Share

Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya
Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya
Author: A Dreamer

Diusir Tanpa Kesalahan

Author: A Dreamer
last update Last Updated: 2025-02-03 19:12:53

"Mulai hari ini kau keluar dari rumah ini, Flora Andini!"

Suara bariton Nathan terdengar mengelegar di seluruh ruangan. Suaranya menyayat udara, membelah suasana pagi yang seharusnya damai menjadi mencekam. Semua mata yang hadir di ruang tamu mewah keluarga Marshall tertuju pada pasangan muda itu.

"Kau bukan lagi siapa-siapanya dari keluarga Marshall!"

Jari telunjuk Nathan pria berusia 28 tahun yang memiliki tubuh tegap dan proporsional itu menunjuk tajam ke arah wajah Flora, membuat gadis itu menunduk dalam, seperti seorang pesakitan. Sorot matanya tak lagi lembut seperti dulu—yang ada hanyalah bara kemarahan yang membakar habis sisa kasih yang pernah tumbuh di antara mereka.

"Nathan, maafkan aku! Aku mohon dengarkan penjelasan aku terlebih dahulu!"

Tubuh mungil Flora bersimpuh dengan lututnya yang menyentuh lantai marmer yang dingin. Suaranya parau, matanya sembab, tetapi masih menyimpan secercah harapan. Namun, tangan yang ia julurkan untuk meraih suaminya justru ditepis kasar. Tubuhnya terpental, membentur sisi sofa.

"Aku sudah tak mau mendengarkan penjelasan apa-apa lagi darimu!" Nathan mendesis penuh jijik. "Dasar wanita murahan yang gila oleh hartaku saja!"

Pekikan Nathan membuat jantung Flora serasa berhenti berdetak. Kalimat itu lebih menusuk dari semua penolakan yang pernah ia terima dalam hidupnya.

Flora menggeleng lemah, air matanya mengalir begitu saja. “Tidak… aku tidak pernah menginginkan hartamu, Nathan. Aku hanya mencintaimu…”

Namun, Nathan telah membangun tembok tinggi dari ego dan kekecewaannya. Ia memalingkan wajah, seolah tak ingin melihat air mata perempuan yang dulu rela ia perjuangkan segalanya.

“Segera bawa perempuan hina ini keluar dari rumah ini! Jangan sampai dia menginjakkan kakinya lagi di sini!” teriak Nathan kepada dua orang pengawal yang berdiri tak jauh di belakang.

Pengawal-pengawal itu segera bergerak. Flora mencoba bertahan, menggenggam pinggiran sofa, menggigit bibir menahan sakit yang menjalar dari lengannya yang memar.

"Tidak, Nathan! Kumohon!" suara Flora wanita berusia 24 tahun itu nyaris tak terdengar, tercekat di tenggorokannya. Tapi tubuhnya tetap diseret meski meronta pelan. Rambutnya berantakan, wajahnya penuh luka dan air mata.

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi Flora. Veronica—ibunda Nathan yang berusia hampir setengah abad namun tubuhnya masih langsing dan semampai itu berdiri dengan napas memburu, tangannya masih tergenggam seperti baru saja memukul sesuatu yang menjijikkan.

"Masih juga kau keras kepala!" pekiknya. "Sudah jelas-jelas kau mempermalukan keluarga ini, masih juga kau berharap dipertahankan?!"

Flora memegangi pipinya. Tamparan itu tak sebanding dengan luka yang lebih dalam di hatinya.

Nathan tetap tak menoleh. Seolah suara tamparan, jeritan Flora, bahkan suara hatinya sendiri tak penting lagi. Hatinya telah penuh prasangka. Penuh luka yang ia ciptakan sendiri.

“Aku…” Flora menggigit bibirnya, suaranya lemah tetapi penuh tekad. “Aku tidak pernah mengkhianati pernikahan kita, Nathan….”

Nathan mendadak menoleh. Matanya semerah bara. “Lalu apa yang kau sebut dengan foto mesra kau dengan Kasman, hah?! Rentenir keparat itu! Bukankah kau menjual diri demi melunasi utang keluargamu?! Jangan sok suci di depanku!”

Flora tertegun. Jadi ini yang menjadi penyebab semuanya?

Foto itu—yang ia sendiri pun tidak tahu dari mana asalnya.

“Itu tidak, itu palsu, itu rekayasa. Itu tak seperti yang kamu pikirkan,” ucapnya dengan napas tersengal. “Dia menjebakku. Aku tidak pernah—”

“Simpan saja sandiwaramu, Flora!” Nathan membentak. “Ternyata benar perkataan ibuku sejak awal. Kau hanya perempuan penggoda yang menjual air mata untuk naik kasta!”

Seketika Flora berhenti meronta. Matanya memandang Nathan lama—ada luka yang lebih dalam dari kemarahan. Ada rasa kehilangan yang tak bisa didefinisikan.

