Anjani mengendari motor metic dengan kecepatan tinggi, air matanya sejak tadi terus membanjiri wajahnya. Bayangan semalam masih menari dalam ingatan, bagaimana Farhan melakukan hal itu dengan memandangi sebuah foto.
“Kalau kamu gak mau cerai! Biar aku yang ajukan gugatannya, Mas!“ gumamnya pelan. Sampai di kantor tempatnya kerja, Anjani memarkirkan motornya di halaman parkir yang sudah disediakan perusahaan untuk kendaraan roda dua. Sebelum melepas helm, Anjani terlebih dulu membersihkan sisa air mata dan kembali merias wajahnya. Setelah selesai ia bergegas meninggalkan area parkir dan berjalan menuju gedung perusahaan. Anjani meniup napas pelan sebelum masuk ke dalam lobby kantor. “Semangat, Anjani!“ Tidak ada yang tahu jika dia adalah istri Farhan Adinata-Manager keuangan perusahaan. Jika dulu Anjani bisa terima dan maklum, tapi sekarang dia muak. “An, Pak Presdir mau pensiun. Katanya jabatannya mau dikasih sama anak sulungnya. Dengar-dengar beliau masih jomblo, ganteng pula.” Baru saja duduk, Sofia sudah menebar gosip. Anjani hanya tersenyum tipis menanggapi teman satu divisinya. “Kamu gak penasaran, An?“ “Penasaran kinerjanya seperti apa. Apa bisa sehebat dan seprofesional Pak Guntara? Apa bisa sebaik Pak Guntara?“ Sofia manyun dan menarik kursinya kembali ke meja kerjanya. “Kamu tuh gak seru banget deh, An. Kamu tuh normal gak sih?“ Anjani mengerutkan kening. “Kamu pikir aku gak normal?“ “Ya, gak juga sih. Aku cuma heran aja sama kamu. Gak pernah Deket sama cowok. Gak mau pacaran. Aku takut aja kamu malah suka sama aku.“ Sofia bergidik. “Buang jauh-jauh pikiran kamu itu. Aku normal.” Anjani menggeleng tak habis pikir dengan Sofia yang menganggapnya tak normal hanya karena tidak pernah pacaran. 'Kalau kamu tau Sof. Sebenarnya aku udah nikah,' batin Anjani. Tak mau memikirkan masalah rumah tangganya dengan Farhan, Anjani kembali fokus pada layar laptop di depannya. Mulai sekarang dia bertekad untuk berkerja lebih baik lagi dan tidak memikirkan Farhan terus menerus. Jam istirahat makan siang tiba. Anjani sudah janjian dengan Sofia akan makan di restoran baru dekat kantor. Namun, satu pesan masuk membuat langkahnya terhenti. Ia melihat pesan yang dikirimkan Farhan. (Antar makan siang untuk Vana. Belikan dari restoran Jepang langganannya. Dia ingin makan shusi.) Satu pesan yang membuat dada Anjani kembali bergemuruh. Tangannya meremas ponsel dengan marah. Lalu, ia pun membalas pesan itu. (Aku aja belum makan siang Mas. Kamu udah nyuruh aku anter makan siang untuk Vana?) Tidak menunggu satu menit balasan dari Farhan datang. (Kamu bisa beli makan siang di restoran yang sama. Makan di jalan menuju kampus bisa, kan?) Tangan Anjani kembali meremas ponsel dengan kuat. Farhan bahkan tak peduli tadi pagi ia belum sempat sarapan, dan dengan entengnya lelaki itu menyuruhnya untuk membelikan makan siang untuk Vana yang jarak restoran dari kantor dan restoran ke kampus cukup jauh. "Tega sekali kamu, Mas!“ Meskipun kesal, Anjani tetap melakukan perintah Farhan, membelikan makan siang untuk Vana. Saat kembali ke kantor waktu istirahat telah usai, seperti siang sebelumnya Anjani hanya sempat makan roti yang tadi pagi ia beli. Farhan bahkan tidak peduli dia sudah makan siang atau belum. Saat jam pulang kantor tiba, Anjani berjalan menuju lift. Dan dia melihat Farhan sudah berdiri di sana menunggu lift. Anjani berdiri di samping suaminya itu tanpa menyapa. Biasanya ia akan curi-curi kesempatan untuk berbisik pada lelaki itu, tapi kini mulutnya seolah terkunci rapat. Farhan pun menyadari sikap Anjani yang tak seperti biasa. Ia hanya melirik dengan ujung mata tanpa ingin bertanya.. Pintu lift terbuka keduanya pun masuk bergantian. Di dalam lift