“Sebut namaku, dengan begitu aku akan melepasmu,” bisik Hagen yang sengaja menyentuhkan pucuk hidung mereka, membuat Camellia menahan napas untuk sementara.
Hal itu membuat dada Camellia naik turun. Dalam sekejab paru-parunya meminta asupan oksigen dengan cepat. Berdekatan dengan pria itu membuatnya sesak.
Dengan gelisah, ujung lidah Camellia menyapu bibir ranumnya yang sedikit merekah seperti kelopak bunga, yang tanpa gadis itu sadari mengundang perhatian Hagen seketika.
Begitu dia tahu akan kesalahannya, Camellia pun mengatup bibir dan menggigit pelan mulut bagian dalamnya sembari mengutuk diri dalam hati.
Tidak tahan akan godaan gadis di hadapannya yang bertingkah sangat polos, Hagen menyentuh bibir Camellia menggunakan ujung ibu jari dengan sengaja, membuat mata gadis itu membulat sebesar purnama, menjadikan napas Camellia tercekat saat itu juga.
“Apa sesulit itu menyebut namaku, Princess?” bisik Hagen dengan suara rendah yang terdengar maskulin ketika menyapa telinga.
Memunculkan rona merah muda di pipi gadis itu yang sehalus sutra.
Setelah menalan saliva dan berdehem, Camellia pun bergumam pelan; “Blake.”
Suara feminim Camellia yang memanggil namanya, membuat mata Hagen berdilatasi. Seketika sentuhan Hagen pada bibir gadis itu terlepas, dan dia pun melangkah mundur untuk memberi jarak di antara mereka.
“See, semudah itu menyebut namaku yang sederhana,” ucap Hagen diikuti seringai samar di wajah.
Membuat kedua tangan Camellia mengepal di sisi tubuh. Dia tahu pria itu sengaja melakukan hal barusan untuk melecehkannya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku sebelumnya,” ucap Camellia dengan suara tegas.
Dia menolak untuk mengkerdilkan diri di bawah tatapan tajam serta perlakuan Hagen yang barusan.
Keluarga Duncan sudah berdiri lebih dari lima generasi, tidak seharusnya dia membiarkan pria itu mempermainkannya seperti tadi.
Wajah Hagen mengeras kembali, jelas sekali dia tidak suka bila seseorang mencoba bernegosiasi dengannya. Perkataannya sudah sangat jelas. Tidak ada revisi terhadap apa pun yang keluar dari mulutnya, karena semua hal sudah mutlak. Wajib dikerjakan bila tidak ingin konsekuensi.
“Kau ingin mengembalikan uangku yang dicuri selama lima tahun?” tanya pria itu dengan tatapan tajam.
Untuk sesaat Camellia ingin kembali ke kamar dan bersembunyi di sana selama berhari-hari. Dia benci menghadapi seorang Blake Hagen yang seolah-olah ingin menghancurkan kewarasannya.
Ketika Hagen hendak melangkah ke depan, Camellia pun mundur tiga langkah.
Kali ini, gadis itu tidak ingin berpura-pura tegar, karena berhadapan dengan pria itu sangat melelahkan.
Melihat ekspresi serta tangan gemetar Camellia yang disembunyikan di balik tubuhnya, Hagen pun menghentikan langkah seketika itu juga. Dia memilih diam beberapa waktu, menunggu gadis itu bersuara lebih dulu.
“A-aku akan mengembalikan semua uangmu, tapi beri aku waktu. Satu tahun sangatlah sebentar. A-aku tidak bisa mengumpulkan semuanya secepat itu,” kata Camellia terbata.
Dia tidak peduli lagi akan harga diri, karena dalam waktu singkat pria itu sudah meremukkannya.
“Aku sudah mengatakan tidak,” ucap Hagen dengan nada tegas. Tatapannya yang tajam membuat Camellia bersusah payah menelan air mata yang perlahan naik ke pelupuk.
Pria itu tampak tidak peduli akan permintaan gadis itu. Dengan sengaja dia mengalihkan tatapan dan memusatkan perhatian ke arah dinding, di mana dulunya terdapat lukisan jutaan dollar di sana. Kini, tidak ada lagi sisa-sisa kejayaan Keluarga Duncan yang telah berdiri tegak selama lima generasi, membuat Hagen menatap masam pada dinding kosong yang hanya menyisakan jejak bayangan bahwa dulunya ada sebuah benda yang menutupi permukaannya selama puluhan tahun.
Penolakan pria itu terasa sangat menyakitkan, sehingga Camellia tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya hingga terasa amis darah.