“Aku mencintaimu, Nathan. Bahkan ketika aku harus menggantikan semua utang nenekku pada Kasman, aku tidak pernah mengharapkan apa pun darimu. Semua yang kulakukan hanya karena aku tidak mau kamu ikut terbebani…”

“Cukup!” Nathan kembali berteriak. “Cinta macam apa yang membawamu tidur di pelukan pria lain?!”

Flora tercekat. Kepalanya menggeleng pelan, air mata menetes membasahi lantai.

“Aku tidak tidur dengannya. Aku tidak pernah mengkhianatimu,” bisiknya lirih. “Kalau aku ingin kaya, aku tidak akan memilih bertahan hidup denganmu saat semua keluargamu menolakku.”

Namun semua itu seperti menabrak dinding kebencian yang sudah terlalu tinggi. Nathan menoleh ke arah pengawalnya.

“Apa kalian menunggu aku mengusirnya dengan tanganku sendiri?! Bawa dia sekarang juga!”

Dengan paksa, tubuh Flora kembali ditarik. Kali ini ia tidak meronta. Tenaganya habis. Hatinya sudah lebih dulu hancur. Ia hanya sempat menoleh sekali ke arah Nathan, pria yang pernah ia cintai sepenuh hati, yang kini bahkan tak sudi melihatnya sebagai manusia.

Saat tubuhnya didorong melewati pintu depan rumah, Flora menatap langit pagi yang mendung.

Angin dingin menyambutnya, seperti menegaskan bahwa tak ada lagi tempat yang aman untuknya di dunia ini.

***

Satu Jam Kemudian

Langit semakin kelabu. Flora duduk di halte kosong, mengenakan pakaian yang kusut dan memeluk dirinya sendiri. Pipi kirinya masih memar, sudut bibirnya berdarah. Tapi luka yang lebih besar ada di dalam dadanya.

Hatinya berkata pada dirinya sendiri.

“Aku harus pergi dari kota ini. Mereka terlalu jahat. Mereka semua sudah termakan skenario Melisa. Aku tidak bersalah."

Air mata kembali mengalir.

Bukan hanya kehilangan cinta, ia juga sedang dikejar oleh sesuatu yang tak ia mengerti. Kasman? Apakah benar semua ini karena lelaki itu? Dia bingung dengan pikirannya sendiri.

Dengan sisa tenaga, ia berdiri. Ia harus bertahan. Harus menemukan kebenaran. Harus membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang mereka pikirkan.

Dan lebih dari apa pun, ia ingin membuat Nathan menyesal karena telah mengusirnya tanpa pernah mencoba mendengarkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Luka Yang Tak Terlihat

    Sudah hampir dua bulan sejak malam kelam di gudang tua itu berlalu. Luka di tubuh Nathan telah mengering, dan luka di bahu Flora pun perlahan sembuh. Namun, luka yang tertinggal di hati mereka tidak sesederhana itu.Rumah Nathan kini jauh lebih tenang. Tak ada lagi penjaga berseragam hitam di setiap sudut, tak ada ketegangan bisnis yang membuat udara rumah terasa sesak. Hanya suara Nayla yang sesekali memecah keheningan dengan tawa kecilnya.Namun, di balik kedamaian itu, ada jarak yang belum sepenuhnya hilang.***Pagi itu, cahaya matahari menembus jendela kaca ruang makan, menciptakan kilau keemasan di atas meja. Nathan sedang menuangkan kopi ketika Flora masuk dengan langkah pelan, rambutnya masih sedikit berantakan. Ia mengenakan gaun rumah berwarna lembut, tampak sederhana namun menenangkan.“Pagi,” sapa Nathan dengan senyum hangat, tapi senyum itu sedikit kaku.“Pagi,” balas Flora pelan, duduk di kursi berhadapan dengannya.Keheningan menggantung beberapa detik sebelum Nathan ak

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Comta Yang Tak Mudah Mati

    Sirene polisi meraung semakin keras, menggema di antara dinding gudang tua itu. Lampu merah biru menari liar di antara debu dan asap senjata. Di tengah kekacauan itu, Nathan menunduk, tubuhnya gemetar, memeluk Flora yang bersimbah darah di pelukannya.“Flora… bertahanlah, dengar aku…” suaranya parau, nyaris pecah. “Aku di sini, sayang. Aku tidak akan pergi lagi.”Flora berusaha tersenyum, bibirnya bergetar. “Kau… seharusnya… masih di rumah sakit…”Nathan memejamkan mata, air mata menetes di pipinya. “Aku dengar kau hilang. Aku cabut infus, paksa diri keluar. Aku tak bisa biarkan kau sendirian.”Sebelum Flora sempat menjawab, suara langkah berat dan bentakan polisi menggema dari luar.“Letakkan senjatamu, Reno! Kau dikepung!”Reno yang masih berdiri beberapa meter dari mereka menoleh cepat. Wajahnya pucat, keringat menetes di pelipisnya. Senjatanya terangkat, matanya liar.“Jangan mendekat!” teriaknya. “Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan! Aku punya bukti—semuanya ada di sini! Me