suasana kembali hening. Baik Anjani maupun Farhan tetap dalam diam mereka. Padahal biasanya Anjani akan bicara ini itu saat hanya berdua dalam lift seperti sekarang, tapi kini wanita itu seolah tak peduli dengan kehadiran Farhan. Lagi-lagi Farhan hanya melirik dengan ujung mata tanpa mau bertanya. Saat lift terbuka pun dia langsung ke luar tanpa menunggu istrinya. Anjani tersenyum kecut, Farhan memang seperti itu. Tidak pernah menganggapnya ada. Orang di kantor ini pun tidak ada yang tahu tentang pernikahan mereka. Pria itu yang tidak ingin mempublikasikan pernikahan mereka. Sampai di rumah Anjani tetap diam, bahkan malam ini ia tidak memakai baju tipis seperti biasanya. Malam ini tidak ada rayuan dan suara manja darinya. Dia tidur membelakangi Farhan. Farhan menatap punggung Anjani yang tertutup piyama panjang. Ia sedikit heran kenapa wanita itu bersikap dingin. Namun, lidahnya terlalu kelu untuk sekedar bertanya. Anjani yang masih belum tidur meremas selimut tebal yang ia gunakan. Dia diam, Farhan pun ikut diam. Lelaki itu tidak berkeinginan meminta maaf masalah tadi pagi. “Kamu sudah buatkan Vana susu hangat?” Yang Anjani tunggu adalah kata maaf dan penjelasan siapa wanita itu, tapi yang ke luar dari mulut Farhan malah tentang Vana lagi. Anjani menahan kesal, dia tetap diam. "Vana gak bisa tidur tanpa minum susu hangat.” Suara Farhan kembali terdengar, tapi Anjani malas untuk menanggapi. "Aku bicara denganmu, Anjani!” Kini suara lelaki itu terdengar kesal, dan Anjani mendengkus pelan. “Vana sudah dewasa! Biarkan dia buat susu sendiri!“ Farhan mendengkus kesal mendengar jawaban dari istrinya. “Vana lelah seharian kuliah. Kamu sebagai Kakak ipar harus pengertian! Urus keperluannya, dia adikmu juga.” Anjani berbalik dan tersenyum sinis, wajahnya tampak sangat kecewa. “Apa aku juga gak lelah, Mas?! Aku gak sempat sarapan, pun kamu gak peduli. Aku gak sempat makan siang pun, kamu gak peduli! Lagipula aku bukan pembantu!” Wajah Farhan terlibat merah padam, pria itu terlihat marah. “Siapa yang menganggapmu pembantu, hah! Aku cuma minta kamu mengurus keperluan Vana! Apa itu salah?!” Kini Anjani duduk dengan ekspresi menahan air mata. "Dia sudah dewasa. Bukan lagi bayi yang harus aku urus setiap hari!” “Kau-” Ucapan Farhan menggantung di udara saat terdengar suara barang pecah dari lantai bawah. Dia langsung turun dari tempat tidur dan berlari ke luar. Anjani menatap pintu kamar dengan senyuman hampa. Ia pun ikut turun dari tempat tidur dan ke luar kamar. Ingin melihat apa yang terjadi di lantai bawah. Sampai di dapur Anjani melihat kepanikan suaminya. Ternyata Vana tidak sengaja menjatuhkan gelas dan jari tangannya tergores pecahan gelas. "Kakak bawa kamu ke rumah sakit.” "Kak, aku gak apa-apa. Ini hanya tergores kecil. Gak sakit, kasih obat merah juga sembuh.“ Farhan tak mendengarkan ucapan Vana, lelaki itu tetap menggendong Vana melewati Anjani dan berlari ke luar rumah menuju mobil. Anjani yang mengikuti setiap langkah suaminya hanya mampu menahan rasa iri dalam hati. Sekuat apapun ia mencoba menepis rasa itu, tapi tetap saja tumbuh di hatinya. Dia iri pada Vana, iri perlakuan manis suaminya pada Adik iparnya itu. Iri kepanikan suaminya saat tahu Vana terluka, iri sikap posesif suaminya pada Vana. Semua yang dilakukan Farhan untuk Vana, Anjani merasa iri. "Astaghfirullah....