“Ayahku sedang butuh perawatan saat ini, sehingga akuꟷ”
“Apa kau pikir aku peduli akan kisah sedih yang hendak kau ceritakan?”
Seketika fokus Hagen kembali pada Camellia yang tampak berdiri rapuh di tengah-tengah ruangan tanpa perabotan.
Entah mengapa, Hagen merasa muak melihat itu.
Rasa marah bercampur emosi yang sangat asing dengan cepat naik ke dada dan memberontak untuk tumpah. Hagen sangat membenci perasaan yang sangat berani menyelinap ke sanubari sehingga dia pun menepisnya.
“Dengar, Princess. Bila setiap orang yang mencuri dariku diberi kebebasan sedikit saja, aku pasti tidak akan sampai sukses seperti ini,” desisnya dengan tatapan berapi-api, membuat Camellia berkali-kali menelan saliva dan membuang pandangan agar tidak lagi melihat mata Hagen yang diselimuti amarah.
“Aku bahkan memberi keluargamu waktu untuk berkabung begitu berita kehancuran Keluarga Duncan tersebar.”
Perkataan pria itu membuat Camellia meremas piyamanya semakin erat. Dia benci diingatkan pada hari di mana hidupnya runtuh jadi berkeping-keping.
“Tapi, aku benar-benar tidak bisa membayar hutang keluargaku dalam waktu setahun,” kata Camellia dengan nada putus asa.
Kemana lagi dia meminta pertolongan. Pria itu satu-satunya yang dapat memberikan keringanan.
Apa dia perlu bersujud untuk melunakkan hatinya yang keras?
“Kau lihat rumah ini, Mr. Haꟷ maksudku Blake.”
Nyaris saja Camellia terselip lidah saat menyebut nama pria itu. Dia tidak ingin membuat keadaannya yang sulit jadi semakin runyam.
Sembari menata jantungnya yang berdetak tidak beraturan, Camellia merentangkan tangan ke sekitar. Seolah-olah meminta pria itu untuk melihat ke sekeliling dengan mata terbuka lebar.
“Lihatlah rumah ini. Aku bahkan tidak memiliki sofa untuk menjamu tamu. Bayangkan apa yang akan kau temui di dalam sana. Aku yakin kau pasti akan menatap dengan pandangan seperti tadi.”
Mendengar ucapan Camellia yang terakhir, Hagen pun menyadari bahwa gadis itu juga memperhatikannya. Untuk ke depan, dia akan menata ekspresi lagi sehingga tidak ada yang membacanya dengan mudah.
Mendapati tatapan tajam dari mata obsidian pria di hadapan, Camellia mencoba untuk mengabaikannya dan dia pun melanjutkan.
“Bagaimana mungkin aku membayarmu, bila tidak ada apa-apa yang dapat kuberikan sebagai jaminan.”
Begitu kalimat tersebut keluar dari mulutnya, seketika sudut bibir Hagen membentuk seringai.
Pria itu pun mendekat, namun kali ini Camellia menahan kakinya untuk tetap tegak berdiri di tempat semula.
Keduanya hanya saling tatapa dalam waktu yang cukup lama, sebelum akhirnya Hagen memiringkan kepala dengan mata menatap tubuh Camellia dari ujung rambut hingga kaki seperti yang dia lakukan di awal mereka bertemu tadi.
“Tidak ada yang bisa kau tawarkan?” ucap pria itu, lebih pada dirinya sendiri.
Mendapati ekspresi Hagen yang sangat tidak biasa, Camellia ingin memeluk diri dan menutupi tubuhnya dengan selimut yang melilit ke sekujur tubuh. Dia sangat tidak suka dengan cara pria itu yang tampak menelanjangi.
Tanpa diedukasi, Camellia mengerti ke mana arah pikiran pria itu, yang seketika membuat hatinya mendidih.
“A-apa yang kau lakukan?”
Tanpa sadar, Camellia benar-benar melingkarkan lengan di sekitar pinggang. Pose yang menunjukkan sikap mempertahankan diri dan rasa tidak nyaman.
Bukannya bersikap layaknya gentleman, Hagen semakin menatap Camellia intens. Bahkan, matanya tampak berlama-lama di gundukan dada yang gadis itu sembunyikan di balik lengan yang melilit di badan.
“Mengobservasi dirimu. Memangnya apa lagi,” ucap pria itu diikuti seringai menakutkan yang membuat Camellia menggigil sampai ke tulang-tulang.
Tiba-tiba saja dia merasa kedinginan dan bulu romanya tegak berdiri.
