Share

07 | Shadows

Setelah kesalahpahaman yang mengusik pagi milik Gwen, suasana menjadi lebih kondusif.

Namun, tidak dengan Gwen. Gadis itu duduk tepat di dekat jendela kamar miliknya, dengan kaki yang terus bergoyang tak mau diam. Sementara mulutnya sibuk mengigit jari-jari tangannya yang semakin pendek. Gwen benar-benar terlihat gelisah dengan apa yang baru saja terjadi.

Untuk sejenak, Gwen tak sanggup menoleh pada seseorang yang kini sedang menatapnya. Ia begitu terpaku mengingat wajah mengerikan Zayed yang mencekiknya tadi. Ia sempat melihatnya. Pada masa lalu yang ingin ia lupakan.

"Gwen apa ada yang salah?" tanya seseorang yang tak lain adalah Arga, sahabatnya.

Gwen masih bergeming. Tak ingin berbicara pada Arga. Isi kepalanya berkecamuk. Bayangan tentang kematiannya terngiang jelas.

"Gwen?" sekali lagi Arga mencoba untuk memanggilnya.

Gwen menoleh, tak bisa tersenyum. Gadis itu menatap dalam-dalam mata ungu yang menatapnya khawatir.

"Arga, bunuh aku sekarang!" Gwen memohon seraya meremas baju milik Arga.

Arga terperangah, juga bingung. Gwen memang sudah bertingkah aneh sejak malam Bolasaeg Choseungdal. Namun, Arga tak pernah mengira jika kekhawatiran Gwen selama beberapa terakhir ternyata cukup dalam.

Arga menghampiri Gwen lebih dekat. Lalu memeluknya seraya mengusap surai panjangnya dengan lembut. Berharap, kekhawatirannya dapat memudar dan membuatnya lebih baik.

"Kamu memilikiku, Gwen. Kamu tidak sendirian."

***

Elena, Galen, dan Aruna saat ini sedang terdiam di halaman rumah tua milik keluarga Han. Sementara Han dan Zayed mungkin masih dalam perjalanan pulang setelah mengantarkan Gwen.

Elena, gadis Orchid bermata ungu itu diam dan murung. Menatap datar daun-daun yang berjatuhan tertiup angin. Angin juga membuat rambut ungu gelap miliknya acak-acakan. Namun, sepertinya Elena tak mempedulikannya.

Isi kepalanya tentu masih ramai. Berbagai macam masalah terus menghampirinya, membuat seluruh ruang di kepalanya sesak.

Tujuan utamanya melarikan diri adalah menemukan ibu yang menelantarkannya, juga mencari adik perempuan yang ia rindukan. Namun, sepertinya ada banyak misi yang harus Elena selesaikan sebelum bulan sabit berwarna ungu muncul kembali dalam lima tahun.

Elena sadar, ia mungkin akan mengulang tragedi dan kebodohan yang sama seperti dirinya di masa lalu, sebelum terlahir kembali sebagai Elena An.

"Apa yang sebenarnya kamu pikirkan, tuan putri?" tanya Galen penasaran. Sesekali, ia ingin sekali menyelam dalam isi kepala Elena agar tak perlu susah bertanya seperti ini.

"Seharusnya kamu sedikit lebih tenang. Kita sudah menemukan salah satu Shadows," Galen berujar.

Melirik ke samping, Elena menatap Galen dengan malas. "Aku bahkan tidak membutuhkannya."

"Kenapa? Shadows mengetahui seluruh rahasia tentang Purpura. Dia bisa menjadi perisai kita menghadapi ramalan-ramalan yqng tidak kita ketahui," ujar Galen.

Elena menatap Galen datar. Seperti biasa, ia tidak memberikan ekspresi apapun dan terlihat sangat muram.

Untuk Elena, Shadows hanyalah bayangan hitam yang tidak terlalu berarti. Mereka bahkan takkan pernah bisa mengungkap siapa Lavender dan bagaimana ia dilahirkan. Mereka, manusia biasa yang terlahir sebagai Shadows juga tak bisa membedakan warna darah yang Purpura miliki. Saka bukan Thistle.

