapa dirimu,” kata neneknya lembut. “Dan percayalah, kebenaran selalu akan menemukan jalannya.” Flora memeluk neneknya lebih erat. Di balik keheningan malam yang menyelimuti rumah kecil itu hanya satu hal yang pasti—kehidupan Flora tak akan pernah sama lagi. Ia telah dibuang dari kehidupan mewah dan cinta palsu. Kini ia berdiri di antara reruntuhan harapan dan rasa sakit. Tapi ia bersumpah ia akan bangkit. Ia akan mencari tahu siapa yang telah menghancurkan hidupnya. Dan jika suatu hari Nathan tahu kebenarannya ia berharap penyesalan akan datang terlambat. Cibiran demi cibiran menghujani Flora sejak pagi tadi. Bahkan sebelum sempat menyalakan komputer di meja kerjanya, bisikan tajam dari rekan-rekan satu lantai telah lebih dulu mengiris telinganya. “Eh, itu Flora yang ketahuan selingkuh?” “Iya, dia selingkuh dengan pria tua, katanya sampai diusir dari rumah keluarga Marshall.” “Padahal mukanya polos, ya. Ternyata, lebih liar dari kelihatannya.” Tawa kecil yang menggema di belakang punggungnya, lirih namun menghina, lebih menyakitkan daripada tamparan ibunda Nathan beberapa hari lalu. Tangannya gemetar saat mencoba menekan tombol keyboard, tapi semuanya terasa hampa. Hatinya kosong dengan pikirannya yang kalut. Foto-foto editan itu hasil rekayasa keji yang seolah menggambarkan Flora sedang bersantai mesra dengan Kasman—pria yang selama ini jadi bayangan mengerikan dari masa lalu keluarganya. Tak ada satu pun yang percaya bahwa semua itu palsu. Mereka lebih memilih percaya pada kebohongan yang terlihat meyakinkan daripada pada seorang perempuan yang selama ini bekerja tanpa cela. Flora mencoba bertahan. Tapi hari ini bukan lagi tentang harga diri. Ini tentang menyelamatkan apa yang tersisa dari hidupnya. Tangannya menggenggam sebuah amplop putih. Surat pengunduran diri yang ditulisnya semalam dengan air mata yang belum juga mengering hingga pagi ini. Setelah menyerahkan surat itu ke bagian HRD, ia kembali ke meja kerjanya. Meja kecil yang telah menjadi saksi kerja kerasnya selama hampir tiga tahun terakhir. Dengan tangan gemetar, ia mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam sebuah kotak karton besar: foto bersama neneknya, mug pemberian teman lama dan boneka kecil hadiah akhir tahun dari divisi keuangan. Ia menatap sekeliling, menyimpan satu per satu kenangan di dalam hati. Tak ada yang menyapanya. Tak ada yang menahan kepergiannya. Semua memilih diam—entah karena tak peduli atau memang senang melihat kejatuhannya. Langkah kakinya menyusuri lorong kantor yang selama ini jadi jalan pulangnya setiap sore. Tapi hari ini, jalan itu terasa seperti koridor terakhir menuju perpisahan. Dan saat ia hendak melangkah keluar dari lobby utama perusahaan, takdir memberinya satu hadiah terakhir—sebuah pertemuan. Nathan. Pria itu melangkah masuk dari arah pintu utama. Setelan jas hitam yang rapi, wajah dingin tanpa ekspresi dan sorot mata yang lurus menatap ke depan. Tidak ada sedikit pun tanda bahwa pria itu pernah memeluknya erat, pernah mencium keningnya sambil berjanji tak akan pernah meninggalkannya. Flora tertegun. Langkahnya terhenti. Kotak di pelukannya terasa berat, namun jauh lebih berat lagi adalah sesak di dalam dadanya. Ia menatap Nathan. Lama. Dalam. Mencari sedikit saja kehangatan yang dulu selalu ia dapat dari sorot mata pria itu. Tapi tidak hari ini. Nathan berjalan melewatinya tanpa menoleh sedikit pun. Seolah Flora bukan siapa-siapa. Seolah Flora hanya udara—tak terlihat dan tak terasa. Hatinya tercabik. “Nathan,” bisik Flora pelan nyaris tak terdengar. Ia bahkan tak yakin apakah suara itu keluar dari bibirnya atau hanya teriak sunyi dari dalam hatinya. Namun pria itu tetap berjalan. Tegas. Tanpa melambat. Tanpa memalingkan kepala. Sejenak waktu seperti berhenti. Flora berdiri diam di tengah koridor, dadanya