"Mulai hari ini kau keluar dari rumah ini, Flora Andini!"
Suara bariton Nathan terdengar mengelegar di seluruh ruangan. Suaranya menyayat udara, membelah suasana pagi yang seharusnya damai menjadi mencekam. Semua mata yang hadir di ruang tamu mewah keluarga Marshall tertuju pada pasangan muda itu. "Kau bukan lagi siapa-siapanya dari keluarga Marshall!" Jari telunjuk Nathan pria berusia 28 tahun yang memiliki tubuh tegap dan proporsional itu menunjuk tajam ke arah wajah Flora, membuat gadis itu menunduk dalam, seperti seorang pesakitan. Sorot matanya tak lagi lembut seperti dulu—yang ada hanyalah bara kemarahan yang membakar habis sisa kasih yang pernah tumbuh di antara mereka. "Nathan, maafkan aku! Aku mohon dengarkan penjelasan aku terlebih dahulu!" Tubuh mungil Flora bersimpuh dengan lututnya yang menyentuh lantai marmer yang dingin. Suaranya parau, matanya sembab, tetapi masih menyimpan secercah harapan. Namun, tangan yang ia julurkan untuk meraih suaminya justru ditepis kasar. Tubuhnya terpental, membentur sisi sofa. "Aku sudah tak mau mendengarkan penjelasan apa-apa lagi darimu!" Nathan mendesis penuh jijik. "Dasar wanita murahan yang gila oleh hartaku saja!" Pekikan Nathan membuat jantung Flora serasa berhenti berdetak. Kalimat itu lebih menusuk dari semua penolakan yang pernah ia terima dalam hidupnya. Flora menggeleng lemah, air matanya mengalir begitu saja. “Tidak… aku tidak pernah menginginkan hartamu, Nathan. Aku hanya mencintaimu…” Namun, Nathan telah membangun tembok tinggi dari ego dan kekecewaannya. Ia memalingkan wajah, seolah tak ingin melihat air mata perempuan yang dulu rela ia perjuangkan segalanya. “Segera bawa perempuan hina ini keluar dari rumah ini! Jangan sampai dia menginjakkan kakinya lagi di sini!” teriak Nathan kepada dua orang pengawal yang berdiri tak jauh di belakang. Pengawal-pengawal itu segera bergerak. Flora mencoba bertahan, menggenggam pinggiran sofa, menggigit bibir menahan sakit yang menjalar dari lengannya yang memar. "Tidak, Nathan! Kumohon!" suara Flora wanita berusia 24 tahun itu nyaris tak terdengar, tercekat di tenggorokannya. Tapi tubuhnya tetap diseret meski meronta pelan. Rambutnya berantakan, wajahnya penuh luka dan air mata. PLAK! Tamparan keras mendarat di pipi Flora. Veronica—ibunda Nathan yang berusia hampir setengah abad namun tubuhnya masih langsing dan semampai itu berdiri dengan napas memburu, tangannya masih tergenggam seperti baru saja memukul sesuatu yang menjijikkan. "Masih juga kau keras kepala!" pekiknya. "Sudah jelas-jelas kau mempermalukan keluarga ini, masih juga kau berharap dipertahankan?!" Flora memegangi pipinya. Tamparan itu tak sebanding dengan luka yang lebih dalam di hatinya. Nathan tetap tak menoleh. Seolah suara tamparan, jeritan Flora, bahkan suara hatinya sendiri tak penting lagi. Hatinya telah penuh prasangka. Penuh luka yang ia ciptakan sendiri. “Aku…” Flora menggigit bibirnya, suaranya lemah tetapi penuh tekad. “Aku tidak pernah mengkhianati pernikahan kita, Nathan….” Nathan mendadak menoleh. Matanya semerah bara. “Lalu apa yang kau sebut dengan foto mesra kau dengan Kasman, hah?! Rentenir keparat itu! Bukankah kau menjual diri demi melunasi utang keluargamu?! Jangan sok suci di depanku!” Flora tertegun. Jadi ini yang menjadi penyebab semuanya? Foto itu—yang ia sendiri pun tidak tahu dari mana asalnya. “Itu tidak, itu palsu, itu rekayasa. Itu tak seperti yang kamu pikirkan,” ucapnya dengan napas tersengal. “Dia menjebakku. Aku tidak pernah—” “Simpan saja sandiwaramu, Flora!” Nathan membentak. “Ternyata benar perkataan ibuku sejak awal. Kau hanya perempuan penggoda yang menjual air mata untuk