Renata hanya bergeming, matanya kini kehilangan binarnya. "Kalau aku bilang aku masih perawan. Apa kamu percaya?" tanyanya dengan serak dan parau.
Abimana tersenyum sinis membuat jantung Renata mencelos. "Heh! Yang benar saja! Aku bahkan pernah melihat video syurmu. Kamu sangat hebat saat di atas dan membuatku sangat jijik!" jawab Abimana dengan ketus. Pria itu duduk dengkuh di singgasananya. Video? "Ya ampun!" Renata menggeleng-gelengkan kepalanya. Sekarang dia tahu akar dari kebencian Abimana. Dia baru ingat dengan video skandalnya tiga tahun lalu sebelum menikah. Padahal itu hasil editan AI. Semua orang juga tahu itu, tapi suami terkutuknya itu ternyata sangat bodoh. Renata berdecak sambil memutar bola matanya dengan jengah. "Ayolah, Abi!" ujarnya dengan suara mendayu-dayu. Wanita dengan tinggi badan 175 cm dengan lekuk tubuh yang indah itu berjalan mengitari meja kerja Abimana. Wanita berstatus Nyonya Mahendra dengan lancang duduk di atas pangkuan suaminya. Jari lentiknya menjelajah dada bidang pria itu secara sensual. Lalu dengan lembut mengusap rahang kokoh yang mengeras, saat matanya yang besar bersitatap dengan mata Abimana yang menghunus tajam, sudut bibir wanita itu terangakat, "Berhenti menatapku seperti itu, Abi! Aku takutt! Haha ... " Kelakar Renata menggema memenuhi ruangan dingin dan sunyi itu. "Turun!!!" pekik pria bernama Abimana Levi Mahendra. Wajahnya mengeras, namun tubuhnya terasa panas. Sial!! Hampir saja pertahanannya runtuh. "Cih!! Galak sekali kamu sayang! Aku ini istrimu." Renata bangun sambil memanyunkan bibirnya. Tingkah dan sikap Renata benar-benar membuat Abimana merasa mual. Wanita itu langsung berdiri dan mencengkram lengannya dengan kuat, "Kamu memang wanita binal dan tidak tahu bahasa manusia! Berulang kali aku bilang, jangan pernah menyentuhku. Aku jijik padamu!" eram pria itu. Lengan Renata rasanya akan remuk, tapi rasa sakitnya tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Kata jijik dan tatapan dingin Abimana lah yang membuat hatinya hancur berkali-kali. Renata mengangkat sebelah alisnya dan mengerjabkan matanya yang memamas. Dia tersenyum getir, batas kesabarannya telah habis. Dia harus mencintai dirinya sekarang atau dia akan berakhir gila atau membunuh dirinya sendiri. Renata menghela nafas dan berkata lemah, "Ibu Sofia memang benar! Kita tidak perlu bertahan dengan pria yang buta mata hatinya! Aku akan menandatangani surat perpisahan itu tapi dengan satu syarat?" Abimana mengangkat sebelah alisnya, cekalannya melonggar. "Kamu meminta uang atau saham? Atau harta gono gini? Wanita matre!" ujarnya dengan ketus. Apapun akan dia berikan kecuali saham. Abimana salah menilai Renata, wanita itu sebenarnya sangat pendendam. Tapi karena terikat sumpah dengan mendiang Ayahnya lah alasan Renata bersikap sabar selama ini. Namun pengorbanan dan pengabdiannya selama tiga tahun ini ternyata sia-sia. "Kamu bilang aku matre ya? Baiklah kalau begitu! Akan aku tunjukan betapa matrenya aku!" ujarnya dengan tatapan dingin sambil menyingkirkan cekalan tangan pria itu. "Akhirnya kamu membuka topengmu sekarang!" cibir Abimana dengan tatapan malas. Renata tertawa hambar, dia mengitari meja dan menarik kursi lalu duduk berhadapan dengan Abimana. Wanita itu mengambil bolpoin dan memainkannya seolah-olah sedang berpikir. Tapi sebenarnya dia sedang menyembunyikan kesedihannya. "Kamu yakin tidak akan menyesal suatu hati nanti, Abi?" tanya Renata sekali lagi, hanya untuk memastikan. Abimana mencondongkan tubuhnya kedepan lalu berbisik, "Yakin 100 persen!" pungkasnya. "Jadi katakan apa yang kamu mau?" "Benarkah? Apapun yang aku minta?" tanya Renata dengan senyum menggoda. Wajah Abimana terlihat muram, "Apapun akan aku kabulkan, asalkan bisa