Share

6. Rumahku, Surgaku

Penulis: Ray Basil
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-14 18:41:21

"Tante Belevia-aa, kita mau kemana?" Bianca menoleh ke kanan dan kiri kebingungan setelah merasa bukan berada di Puri Lombardy lagi.

Sebelumnya mereka pergi berbelanja di Milan, tapi sekarang sudah berada di Marseille di Perancis Selatan. Dua negara yang dilintasi hanya beberapa jam saja.

Bianca Elenora masih kecil untuk memahami semua, dan tertidur karena kelelahan dalam perjalanan panjang. Sebuah taksi mengantar mereka ke tujuan kota berikutnya lewat jalan darat.

Cupp! Belevia mengecup lembut kening ponakannya.

"Sayang, kita pulang ke rumah sendiri, bukankah tadi kamu bilang ingin kembali ke Perancis?"

Bianca mengangguk-anggukkan kepala. "Aku mau ketemu Mama dan Papa! Mereka pulang hari ini ya kan, Tante Belevia?!"

Mata kecilnya berbinar terang, mengerjap-ngerjap senang.

Tak kuasa Belevia menjawab. Hatinya berduka memeluk erat keponakan tersayang. Dia belum memberi tahu ayah dan ibu Bianca sudah tiada.

Di pemakaman orang tuanya, Bianca tak menangis sama sekali, sibuk bermain boneka baru dibelikan Om Michael. Mereka tak sampai hati menjelaskan situasi yang terjadi, ponakannya pun belum tentu mengerti.

"Sayang, Mamma dan Papamu sudah pergi jauh, kamu mau kan sekarang tinggal bersama Tante Belevia?!" tanyanya lembut sambil mengusap-usap rambut Bianca.

"Ya aku mau! Tapi mereka pergi kemana, kenapa tak mengajak aku?" Kepala kecil Bianca diam bersandar dipelukan sang Bibi.

Deg! Belevia mengira keponakannya mulai merasakan suatu kehilangan.

Boneka baru dari Om Michael dipeluk Bianca erat, menghilangkan kerinduan ke Mamma Michelle dan Papa Nicholas. Hanya itu satu-satunya yang terbawa dari Puri Lombardy.

"Bianca nanti diasuh oleh Gemma lagi ya di rumah, saat Tante sedang bekerja di rumah sakit. Sepulang nanti, aku bawakan makanan kesukaanmu atau mainan baru," bujuknya halus supaya tak terlalu sedih.

Balita itu balik merengut kesal, protes terdengar dari mulut kecilnya.

"Di Puri Lombardy semuanya ada, kenapa kita tidak tinggal di sana saja?"

"Oh tidak, sayang!" Belevia langsung menggeleng. "Itu bukan rumah kita, tapi punya Om Michael. Kita tidak mungkin berlama-lama tinggal di sana, di sinilah rumah milik kita sendiri."

"Kenapa Tante tidak menikah saja dengan Om Michael, jadi aku bisa punya kamar yang besaarr dan baanyakk mainan!" celoteh Bianca penuh kegembiraan.

Hmm ... skakmat!

Bocah usia tiga tahun tak mengerti arti pernikahan yang sebenarnya.

Dia hanya mendengar yang dikatakan orang tua atau tantenya sebagai dokter anak bahwa seorang bayi yang dilahirkan karena kedua orang tuanya yang menikah dan hidup bahagia.

Sayangnya itu hanya sebuah kisah.

Kehidupan anak kecil itu sangat menyedihkan, tak pernah melihat mamma dan papanya ada di sampingnya hingga dewasa. Keponakanku yang malang!

"Maaf mengganggu, Nona, kita berhenti di rumah yang mana?"

Supir taksi menoleh ke kursi penumpang di belakang, bertanya ke alamat yang tepat.

"Yang itu," tunjuk Belevia. "Ada pohon besar dan mobil putih terparkir di sana!"

"Ah okay!"

Supir melanjutkan sedikit lagi perjalanan ke arah yang ditunjukkan seorang gadis cantik yang memangku balita. Taksi pun meluncur pelan, melalui tiga rumah sebelum sampai tujuan.

Home sweets home. Rumahku, Surgaku! Desah Belevia pelan.

Tiada yang menyenangkan selain kembali ke rumah kecil miliknya.

Bukan tinggal di puri yang besar seperti di Milan Utara. Dia bebas melakukan apapun tanpa harus diawasi para pengawal setiap waktu. Ini rumahnya, tanah airnya.