"Yang Mulia, bukankah sekarang yang lebih penting adalah mencari keberadaa Lavender? Dengan ada Lavender di sisi Orchid, kalian akan aman," kata Aruna yang baru saja turun dari atas pohon miliknya.

"Kita bisa menanyakannya pada Shadows," sahut Galen.

Elena mendengus kesal, lalu tanpa ampun menjitak kepala Galen yang duduk di sampingnya, hingga membuat pemuda itu memekik kesakitan.

Satu kekurangan Thistle, mereka benar-benar bodoh jika menyangkut pengetahuan umum. Sehingga ketampanan yang mereka miliki terkadang menjadi sia-sia. Mereka tak pernah menggunakan otaknya untuk berpikir, meski hanya untuk hal sepele. Thistle hanya sekumpulan Purpura rupawan yang besar mulut.

"Aku bahkan bisa menebak apa yang akan dikatakan Gwen saat kita menanyakannya," kata Elena.

"Benarkah? Tapi kamu tidak memiliki kemampuan seperti cenayang. Memangnya apa yang akan dia katakan?" tanya Galen.

"Aku yakin dia akan mengatakan, untuk mencari Lavender kau harus menggunakan hati dan keyakinanmu yang akan menuntunmu kepadanya," sahut Yujin.

Elena mengangguk setuju. Sementara Galen, pemuda itu hanya diam dan menatap dua gadis itu bingung.

"Selain itu, aku harus bisa membuka gerbang ingatan di kepalaku untuk mengetahui apa yang terjadi pada terdahuluku. Seperti yang kamu tahu, kita pernah mengalami kehidupan seperti ini jauh sebelum takdir kita tertulis," kata Elena.

"Apa maksudmu?" tanya Galen bingung.

Elena berdecak sebal, menatap Galen sinis. "Dasar raja bodoh! Bukankah aku pernah bilang kepadamu jika kita ini adalah reinkarnasi?" tanya Elena emosi.

"Sebenarnya apa yang kamu lakukan saat menjadi raja? Apa kamu belajar? Kenapa kamu begitu bodoh, tuan Byakta. Semuanya bahkan tertulis jelas dalam buku-buku di Hidden Library," tukas Elena.

"Kita pernah mengalami semua ini, kak Galen. Bahkan pertemuan yang terjadi pada kita pernah terjadi dahulu sekali. Seperti takdir yang terikat, kita terus mengulangi tragedi yang pernah terjadi di masa lalu," Aruna menyahut.

Galen hanya diam. Sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Ia pernah mendengar cerita tentang tragedi dan pengulangan masa lalu. Namun, ia tak terlalu ingin menanggapinya. Galen tak peduli.

"Tragedi? Tragedi apa yang memangnya akan terjadi dari kisah kita?" tiba-tiba Galen bertanya.

Elena dan Aruna menatap Galen jengah. Mereka berdua sudah angkat tangan dengan kebodohan Galen. Bagaimana bisa pemuda yang sangat pandai merayu perempuan ini justru tak mengerti apapun tentang dunia. Galen sepertinya tak memiliki pengetahuan apapun dalam kepalanya.

"Purpura yang terlahir sebagai Orchid bukan hanya aku saja. Dahulu sekali, mereka memang sudah ada. Itu terjadi karena gerbang Sateunik dibuka oleh seorang Saram yang memiliki kekuatan luar biasa. Dunia kita terhubung dan tak jarang mereka menikah dan memiliki anak berdarah Orchid," ujar Elena.

"Jelas hanya aku yang berbeda karena aku keturunan langsung dari seorang Laviosa dan Lavender. Aku terlahir dari Purpura paling suci dan agung, karena itu aku dianggap sebagai kutukan dan dibenci semua orang," lanjut si gadis bersurai ungu.

Galen lagi-lagi diam. Ia mencoba mengerti apa yang dibicarakan Elena dengan seksama, namun masih tak mengerti. 

"Galen, sebenarnya duapuluh tahun lalu Orchid tidak hanya terlahir saat Bolasaeg Choseungdal. Ada dua Orchid yang terlahir saat hari-hari biasa di malam berbintang di tahun yang sama dengan kita. Namun, mereka menghilang," kata Elena.