menyingkirkan wanita sepertimu dari hidupku!" ujarnya dengan ketus. Renata berdecis sinis tatapannya sangat tajam, "Kalau aku meminta saham perusahaanmu. Apa kamu akan memberikannya?" Mata Abimana membulat seketika, wajahnya terlihat menahan kesal, "Katakan jalang!" eramnya. Renata tertawa hambar, akhirnya dia bisa melihat ketakutan di wajah suaminya itu. "Suamiku tercinta, tenang lah ... aku tidak akan meminta harta gono gini ataupun saham. Kamu hanya perlu membayar kompensasi saja dan satu permintaan." "Katakan!" eram Abimana. Dia merasa sedang di permainkan sekarang. Renata berdiri dan duduk di atas meja, matanya menatap Abimana dengan lekat, "Cium aku sekarang untuk terakhir kalinya!" ujarnya lirih sambil mengedipkan mata dengan genit. Abimana tercengang, wanita ini benar-benar tidak tahu malu. Abimana mengepalkan tangannya, wajahnya menggelap. Dia langsung menarik lengan wanita itu dan melumat bibirnya dengan kasar. Ehhh!!!! Cup! Mata Renata melotot, dia hanya bercanda dan Abimana benar-benar menciumnya. Ciuman itu berlangsung cukup lama. Hingga? "Awwww!!" Abimana memekik, Renata menggigit bibirnya hingga berdarah. "Bagaimana? Enak?" tanya Renata dengan sudut bibir terangkat. Akhirnya Renata berhasil memberi pria angkuh itu pelajaran. Renata mengambil dokumen itu tanpa menandatanganinya lalu pergi meninggalkan Abimana yang berdiri dengan wajah menggelap. "Urusan kita belum selesai!" pekik Abimana. Karena terlalu kesal dia meninju meja kerjanya dengan keras. Brakk!!Sorot mata Aisha dipenuhi rasa bersalah, dia melirik putranya dan memberi isyarat. Dona melotot horor, dia ingin mencabik-cabik tubuh Renata yang lancang itu.Nabila yang baru sampai dengan keringat bercucuran dan nafas tersengal langsung marah saat mendengar Renata meminta kompensasi.Nabila yang tidak terima langsung berkacak pinggang, "Hei!!! Dasar tidak tahu diri. Beraninya kamu meminta saham. Saham itu untukku dan Kak Abi!"Renata langsung menerkam Nabila dengan teriakan dan kata-kata yang pedas. Dia sudah tidak segan lagi, toh gadis itu sudah bukan adik iparnya. "Gadis busuk! Saham 30% persen itu di berikan padaku oleh kakekmu sendiri. Jika kamu tidak terima, kamu bisa pergi ke akhirat dan protes pada Kakekmu!"Secara tidak langsung Renata mengutuk Nabila untuk mati. Nabila pun tidak mau kalah, "Kakekku sudah mati tapi Nenekku masih hidup. Aku tidak akan membiarkanmu mengambil jatah warisanku!" pekik Nabila. Gadis itu berlari mendekati Neneknya lalu mengeluh, "Nenek! Usir Rena
Semua orang sama-sama terkejut dengan sikap kasar Renata. Dayana berpura-pura menangis tersedu-sedu dan berkata, "Kak Renata, aku memang salah. Tapi aku sudah minta maaf." Renata tersenyum sinis, melihat akting Dayana. Setelah mencengkram pinggangnya dan bahkan mengumpatnya, sekarang dia bersikap menjadi korban. Benar-benar menjijikan! Rupanya gadis licik itu tidak puas membuatnya bercerai, dia juga ingin membuat semua orang membencinya. Setiap kata Dayana mengandung provokasi. Wajah Renata merah padam, dadanya sesak penuh amarah. Tanpa ragu dia mengangkat tangannya dan hendak menampar gadis itu. "Akkkhhhh!" Renata tercengang, tangannya masih belum menyentuh Dayana tapi dia sudah menjerit dengan heboh. Semua menunjukan reaksi yang berbeda-beda. Aisha hanya menutup telinga dan alisnya berkerut. Dona dan Nabila berkedip dengan canggung. Sedangkan Abimana tidak peduli sedikit pun. Abimana langsung menangkap tubuh Renata dan menahannya dari belakang dengan erat. Renata berkedip s