"Ayo Bianca sayang, kita sudah pulang!" teriaknya senang, menggendong balita itu ke rumah mereka berdua. Kembali menjalankan kehidupan yang sesungguhnya. Pekerjaannya di rumah sakit telah memanggil.

Belevia tak mungkin mengambil cuti panjang beralasan urusan keluarga. Pemakaman Nicholas dan Michelle sudah usai tiga hari lalu, waktu berkabung pun selesai baginya.

Tidak lama kemudian pengasuh Gemma datang menjaga Bianca Elenora, sementara dia mengambil berkas tertinggal di rumah sakit sebelum siap bekerja esok hari. Lalu pergi ke kantor pengacara untuk mengurus aset warisan milik Nicholas dan Michelle.

"Gemma, aku titip Bianca, jangan bawa keponakanku keluar dan menerima tamu siapapun yang tak dikenal!" pesan Belevia sebelum berangkat, mengecup kening keponakan dan bergegas menuju ke mobil.

Suasana sekeliling rumah sepi. Tidak ada yang mencurigakan membuatnya merasa aman dan tenang. Mobil putih itu meluncur ke jalan menembus keheningan yang sesungguh menegangkan.

----

Knock! Knock!

Pintu kantor pimpinan rumah sakit diketuk pelan.

Terdengar balasan di dalam menyuruhnya masuk. Sesaat dia melongokkan wajah, dokter kepala rumah sakit langsung berdiri menyambut hangat.

"Hai Belevia, kau sudah kembali dari Milan?"

"Ya, Dokter Hans, aku baru saja tiba siang tadi dan besok sudah bekerja lagi."

"Kami turut berduka cita atas kehilangan keluargamu. Beristirahat saja dulu, kapanpun kau sudah siap kembali bertugas, rumah sakit ini selalu terbuka untukmu."

"Merci - terima kasih, besok aku sudah siap menjalankan tugasku lagi."

Belevia mengangguk hormat sebelum keluar ruangan.

Dokter Hans tersenyum atas kegigihan dokter anak itu. Dia mendengar jelas dari staff rumah sakit, Nicholas dan istrinya tewas dalam kecelakaan mobil. Jasad mereka dibawa pulang ke Milan Utara dimakamkan di sana.

Gadis muda itu tinggal bersama keponakan, putri Nicholas dan Michelle. Sungguh teramat menyedihkan, tapi aura semangatnya begitu besar di mata dokter Hans.

Aset berharga yang dimiliki rumah sakit, seorang dokter anak yang lincah dan gesit disukai para pasien dan keluarga. Kesedihan gadis itu dapat teralihkan dengan kembali bekerja.

Di lorong rumah sakit, hati Belevia terasa tersayat lagi. Langkahnya berat menuju sesuatu.

Dia belum mempunyai gambaran masa depan Bianca Elenora. Dirinya bukan seorang ibu yang baik baginya, sekarang harus menjadi orang tua menanggung beban tanggung jawab kakaknya sebagai ibu dan ayahnya Bianca.

Seorang dokter anak yang belum sempurna. Belum pernah melahirkan bayi dari rahimnya sendiri membuat niatnya semakin bulat. Bianca Elenora akan diadopsi menjadi putrinya dengan begitu dia menjadi orang tua sempurna untuknya.

Senyum manis terlukis di raut wajah dokter Belevia Avryl. Sebuah solusi sudah terpecahkan. Sekarang hanya tinggal menunggu keputusan pengadilan dan membiarkan pengacara mengurus semuanya.

Ketika Belevia pelan-pelan membuka pintu ruang kerja miliknya, betapa terkejut melihat ada seorang pria sedang berdiri di depan kaca jendela lalu memalingkan tubuh ke arahnya.

"Hai, Belevia!"

Seringai senyum ejekan bukan sapaan tulus dari mulutnya.

"Mau apa kau ke sini lagi huh?!"

Sahut Belevia kesal sambil menutup pintunya rapat-rapat agar tak seorangpun mendengar perseteruan sengit mereka. Buru-buru mengambil berkas penting di atas meja, dan mencoba lari secepat mungkin darinya.

"Aku datang untuk menjemput kalian berdua, kita segera pulang ke Milan Utara!"

"Tidak! Puri Lombardy itu bukan rumah kami berdua, di sinilah rumahku, surgaku. Pergilah Michael, kau tak diinginkan lagi!" usir Belevia tegas tak mau kompromi.

"Brengsek kau! Bianca Elenora itu keponakanku juga, seenaknya saja kau merampas dariku membawanya ke Perancis tanpa seijinku. Aku tak segan membuat hidupmu menjadi neraka, jika berani mengajak putri Michelle tinggal bersamamu di sini!"