Menoleh ke arah Elena, Galen nampak terkejut dengan sepasang netranya yang membulat sempurna. "Kamu yakin? Tidak mengada-ngada, kan? Lalu, kenapa kamu dan adikmu terlahir di malam bulan sabit ungu?" tanya Galen.

"Kak Elena, apa kamu memilik adik? Kalau begitu kamu bukan Orchid terakhir dari keturunan Lavender dan Laviosa," sahut Aruna.

Elena menatap Aruna nanar. Seharusnya memang seperti itu. Elena seharusnya bukan Orchid terakhir yang menanggung segala kebencian Purpura. Namun, sang adik, saat dilahirkan langsung dibawa kabur oleh sang ibu yang melarikan diri ke Durango. Padahal, Elena ingat betul saat itu sang adik masih menjadi bayi merah yang menangis. Lalu, tak lama setelah kepergian keduanya, seorang bayi Saram bersurai merah yang diberi nama Zayed An tiba-tiba hadir, menjadi adik laki-laki yang paling Elena sayangi dan selalu menjaganya.

"Ada kisah sedih dibaliknya. Kurasa kau tidak usah tahu. Aku yang terakhir, karena adikku mungkin sudah mati mengenaskan di Durango lima belas tahun lalu." Lirih Elena.

***

Han dan Zayed yang baru saja mengantarkan Gwen pulang ke rumahnya, tiba-tiba kembali dan berdiri tepat di hadapan Gwen yang sedang menangis bersama Arga.

Kedatangan Han dan Zayed membuat Gwen semakin menggigil ketakutan, bersembunyi di balik tubuh Arga yang cukup besar untuk melindunginya. Sementara Arga dibuat bingung. Tak mengerti dengan situasi yang sebenarnya terjadi.

"Han, ada apa ini?" tanya Arga.

Namun Han hanya diam, memandangi tangan Gwen yang nampak dari balik tubuh Arga. Gwen memiliki tiga bintang berwarna hitam di tangannya. Artinya, Gwen bukan manusia biasa. Ia dan keluarganya merupakan Shadows, si pengungkap rahasia. Bukan pembunuh tak kasat mata yang membahayakan.

"Kak Gwen, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak akan jahat dan mengulangi kesalahpahamanku lagi," Zayed tiba-tiba membungkuk dengan sopan.

Gwen masih menggenggam erat baju Arga. Sementara Arga mencoba untuk memindai siapa pemuda bersurai merah yang membuatnya penasaran. Arga rasa, ia pernah bertemu dengannya. Namun, ia tidak ingat apapun.

"Gwen, bisakah kamu berhenti bersembunyi. Kita harus berbicara," kata Han tiba-tiba.

Namun, Gwen masih menyembunyikan dirinya di balik tubuh Arga. Gadis itu benar-benar terlihat sangat kacau dan ketakutan. Arga tak tahan melihatnya. Namun, ia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

"GWEN!" Han akhirnya berteriak, tak tahan.

"Aku berani bersumpah! Aku bukan pembunuh tak kasat mata! Aku Shadows!" tiba-tiba Gwen berlutut dengan raut wajah ketakutan, dengan tangan yang seolah memohon pada Han dan Zayed.

Menatap ke arah Gwen, Arga terkejut dengan pengakuan Gwen yang tiba-tiba. Gwen adalah Shadows? batinnya tak percaya. 

"Kak Gwen berdirilah. Kakak tidak perlu bersikap seperti ini," Zayed dengan kelembutan hatinya membantu Gwen untuk berdiri, seraya menatapnya dengan tatapannya yang hangat. Membuat Gwen terlihat sedikit lebih tenang.

Sementara itu, Arga menghampiri Han dan berdiri di samping pemuda itu. "Han, apa yang sebenarnya terjadi? Gwen adalah Shadows? Apa itu masuk akal?" tanya Arga berbisik.

"Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Gwen bertingkah aneh. Dia mengaku sebagai Shadows dan sekarang dia seperti orang gila," Han berujar lirih.