Moris memejamkan matanya, pundaknya naik turun dengan cepat. Moris adalah pria yang baik hati dan lurus. Jadi walaupun dia sangat menyayangi putrinya, dia tetap akan bersikap tegas jika Dayana berbuat salah."Kamu menjebaknya?" tanya Moris dengan penuh amarah.Dayana tersentak, dia langsung berlutut di kaki ayahnya. "Ayah maafkan aku. Tapi aku putrimu, aku sedang hamil. Huhuhu."Dona membela Dayana, "Pak Moris ... putrimu sedang hamil."Wajah Moris terlihat pucat, dia merasa sangat malu dan sedih. Putri kecilnya yang manis, melakukan hal yang tidak bermoral. Dia sangat marah tapi juga kasihan karena putrinya sedang hamil. Dia pun akhirnya luluh dan menarik putrinya ke dalam pelukannya.Melihat Dayana begitu menderita, Dona pun semakin marah. "Jangan buat Ibu malu Abi! Dayana sudah hamil, kamu harus bertanggung jawab!" Dona memekik dengan mata melotot.Abimana tetap kekeh pada pendiriannya, "Tidak Ibu! Aku tidak akan menikahi gadis itu."Dayana memang bersalah, tapi nasi sudah menjadi
Wanita tua itu menggeleng lalu berkata dengan suara getir, "Maafkan Nenek, Ren." Renata menggeleng dengan cepat lalu mencium punggung tangan Aisha dengan penuh kasih sayang. Hati Aisha bergetar, dia semakin erat menggenggam tangan gadis itu dan merasa tidak tega. Melihat kedekatan antara Aisha dan Renata, dahi Moris berkerut, wajahnya tampak rumit seolah-olah sedang menimbang-nimbang. Takut Aisha goyah, Dayana menggoyangkan lengan ayahnya. Moris menundukan wajahnya, melihat putrinya cemberut dengan mata memerah sambil menahan tangis. Pria itu pun berdehem lalu memanggil Aisha, "Bu Aisha ... " Aisha memejamkan matanya sejenak. Panggilan Moris adalah peringatan untuknya. Dia pun menarik nafas dengan berat lalu melepas tangan Renata dan berkata dengan tidak berdaya, "Bercerailah dengan Abimana, Ren." Setelah mengatakan permintaan yang kejam, Aisha menarik tangannya. Dia merasa tidak tega saat melihat wajah Renata dan Abimana. Permintaan Aisha seperti petir di siang bolong bagi Ren
Plak! Abimana memukul pantat wanita itu dengan gemas, "Diam!" Renata hanya bisa menggertakkan giginya dengan kesal dan menutupi wajahnya yang memerah. Abimana terus berjalan menyusuri jalan kecil menuju mobilnya yang terparkir di tepi jalan. Hingga saat Abimana hendak membuka pintu mobil, ponsel di saku celananya bergetar. Pria itu merogoh ponselnya. Nama Reino tercantum di layar, pria itu menggeser tanda hijau dan mendekatkannya ke telinga. "Halo!!" Di ujung tempat lain, Reino sedang mengemudikan mobil menuju rumah sakit setelah Reino mendapatkan panggilan dari Adam. "Ehh ... Tuan," jawab Reino dengan ragu setelah mendengar suara Abimana yang terdengar berat dan terengah-engah. Apalagi Renata yang terus mengeluh kalau pinggangnya sakit dan minta berhenti terdengar ambigu. Reino pun di seberang sana hanya bisa menggaruk kepalanya hingga suara Abimana kembali menggema dan memekik di gendang telinganya, "Reino!" Reino tersentak, lalu menjawab dengan cepat, "Nyonya besar masuk rum
Renata sedikit tersentak, rasa sakit yang dia rasakan seketika menyadarkannya dari kebodohan. Wanita itu menggenggam lengan Abimana dengan erat, dia menatap mata Abimana yang dalam dan menyelaminya. Dia berharap bisa menemukan jawaban dari segala pertanyaan yang mulai bermunculan. Apakah pria ini mencintainya? Atau hanya dia yang terjebak dalam cinta itu? Melihat mata Renata dipenuhi keraguan, Abimana mengerutkan alisnya. Pria itu menangkup wajah kecil Renata dan sedikit mencubit pipinya, "Ada apa?" Wanita itu tersadar, matanya memancarkan hawa dingin. Dia pun memalingkan wajahnya lalu berkata dengan acuh, "Di sini kita hanya berdua. Jadi aku tidak akan menahan diri lagi." "Maksudmu?" tanya Abimana dengan air muka heran. Renata mengabaikannya dan memilih menatap ke arah cahaya jingga yang mulai memudar dengan hati yang dipenuhi pergolakan. Deburan ombak yang menggulung itu seolah-olah telah menelannya ke dalam kehampaan. Abimana mengangkat tangan dan menyentuh bahu wanita itu d