Pukul 22.15 WIB, Farhan dan Vana tiba di rumah, setelah mengantar Vana ke kamar Farhan langsung menuju kamarnya dengan wajah marah.
Farhan membuka pintu kamar dengan dorongan keras. Anjani yang sedang duduk melamun menoleh ke sumber suara. Ia menatap datar kedatangan suaminya. "Semua karenamu! Jari Vana harus dijahit!” Anjani hanya menatap datar tanpa berminat menjawab. Biasanya jika suaminya marah, dia akan cepat-cepat meminta maaf, tapi kali ini dia hanya diam. Melihat Anjani hanya diam membuat Farhan tambah kesal. Berjalan cepat menghampiri kemudian menarik tangan Anjani kasar. “Aku bicara padamu!” “Aku gak ingin bicara sama kamu, Mas! Silahkan tidur di kamar tamu!” Anjani menarik tangannya kasar. Farhan menahan amarah mendengar ucapan Anjani. “Kamu ngusir aku?” “Aku gak usir kamu, Mas. Bukannya kalau kamu kesal sama aku, kamu akan tidur di kamar tamu?“ Farhan hanya mendengkus, ia berjalan menuju kamar mandi tanpa mengungkit lagi masalah Vana. Beberapa saat kemudian Farhan ke luar dari dalam kamar mandi berjalan menuju tempat tidur. Kali ini lelaki itu merebahkan tubuhnya di sana. "Aku akan tidur di sini.” Suaranya terdengar dingin. Anjani tak menanggapi, ia masih terluka atas kenyataan siapa wanita yang dicintai suaminya. Ia kembali menekan dadanya yang semakin sesak. Air matanya kembali tumpah. Dengan cepat ia usap pipinya lalu berbalik menatap Farhan. “Ayo kita bercerai, Mas.“ Farhan membuka kedua matanya, menatap Anjani dengan ekspresi datar. “Aku sudah bilang, kita tidak akan bercerai sampai kapanpun.” Meskipun tahu istrinya habis menangis, tapi tatapan Farhan tetap saja datar. Pria itu tak ada keinginan untuk bertanya kenapa istrinya itu menangis. "Aku lelah seperti ini terus! Aku ingin bercerai!” Farhan duduk bersandar di kepala ranjang dengan helaan napas kasar. "Sudah berapa kali aku bilang, sampai kapanpun kita gak akan bercerai!“ Anjani tersenyum sinis. "Apa kamu anggap aku sebagai panjang, Mas?! Apa kita akan hidup seperti ini seumur hidup?!” Farhan memejamkan mata, lalu membukanya kembali. Kini tatapnya begitu lekat menatap Anjani. "Aku sedang berusaha menerimamu.“ Lagi-lagi Anjani tersenyum sinis. "Mencoba menerimaku?“ Ia tertawa. Merasa lucu mendengar ucapan Farhan. "Ini sudah satu tahun! Aku lelah.” "Beri aku waktu sebentar lagi. Menghapus orang yang kita cintai itu sangat sulit.” "Sudah tau sulit, tapi kamu tetap menikahiku, Mas? Ap kamu gak mikirin gimana perasaanku?” sinis Anjani. "Aku menikahimu karena tau kamu wanita yang sabar. Kamu pasti bisa sabar menungguku siap menerimamu.“ Anjani tersenyum miring. "Maaf, kamu salah Mas. Aku bukan wanita yang begitu sabarnya hingga harus menunggumu bertahun-tahun lagi. Sudah cukup satu tahun aku membuang waktuku untuk mencintaimu.” Ia berdiri dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu kamar. Sebelum membuka pintu Anjani berkata, "Aku akan tidur di ruang tamu.” Lalu ke luar dari kamar. Farhan meraup wajah kasar menatap pintu yang kembali tertutup. Cinta yang begitu dalam membuatnya tak mampu menghapus nama wanita itu dalam hatinya. Vana berhenti saat melihat Kakak iparnya tidur di sofa yang ada di ruang tamu. Ia berjalan mendekati wanita itu. "Mbak Anjani,“ panggilnya. Anjani hanya menoleh sekilas tanpa ingin bangun dan menyapa Vana. Vana yang melihat raut sendu Anjani pun duduk di depan Kakak iparnya. "Mbak berantem sama Kak Farhan?