“ Ia berusaha menepis perasaan itu dalam hatinya. Saat akan kembali ke lantai atas, pandangan Anjani tak sengaja tertuju pada kamar tamu. Ia begitu penasaran foto itu. Wanita seperti apa yang selama ini suaminya cintai. Dengan langkah pelan Anjani mendatangi kamar tersebut. Jantungnya berdebar saat membuka pintu kamar dan masuk ke dalamnya. Matanya tertuju pada meja nakas di dekat tempat tidur. Anjani melangkah menuju meja nakas itu. Perlahan ia tarik lacinya, di sana ada bingkai foto yang di letakkan terbalik. Rasa penasaran begitu mendominasi hingga ia nekad mengambil bingkai itu meskipun tahu akan membuat hatinya terluka lagi. Deg! Jantungnya seperti disengat aliran lirik, kakinya melemas melihat foto perempuan dalam bingkai. "Gak, mungkin..., kenapa bisa? Kenapa dia...?” Anjani membekap mulutnya dengan suara tangis tertahan. Hatinya sungguh hancur, langit seolah menimpa dirinya saat tahu foto siapa yang suaminya sembunyikan. Air matanya mengucur deras, dadanya begitu sesak hingga membuatnya sulit bernapas. Ia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh lemas. Ia pandangi foto itu dengan lelehan air mata. Foto yang ada ditangannya seperti pedang yang menggoreskan ribuan luka. Goresan itu begitu dalam hingga rasa sakitnya tak bisa tergambarkan. “Kenapa harus dia, Mas?” Air matanya mengucur deras. Mengetahui kenyataan pahit ini membuat kaki Anjani tak mampu menopang berat tubuhnya. Cukup lama Anjani menangis di dalam kamar itu, hingga ia kembali bangkit. Dengan tangan gemetar, Anjani kembalikan foto itu seperti semula. Langkahnya begitu berat saat akan meninggalkan kamar. Berbagai pertanyaan kini muncul dalam benaknya. Sepanjang jalan menuju lantai atas, Anjani tidak bisa fokus. Bayang-bayang bagaimana suaminya memeluk serta menci umi foto itu membuat hatinya semakin sakit. **,**Bu Vanya menepis tangan Farhan saat lelaki itu akan memegang tangannya. Menatap Farhan dengan tatapan tak percaya. "Sejak kapan Farhan? Sejak kapan kamu begini?“ Dia menatap Farhan seraya menunjukkan fotonya. Rasanya tak percaya Farhan akan seperti ini. Farhan menunduk merasa bersalah. Sesal dalam hati membuatnya malu luar biasa. Namun, inilah konsekuensi akibat perbuatannya yang menyimpang. “Sejak pertama kali melihatmu. Sebelum kamu menikah dengan Ayah," ungkapnya. Cinta itu tumbuh jauh sebelum Bu Vanya menjadi istri sang ayah. Bu Vanya menatap lekat wajah Farhan. Rasanya tak percaya, anak tirinya akan jatuh cinta padanya. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Rasa kecewa itu ada, tapi dia mencoba untuk memaafkan dan melupakan. “Ibu tidak akan memberitahu ayahmu. Tapi, lupakan perasaanmu. Jalani rumah tanggamu dengan Anjani dengan baik. Ibu gak mau jadi perusak rumah tangga kalian.“ "Kamu gak pernah merusak rumah tangga siapapun!" Farhan menatap lekat wajah wanita yang
Pagi tiba seperti biasa. Anjani menjalani aktivitasnya, menyiapkan air hangat dan baju ganti untuk Farhan. Selesai dengan tugasnya di lantai atas, kini Anjani turun ke lantai bawah, langkahnya menuju dapur. Di sana sudah ada Bu Vanya. Wanita itu sedang membuat kopi untuk ayah mertua. “Pagi, Bu," sapa Anjani sopan. Bu Vanya tersenyum. "Pagi juga, An. Ibu sudah masak untuk sarapan,“ kata Bu Vanya. “Iya, Bu. Tapi lain kali biar Anjani yang masak. Ibu gak usah repot-repot.“ Anjani tersenyum tipis. Teringat saat Farhan memarahinya karena membiarkan Bu Vanya masak sendiri. "Ibu gak repot. Masak untuk anak mantu masak dibilang repot sih.“ Anjani kembali tersenyum tipis. Dia mengambil kopi dan menyeduhnya. Meskipun hati tak lagi sama, tetapi dia masih berstatus istri Farhan. Keperluan lelaki itu masih ia siapkan. “An, mana kopiku?“ Dua wanita itu menoleh saat mendengar suara Farhan. Mereka menatap dengan ekspresi masing-masing. Bu Vanya dengan senyuman, Anjani dengan wajah