Arga menatap Han dengan sorot mata penuh pertanyaan. Di pikirannya, jika Han percaya bahwa Gwen adalah seorang Shadows, itu artinya Han mempercayai dunia berwarna ungu itu ada. Han mungkin salah satu manusia penting yang terikat dengan Purpura. Tapi siapa?

Zayed berhasil membuat Gwen sedikit tenang. Sepertinya, bocah laki-laki bersurai merah itu memang pandai untuk membuat seseorang merasa tenang. Senyumannya yang manis dan kelembutannya membuat siapa pun yang ada di dekatnya merasa lebih baik, termasuk Gwen.

Setelah Gwen tenang, Han mencoba menghampirinya. Ada rasa penasaran yang bergumul dalam kepalanya tentang Gwen. Lebih tepatnya, Han penasaran dengan segala hal tak masuk akal yang menghampiri hidupnya. Setiap orang yang berada di dekatnya selalu berhubungan dengan Purpura.

"Gwen, bagaimana bisa kamu menjadi seorang Shadows?" tanya Han tiba-tiba.

Gwen mengerjap. Sekali lagi melirik ke arah Han dengan tatapan penuh ketakutan. Hidup Gwen sungguh penuh tanda tanya. Bagaimana bisa ia menjelaskan secara jelas tentang dirinya. Banyak yang disembunyikan sendirian. Karena, tak ada teman berbagi yang tulus.

"Gwen, apa yang dikatakan Han itu benar?" tanya Arga penasaran.

Bagaimanapun, Shadows termasuk salah satu dari sekian banyak yang Arga cari di dunia ini. Jika benar Gwen adalah Shadows, Arga merasa tak perlu melakukan pencarian lagi. Namun, di sisi lain ia merasa kasihan pada Gwen dan takdirnya.

Tiga pasang mata laki-laki yang berada di sana langsung tertuju pada Gwen. Gwen, gadis itu kemudian membuka sebagian kancing bajunya yang menampakkan beberapa memar di dadanya.

"Han, kamu yang melakukannya?" tiba-tiba Arga bertanya dengan nada suara yang tinggi, menatap Han dengan tatapan sinis.

"Bu-"

"Bukan, Han," Gwen langsung memotong Han yang terlihat terkejut melihat luka di tubuh Gwen. Jujur saja, Han memang sedikit kasar saat bersamanya, namun Han tak pernah sampai tega meninggalkan bekas luka.

"Entah ini kutukan atau anugerah, seluruh keluargaku adalah Shadows. Bekas luka di dadaku ini karena takdirku. Aku akan terus terluka tanpa alasan, kecuali aku memutuskan hubunganku dengan takdir itu," Gwen berujar lirih.

"Tapi bagaimana bisa? Bagaimana bisa kamu menjadi seorang Shadows?" tanya Han.

Gwen menggelengkan kepalanya. "Aku tidak pernah tahu kenapa keluargaku menjadi seperti ini pada awalnya. Mereka mempercayai Purpura dan bahkan mengetahui rahasia yang tidak diketahui. Namun, satu-persatu dari mereka justru mati mengenaskan. Seperti yang kalian tahu, aku tinggal sebatang kara." 

"Bukankah orangtuamu meninggal akibat kecelakaan?" tanya Arga.

"Aku berbohong. Mereka mati dengan mengenaskan, tanpa diketahui. Tak ada jasadnya sama sekali. Mungkin mereka melebur menjadi debu," jawab Gwen.

"Kukira mereka dibunuh oleh Violeta. Hanya bangsa mereka yang tidak menginginkan kehadiran Shadows. Karena kehadirannya dapat membahayakannya," Zayed menanggapi.

Gwen terdiam, kedua tangannya saling mengepal. Ia seperti sedang menahan sesuatu, seperti amarah. Kemudian tak lama, gadis itu meneteskan air matanya. Ia teringat sesuatu yang membuatnya kehilangan kedua orangtuanya saat masih kecil. Mereka dibunuh lalu menghilang dalam sebuah cahaya putih yang ia yakini adalah pintu waktu, Sateunik.