“Mr. Haꟷ ma-maksudku, B-Blake,” kata Camellia dengan suara sedikit bergetar. Kali ini dia tidak mampu mengontrol diri di bawah tatapan mata obsidiannya yang terasa menguliti. “B-berhenti menatapku.”
Hagen menyentuh pipi gadis itu, kali ini dia menangkup wajah Camellia di antara kedua telapak tangannya yang kekar. Dan tatapan sangat lembut, namun dengan senyuman yang sumbang, Blake Hagen pun berbisik pelan; “Aku memberimu tiga pilihan.”
“Ti-tiga pilihan?” tanya Camellia terbata-bata.Mata bulat jernihnya yang berwarna hazel menatap Hagen penuh kebingungan.“Ya, aku memberikan tiga pilihan yang dapat melunasi seluruh hutang keluargamu,” jelas Hagen dengan kedua jempolnya yang mengelus halus permukaan wajah gadis itu.“Apa yang … kau mau?”Senyuman Hagen semakin lebar, namun tatapan lembutnya yang tadi digantikan dengan suatu pandangan … vulgar. Seketika mengetuk hati Camellia dengan kerasnya, membuat dia lupa caranya bernapas untuk sesaat.Gadis itu pun memegangi pergelangan tangan Hagen, bermaksud menepis sentuhan pria itu pada tubuhnya, namun Camellia tidak mampu menghalau tangan pria itu walaupun hanya seinci. Menjadikan Camellia frustrasi yang jelas tergambar dari ekspresi wajahnya.Hal itu memudahkan Hagen untuk membaca setiap perubahan emosi Camellia, layaknya lembaran buku yang sedang pria itu baca.Masih dengan
Langkah Camellia yang menaiki tangga tampak terseok. Pandangan matanya yang menatap lurus ke depan terlihat kosong. Kini, kepalanya dipenuhi oleh perkataan-perkataan Hagen, yang terus membayangi di sepanjang jalan menuju kamar.“Tidur setahun dengannya, katanya,” gumam Camellia yang seketika menghentikan langkah. Satu tangannya yang memegang anak tangga mengepal erat. “Aku tidak akan tidur denganmu! Kau pria brengsek!”Sekuat tenaga Camellia berteriak, hingga tubunya setengah membungkuk.“Siapa kau yang berani-berani merendahkanku!”Dia memukul keras pegangan tangga di bawah tangannya sampai telapaknya mati rasa.“Dasar kau @$%^&@ dan juga @#4$%#& kuharap juniormu %$#@^& dan ****** Mati saja kau @#%^&.” Gadis itu pun terus memaki tanpa jeda dengan kata-kata sangat vulgar dan penuh warna, yang kebetulan saja dia dengar dari pekerja kebun serta para pelayan ketika rumah itu masih berada
Pena di tangan Camellia melingkari setiap daftar tempat yang sedang mencari karyawan. Sebagian dia coret dengan tambahan catatan kapan akan memasukkan lamaran di sana.Beberapa waktu lalu, dia bahkan melamar secara online ke beberapa perusahaan yang hanya membutuhkan ijazah SMA, tapi semuanya memberikan jawaban serupa.‘Maaf kan kami, Miss Duncan, tetapi anda tidak sesuai kualifikasi yang kami cari.’Anehnya, semua perusahaan itu menuliskan hal yang sama. Seolah-olah ada seseorang yang mendikte mereka. Dan satu-satunya pelaku yang dia curigai adalah Blake Hagen.“Dasar bajingan,” umpat Camellia seraya melempar pena ke dinding hingga tutupnya pecah.Dia melipat kaki di bawah tubuh dan memeluknya erat sembari membenamkan kepala.Sekuat tenaga gadis itu menahan isak tangis, hingga merasa sesak di dada.“Hhhh …,” desahnya, menarik napas keras dengan rasa putus asa. “Apa yang harus kulakukan
Langkah kaki Camellia saat melintasi trotoar tampak lesu. Gadis itu bahkan menggunakan tas selempang di atas kepala untuk menghalau terik matahari yang perlahan meninggi.Dan dengan menahan rasa lapar, Camellia pun mempercepat langkah.Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang, karena dia merasa seakan sedang diikuti, tapi tetap saja tidak ada siapa-siapa di sana.“Tenanglah, Camellia. Itu hanya imajinasimu saja,” bisiknya sembari terus berjalan.Saat mendekati sebuah restaurant kecil, langkah Camellia terhenti. Wajahnya sedikit berbinar begitu mendapati iklan lowongan pekerjaan yang ditaruh tepat di depan jendela kaca.Gadis itu melirik sebentar lowongan tersebut, sebelum akhirnya dia masuk ke dalam dan berpapasan dengan salah satu pelayan wanita yang memiliki usia tidak jauh dengannya.“Hay, bolehkah aku berbicara dengan manajermu?” tanya Camellia secara tiba-tiba yang menyebabkan wanita pelayan itu menatapnya dua
Tangan Hagen sedikit meregang begitu dia merasakan perlawanan Camellia melemah. Pria itu pun melepas lilitan lengan kekarnya dari tubuh gadis itu.Perlahan-lahan, dia pun mundur. Namun, tatapannya tidak sedikit pun lepas dari Camellia.“Kau benar-benar laki-laki yang tidak punya perasaan,” umpat gadis itu dengan tatapan berapi-api.Mata Hagen yang tadinya memandang biasa, berubah menjadi sedikit lebih tajam.“Ah, Princess, aku bahkan tidak mengatakan sesuatu yang dapat melukaimu,” ucapnya dengan senyuman miring.Ketika Camellia hendak mengatakan umpatan, tiba-tiba saja dia mendengar suara kriuk yang berasal dari perutnya sendiri. Hal itu membuat keduanya terdiam.