Anjani meremas selimut dengan kuat. Sentuhan Farhan semakin menuntut. Jika dulu pastilah bahagia yang dirasa, tapi sekarang hanya jijik yang ada. Netranya masih setia terpejam, berharap Farhan menghentikan aksinya. Namun, sepertinya suaminya itu telah diliputi nafsu. "An, bukankah ini yang selama ini kamu inginkan?“ Suara Farhan terdengar semakin berat, deru napasnya semakin memburu. "Apa kamu mau menolak suamimu, hem?“ Tangannya membelai wajah Anjani dari mata sampai bibir tipis wanita itu. “Bukankah wanita muslimah sepertimu tahu hukum menolak suami?” Air mata Anjani tumpah, hatinya seperti ditikam sembilu. Ia buka netra yang berkaca, menatap Farhan dengan penuh luka. "Kenapa baru sekarang, Mas?“ Farhan kembali membelai wajah cantik Anjani. Ia akui istrinya ini sangatlah cantik. Tak heran hampir semua pria di perusahaan tergila-gila pada istrinya ini. Hanya saja hatinya terlanjur jatuh terlalu dalam untuk Bu Vanya. Sejak pertama kali melihat wanita yang sekarang m
Anjani menampik tangan Farhan, rasa perih di rahang tak sebanding rasa perih di hatinya. "Ke luar Mas!“ Farhan menatap Anjani nanar, tangannya terulur ingin menyentuh pipi Anjani yang memar akibat ulahnya. Namun, tangannya langsung ditampik Anjani kasar. “Aku ingin sendiri.“ Ada rasa bersalah dalam hatinya melihat luka di pipi Anjani. Meskipun demikian lidahnya terasa kelu untuk mengucap kata maaf. Farhan akhirnya bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Anjani sendiri di dalam kamar. Anjani menatap pintu kamar dengan tatapan pilu. Bahkan Farhan tidak meminta maaf karena sudah menyakitinya. "Aku memang gak sepenting itu.” Air mata Anjani kembali menetes, tapi dengan cepat ia menghapusnya. "Sudah Anjani, jangan keluarkan air matamu lagi untuk pria brengsek seperti Farhan!" Kali ini Anjani bertekad untuk tidak menangis lagi. Sudah cukup air mata selama satu tahun ini. Sekarang dia ingin bangkit, ingin mengejar bahagianya sendiri. Lelah fisik serta mental, Anjani kemb
Saat akan membalas pelukan Farhan, tangan Anjani tertahan. Ia kembali menurunkan tangannya saat rasa sakit kembali datang. “Tapi aku lelah, Mas. Aku lelah menunggu cintamu. Aku lelah cinta sendirian.” Air matanya kembali jatuh. Astaghfirullah... Kenapa selalu cengeng begini? Kenapa dia tidak bisa menahan sakitnya sebentar saja. Farhan melerai pelukan, ia menatap wajah Anjani kemudian menghapus air mata itu. “Bertahanlah sebentar lagi, An. Aku janji gak akan lama.” Dalam tangis, Anjani tersenyum pahit. Sebentar? Kata sebentar bukan penyejuk bagi Anjani, akan tetapi seperti bola api yang membakar hati. "Kenapa kamu gak ngomong kalau saat ini, detik ini kamu ingin melupakannya. Kenapa kamu malah bilang sebentar?“ "An....” Farhan hampir kehilangan kesabaran. Namun, ia coba untuk tenang. Farhan memejamkan mata sebentar kemudian menghela napas pelan. Ia kembali menatap Anjani yang berdiri di depannya. Saat akan kembali memeluk, Anjani menghindar. “Tetap di sana Mas.” Anjan
"Anjani! Apa kamu tidak bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk?!” Farhan membentak dengan tatapan tajam. Ia segera mengambil bingkai foto yang terjatuh dan langsung memasukkannya kembali ke dalam laci meja. Anjani berjalan mendekati suaminya dengan wajah datar. Tatapannya lurus pada Farhan. “Siapa wanita dalam foto itu, Mas?!“ Kini Anjani berdiri di depan Farhan dengan meja sebagai penghalang mereka. Farhan terlihat gugup, tapi secepatnya mengubah ekspresi gugup menjadi datar. "Kamu gak perlu tau siapa dia!“ Anjani tersenyum kecut. Tatapannya tak pernah berpindah dari kedua mata suaminya. “Bu Vanya?” Mata Farhan membeliak, terkejut sampai hatinya berdenyut ngilu. Secepat mungkin mengubah ekspresi wajah menjadi datar. "Jangan ngaco kamu! Mana mungkin foto itu Ibu!” sentak Farhan mencoba untuk tidak gugup. "Dia Bu Vanya, kan? Ibu tiri kamu?” Meskipun suaranya terdengar tenang, tapi hatinya bergemuruh. Kaki dan seluruh tubuhnya gemetar karena marah. "Kamu jangan bicara sembara