bergemuruh. Kotak itu nyaris terjatuh dari pelukannya. Matanya mulai berkaca-kaca. Langkah kaki Nathan mulai menjauh, tapi rasa sesaknya justru semakin dekat. Flora menggigit bibirnya keras-keras. Ia berusaha menahan tangis, tapi air matanya tak peduli. Mereka tetap jatuh, satu per satu, membasahi pipi yang masih menyimpan jejak luka. Bukan karena tatapan sinis orang-orang. Bukan karena hinaan atau foto palsu itu. Tapi karena satu-satunya orang yang ia cintai telah menolak untuk melihatnya lagi. Flora menarik napas dalam-dalam. Ia menatap punggung Nathan untuk terakhir kali sebelum akhirnya melangkah keluar dari gedung itu. *** Sore menjelang, langit Jakarta mendung. Flora duduk sendirian di halte bersama kotak barangnya diletakkan di sisi kaki. Bus kota datang dan pergi tapi ia belum juga naik. Kepalanya tertunduk dengan pikirannya yang terus berputar. “Mungkin memang sudah waktunya aku pergi jauh.” Ia menggenggam ponselnya. Di layar tertera jadwal keberangkatan kereta malam ini menuju kota kelahiran ibunya di Jawa Timur. Neneknya telah menyetujui keputusan itu—pergi sejenak, menjauh dari luka yang terlalu dalam untuk segera disembuhkan. Namun satu hal masih belum bisa ia buang dari pikirannya. Nathan. Flora memeluk tubuhnya sendiri. Angin sore mulai berhembus lebih kencang. Entah karena cuaca atau karena hatinya. Tubuhnya mulai menggigil lagi. Ia tahu, meninggalkan kota ini berarti meninggalkan semuanya—termasuk kenangan. Tapi mungkin itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan dirinya sebelum luka itu membunuhnya perlahan-lahan.Sudah hampir dua bulan sejak malam kelam di gudang tua itu berlalu. Luka di tubuh Nathan telah mengering, dan luka di bahu Flora pun perlahan sembuh. Namun, luka yang tertinggal di hati mereka tidak sesederhana itu.Rumah Nathan kini jauh lebih tenang. Tak ada lagi penjaga berseragam hitam di setiap sudut, tak ada ketegangan bisnis yang membuat udara rumah terasa sesak. Hanya suara Nayla yang sesekali memecah keheningan dengan tawa kecilnya.Namun, di balik kedamaian itu, ada jarak yang belum sepenuhnya hilang.***Pagi itu, cahaya matahari menembus jendela kaca ruang makan, menciptakan kilau keemasan di atas meja. Nathan sedang menuangkan kopi ketika Flora masuk dengan langkah pelan, rambutnya masih sedikit berantakan. Ia mengenakan gaun rumah berwarna lembut, tampak sederhana namun menenangkan.“Pagi,” sapa Nathan dengan senyum hangat, tapi senyum itu sedikit kaku.“Pagi,” balas Flora pelan, duduk di kursi berhadapan dengannya.Keheningan menggantung beberapa detik sebelum Nathan ak
Sirene polisi meraung semakin keras, menggema di antara dinding gudang tua itu. Lampu merah biru menari liar di antara debu dan asap senjata. Di tengah kekacauan itu, Nathan menunduk, tubuhnya gemetar, memeluk Flora yang bersimbah darah di pelukannya.“Flora… bertahanlah, dengar aku…” suaranya parau, nyaris pecah. “Aku di sini, sayang. Aku tidak akan pergi lagi.”Flora berusaha tersenyum, bibirnya bergetar. “Kau… seharusnya… masih di rumah sakit…”Nathan memejamkan mata, air mata menetes di pipinya. “Aku dengar kau hilang. Aku cabut infus, paksa diri keluar. Aku tak bisa biarkan kau sendirian.”Sebelum Flora sempat menjawab, suara langkah berat dan bentakan polisi menggema dari luar.“Letakkan senjatamu, Reno! Kau dikepung!”Reno yang masih berdiri beberapa meter dari mereka menoleh cepat. Wajahnya pucat, keringat menetes di pelipisnya. Senjatanya terangkat, matanya liar.“Jangan mendekat!” teriaknya. “Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan! Aku punya bukti—semuanya ada di sini! Me