Tatapan Camellia terpaku pada pantry yang tidak berisi. Lagi-lagi dia dihadapkan pada ancaman kelaparan, dan hal ini membuatnya ingin menangis. Terutama ketika dia hanya menemukan setumpuk roti yang akan kadaluarsa beberapa hari lagi.Dengan tangan gemetar dan tubuh sedikit lemas, gadis itu menahan tangis yang hendak jatuh.Seharian mencari pekerjaan, tapi ternyata tidak semudah itu.“Aku harus bagaimana, Ayah,” bisiknya tercekat.Melihat hanya roti dan beberapa bungkus mie yang tersisa, Camellia tahu dia tidak punya pilihan saat ini.Tangan gadis itu baru saja hendak mengambil roti tersebut, ketika tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya berbunyi.Dengan dahi berkerut dan hati bertanya, gadis itu pun mengurungkan niat untuk makan, lalu menutup pintu kulkas pelan.Dia bergegas menuju pintu, hanya untuk mendapati Frank berdiri di hadapan.Senyum yang tadinya hendak merekah, berubah menjadi raut masam penuh ketidaksuk
Aroma kopi dan wangi mentega membangunkan Camellia. Gadis itu mengerjabkan mata beberapa kali, dan kepalanya pun berputar menatap sekitar dengan tatapan kebingungan. Pandangan pertamanya adalah langit-langit kamar yang sangat familiar, membuat kening gadis itu semakin berkerut heran.Begitu aroma yang tadi menyapa penciuman, kembali perut gadis itu berbunyi dengan denyutan perih.“Ouch,” ringisnya.Dia membenamkan kepala pada bantal sembari sedikit berguling-guling di atas kasur. “Ou .. ou … ou.”Gadis itu merengek hendak menangis, saat tiba-tiba terdengar suara maskulin yang datang dari ambang pintu.“Aku sudah memperingatkanmu, tapi kau dan keras kepalamu itu hanya menyiksa diri.”Seketika kepala Camellia berputar dan menatap ke arah sumber suara. Untuk sesaat mata gadis itu membulat. Dengan napas tercekat, Camellia berusaha untuk bangkit, namun perutnya lagi-lagi menahan dia tetap berbaring di ra
“Partner ranjang katanya?” sungut Camellia begitu dia mengunci pintu rumah. Sudah dua hari berlalu sejak saat itu, tetapi pesan pada secarik kertas yang Blake Hagen tinggalkan tidak pernah lepas dari isi kepala Camellia. Gadis itu bahkan memaki Hagen setiap kali ingatan akan pria itu hadir secara tiba-tiba. Dia merasa kesal luar biasa, karena pria itu tampak percaya diri bisa memiliki tubuhnya. “Tidak akan kubiarkan dia mendapat jawaban yang diinginkan,” kesal gadis itu sembari menghentak kunci pintu hingga terlepas. Dengan perasaan setengah marah, Camellia berbalik badan hendak menuju gerbang rumah. Hari ini dia akan mencari lowongan pekerjaan. Tidak ada kata menyerah dalam kamusnya. Baginya, Blake Hagen hanya ngengat pengganggu bukan sesuatu yang harus dia takuti. Dia bersumpah tidak akan menyerah pada pria itu. “Lihat saja, Tuan Tanpa Hati, aku akan buktikan padamu bahwa kau bukanlah seorang dewa!” Camellia melangkah