Ia mempercayai kedua orang tuanya telah meninggal. Namun, di sisi lain, ia percaya bahwa mereka masih hidup di Purpura. Tapi sayangnya, hingga Gwen berusia duapuluh tahun, keberadaannya benar-benar tak diketahui. Kedua orangtuanya benar-benar menghilang, lalu dilupakan.

"Gwen..." Han mencoba menghampiri Gwen, namun gadis itu dengan sigap langsung mundur membuat Han sedikit terkejut.

Padahal, Han tak ingin menyakiti Gwen, gadis yang baru saja ia putuskan. Ia hanya tiba-tiba merasa iba padanya. Tak menyangka jika selama ini Gwen hidup dalam kemalangan sendirian, tanpa ada seseorang yang berdiri di sampingnya.

Mengabaikan Han, Gwen menghampiri Zayed dan menggenggam tangannya tiba-tiba. "Jika kamu ingin bertanya apapun, kamu boleh mendatangiku."

Zayed tersenyum. "Baiklah kak Gwen. Aku akan mendatangimu," katanya.

Gwen yang tersenyum lalu menoleh ke arah Han. "Kamu juga, Han. Kamu bisa mendatangiku kapan saja. Aku tahu kamu pasti memiliki banyak hal yang ingin ditanyakan. Tentang kalung itu atau dua manusia Purpura itu," ujar Gwen.

"Bagaimana kamu bisa mengetahui tentang kalung ini?" tanya Han.

Han dan Zayed terkejut dengan pernyataan Gwen. Pasalnya, Gwen tak mengetahui apapun tentang Dalanseok, karena Han tak pernah menunjukkannya kepada Gwen.

"Bagaimana kamu mengetahuinya, Gwen?" tanya Han sekali lagi.

"Aku adalah Shadows. Aku tahu tentang Dalanseok. Aku mengetahui rahasia dua dunia yang saling bertentangan itu," kata Gwen.

Dalanseok? Arga, pemuda yang sedari tadi hanya mendengarkan Gwen dan Han terperangah. Arga terkejut karena banyak sekali rahasia yang terungkap dalam satu waktu.

"Lalu, apa kamu mengetahui apa arti dari kalung Dalanseok? Apa kamu tahu kenapa dia memilih kak Han sebagai pemiliknya?" tanya Zayed.

"Han pemilik kalung Dalanseok?" Arga terkejut. Sang pemuda berpaling menatap Han, lelaki pemilik kalung Dalanseok. Ia tiba-tiba merasakan terganggu dan ketakutan. Kepingan puzzle masa lalu itu semakin jelas tergambar. Perlahan menjadi utuh.

"Arga, bisakah kamu pergi dulu?" pinta Gwen. Ia tidak ingin Arga masuk ke dalam kemelut masalahnya bersama manusia-manusia Purpura.

Arga mengangguk, lalu beranjak pergi. Sebelum benar-benar pergi, Arga berbalik lalu menghilang bersama halimun tipis yang ia ciptakan sendiri dan berbaur kembali dengan Han, Gwen dan Zayed yang masih berbicara.

"Gwen, jelaskan tentang Dalanseok kepadaku," pinta Han.

"Aku mengetahui semuanya. Hanya itu yang bisa aku katakan," kata Gwen datar.

"Gwen, apa kamu tidak bisa memberitahuku saja?" tanya Han frustasi.

"Aku tidak bisa merusak takdir yang sudah tertulis, Han. Kamu harus menemukannya sendiri seperti apa yang mereka tuliskan," kata Gwen. "Tugasku hanya mengungkapkan rahasia-rahasia umum. Seperti cara menemukan Lavender yang akan melindungi Orchid."

Zayed yang merasa tertarik, menghampiri Gwen dan mengenggam tangannya. "Bagaimana cara menemukannya? Tolong beritahu aku," Zayed memohon.

Gwen mengulas sekilas senyum yang terhapus. "Mereka akan saling menemukan dengan cara mereka sendiri, karena sebenarnya mereka sudah dekat."

Gadis itu melepaskan tangan Zayed, lalu duduk di sebuah kursi di halaman rumahnya dan menatap kosong pada taman bunga yang mengering tak terurus. Ia menyelipkan rambut panjangnya ke telinga, membuat wajah cantiknya nampak jelas.