Grr--! Belevia menatap sang pewaris Delano Carleone penuh kemarahan.

"Aku segera mengadopsi Bianca menjadi putriku, supaya kau tak datang mengusik kehidupan kami lagi. Tak usah repot-repot membicarakan garis keturunan keluargamu, aku sendiri yang membesarkannya nanti!"

Pandainya dokter cantik itu berbicara ke sang pewaris, melupakan kekuasaan dan kekayaan Michael Delano Carleone yang lebih mampu mengalahkan rencananya dengan segala cara.

"Kau pikir semudah itu, Belevia?" gertaknya mengancam. "Aku yang lebih pantas mengambil Bianca menjadi putriku, bukan kau!"

Tidak mungkin! Adik Nicholas Dupuis tak percaya mendengarnya.

"Biarkan pengadilan memutuskan siapa yang berhak merawatnya. Kau bertemu pengacaraku secepatnya!"

Senyum tersungging di bibir Michael merendahkan kemampuan adik ipar Michelle Delano Carleone. Kita lihat nanti siapa yang akan menjadi pemenangnya, Belevia!

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Om Mafia, Nikahi Tanteku, Yuk!   89. Dua Pecundang

    Dalam beberapa minggu Lorenzo dirawat di Puri Lombardy, Dokter Luis meminta pengawal mendorong kursi roda pasien ke ruang makan. Ia sengaja berusaha mengubah pandangan dua bersaudara yang berseteru dendam masa lalu. "Idemu benar-benar bodoh!" makinya kesal. "Ini bukan rumahku, buat apa memaksa sarapan dengan mereka, sebaiknya kembalikan aku ke rumah sakit menjalankan terapi sialan di sana saja!" Tangan Luis langsung menekan kencang bahu pasien yang mengaduh kesakitan. "Dasar bajingan tidak tahu cara berterima kasih, andai Michael enggan membawa saudaranya sekarat dari Granada ke Milan, kau tak akan pernah hidup sampai pagi ini!" Lorenzo tetap melawan walau cengkramannya belum dilepaskan, "Aku tak peduli, dan tak butuh bantuannya!" "Hmm.... kurasa, sebuah suntikan beracun kedua kali lebih mampu menutup mulutmu!" Luis memperingatkan sikap brengsek itu. "Belevia, adik kesayanganku, berani menghancurkan keluarganya sama saja menantang diriku!" Barulah Lorenzo López tersadar. Is

  • Om Mafia, Nikahi Tanteku, Yuk!   88. Ultimatum Terakhir

    Belevia menarik nafas panjang di depan jendela. Bukan kehamilan kini mengkhawatirkan pikiran, tetapi suami tercinta belum pulang sejak semalam. "Hmmm...." Suara pelan menggeliat terbangun dari tidur panjang. Kelopak matanya terbuka menyisir interior kamar jauh berbeda dengan rumah sakit. Begitu hangat dan damai belum pernah dirasakan seumur hidup. "Hey, dimana aku sekarang?" gumannya pelan. "Hai, Lorenzo," sapa Belevia ramah. "Senang akhirnya siuman setelah kejadian mengerikan hampir menimpa dirimu di ruang perawatan." "Memang apa yang terjadi?" sahutnya penasaran. Nyonya rumah tersenyum menenangkan mengambil gelas berisi air di samping ranjang, dan menyerahkan ke pria yang nyaris bernasib malang. "Minumlah dulu, nanti pelayan segera siapkan makan siang untukmu." "Terima kasih." Lorenzo López meneguk beberapa kali, dan Belevia membantu mengembalikan gelas ke meja kecil. "Ceritakan padaku kejadian mengerikan apa di rumah sakit?" desaknya ingin tahu. Sikap adik Nicho

  • Om Mafia, Nikahi Tanteku, Yuk!   87. Serangan Kedua

    Panggilan telepon rahasia dari rumah sakit sangat mengganggu Hugo yang sedang bercumbu dengan kekasihnya. "Sial, mau apa malam begini Pablo hubungi aku?" geramnya marah menyingkirkan wanita cantik di atas pangkuan. "Brengsek! Ada apa?" "HI Boss, ada berita penting besok pagi Lorenzo López dipindahkan ke kediaman Michael Delano Carleone, kita harus menyelesaikan misi sebelum terlambat!" "Kerjakan sekarang!" perintah Hugo ke Pablo tanpa ulur waktu lagi. "Habisi bajingan itu jangan sampai lolos atau kutembak kepalamu jika gagal kedua kali!" Seminggu di Milan membuat situasi makin berbahaya bagi kelompok mereka. Mendengar ucapan kekasihnya yang melanjutkan misi terakhir sangat menyenangkan bagi Catherine Wilson. Duduk kembali ke pangkuan pria tampan yang mengisi hidupnya setelah ditinggalkan suami. "Akhirnya waktu tiba bagi kita berdua, sayang," desah Cathy menggoda. "Lorenzo López memberikan warisan banyak termasuk bisnis ilegal di Brazil." Gairah Hugo makin memuncak. Permaina