“ Anjani hanya bergumam pelan. Vana menatap iba. "Besok Ibu akan datang. Mungkin akan tinggal beberapa hari.” Kini perhatian Anjani teralihkan mendengar Ibu mertuanya akan datang. "Sendiri?” tanyanya pada akhirnya. Vana menggeleng pelan. "Dengan Ayah.” Anjani hanya mengangguk, rasa sesak kembali menghantam hatinya. Hingga tak terasa satu tetes air mata jatuh. "Mbak, kok nangis?” Vana menatap sedih Kakak iparnya itu. Jarinya mengusap lembut pipi Anjani. "Jangan nangis. Kalau Mbak udah gak tahan sama Kak Farhan. Mbak boleh pergi,” ucapnya sendu. Ia tahu bagaimana sikap Farhan pada Kakak iparnya ini, dan bagaimana hubungan keduanya. Air mata Anjani semakin deras, ia menangis dalam diam. Hanya bahunya saja yang bergetar hebat. Ia menggigit selimut untuk menahan suara tangis. "Mbak..., jangan nangis. Aku ikut sedih....” Air mata Vana ikut jatuh. "Aku kenal pengacara, Kakak temanku. Kalau Mbak Anjani mau, aku bisa kenalkan.“ Tangis Anjani semakin pecah, dan Vana hanya bisa ikut menangis. "Mbak....” *,*.. Pagi buta Anjani sudah menyiapkan makan untuk menyambut kedatangan mertuanya. Rawon beserta pelengkap sudah matang. "Van, nanti kamu tinggal panasin ya. Ini sate ati ampelanya nanti kamu masukkan microwave sebentar biar anget. Kecambahnya yang separuh masukin ke air panas bentar. Ayah gak suka kecambah mentah. Ini sambal kentang juga kamu panasin sebentar,” tuturnya ini itu pada Vana. "Iya Mbak. Udah sana Mbak Anjani berangkat kerja. Nanti telat lho....“ Anjani mengangguk lalu pamit pada Adik iparnya itu. Namun, suara Vana kembali membuat langkah Anjani terhenti. "Mbak, kalau Mbak Anjani mau. Nanti aku atur pertemuan dengan Kakak temenku.” Anjani hanya mengangguk tanpa menoleh, ia pun melangkah pergi. *,*.. Sore harinya saat pulang kerja, Anjani sudah mendapati kedua mertuanya berada di rumah. Ia menyapa keduanya dan mencium punggung mertuanya bergantian. "Belum isi juga, An?” Pertanyaan Ibu mertuanya itu membuat Anjani tersenyum tipis. Bagaimana bisa hamil? Di sentuh saja tidak pernah. Anjani hanya mampu menggertu dalam hati. "Ibu bawa jamu penyubur kandungan untuk kamu.” Wanita 39 tahun itu berjalan menuju dapur untuk mengambil jamu yang tadi ia bawa. Lalu kembali lagi dengan dua botol jamu. "Ini untuk kamu. Yang ini untuk Farhan. Di minum. Jamu ini sangat manjur. Dulu Ibu minum ini sebelum hamil Vana.” Anjani menerima jamu itu seraya mengucapkan terimakasih. Ia menatap Ibu mertuanya yang terlihat sangat cantik. Wanita itu terlihat anggun serta elegan. Pantas suaminya begitu menggilai Ibu tiri suaminya ini. Jarak antara Ayah Farhan dan Bu Vanya 16 tahun. Vana anak bawaan Bu Vanya dari suami pertama yang telah meninggal dunia. Bu Vanya dan Farhan berjarak 