Flora menelan ludahnya. Kalimat pria itu menampar kesadarannya, menimbulkan rasa takut sekaligus penasaran yang saling bertabrakan di dalam dadanya.“Aku tidak mengerti,” ucap Flora lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh deru mesin. “Kalau kau tidak ingin dia mati, kenapa kau membuatku datang sendirian malam-malam begini?”Pria itu menyeringai samar, menghembuskan asap rokok ke arah jendela. “Karena hanya kau yang bisa menyelamatkannya, Flora Andini.”Jantung Flora serasa berhenti berdetak. Ia menatap pria itu penuh tanda tanya. “Menyelamatkannya? Bagaimana maksudmu?”Tatapan mata pria itu berkilat dingin. “Ada sesuatu yang ditanamkan di perusahaan milik Nathan—dokumen yang bisa menghancurkan reputasi seluruh keluarga Marshall. Kalau aku memberikannya ke tangan yang salah, Nathan tidak akan pernah keluar hidup-hidup dari meja operasi itu.”Flora tercekat, pandangannya bergetar. “Jadi ini... ancaman?”“Bukan ancaman,” pria itu mengoreksi, “kesempatan. Aku bisa memastikan tim medis beker
Malam itu, pilihan Flora hanya dua, menyerahkan dirinya ke dalam jebakan yang ia tak tahu pasti atau membiarkan Nathan berjuang sendirian di ruang operasi yang penuh risiko. *** Flora menggenggam ponselnya erat-erat, layar yang sudah gelap terasa seperti bara di telapak tangannya. Suara asing itu masih bergema di telinga, menancap tajam di pikirannya. “Kalau mau Nathan keluar hidup-hidup, temui aku malam ini. Sendirian.” Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia melirik sekilas ke arah Veronica, Melisa dan Tuan Marshall yang sibuk membicarakan tindakan medis berikutnya dengan dokter. Tidak ada seorang pun yang memperhatikan Flora. “Siapa yang meneleponmu?” suara kecil Nayla membuat Flora tersentak. Putrinya menatap dengan mata berkaca-kaca, penuh rasa ingin tahu sekaligus ketakutan. “Bukan siapa-siapa, sayang,” jawab Flora cepat sambil menyembunyikan ponsel ke dalam tasnya. Ia memeluk Nayla lebih erat, seolah dengan itu ia bisa menyembunyikan kegelisahan yang semakin menyesa
Flora tiba di rumah sakit dengan langkah tergesa, wajahnya pucat, napasnya memburu. Ia baru saja mendapat telepon dari salah satu perawat yang mengenalnya, mengabarkan bahwa Nathan dibawa ke Unit Gawat Darurat. Di pelukannya, Nayla terlelap, masih menyisakan bekas air mata di pipinya.Begitu sampai di lorong rumah sakit, pandangannya langsung tertuju pada Veronica, Melisa, dan Tuan Marshall. Ketiganya berdiri bersama, seolah menghadang jalan menuju ruang tindakan. Flora menatap mereka satu per satu, matanya tajam, tapi suaranya bergetar.“Di mana Nathan?” tanyanya.Veronica menoleh, wajahnya tegang. “Dia di dalam. Kondisinya kini kritis.” Nada bicaranya berbeda tidak lagi penuh kebencian, tapi ada nada gentar yang jarang Flora dengar.Flora melangkah maju. Namun Melisa berdiri di depannya, menahan dengan sengaja. “Kau tidak perlu di sini. Kau hanya membuatnya semakin tertekan.”Flora menatapnya dingin. “Aku adalah orang yang seharusnya berada di sisinya. Kalian yang membuatnya seperti
Malam berganti dengan cepat. Kegelapan yang menyelimuti langit tak ubahnya seperti kabut kelam yang menyelimuti hati Flora. Setelah seharian mencari Nayla tanpa hasil, tubuhnya mulai melemah, namun tidak dengan semangatnya. Ia duduk di beranda rumah, memeluk lutut, menatap jalan setapak yang sepi dengan tatapan kosong. Air matanya telah mengering, menyisakan perih yang mengendap di dada.Nathan mendapatkan informasi dari salah satu bawahannya jika Nayla hendak dibawa keluar pulau dan sedang dalam perjalanan menuju sebuah pelabuhan oleh ibunya, Veronica. Sementara itu, Nathan berada di dalam mobil, masih berusaha menghubungi sang ibu, Veronica Marshall. Berkali-kali ia menekan nomor yang sama, namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Kepalanya berdenyut karena panik dan lelah, tapi naluri sebagai seorang ayah tak membiarkannya berhenti terlebih ketik dia melirik ke arah Flora, hatinya terasa semakin hancur. Saat ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang yang tak dikenal. “D