  • Om Mafia, Nikahi Tanteku, Yuk!   86. Zio Riccardo

    Puri Lombardy terlihat sepi saat Michael pulang lebih cepat dari kantor. Hanya Bianca Elenora menyambut senang mencium pipi ayahnya lalu kembali bermain ke taman bersama pengasuh Gemma. "Dimana istriku, Ben?" tanyanya khawatir ke penjaga Puri. Benvolio menjawab sedikit gugup, "Oh, Nyonya Belevia berpesan sebelum ke rumah sakit ingin menemui Dokter Luis Santiago sambil membawa bekal makanan dan seikat bunga mekar diambil dari halaman belakang." Michael tak menaruh curiga jika istrinya bersama kakak sepupu. "Okay, bawa tas kantorku ke ruang kerja, aku mengganti baju dulu!" serunya seraya menaiki tangga menuju ke kamar. Pengawal Damien dan Milano telah menunggu di ruang kerja melanjutkan diskusi mereka. Keduanya berhasil mendapatkan informasi penting tentang pihak yang ingin menghabisi Michael Lorenzo López. Sepuluh menit kemudian Michael Delano Carleone tiba langsung menanyakan penyelidikan mereka. "Duduklah kalian, dan ceritakan semuanya dengan detail soal penembakan misteri

  • Om Mafia, Nikahi Tanteku, Yuk!   85. Salah Paham

    Dinding putih menghiasi kamar yang sepi tanpa hiasan. Suara monitor berdenging keras memekakkan telinga. Cahaya terpancar menyilaukan membuka jalan dia kembali ke dunia. "Lorenzo, waktunya telah tiba!" Sayup terdengar panggilan seorang Ibu menyuruhnya untuk pulang. Perlahan kelopak mata membuka menyaksikan dokter dan perawat sibuk memeriksa dirinya. "Hey, dimana aku sekarang?" batinnya bertanya. "Ini bukan kamarku, dan bukan rumah asalku di Seville." Seorang dokter mengecek pupil matanya, silau senter kecil membuatnya berpaling menghindar. "Singkirkan tanganmu, brengsek!" serunya marah belum dapat mencerna situasi yang terjadi. "Lepaskan peralatan ini aku harus pulang!" Tangannya menarik kabel monitor yang terpasang di dada, dan seenaknya membuang ke lantai begitu saja. Saat ia ingin bangun barulah terasa nyeri memilukan. Kain putih balutan perban berubah merah. Gerakan yang kasar merobek jahitan medis beberapa hari lalu. "Lorenzo!" Bentakan Michael tepat waktu menghentikan

  • Om Mafia, Nikahi Tanteku, Yuk!   84. Lorenzo Siuman

    Malam membosankan di kota Milan membuat Hugo kesal tak bisa beraksi menyelesaikan misinya. Empat hari menunggu tak ada berita untuk menyusup ke rumah sakit. "Pablo, dimana perawat itu sekarang, bagaimana kabar brengsek Lorenzo?" Ia menggeleng belum menentukan taktik jitu, "Jangan tergesa-gesa, saat ini penjaga keamanan masih ketat mengawasi di ruang perawatan VVIP, tunggu sampai lengah baru melancarkan rencana kita." "Arghhhh!" Hugo menahan geram. Misi mereka gagal total malah sepupunya disandera saudara kembar di kota Milan. "Gara-gara wanita keparat membohongi kita!" Salahnya mempercayai informasi tidak akurat yang mengakibatkan bisnisnya hancur di Spanyol. Tak lama suara bel pintu berbunyi membuyarkan emosi. Ketukan sepatu high heels dan dua koper diseret ke penthouse membuatnya menoleh seketika. "Mau apa kau ke sini, huh?" bentaknya keras. "Oh, sayang," rayu Cathy memeluk kekasih. "Rencana kita memang belum berhasil tapi aku mendapatkan petunjuk penting untukmu." Ia meny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status