8 tahun. Ayah Farhan menikahi Bu Vanya saat Vana berusia 10 tahun dan Farhan 20 tahun. Dan saat itu Bu Vanya berusia 28 tahun. Saat ini Farhan-suaminya berusia 31 tahun, Vana 21 tahun dan Ayah Panji 55 tahun. “Ayah, Ibu,” sapa Farhan. Anjani menatap lekat suaminya. Sebelum tahu wanita yang ada dihati suaminya adalah Bu Vanya, dia akan mengira bahwa Farhan adalah anak yang berbakti pada ibu tiri suaminya itu, tapi ketika tahu isi hati suaminya, Anjani muak! Farhan terus saja curi-curi pandang pada wanita yang suaminya panggil Ibu. Dadanya semakin sesak melihat begitu perhatiannya Farhan pada ibu Vanya. Cemburu membakar hatinya hingga menyisakan sakit tak berkesudahan saat melihat tatapan penuh cinta yang ditunjukkan suaminya. Jika orang awam, maka akan menilai itu adalah tatapan sayang anak pada orangtua. Semakin lama diperhatikan hatinya semakin sakit. “Far, tadi Ibu bawa jamu untuk kalian. Janga lupa diminum biar Ibu dan Ayah segera dapat Cucu.” Farhan mengangguk dengan senyuman mengembang di bibir, ia meraih tangan Bu Vanya untuk ia kecup. "Terimakasih Bu.” Sungguh, Anjani muak melihat itu. *,*...Anjani menatap suaminya yang berdiri di depan lemari. Lelaki itu sudah lebih dari 15 menit berdiri di sana memilih baju. Baju yang ia pilihkan katanya sudah sering dipakai, jadi Farhan kembali memasukkan ke dalam lemari. "An, coba kamu lihat. Apa baju ini pas?” Suaminya itu mengenakan baju kaos polo warna biru langit. Anjani hanya bergumam pelan. Mendengar gumaman Anjani, Farhan kembali menatap dirinya di depan cermin lalu kembali melepas bajunya itu. “An, menurutmu aku harus pakai baju warna apa?“ "Kamu sudah seperti mau kencan, Mas!” Farhan langsung menoleh pada Anjani yang terlihat memasang wajah datar. “Aku harus tampil rapi. Kita mau makan malam dengan Ayah Ibu.” Anjani memutar bola mata, terlihat jengah melihat tingkah suaminya. “Mau makan malam saja seperti mau ketemu pacar! Apa wanita itu juga kamu undang?” Suaranya terdengar sinis begitupun wajahnya. Anjani sungguh muak. Farhan gelagapan dengan cepat ia kembali menghadap lemari. "Mana mungkin aku undang dia di
Pukul 22.15 WIB, Farhan dan Vana tiba di rumah, setelah mengantar Vana ke kamar Farhan langsung menuju kamarnya dengan wajah marah. Farhan membuka pintu kamar dengan dorongan keras. Anjani yang sedang duduk melamun menoleh ke sumber suara. Ia menatap datar kedatangan suaminya. "Semua karenamu! Jari Vana harus dijahit!” Anjani hanya menatap datar tanpa berminat menjawab. Biasanya jika suaminya marah, dia akan cepat-cepat meminta maaf, tapi kali ini dia hanya diam. Melihat Anjani hanya diam membuat Farhan tambah kesal. Berjalan cepat menghampiri kemudian menarik tangan Anjani kasar. “Aku bicara padamu!” “Aku gak ingin bicara sama kamu, Mas! Silahkan tidur di kamar tamu!” Anjani menarik tangannya kasar. Farhan menahan amarah mendengar ucapan Anjani. “Kamu ngusir aku?” “Aku gak usir kamu, Mas. Bukannya kalau kamu kesal sama aku, kamu akan tidur di kamar tamu?“ Farhan hanya mendengkus, ia berjalan menuju kamar mandi tanpa mengungkit lagi masalah Vana. Beberapa saat kemu