"Tolong ingatkan mereka saat bertemu, jangan jatuh cinta," kata Gwen seraya menatap Zayed, lalu beralih menatap Han.

Sepasang bola mata Han bertubruk langsung dengan milik Gwen. Entah kenapa, Han merasa bahwa dirinya adalah Lavender yang mereka cari. Mengingat dari bagaimana ia tiba-tiba memakai kalung aneh, lalu bertemu dengan manusia Purpura yang menyamar menjadi Saram.

Juga, ada satu hal yang membuat Han yakin. Han, Elena, dan Galen lahir ketika Bolasaeg Choseungdal menampakkan sinar Orchid Trabem.

"Tolong katakan pada mereka agar tidak jatuh cinta dan mengulang tragedi masa lalu yang menyedihkan," lirih Gwen, menatap Han lalu memejamkan matanya, menarik napas.

Tragedi itu akan segera dimulai

***

Han pulang ke rumah bersama Zayed setelah mengantar Gwen. Namun, bukannya masuk ke dalam, pemuda yang terlihat kacau itu malah duduk di halaman rumahnya, tepat di bawah pohon apel yang mulai berbuah.

Han menghela napasnya berkali-kali seraya memijit pelipisnya. Kepalanya terasa pening. Akhir-akhir ini ia tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasa, apalagi untuk bersenang-senang. Segala hal yang tak pernah ia duga benar-benar menyita waktunya yang berharga. Han merasa telah kehilangan segalanya.

"Apa yang sebenarnya aku lakukan? Seharusnya aku tidak terpengaruh oleh mereka dan cerita-cerita konyol mereka," gumamnya.

Han mengacak-acak rambutnya frustasi, lalu memukul kursi yang ia duduki karena tiba-tiba merasa kesal. "Aku percaya bahwa takdirku memang sudah tertulis. Tapi, apa mereka sungguh mengetahuinya? Memangnya mereka siapa? Tuh-"

Suara jeritan tiba-tiba menghentikan dengungan obrolan antara Han dan dirinya sendiri. Han yang penakut menoleh ke arah suara itu. Secara spontan ia menutupi mata dengan kedua telapak tangannya dan mengambil sebuah ranting di dekatnya. Ia takut jika sesuatu mengerikan muncul tanpa permisi.

Benar saja, dekat taman bunga miliknya, Han melihat sesuatu bergerak dan menampakkan sinar berwarna keunguan yang mengerikan. Seseorang, ah bukan. Mungkin itu sesosok makhluk mengerikan berambut ungu. Wajahnya pucat dan sesuatu berwarna merah mengalir dari mulutnya.

"Siapa kamu?! Jangan menakutiku!" Han berteriak ketakutan.

Napasnya tiba-tiba memburu, membuat tubuhnya mulai gemetaran. Ia melepaskan daun-daun kering yang berjatuhan pada sesuatu yang baru saja datang menghampirinya. Han membayangkan apa saja yang tak masuk akal.

Sejak bertemu dengan manusia Purpura, ia selalu berpikir bahwa sesuatu yang berada di dekatnya mungkin saja sesuatu yang mengerikan. Bahkan setelah mengetahui cerita tentang pembunuh tak kasat mata, ia bahkan sempat berpikir bahwa ia bisa saja bertemu Immortui di jalanan.

Menurut cerita dari Aruna yang pernah Han dengar, Immortui adalah mayat hidup yang membunuh korban yang mereka hisap darahnya. Mereka merupakan makhluk bertaring dan tidak wajar yang berubah dari makhluk hidup menjadi mayat hidup mengerikan. Seperti zombie.

"Kenapa kamu begitu ketakutan?"

Sebelum Han berteriak dan melawan, seseorang itu telah menyentuh pundak Han. Pemuda itu terjerembab dengan suara teriakan yang tertahan. Nyaris tak terdengar.

Han yang ketakutan, mencoba untuk membuka jari-jemari yang menutupi pandangannya. Mencoba untuk melihat sosok itu di antara sela-sela jemari yang bergetar. Namun, saat melihat cairan berwarna merah di mulutnya, Han langsung menutupnya kembali dan ketakutan setengah mati.