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Pilihan Yang Berat

    Flora menelan ludahnya. Kalimat pria itu menampar kesadarannya, menimbulkan rasa takut sekaligus penasaran yang saling bertabrakan di dalam dadanya.“Aku tidak mengerti,” ucap Flora lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh deru mesin. “Kalau kau tidak ingin dia mati, kenapa kau membuatku datang sendirian malam-malam begini?”Pria itu menyeringai samar, menghembuskan asap rokok ke arah jendela. “Karena hanya kau yang bisa menyelamatkannya, Flora Andini.”Jantung Flora serasa berhenti berdetak. Ia menatap pria itu penuh tanda tanya. “Menyelamatkannya? Bagaimana maksudmu?”Tatapan mata pria itu berkilat dingin. “Ada sesuatu yang ditanamkan di perusahaan milik Nathan—dokumen yang bisa menghancurkan reputasi seluruh keluarga Marshall. Kalau aku memberikannya ke tangan yang salah, Nathan tidak akan pernah keluar hidup-hidup dari meja operasi itu.”Flora tercekat, pandangannya bergetar. “Jadi ini... ancaman?”“Bukan ancaman,” pria itu mengoreksi, “kesempatan. Aku bisa memastikan tim medis beker

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Tawaran Yang Menghancurkan

    Malam itu, pilihan Flora hanya dua, menyerahkan dirinya ke dalam jebakan yang ia tak tahu pasti atau membiarkan Nathan berjuang sendirian di ruang operasi yang penuh risiko. *** Flora menggenggam ponselnya erat-erat, layar yang sudah gelap terasa seperti bara di telapak tangannya. Suara asing itu masih bergema di telinga, menancap tajam di pikirannya. “Kalau mau Nathan keluar hidup-hidup, temui aku malam ini. Sendirian.” Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia melirik sekilas ke arah Veronica, Melisa dan Tuan Marshall yang sibuk membicarakan tindakan medis berikutnya dengan dokter. Tidak ada seorang pun yang memperhatikan Flora. “Siapa yang meneleponmu?” suara kecil Nayla membuat Flora tersentak. Putrinya menatap dengan mata berkaca-kaca, penuh rasa ingin tahu sekaligus ketakutan. “Bukan siapa-siapa, sayang,” jawab Flora cepat sambil menyembunyikan ponsel ke dalam tasnya. Ia memeluk Nayla lebih erat, seolah dengan itu ia bisa menyembunyikan kegelisahan yang semakin menyesa

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Ketegangan Di Rumah Sakit

    Flora tiba di rumah sakit dengan langkah tergesa, wajahnya pucat, napasnya memburu. Ia baru saja mendapat telepon dari salah satu perawat yang mengenalnya, mengabarkan bahwa Nathan dibawa ke Unit Gawat Darurat. Di pelukannya, Nayla terlelap, masih menyisakan bekas air mata di pipinya.Begitu sampai di lorong rumah sakit, pandangannya langsung tertuju pada Veronica, Melisa, dan Tuan Marshall. Ketiganya berdiri bersama, seolah menghadang jalan menuju ruang tindakan. Flora menatap mereka satu per satu, matanya tajam, tapi suaranya bergetar.“Di mana Nathan?” tanyanya.Veronica menoleh, wajahnya tegang. “Dia di dalam. Kondisinya kini kritis.” Nada bicaranya berbeda tidak lagi penuh kebencian, tapi ada nada gentar yang jarang Flora dengar.Flora melangkah maju. Namun Melisa berdiri di depannya, menahan dengan sengaja. “Kau tidak perlu di sini. Kau hanya membuatnya semakin tertekan.”Flora menatapnya dingin. “Aku adalah orang yang seharusnya berada di sisinya. Kalian yang membuatnya seperti

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Badai Itu Kembali Datang

    Malam berganti dengan cepat. Kegelapan yang menyelimuti langit tak ubahnya seperti kabut kelam yang menyelimuti hati Flora. Setelah seharian mencari Nayla tanpa hasil, tubuhnya mulai melemah, namun tidak dengan semangatnya. Ia duduk di beranda rumah, memeluk lutut, menatap jalan setapak yang sepi dengan tatapan kosong. Air matanya telah mengering, menyisakan perih yang mengendap di dada.Nathan mendapatkan informasi dari salah satu bawahannya jika Nayla hendak dibawa keluar pulau dan sedang dalam perjalanan menuju sebuah pelabuhan oleh ibunya, Veronica. Sementara itu, Nathan berada di dalam mobil, masih berusaha menghubungi sang ibu, Veronica Marshall. Berkali-kali ia menekan nomor yang sama, namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Kepalanya berdenyut karena panik dan lelah, tapi naluri sebagai seorang ayah tak membiarkannya berhenti terlebih ketik dia melirik ke arah Flora, hatinya terasa semakin hancur. Saat ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang yang tak dikenal. “D

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status