Anjani mengendari motor metic dengan kecepatan tinggi, air matanya sejak tadi terus membanjiri wajahnya. Bayangan semalam masih menari dalam ingatan, bagaimana Farhan melakukan hal itu dengan memandangi sebuah foto.“Kalau kamu gak mau cerai! Biar aku yang ajukan gugatannya, Mas!“ gumamnya pelan.Sampai di kantor tempatnya kerja, Anjani memarkirkan motornya di halaman parkir yang sudah disediakan perusahaan untuk kendaraan roda dua.Sebelum melepas helm, Anjani terlebih dulu membersihkan sisa air mata dan kembali merias wajahnya. Setelah selesai ia bergegas meninggalkan area parkir dan berjalan menuju gedung perusahaan.Anjani meniup napas pelan sebelum masuk ke dalam lobby kantor. “Semangat, Anjani!“ Tidak ada yang tahu jika dia adalah istri Farhan Adinata-Manager keuangan perusahaan. Jika dulu Anjani bisa terima dan maklum, tapi sekarang dia muak.“An, Pak Presdir mau pensiun. Katanya jabatannya mau dikasih sama anak sulungnya. Dengar-dengar beliau masih jomblo, ganteng pula.”Ba
Tubuh Anjani membeku di ambang pintu dengan mata berkaca. Sekali lagi hatinya diremas begitu kuat hingga menyisakan nyeri. Tangannya yang memegang handel pintu meremas benda itu kuat. Hatinya bergemuruh marah. Celah sedikit yang ia ciptakan mampu melihat dengan jelas apa yang dilakukan Farhan di dalam sana. Pria itu sedang menciumi sebuah foto, entah itu foto siapa. Dan Anjani yakin itu adalah foto seorang wanita. "Aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak bisa menikahimu. Aku sangat menginginkanmu, tapi aku tidak bisa memilikimu.“ Suara Farhan di dalam sana menyayat hati Anjani begitu kejamnya. Tubuhnya lemas saat melihat Farhan membuka kemeja kerja dan celana panjangnya. Kakinya semakin lemas saat melihat adegan demi adegan saat Farhan mencumbu foto serta melakukan hal tak pantas lainnya. Pantas Farhan tak pernah menyentuhnya. Pantas Farhan selalu menolak sentuhannya. Ternyata lelaki itu mencintai wanita lain. Adegan demi adegan yang ia saksikan seperti tusukan belati yang menghu
Hal yang paling menyesakkan adalah menunggu cinta menghampiri. Meskipun tahu, cinta itu tak pernah ada. *,* Gaun putih tipis membalut tubuh indah Anjani Rahayu. Surai panjang nan hitam terurai indah. Aroma lembut dari parfum Night Dream menguar dari tubuhnya. Bibir tipisnya merah merekah, wajah putihnya sedikit diberi perona. Siapapun yang melihat penampilannya malam ini pastilah akan terpukau akan kecantikan wanita 25 tahun tersebut. “Bagaimana penampilanku?“ Anjani memutar tubuhnya. “Mbak Anjani sangat cantik, aku yakin kak Farhan gak akan bisa menolak.” Senyum tipis menghiasi wajah Vana-Adik iparnya. Kedua pipi Anjani merona, dia tersipu dengan senyum malu-malu. “Apa kau yakin? Kemarin aku juga dandan kayak gini, tapi Mas Farhan tetep nolak. Alasannya capek kerja,” keluhnya. Sudah satu tahun menikah dan mereka belum pernah melakukan malam pertama. Segala macam cara Anjani lakukan untuk menarik perhatian suaminya itu, tapi selalu berakhir kecewa. "Kali ini aku yakin ak