naik kasta!” Seketika Flora berhenti meronta. Matanya memandang Nathan lama—ada luka yang lebih dalam dari kemarahan. Ada rasa kehilangan yang tak bisa didefinisikan. “Aku mencintaimu, Nathan. Bahkan ketika aku harus menggantikan semua utang nenekku pada Kasman, aku tidak pernah mengharapkan apa pun darimu. Semua yang kulakukan hanya karena aku tidak mau kamu ikut terbebani…” “Cukup!” Nathan kembali berteriak. “Cinta macam apa yang membawamu tidur di pelukan pria lain?!” Flora tercekat. Kepalanya menggeleng pelan, air mata menetes membasahi lantai. “Aku tidak tidur dengannya. Aku tidak pernah mengkhianatimu,” bisiknya lirih. “Kalau aku ingin kaya, aku tidak akan memilih bertahan hidup denganmu saat semua keluargamu menolakku.” Namun semua itu seperti menabrak dinding kebencian yang sudah terlalu tinggi. Nathan menoleh ke arah pengawalnya. “Apa kalian menunggu aku mengusirnya dengan tanganku sendiri?! Bawa dia sekarang juga!” Dengan paksa, tubuh Flora kembali ditarik. Kali ini ia tidak meronta. Tenaganya habis. Hatinya sudah lebih dulu hancur. Ia hanya sempat menoleh sekali ke arah Nathan, pria yang pernah ia cintai sepenuh hati, yang kini bahkan tak sudi melihatnya sebagai manusia. Saat tubuhnya didorong melewati pintu depan rumah, Flora menatap langit pagi yang mendung. Angin dingin menyambutnya, seperti menegaskan bahwa tak ada lagi tempat yang aman untuknya di dunia ini. *** Satu Jam Kemudian Langit semakin kelabu. Flora duduk di halte kosong, mengenakan pakaian yang kusut dan memeluk dirinya sendiri. Pipi kirinya masih memar, sudut bibirnya berdarah. Tapi luka yang lebih besar ada di dalam dadanya. Hatinya berkata pada dirinya sendiri. “Aku harus pergi dari kota ini. Mereka terlalu jahat. Mereka semua sudah termakan skenario Melisa. Aku tidak bersalah." Air mata kembali mengalir. Bukan hanya kehilangan cinta, ia juga sedang dikejar oleh sesuatu yang tak ia mengerti. Kasman? Apakah benar semua ini karena lelaki itu? Dia bingung dengan pikirannya sendiri. Dengan sisa tenaga, ia berdiri. Ia harus bertahan. Harus menemukan kebenaran. Harus membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang mereka pikirkan. Dan lebih dari apa pun, ia ingin membuat Nathan menyesal karena telah mengusirnya tanpa pernah mencoba mendengarkan.Malam berganti dengan cepat. Kegelapan yang menyelimuti langit tak ubahnya seperti kabut kelam yang menyelimuti hati Flora. Setelah seharian mencari Nayla tanpa hasil, tubuhnya mulai melemah, namun tidak dengan semangatnya. Ia duduk di beranda rumah, memeluk lutut, menatap jalan setapak yang sepi dengan tatapan kosong. Air matanya telah mengering, menyisakan perih yang mengendap di dada.Nathan mendapatkan informasi dari salah satu bawahannya jika Nayla hendak dibawa keluar pulau dan sedang dalam perjalanan menuju sebuah pelabuhan oleh ibunya, Veronica. Sementara itu, Nathan berada di dalam mobil, masih berusaha menghubungi sang ibu, Veronica Marshall. Berkali-kali ia menekan nomor yang sama, namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Kepalanya berdenyut karena panik dan lelah, tapi naluri sebagai seorang ayah tak membiarkannya berhenti terlebih ketik dia melirik ke arah Flora, hatinya terasa semakin hancur. Saat ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang yang tak dikenal. “D