"Ini aku, Elena," sambil menyeringai, sosok yang ternyata adalah Elena itu memberikan buah apel berwarna merah untuk Han.

Setelah merasa aman, Han langsung bangkit dan bersikap wajar. Matanya tak bisa terlepas dari wajah gadis Orchid itu. Elena terlihat menakutkan.

"Kamu terlihat menakutkan. Matamu bercahaya dan darah keluar dari mulutmu," Han masih ketakutan.

"Darah?" Elena yang bingung langsung mengusap mulutnya, lalu tertawa melihat cairan berwarna merah dari mulutnya.

"Sepertinya ini perona bibir milik Aruna. Apa namanya? Liptint? Lagipula darahku berwarna ungu," kata Elena.

Han terlihat sangat malu. Ia yang baru saja terjatuh kembali duduk, lalu menyandarkan tubuhnya kembali pada kursi taman dan bersikap keren. Seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara Elena, tanpa berpikir dan meminta izin, langsung duduk di sampingnya sambil memakan apel manis yang langsung dipetik dari pohon.

"Kenapa kamu ada di sana? Di balik semak-semak semalam ini?" tanya Han.

"Mencari tanda-tanda pembunuh tak kasat mata. Kemarin aku melihat cahayanya di sekitar semak-semak itu, saat kekasihmu datang," jawab Elena.

"Lalu, apa kamu menemukannya?" tanya Han penasaran.

Elena menggelengkan kepalanya. "Tidak ada apapun. Mungkin karena tanpa jejak itu mereka dijuluki pembunuh tak kasat mata, mereka membunuh tanpa meninggalkan jejak," ujar Elena.

Han menghela napasnya berat. Ia memikirkan betapa sulitnya harus hidup menjadi Elena. Gadis itu harus dikucilkan, disembunyikan identitasnya untuk menjaganya jauh dari gladi kotor kematian yang selalu menantinya setia menantinya.

"Pasti sulit hidup menjadi seorang Orchid," Han berujar lirih.

Elena tersenyum kecut. "Aku bahkan tidak bisa menjawabnya," lirihnya.

Han terdiam. Ia bahkan tidak tahu harus mengucapkan apa lagi setelah mendengar kalimat Elena.

"Ah, ya! Siapa namamu? Aku lupa," kata Elena seraya mengulurkan tangannya pada Han.

Menoleh ke arah Elena, Han langsung membalas uluran tangan si gadis Orchid. Rasanya sedingin es di bawah jemari Elena. Namun, perlu diakui Elena terlihat sangat cantik, terutama dengan sekilas pelangi terbalik yang terukir di wajah pucatnya. Sepasang bola matanya yang berwarna ungu pun terlihat berkilauan, ditambah rona merah yang nampak jelas di wajahnya.

"Han Satya Aibek," Han memperkenalkan diri.

Elena tersenyum, lalu melepaskan jemarinya dari genggaman Han. "Seperti nama ayah," katanya lirih.

"Benarkah?" tanya Han penasaran.

Elena mengangguk dan tersenyum. Setelah percakapan itu, tercipta hening yang panjang di antara dua manusia yang sangat berbeda itu. Hanya terdengar suara sayup angin dan jangkrik yang memecah malam yang dingin.

"Kudengar kamu memiliki misi yang harus dituntaskan," Han memulai percakapan kembali.

"Aku memiliki banyak misi untuk balas dendam dan menyelamatkan nyawaku sendiri," ujar Elena.

"Aku akan membantumu," kata Han tiba-tiba.

Terperangah sedikit, Elena menoleh dan menatap Han penuh tanda tanya di kepalanya. "Kenapa? Kamu hanya seorang Saram."

"Karena aku Saram, setidaknya aku tidak akan terluka. Kamu terlalu lemah, Galen bodoh, dan Zayed ceroboh. Kamu membutuhkanku dan Aruna," ujar Han.

"Tapi ak-"

"Kita mulai dengan bertemu Gwen, Shadows. Lalu mencari cara," Han memotong kalimat Elena dan tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status