Suasana rumah sederhana milik Flora sore itu mendadak berubah panas ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan halaman. Flora yang tengah menyiram tanaman di pekarangan, mengerutkan dahi melihat sosok tinggi semampai turun dari kendaraan. Wajahnya cantik sempurna, namun matanya menyala penuh amarah.“Melisa Gunawan,” gumam Flora pelan, tubuhnya kaku.“Jadi ini tempatmu bersembunyi, Flora Andini!” seru Melisa tajam, suaranya menggema menusuk udara sore yang damai. “Hidup seperti wanita desa, namun masih merebut apa yang menjadi milikku!”“Melisa, hentikan omong kosongmu itu!” ucap Flora tenang, meski jantungnya berdegup tak karuan.Melisa berjalan cepat menghampiri, hak sepatunya menghentak tanah dengan kasar. “Kau tahu persis maksudku! Jangan berpura-pura polos! Kau pikir hanya karena Nathan datang beberapa kali ke mari, kau bisa kembali menguasai hatinya?”“Sudah cukup, Melisa. Ada anak kecil di sini,” bisik Flora, menoleh ke arah anak kecil yang berdiri di ambang pintu bersam
Tiga tahun telah berlalu.Langit pagi di desa kecil tempat Flora menetap kini terlihat lebih jernih dibandingkan langit kota yang dulu penuh kebisingan dan kabut polusi. Kabut tipis menggantung di atas sawah dan ladang, menciptakan pemandangan yang menenangkan bagi siapa pun yang melihatnya.Di sebuah rumah sederhana yang berdiri di pinggir kebun kecil, Flora Andini kini hidup sebagai seorang petani. Ia mengelola sebidang tanah warisan keluarga dengan penuh kesabaran. Hidupnya tak lagi mewah, tak lagi dikelilingi pelayan atau fasilitas kelas atas. Tapi di balik segala kesederhanaan itu, ia menemukan hal yang selama ini tak pernah ia temukan di rumah mewah keluarga Marshall—ketenangan.Di tengah kesibukannya mengangkut hasil panen sayuran ke dalam keranjang rotan, terdengar tawa kecil dari balik pintu rumah kayu itu.“Nayla Tiara Maharani, jangan lari-lari, Nak. Kotor bajumu nanti,” seru Flora lembut sambil tersenyum.Seorang anak perempuan kecil berambut ikal dan bermata bulat keluar
Langkah Flora mulai gontai. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin dari angin sore yang menusuk tulang, tapi karena jiwanya terasa kosong. Pipinya masih perih karena tamparan Veronica dan hatinya remuk karena pengkhianatan cinta yang selama ini ia perjuangkan.Rumah kecil di ujung gang sempit itu akhirnya terlihat. Rumah neneknya—satu-satunya tempat yang dulu selalu membuatnya merasa aman. Namun kini, bahkan untuk berdiri tegak di depan pintu itu saja, lutut Flora nyaris tak mampu lagi menopang tubuhnya.Langkah kakinya menyeret, menimbulkan bunyi gesekan yang lemah di atas ubin teras. Bunyi itu cukup membuat sang nenek, yang kerap di sapa Nyai Marlina, yang tengah duduk membaca doa di ruang tengah, segera berdiri dan membuka pintu.“Siapa di luar sana?” serunya panik.Begitu pintu terbuka, tubuh Flora langsung ambruk di kaki wanita tua itu.“Ya tuhan! Flora!!” jerit neneknya kaget, ia langsung bersimpuh memeluk tubuh cucu satu-satunya yang tergeletak tak sadarkan diri.Nenek M
"Mulai hari ini kau keluar dari rumah ini, Flora Andini!"Suara bariton Nathan terdengar mengelegar di seluruh ruangan. Suaranya menyayat udara, membelah suasana pagi yang seharusnya damai menjadi mencekam. Semua mata yang hadir di ruang tamu mewah keluarga Marshall tertuju pada pasangan muda itu."Kau bukan lagi siapa-siapanya dari keluarga Marshall!"Jari telunjuk Nathan pria berusia 28 tahun yang memiliki tubuh tegap dan proporsional itu menunjuk tajam ke arah wajah Flora, membuat gadis itu menunduk dalam, seperti seorang pesakitan. Sorot matanya tak lagi lembut seperti dulu—yang ada hanyalah bara kemarahan yang membakar habis sisa kasih yang pernah tumbuh di antara mereka."Nathan, maafkan aku! Aku mohon dengarkan penjelasan aku terlebih dahulu!"Tubuh mungil Flora bersimpuh dengan lututnya yang menyentuh lantai marmer yang dingin. Suaranya parau, matanya sembab, tetapi masih menyimpan secercah harapan. Namun, tangan yang ia julurkan untuk meraih suaminya justru ditepis kasar. Tub